Media Peternakan, Desember 2007, hlm. 173-180 Vol. 30 No.
3
ISSN 0126-0472
Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005
Seleksi Burung Puyuh Generasi II Berdasarkan Bobot Badan
dan Perubahan Biokimia Genetika
S. M. Ardiningsasi
Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro
Kampus Tembalang Gedung B Semarang 50275, email: [email protected]
(Diterima 29-03-2007; disetujui 16-11-2007)
ABSTRACT
The birds were developed to be 16 groups (4 groups of TT and 4 groups of RR, with male
and female lines, respectively). The mating was conducted between similar groups of population
(TT vs. TT, and RR vs. RR) to obtain second generation. The change in metabolism such as Ca–
ATPase activity and Nô–methylhistidine (Nô–MH), also selection response between generations
were analyzed. Parameters of metabolism were subjected to statistical analysis of T-test to com-
pare between productions characteristic (TT and RR), especially for second generation. Body
weight was also statistically analyzed by the same method. Selection response in TT group (3.10%
or 2.74%) was higher than that in RR group (1.20% or 1.13%). Metabolism aspect in the quails
of second generation either rate of protein turnover or activity of bone Ca-ATPase enzyme showed
the change toward the productivity specification. Rate of muscle protein synthesis was higher and
enzyme activity of Ca-ATPase was lower in group of TT population than those in group of RR
population.
Key words: quail, breeding, body weight, protein turnover, Ca–ATPase
PENDAHULUAN menjadi lebih baik bila disertai dengan kajian secara
biokimia genetik (biochemical genetic). Biokimia
Pola perkawinan terkontrol melalui “line- genetik yang dimaksud adalah aspek metabolisme
breeding” disertai dengan seleksi sifat kuantitatif terutama yang berhubungan dengan kemampuan
dapat dilakukan terhadap bobot badan tinggi untuk pertumbuhan melalui aktivitas sintesis protein/
burung puyuh pedaging, dan bobot badan reguler deposisi protein dan perkembangan tulang yang
untuk penghasil telur. Keberhasilan seleksi lebih baik.
kuantitatif dipantau melalui perhitungan respon Seleksi didasarkan pada pemilihan ternak
seleksi antar generasi pada masing-masing peubah yang mempunyai kemampuan pertumbuhan lebih
(Suzuki et al., 1989). Nilai respon seleksi yang baik sangat esensial bagi pengembangan burung
tinggi menggambarkan besarnya peranan seleksi puyuh yang sudah mempunyai sifat genetik stabil
yang dilaksanakan dalam program breeding. dimasa akan datang. Lin et al. (2006) melaporkan
Metode seleksi, dengan mempertimbangkan bahwa seleksi bobot badan tidak hanya
respon seleksi, untuk peningkatan kualitas ternak mempertimbangkan terjadinya perbaikan efisiensi
Edisi Desember 2007 173
ARDININGSASI Media Peternakan
pakan, tetapi juga dikaitkan dengan peningkatan dihubungkan dengan “stress hormone” terutama
ketahanan terhadap lingkungan tropis (panas). corticosterone/CTC (Cheng & Muir, 2005),
Pelaksanaan seleksi burung puyuh di Indonesia meskipun CTC pada penelitian ini tidak diamati.
