Tarekat Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari: Telaah Atas Kitab Kanz Al-Ma'Rifah Abdul Hadi
Tarekat Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari: Telaah Atas Kitab Kanz Al-Ma'Rifah Abdul Hadi
1, Januari 2011
ISSN 1412-9507
Abdul Hadi
ABSTRACT
Development of Sufism in the archipelago is one icon in view of the problems connected with
the Sufi. Sufism is the diversity of colour patterns of thought of religious life, while religious
practice to be a representation of the diversity of religious thought to be highly variable and
often decorated with the interview "controversial" a very sharp. In the context of religious
institutions belonging to the tarekat also have a variety of variants, so that a diverse group of
tarekat scattered every where and have the characteristics of each in accordance with religious
discourse and the "religious experience" developer congregation. In fact there are some
"differences" between the executive tarekat in an area with other regions, although with the
same tarekat. Sheikh Muhammad Arsyad Al-Banjary as a prolific writer in various fields
of Islamic sciences, such as Tawheed, Fiqh and Sufism. Among his works is the Kanz al-
patterned ma'rifah Sufism, but in some discussion related to religious practices and traditions
of the congregation are very close, but the Sammaniyah tarekat who had been brought closer
to the Al-Banjary Arsyad not so visible in Kanz al-Ma 'rifah but Syaziliyah tarekat who
are more visible.
Pendahuluan
Abad-abad pertama Islamisasi Asia Tenggara berbarengan dengan
berkembangannya tasawuf pada abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat.
Abu Hamid al-Ghazali , yang telah menguraikan konsep moderat tasawuf
akhlaqi, yang dapat diterima dikalangan fuqaha, wafat pada tahun 1111 H, Ibn
al-„Arabi, yang karyanya sangat mempengaruhi ajaran hampir semua sufi yang
muncul berikutnya, wafat pada tahun 1240 H. „Abdul Qadir al-Jilani, yang
ajarannya menjadi dasar Tarekat Qadiriyah, wafat tahun 1166 dan Abu al-
Najib al-Suhrawardi yang darinya didirikan tarekat Suhrawardiyah. Bertebaran
Dosen tetap Jurusan Tarbiyah STAI Darussalam Martapura.
104 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011
1Martin Van Bruinessen, Tarikat dan Politik: Amalan Untuk Dunia dan Akhirat, Pesantren
Vol.IX, No.1, h. 3-4 (dalam Buku ini hal 330)
ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 105
2Muhammad Nafis al-Banjari, Al-Dur al-Nafis, fi Bayan Wahdat al-Af‟al wa al-Asma‟ wa al-
sedangkan dalam tulisan beliau itu tidak sampai kepada pengucapan “Hu” tetapi hanya sampai
kepada هللاdan hal ini kalau dilihat tampaknya lebih dekat dengan Tarikat Syazaliyyah.
106 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011
ada tiga hal yang harus dilalui, yaitu: 1). Mengenal asal kejadiannnya ialah dari
Nur Muhammad; 2). Mematikan dirinya sebelum ia mati; dan 3). Memfanakan
diri di dalam Qudrat Allah, Iradat Allah dan Ilmu Allah.4
Syeikh Muhammad Arsyada al-Banjari tampaknya juga menganut faham
Nur Muhammad, menurut beliau bahwa asal kejadian makhluk ini berasal dari
Nur Muhammad, meskipun banyak kalangan yang menentang begitu keras
tentang konsep ini, terutama kelompok Muhadditsin dan ulama yang rasional
dan menempatkan pemahaman yang bersifat detail mengenai berbagai ajaran
agama terutama jika didudukkan dalam konteks penegasan dan pemahaman
akan dalil agama, tetapi ada sekelompok lainnya yang begitu kuat memegang
konsep ini. mereka lebih dikenal dengan kelompok sufi. Kelompok yang
mendudukkan pemahaman rasional dan dzauqiyah dalam setiap sikap dan
tindakan, lebih-lebih dalam pengalaman keagamaan (religious experience) yang
sangat bervariatif dan subyektif.