(suhu tropis) sangat relevan kalau dihubungkan Sebagai contoh, hormon CTC berlebihan dapat
dengan fenomena perubahan biokimia genetik meningkatkan á-amino nitrogen dan asam urat
sebagai indikasi respon ternak terhadap suhu panas. dalam darah pada ayam, sehingga pada kondisi
Fenomena kemampuan pertumbuhan seperti ini ayam merasa tidak nyaman/stress (Simon,
ditentukan oleh perbedaan antara sintesis dan 2004). Peningkatan hasil metabolisme tersebut
degradasi protein dalam proses siklus tukar pro- menunjukkan terjadinya gangguan “kenyamanan”
tein tubuh (protein turnover). Variasi antara sintesis ternak sehingga mengakibatkan degradasi protein
protein dengan degradasi dapat ditentukan dari tubuh berlebihan. Pemilihan bibit ternak, khususnya
jumlah eksekresi Nô-methylhistidine (Nô–MH). Nô– unggas, yang lebih tahan terhadap suhu lingkungan
MH merupakan sejenis asam amino hasil tinggi (khususnya iklim tropis Indonesia)
metabolisme protein intermedier yang tidak terpakai menunjukkan bahwa unggas tersebut mempunyai
oleh tubuh. Pemantauan eksekresi Nô–MH, yang “tingkat kenyamanan” lebih baik. Selain siklus tukar
merupakan aspek metabolisme sebagai bagian dari protein, yang ditandai dengan jumlah ekskresi Nô–
biokimia genetik, dapat dipakai sebagai cara MH, dan konsentrasi CTC darah seperti dijelaskan
penentuan kualitas bibit ternak. sebelumnya, rasio heterophil/lymphocyte (H/L
Penelitian kemampuan pertumbuhan ratio) dapat pula dipakai untuk merunut ketahanan
berdasarkan perbedaan sintesis dan degradasi pro- ternak sebagai indikator terhadap stress panas
tein pada burung puyuh di Indonesia belum pernah (Pulvadolpirod & Thaxton, 2000).
dilakukan, tetapi pada ayam lokal sudah ada Pertumbuhan unggas pada umumnya
beberapa informasi. Hasil penelitian Suthama melibatkan pembentukan daging dan tulang (me-
(2003) menunjukkan bahwa penurunan ekskresi dia tumbuh daging). Kemampuan pembentukan
Nô–MH atau peningkatan sintesis protein pada daging telah dijelaskan sebelumnya, sedangkan
ayam kampung periode pertumbuhan seiring pertumbuhan tulang dikaitkan dengan aktivitas Ca-
dengan kecenderungan perbaikan pertumbuhan. ATPase. Ensim Ca-ATPase terlibat dalam
Hal serupa ditemukan pada ayam Kedu bahwa metabolisme Ca dan/atau P tulang. Proses
perbaikan kualitas ransum dengan peningkatan pro- pertumbuhan tulang meliputi mineralisasi dan
tein dan energi, tanpa disertai seleksi, menghasilkan demineralisasi dalam pembentukan jaringan epifisis
laju pertumbuhan lambat (Suthama, 2006). Jadi, tulang (Spencer, 1989). Menurut Stryer, (1988)
peningkatan kemampuan pertumbuhan unggas lokal bahwa Ca-ATPase memegang peranan penting
tergolong lambat (dibandingkan unggas ras) apabila dalam proses mineralisasi matrik tulang. Aktivitas
tidak disertai dengan seleksi secara genetik, Ca-ATPase pada jaringan tulang epifisis
meskipun telah dilakukan perbaikan kualitas menunjukkan adanya hubungan yang spesifik antara
ransum. Pembentukan kualitas individu ternak ion Ca dalam darah dengan panjang tulang, dan
menjadi “perfect” apabila dilakukan perbaikan perbedaan respon antara jantan dan betina
kualitas ransum disertai dengan seleksi secara tergantung umur.
genetik kuantitatif melalui sistim perkawinan yang Penelitian terdahulu (Ardiningsasi et al.,
terarah dan terprogram. Seleksi yang dilakukan 1993) menunjukkan bahwa konsentrasi Ca darah
tidak hanya untuk peningkatan produktivitas tetapi tidak ada perbedaan antara jantan dan betina pada
“kenyamanan” ternak juga menjadi pertimbangan. burung puyuh umur 3 minggu. Namun demikian,
Ekskresi N ô–MH sebagai indikator konsentrasi Ca darah pada puyuh betina dewasa
kemampuan pertumbuhan dan adaptasi dapat nyata lebih tinggi, hingga mencapai 3 kali
174 Edisi Desember 2007
Vol. 30 No. 3 SELEKSI BURUNG PUYUH
konsentrasi Ca darah pada jantan. Aktivitas Ca- perkawinan dari empat kelompok menghasilkan
ATPase pada puyuh umur 3 minggu, baik jantan puyuh generasi I yang selanjutnya diseleksi
maupun betina, lebih tinggi dibandingkan umur 15 berdasarkan bobot badan tinggi (TT) dan sisanya
minggu. Konsentrasi Ca darah dan aktivitas Ca- kelompok reguler (RR) sehingga terbentuk 16
ATPase berbanding terbalik dengan bobot badan. kelompok (empat kelompok TT dan empat
Konsentrasi Ca darah semakin rendah dengan kelompok RR masing-masing dengan galur jantan
semakin kecil ukuran tubuh, sedangkan aktivitas dan betina).
Ca-ATPase menunjukkan nilai terbalik. Makin Perkawinan dilakukan antar kelompok yang
rendah aktivitas Ca-ATPase dan ekskresi Nô–MH sama, yaitu TT dengan TT dan RR dengan RR,
memberikan indikasi bahwa pertumbuhan tulang sehingga dihasilkan burung puyuh generasi II.
dan sintesis protein makin cepat. Seleksi bobot badan dilakukan pada umur 6
Perkawinan terkontrol yang disebut sistem minggu, baik pada generasi I maupun generasi II
‘line-breeding” dilakukan dengan tujuan untuk (Tabel 1 dan Tabel 2). Perkawinan sedarah tidak
menghasilkan karakteristik produksi spesifik dan boleh terjadi sebelum tercapai tiga generasi. Aspek
mengurangi penyimpangan genetik selama program penelitian adalah bidang genetika, sehingga ransum
breeding berlangsung. Seleksi diarahkan pada bukan merupakan perlakuan dan puyuh diberi
bobot badan tinggi (TT) untuk karakteristik ransum komersial (Charoen Phokphand), dari awal
produksi daging, dan kelompok reguler (RR) untuk sampai akhir, dengan kandungan protein rata-rata
karakteristik bobot badan sedang. Perubahan 23% (22%-24%) dan energi metabolis 2800 kkal/
metabolisme dilihat dari siklus tukar protein dan kg.
aktivitas Ca-ATPase merupakan pendukung dalam
melakukan seleksi hasil perkawinan line-breeding. Peubah dan Analisis Statistik
Populasi burung puyuh hasil program “line-breed-
ing” merupakan “breeding stock” yang selanjutkan Keragaman distribusi dan respon seleksi
dalam jangka panjang dapat dipakai sebagai sebagai indikator karakteristik produksi masing-
sumber bibit untuk usaha komersial burung puyuh masing generasi hasil seleksi dalam “line-breeding”
pedaging. dihitung berdasarkan rumus Suzuki et al. (1989)
sebagai berikut:
MATERI DAN METODE a. Distribusi fenotipe (phenotypic distribution) :
Ternak Percobaan dan Ransum x = ∑ f i ⋅ xi (xi = kelompok pengukuran)
Penelitian menggunakan burung puyuh lokal b. Keragaman distribusi (S2) memakai rumus :
(jantan dan betina) periode “developer” yang dibeli
1
dari empat peternakan di Jawa Tengah (Boyolali, S2 =
N ∑x2
i ⋅ x 2 (N = jumlah pengamatan)
Kendal, Demak dan Magelang) sebagai indukan.
Perkembangbiakan burung puyuh memakai c. Nilai tengah keragaman (S) adalah : S = S 2
perkawinan sistem “line breeding” (Moreng & d. Respon seleksi dihitung menurut rumus :
Avens, 1985), seperti dijelaskan pada uraian respon seleksi = x generasi II − x generasi I
berikut. Burung puyuh sebanyak 400 ekor betina
dan 40 ekor pejantan (umur enam minggu), sebagai Peubah penelitian meliputi bobot badan
indukan, dibagi menjadi empat kelompok masing- diukur sampai umur 12 minggu, sedangkan aspek
masing terdiri atas 10 ekor jantan dan 100 ekor metabolisme (Nô–MH dan aktivitas ensim Ca–
betina (1 : 10), untuk menghasilkan generasi I. Hasil ATPase) dianalisa pada umur enam minggu. Nô–
Edisi Desember 2007 175
ARDININGSASI Media Peternakan
MH diukur dari sampel daging dan ekskreta metabolisme (Nô-MH. Ks, Kd dan Ca-ATPase)
menurut Hayashi et al. (1985) memakai high per- diuji statistik secara sederhana dengan T-test antara
formance liquid chromatography (HPLC) yang karakteristik produksi (TT dan RR), terutama pada
dihubungkan dengan detektor “fluorensence” pada generasi II. Data bobot badan antar jenis kelamin
panjang gelombang eksitasi 348 nm dan emisi 460 dan antar generasi juga diuji T-test.