Beberapa tulisan yang mendukung dan menentang mengenai adanya
konsep Nur Muhammad. Dalam hal ini penulis akan menampilkan sejumlah
pendapat mengenai hal itu. “Penciptaan Nur Muhammad sebelum kejadian
makhluk suatu pembuktian bahwa Nabi Besar Muhammad saw itu pembawa
rahmat bagi seluruh Alam,” terbitan Bintang Usaha Surabaya, karangan Ustadz
Labib5 Salim Usman dalam buku yang berjudul “Nur Muhammad saw”
diterbitkan M.A. Jaya, Jakarta.6 Dalam buku yang berjudul ”Keagungan Sinar-
sinar (Nur) Muhammad saw rahmatan lil „alamin” Terbit Terang Surabaya,
karya Usadz M.A. Asharie7 Dalam Kitab Simthud Durar karangan Sayyid Quthb
Ali Ibn Muhammad Ibn Husein Al-Habsyi.8
Pada kitab sya‟ir al-Habsy jelas dikatakan dari riwayat Abdurrazak,
namun riwayat Abdurrazak ini dianggap lemah malah maudhu‟ oleh Syeikh „Abd
al-Rauf Syinkiti, guru besar ilmu Tafsir Universitas Islam Madinah. Dalam
buku beliau yang berjudul “Kritik Hadits Nur Muhammad Riwayat Abdurrazak”
yang dialih bahasakan oleh Asywadie Syukur, mengatakan hadits Abdurrazak
ini sama sekali tidak ada dasarnya. Hadits tersebut menurut beliau tidak
4Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Kanz al-Ma‟rifah, alih Bahasa Asywadie Syukur,
(Banjarmasin: 1990), h. 1.
5Labib MZ, Penciptaan Nur Muhammad Sebelum Penciptaan Makhluk, (Surabaya: Bintang
9Abdur Rauf al-Sinkiti, Kritik Atas Hadis Jabir tentang Nur Muhammad, terj. Asywadie
h. 144.
13Yunasril Ali, Membersihkan Tasawuf dari Bid‟ah dan Khurafat, (Jakarta: Pedoman Ilmu
secara lugu yakni berupa hadits-hadits dan dipahami pada umumnya bahwa Nur
Muhammad itu adalah hadts (baru), bukan qadim. Sebenarnya dalam beberapa
literatur disadari bahwa konsep Nur Muhammad itu berasal dari pemikiran
filsafat Neo Platonis.15 Padahal pengaruh al-Ghazali yang anti filsafat sangat
kental pada golongan sunni, tetapi mengapa kepercayaan Nur Muhammad
ini dapat merembes juga? Abdus Samad al-Palimbani mempercayai Nur
Muhammad ini melalui Martabat Tujuh.16 yang nampak agak membingungkan
adalah ar-Raniry mengkafirkan Hamzah Fansuri karena faham-fahamnya yang
berorientasi kepada wahdat al-wujud, padahal sama-sama meyakini adanya Nur
Muhammad.17
Kemudian Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mengemukakan tentang
konsep “Mati sebelum mati".18 Jika seseorang ingin mengenal dirinya secara
sempurna, maka ia harus betul-betul menempatkan dirinya dalam posisi
tersebut. Konsep ini tampaknya mempunyai dua pandangan yang berbeda. Ada
yang melihat konsep ini dalam tataran syariat yang menempatkan konsep mati
sebelum mati itu dengan banyak mengingat mati, artinya pemahaman tentang
hanya berkisar kepada sebuah ajaran yang mengingatkan manusia agar jangan
terlalu tertipu dengan kehidupan dunia yang penuh dengan permainan dan
senda gurau.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari tampaknya dalam kitab Kanz al-
Ma‟rifah tersebut mendudukkan konsep ini tidak hanya dalam tataran syariat
saja tetapi justru lebih memposisikannya dalam tataran sufistik, menurut beliau
“mati sebelum mati‟ adalah memposisikan diri pada af‟alnya Allah semata
dengan mendasarkannya pada konsep Fana‟ dan Baqa‟. Bagaimanapun juga,
apabila seorang sufi bertafakkur atas “segala sesuatu di muka bumi akan rusak,
kecuali wajah Allah (QS. 28: 88) Zat Yang Maha suci dan Maha Agung yang
akan kekal selamanya”, maka ia akan kehilangan minatnya akan segala sesuatu
yang duniawi, dan kemudian terserap ke dalam Tuhan dalam keadaan “mabuk”
(sukr) dan tiada (mahw). Cara terbaik untuk mencapainya adalah membayangkan
diri dalam keadaan mati.19 Kemudian berubah menjadi debu yang tertiup
15Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1960),
h. 314.