nm. Laju degradasi protein (Kd) dihitung
berdasarkan jumlah ekskresi Nô–MH dibagi dengan HASIL DAN PEMBAHASAN
total Nô–MH dalam daging, sebagai “pool size” (P)
dari Nô–MH. Selanjutnya, laju sintesis protein (Ks) Bobot badan burung puyuh jantan pada umur
dihitung dengan rumus sebagai berikut: kurang dari 12 minggu relatif lebih kecil
dibandingkan puyuh betina, dan perbedaan tampak
Kd ( P − P0 e − kdt )
Ks = nyata (P<0,05) pada umur 12 minggu (Tabel 1).
1 − e − kdt Perbedaan bobot badan puyuh jantan dan betina
P dan P0 adalah “pool” Nô–MH dalam daging tampak jelas pada umur 12 minggu, karena sudah
masing-masing pada waktu t dan t0 mencapai dewasa kelamin terutama alat reproduksi
P = bobot daging dikalikan dengan kandungan betina sudah tumbuh dan berkembang yang
Nô–MH daging pada waktu t memberi kontribusi pada perbedaan bobot badan.
P0 = bobot daging dikalikan dengan kandungan Seleksi berdasarkan bobot badan tinggi (TT) pada
Nô–MH daging pada waktu t0 generasi II (Tabel 1), sudah menunjukkan adanya
e = eksponen sedikit perubahan bobot badan terutama pada umur
Aktivitas ensim Ca–ATPase (bagian epifisis 12 minggu, baik pada burung puyuh jantan maupun
tulang tibia) dianalisis berdasarkan Stryer (1988) betina (meskipun secara statistik tidak berbeda).
menggunakan double beam spectrophotometer Apabila dilanjutkan dengan mencermati data pada
seperti telah dilaporkan oleh Ardiningsasi et al. Tabel 2, tampak bahwa perkembangan bobot
(1993). Prinsip analisis aktivitas ensim Ca–ATPase badan burung puyuh reguler (RR) pada generasi II
adalah menghitung ion fosfat (Pi) yang terurai per belum menunjukkan adanya respon terhadap
satuan bobot dan waktu. Aktivitas enzim Ca- seleksi, karena bobot badan seperti kondisi semula.
ATPase dipakai sebagai indikator terjadinya Respon seleksi pada populasi burung puyuh
perkembangan tulang yang berhubungan dengan generasi II (Tabel 3) meliputi bobot badan tinggi
kapasitas pertumbuhan karena tulang merupakan (TT) dan bobot badan reguler (RR). Nilai respon
media tempat tumbuh daging. Peubah aspek seleksi mencerminkan bahwa perlakuan seleksi
Tabel 1. Bobot badan (g) burung puyuh (Coturnix japonica) generasi I dan II dengan seleksi bobot
badan tinggi (TT)
Umur Jantan Betina
(minggu) Generasi I Generasi II Generasi I Generasi II
2 57,2±4,6 58,5±4,4 59,4±5,8 59,9±5,2
4 68,5±5,1 70,6±6,3 72,8±6,7 74,5±5,9
6 77,3±6,9 79,6±6,4 79,4±6,4 83,6±7,4
12 106,6±8,1c 110,6±8,4bc 119,3±9,1 ab 121,5±10,2 a
Keterangan: superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
176 Edisi Desember 2007
Vol. 30 No. 3 SELEKSI BURUNG PUYUH
Tabel 2. Bobot badan (g) burung puyuh (Coturnix japonica) generasi I dan II tanpa seleksi bobot
badan (RR)
Umur Jantan Betina
(minggu) Generasi I Generasi II Generasi I Generasi II
2 57,2±4,3 58,2±4,3 57,2±4,8 58,9±5,6
4 68,5±5,0 67,5±5,2 68,5±5,1 71,9±6,4
6 77,3±6,9 77,3±6,5 77,3±7,1 78,9±6,6
12 106,6±9,9 105,6±8,2 106,6±8,7 110,0±9,9
baru dua kali dilakukan sehingga pengaruhnya Seleksi ke arah perbedaan karakteristik produksi
terhadap sistem metabolisme yang mengontrol yaitu bobot badan tinggi (TT) untuk penghasil
pertumbuhan secara genetik belum banyak daging dan bobot badan reguler (RR) didukung oleh
berubah. Respon seleksi seperti tercantum pada perubahan metabolisme. Perubahan metabolisme
Tabel 3 menunjukkan bahwa seleksi kuantitatif dapat dilihat dari laju sintesis protein (Ks) yang nyata
terhadap bobot badan tinggi (TT) mempunyai nilai lebih tinggi (P<0,05) pada populasi TT, baik jantan
jauh lebih tinggi (3,10% atau 2,74%)) dibandingkan maupun betina, dan disertai oleh laju degradasi pro-
bobot badan reguler (RR). Sebaliknya, burung tein (Kd) yang sama pada populasi TT, merupakan
puyuh dengan bobot badan reguler (RR) indikator awal dari perubahan bobot badan kearah
mempunyai respon seleksi lebih rendah karena lebih baik.
nilainya lebih kecil dari 2 (hanya 1,20% atau Seleksi berdasarkan bobot badan untuk
1,13%). pembentukan perbedaan karakterisitk produksi
Burung puyuh generasi II (Tabel 4) telah menyebabkan terjadinya perubahan protein turn-
menunjukkan adanya perubahan pertumbuhan dan over (siklus tukar protein) seperti dilaporkan oleh
metabolisme nutrisi terutama kemampuan Maeda et al. (1986). Klarifikasi karakteristik
memanfaatkan protein berdasarkan siklus tukar biokimia genetik melalui pengamatan metabolisme
protein (protein turnover). Sekresi Nô–MH protein dalam pembentukan galur burung puyuh
mendasari perhitungan siklus tukar protein meliputi sangat mungkin dipakai sebagai dasar seleksi bobot
sintesis (Ks) dan degradasi (Kd) protein tubuh. badan untuk menentukan kualitas bibit. Fenomena
Tabel 3. Respon seleksi burung puyuh generasi II terhadap generasi I pada populasi terseleksi TT
dan RR
TT RR
Peubah
Jantan Betina Jantan Betina
X Rata-rata 79,60±7,3 ac 83,60±8,1 a 75,90±7,6 b 78,60±7,5 bc
Keragaman populasi (S2) 14,43 27,38 8,57 5,01
Nilai tengah 3,80 5,23 2,93 2,25
Respon seleksi (%) 3,10 (2,74) 1,20 (1,13)
Keterangan: superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Edisi Desember 2007 177
ARDININGSASI Media Peternakan
Tabel 4. Perubahan bobot badan dan aspek metabolisme pada burung puyuh (Coturnix japonica)
generasi II (umur 6 minggu)
Kelompok populasi generasi II
Peubah TT RR
Jantan (n = 50) Betina (n = 50) Jantan (n = 50) Betina (n = 50)
Bobot badan (g) 78,3±6,9 a 81,6±7,9 a 72,2±7,1 b 76,1±6,8 b
Nτ–MH(µmol/hari) 5,9±0,4 a 4,0±0,3 b 6,1±0,5 a 4,9±0,3 b
Ks (%/hari) 3,8±0,2 a 3,7±0,3 a 3,0±0,2 b 2,8±0,2 b
Kd (%/hari) 2,9±0,2 2,1±0,2 2,6±0,2 2,5±0,2
Aktivitas Ca-ATPase
2,33±0,1 b 2,72±0,2 b 3,07±0,3 a 3,11±0,2 a
(mg Pi/g/menit)
Keterangan: superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
genetik yang terjadi pada penelitian ini diperkuat sebagai indikator protein turnover (siklus tukar
oleh Maeda et al. (1984) dan Hayashi et al. protein) dapat dipertanggung jawabkan karena
(1985) bahwa siklus tukar protein melibatkan laju tidak digunakan kembali untuk membentuk pro-
sintesis (Ks) dan degradasi (Kd) protein yang tein tubuh, tetapi dengan cepat disekresikan keluar
menentukan kecepatan pertumbuhan, berbeda tubuh melalui feces dan/atau urine. Siklus tukar pro-
diantara jenis unggas. Unggas pedaging (boiler) tein pada burung puyuh dapat ditentukan melalui
berbeda dengan petelur (Hayashi et al., 1985) atau ekskresi Nô–MH, sebab menurut Hayashi et al.
dengan unggas lokal, khususnya ayam Kedu (1985) bahwa jumlah Nô–MH yang di ekskresikan
(Suthama, 2006), karena selalu dikontrol oleh oleh puyuh mencapai 90%, nilai ini sama dengan
faktor genetis dengan kemampuan berbeda. Hasil pada tikus dan sapi tetapi lebih tinggi dibandingkan
penelitian sebelumnya sebagai komparasi (Le ayam.
Bihan-Duval, 2004) menunjukkan bahwa terdapat Burung puyuh generasi I dapat dikategorikan
perbedaan nyata kemampuan pertumbuhan (bobot sebagai populasi reguler (RR), karena baru
badan) dan produksi daging (% daging dada) antara pertama kali diseleksi. Secara genetis unggas petelur
2 (dua) genotipe ayam, yaitu populasi komersial harus mempunyai kemampuan untuk mobilisasi Ca
kontrol (tanpa seleksi) dan populasi komersial secara memadai melalui aktivitas Ca-ATPase.
terseleksi. Perbedaan kemampuan pertumbuhan Seleksi pada penelitian ini baru dilakukan sampai
dan produksi daging memberikan arti bahwa seleksi generasi II sehingga perubahan aktivitas Ca-AT-
dapat mengubah aktivitas metabolisme, terutama Pase antara jantan dan betina secara genetis belum
siklus tukar protein melalui sintesis protein, yang terjadi, karena hormon sex tidak mempunyai fungsi
pada akhirnya berdampak bobot badan dan daging. kontrol terhadap Ca-ATPase. Aktivitas Ca-
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya ATPase tidak dipengaruhi oleh hormon seks
bahwa perubahan aspek metabolisme (ekskresi Nô– (Ardiningsasi et al., 1993), tetapi dikontrol oleh
MH dan aktivitas Ca-ATPase) yang lebih jelas faktor genetis yang berhubungan dengan
pada burung puyuh generasi II dapat menunjang pertumbuhan tulang.
seleksi untuk membedakan karateristik produksi Pertumbuhan individu yang baik erat
yaitu bobot badan tinggi (TT) dan bobot badan hubungannya dengan aktivitas ensimatis yang
reguler (RR). Validasi tentang ekskresi Nô–MH berkaitan dengan mobilisasi Ca yaitu Ca-ATPase.
178 Edisi Desember 2007
Vol. 30 No. 3 SELEKSI BURUNG PUYUH
Semakin baik pertumbuhan tulang semakin tinggi II (Tabel 4) konsisten dengan penemuan
pula bobot badan yang dihasilkan, karena tulang Ardiningsasi et al. (1993) pada burung puyuh di
tempat tumbuh daging. Aktivitas Ca-ATPase pada daerah asalnya, Jepang. Aktivitas Ca-ATPase pada
tulang nyata lebih rendah (P<0,05) pada kelompok tulang tibia burung puyuh di daerah asalnya yang
populasi TT dibandingkan RR (Tabel 4). Aktivitas diseleksi berdasarkan bobot badan tinggi (LL)
ensimatis tersebut diperkuat oleh data jumlah nyata lebih rendah dibandingkan kelompok bobot
ekskresi Nô–MH yang tidak banyak berubah badan kecil (SS). Perbedaan tersebut dipengaruhi
dengan laju sintesis protein (Ks) yang nyata lebih oleh lama waktu pelaksanaan seleksi karena makin
tinggi (P<0,05) dan laju degradasi protein sama banyak generasi hasil perkawinan, makin jelas
pada populasi TT. Hasil penemuan ini memberikan terjadinya perubahan aspek metabolisme. Berbeda
arti bahwa semakin rendah aktivitas Ca-ATPase halnya seleksi yang dilakukan pada penelitian ini
menyebabkan terjadinya mobilisasi Ca tulang hanya baru sampai generasi II sehingga perbedaan
semakin lambat (sedikit) dan dapat menjadi media karakteristik produksi maupun aspek metabolisme
bagi pertumbuhan daging yang lebih baik. belum terlalu menyolok. Seleksi burung puyuh untuk
Kelompok TT yang mempunyai aktivitas Ca-AT- daerah tropis, seperti Indonesia, perlu dilakukan
Pase lebih rendah dengan siklus tukar protein lebih dengan tujuan memperoleh bibit yang tahan
cepat (laju sintesis protein/Ks tinggi) sangat terhadap suhu panas secara berkepanjangan (Lin
konsisten dengan tujuan pembentukan galur burung et al., 2006). Unggas yang didera panas
puyuh sebagai penghasil daging. Fenomena ini (hipertemia) dapat menyebabkan kegagalan
sangat didukung oleh penemuan Simon (2004) pertumbuhan tulang karena terjadi perubahan
bahwa peningkatan á-amino nitrogen dan asam urat metabolisme, seperti perubahan protein tubuh (pro-
dalam darah pada ayam merupakan tanda tein pool), yang pada akhirnya berdampak pada
terjadinya degradasi protein tubuh berlebihan. perkembangan otot daging yang tergantung pada
Perubahan bobot badan karena seleksi pertumbuhan tulang (Gonzalez-Esquerra & Leeson,
merupakan akibat dari perubahan ukuran tulang dan 2006).
jaringan lain terutama daging dan/atau organ tubuh.
Seperti telah dijelaskan pada alinea sebelumnya KESIMPULAN
bahwa perubahan ukuran tulang menyebabkan
terjadinya perbedaan pertumbuhan daging (karena Seleksi burung puyuh dari generasi I ke
tulang tempat tumbuh daging) yang akhirnya generasi II mengakibatkan respon seleksi yang
berakibat pada perbedaan bobot badan. berbeda antara kelompok populasi TT dan RR.
Perbedaan pertumbuhan tulang diantara galur Respon seleksi pada kelompok TT lebih besar (nilai
burung puyuh (TT dan RR) disebabkan oleh 3,10% atau 2,74%) dari pada RR (nilai 1,20% atau
perbedaan aktivitas Ca-ATPase yang terlibat dalam 1,13%). Aktivitas metabolisme pada generasi II,
metabolisme Ca dan/atau P tulang. Proses baik laju protein sintesis, yang merupakan bagian
pertumbuhan tulang meliputi mineralisasi dan dari siklus tukar protein (protein turnover), maupun
demineralisasi dalam pembentukan epifisis tulang aktivitas enzim Ca-ATPase pada tulang,
(Spencer, 1989). Ca-ATPase memegang peranan menunjukkan perubahan yang mengarah pada
penting dalam proses mineralisasi (kalsifikasi dan perbedaan spesifikasi produksi. Kelompok
dekalsifikasi) matrik tulang (Stryer, 1988). populasi TT, yang diarahkan sebagai penghasil
Kecenderungan terjadinya perbedaan daging, mempunyai laju sintesis protein lebih tinggi
aktivitas Ca-ATPase antara burung puyuh dengan dan aktivitas Ca-ATPase lebih rendah dibandingkan
bobot badan terseleksi TT dan RR pada generasi populasi RR.
Edisi Desember 2007 179
ARDININGSASI Media Peternakan
UCAPAN TERIMA KASIH meat quality. World’s Poult. Sci. J. 60: 331 –
340.
Lin, H., H.C. Jiao, J. Buyse & E. Decuypere.
Kepada Direktorat Jenderal Pendidikan 2006. Strategies for preventing heat stress in
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional poultry. World’s Poult. Sci. J. 62: 71 – 85.
disampaikan terima kasih karena bantuan dana Maeda, Y., K. Hayashi, S. Toyohara & T.
melalui penelitian Hibah Bersaing XIV sehingga Hashiguchi. 1984. Vriation among chicken
sebagian data dapat dipublikasikan dalam bentuk stock in the fractional rates of muscle protein
synthesis and degradation. Biochem. Genet.
tulisan ilmiah. Terima kasih juga ditujukan kepada 22: 687 – 700.
Dr.Ir. Nyoman Suthama, MSc., Fakultas Maeda, Y., K. Hayashi, T. Hashiguchi & S.
Peternakan UNDIP, atas bantuan dan dukungan Okamoto. 1986. Genetic studies on the
yang sangat berarti, dan kepada Dr. Ir. Luthfi Jauhari muscle protein turnover rate of coturnix quail.
Mahfud, MSc., fakultas yang sama, atas kerja sama Biochem. Genet. 24: 207 – 216.
Moreng, R.E. & J.S. Avens. 1985. Poultry Sci-
yang tidak pernah putus selama penelitian. ence and Production. Reston Publishing Com-
pany, Inc. A Prentia-Hall Company. Reston,
DAFTAR PUSTAKA Virginia.
Pilvadolpirod, S. & J.P. Thaxton. 2000. Model
Ardiningsasi, S.M., Y. Maeda, S. Okamoto & of physiological stress in chicken. 1. Response
T. Hashiguchi. 1993. Comparative studies parameters. Poultry Sci. 79: 363 – 369.
of Ca–ATPase activity in epiphysis of Simon, J. 2004. Effects of daily corticosterone in-
tibiatarsus of quail line selected for body jections upon plasma glucose, insulin, uric acid
weight. Comp. Bichem. Physiol. 105A: 219 – and electrolytes and food intake pattern in the
222. chicken. Diabet. Metab. 10: 211 – 217.
Spencer, E.M. 1989. Endocrinology of bone for-
Cheng, H. & W.M. Muir. 2005. The effects of
mation. In: D.R. Campion, G.J. Hausman &
genetic selection for survivability and produc-
R.J. Martin (Eds). Animal Growth Regula-
tivity on chicken physiological homeostasis. tion. Plenum Press, New York.
World’s Poult. Sci. J. 61: 383 – 397. Stryer, L. 1988. Biochemistry, pp. 890-1004. W.H.
Gonzalez-Esquerra, R. & S. Leeson. 2006. Freeman and Company, New York.
Physiological and metabolic responses of boil- Suthama, N. 2003. Metabolisme protein pada ayam
ers to heat stress-implication for protein and kampung periode pertumbuhan yang diberi
amino acid nutrition. World’s Poult. Sci. J. 62: ransum memakai dedak padi fermentasi. J.
282 – 295. Pengemb. Peternakan Tropis. Special Edition,
Hayashi, K., Y. Tomita, Y. Maeda, Y. Shinagawa, hal. 44 – 48.
K. Inoue & T. Hashizume. 1985. The rate Suthama, N. 2006. Kajian aspek “protein turnover”
of degradation of myofibrillar proteins of skel- tubuh pada ayam Kedu periode pertumbuhan.
etal muscle in broiler and layer chickens esti- Med. Pet. 29: 47 – 53.
mated by Nô–methylhistidine in excreta. Br. Suzuki, D.T., A.J.F. Griffiths, J.H. Miller &
J. Nutr. 54: 157 – 163. R.C. Lewontin. 1989. An Introduction to
Le Bihan-Duval. 2004. Genetic variability within Genetic Analysis. 4th Ed. WH Freeman and
and between breeds of poultry technological Company, New York.
180 Edisi Desember 2007