16Abdu Samad Al-Palimbani, Syiar al-Salikin …, h. 137.
17Abdul Hadi W.M. Hamzah Fansuri; Risalah Tasawuf dan Puisi-pusisinya, (Bandung: Mizan,
1995), h. 34.
18Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Kanz al-Ma‟rifah …, h. 2.
19Muhammad Abd. Haq Anshari, Merajut Tradisi Syari‟ah dengan Sufisme; Mengkaji
musnah oleh angin lalu, yang mana surga pun punah, dan segala sesuatu akan
tercerai-berai, dan yang di sana hanyalah ilahi.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari menawarkan konsep Fana‟ dan
Baqa‟ secara transparan artinya setiap orang yang sudah mencapai maqam
muqarrabin, maka ia senantiasa memfanakan dirinya di dalam qudrat, iradat dan
ilmu Allah. Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari tidak hanya sebatas
menawarkan konsep Fana‟ itu hanya dalam tataran falsafi semata, akan tetapi
beliau menyetir konsep itu dengan sepotong ayat yang mendudukkan syari‟at
secara jelas. Menurut beliau kita wajib mengikuti amar (perintah) Nabi saw dan
menjauhi segala Nahi (larangan)-Nya, agar masuk kedalam kandungan „Abdullah
(hamba Allah), yakni hamba Allah yang kamil (sempurna) pada sifat
kehambaannya.
Dalam hal ini jelas sekali terlihat bahwa beliau tidak semata
mendudukkan konsep Fana‟ seperti halnya Abu Yazid, tetapi menempatkan
syari‟at secara kokoh sebelum memasuki pemahaman yang lebih mendalam
mengenai ajaran tasawuf khususnya ketika masuk dalam wilayah falsafi.
Menurut Arsyad al-Banjari, setelah posisi kehambaan itu betul-betul
meresap dalam bathinnya, maka hendaklah si salik memantapkan musyahadah
(pandangan) terhadap ke-Esaan Allah, muraqabah (merasa melihat dengan mata
hati kepada Allah) dan muhadharah (hadir) hati selalu mengingat Allah serta
mengucapkan zikrullah. Sambil menghadirkan ingatan akan makna nya di
dalam hati akan ke-Esaan zat-Nya dan selalu berusaha untuk berkhidmat
mentaati-Nya. Menurut beliau sebelum mencapai ini ada tiga hal yang mesti
dipersiapkan/ dimantapkan:
Pertama, Musyahadah, menurut Abdul karim al-Jilli untuk mencapai insan
kamil itu seseorang harus melalui beberapa tahapan di antaranya adalah
musyahadah, yaitu menguatkan kemauannya dalam cinta kepada Allah,
mengingat Allah dan melawan hawa nafsu.20 Musyahadah yang dimaksudkan
adalah menjaga segenap perasaan dan memelihara apa yang dipikirkan atau
ditafakkurkan semata melihat akan wujudnya Allah dan kebesaran-Nya semata
tidak bercampur dengan makhluk lainnya, meskipun makhluk itu berwujud
nyata dan terlihat dalam pandangan zhahir. Akan tetapi hal itu bukan menjadi
tujuan dan perenungan.
20Yunasir Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: PT. Temprint, 19970, h. 146.
110 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011
t.th), h. 45-6.
23Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h. 216.
ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 111
h. 557. Lih Ahmad bin Faris Bin Zakaria, al-Miqyas fi al-Lughat, (Beirut, Dar al-Fikr, 1994),
h. 417.
25Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Kanz …, h. 5.
112 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011
(tingkatan tingkah laku yang sudah mantap) yang semua itu merupakan hasil
kasyaf (tersingkap hijab) yang dikaruniakan Allah kepada hambanya.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mengemukakan konsep Fana‟
hamba kepada dua bagian: 1). Fana‟ hamba kepada semua sifat basyariah
(manusiawinya) disebabkan Fana‟ dalam musyahadahnya kedalam semua sifat
Allah, yang seperti ini dinamakan “Qurbun Nawafil”; 2). Fana‟ hamba pada
semua masiwallah ( selain Allah) dan Kulliyah dirinya, karena fana‟ dalam
musyahadah wujud Allah. Disebabkan fana‟ dalam musyahadahnya terhadap selain
Allah maka fanalah pula pandangannya terhadap dirinya, maka yang seperti ini
dinamakan “Qurbun faraidh”,26 ialah yang menjadi maqam jam‟ul jama'27
(anggapan segala yang terbit dari dirinya semata karunia Allah) karena Fana‟
fillah dan Baqa‟ billah.
Arsyad al-Banjari juga mengemukakan konsep bagaimana cara
menghadapi kematian (sakaratul maut ). Menurut beliau ketika seseorang sedang
menghadapi maka yang mesti dilakukan adalah memusyahadahkan kepada ke-
Esaan Zat Allah swt dan menghadirkan hati untuk selalu ingat kepada Allah,
pada saat itu fanalah diri dari ketergantungan selain Allah dan kecendrungan
untuk mengikuti hawa nafsu, rasa keakuan serta rasa sakitnya sakaratul maut
pada bercerai nyawa dengan tubuh.28 Maka kematian yang demikian berada
dalam Fana‟ fillah dan Baqa‟ billah, sehingga akan memperoleh maqam jam‟ul
jama‟ yaitu amal dan hal (kondisi jiwa yang mantap) seperti halnya “konsep
mati sebelum mati”. Inilah akhir dari sebuah perjalanan dari Nabi Saw dan
semua orang yang arif billah serta orang yang memperoleh ma‟rifah yang
sempurna. Akan tetapi bukannya mati secara fisik tetapi memfana‟kan dirinya di
dalam „af‟al, asma‟ sifat, bahkan dzat-Nya.
29Hasil wawancara dengan KH. Irsyad Zien (Dalam Pagar), tanggal 20 Juni 2002.
114 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011
30Ibnu „Atha‟illah al-Sakandari, Latha‟if al-Minan fi Manaqib al-Syeikh Abi al- „Abbas al-
Marasi wa Syaikhukhu al-Syazali bin al-Hasan, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 164. Lih,
„Ibnu „Atha‟illah, al-Qasdu al-Mujarrad fi Ma‟rifati al-ismi al Mufrad, (Kairo: Jundi, T.th), h. 18-19.
Lih, Ibnu „Athaillah, Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah, (Kairo: Jundi, T.th), h 29-30.
ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 115
31Al-Palimbani, Siar …, h. 37. Lih. Alwi Shihab, Islam Sufistik “Islam Pertama‟ dan
Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2001), h. 186-9.
32Al-Palimbani, Hidayat …, h. 273.
33Tim Penulis Ensklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Indonesia …, h. 842.
34Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984), h. 92. Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Karel di atas, bahwa tarikat
Sammaniyah adalah cabang Tarikat Syaziliyah, Lih. Ahmad al-Santanawi, et.al, Dairat al-Ma‟arif
al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h 182.
116 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011
sama dengan apa yang ada pada tarekat Sammaniyah, yaitu tidak sampai kepada
lafal, la,la, a, a, ah, ah atau hi, hi.
Sedangkan dari pengikut tarekat Sammaniyah di daerah ini (Kalimantan
Selatan) di peroleh keterangan bahwa silsilah Musyidnya sejak Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari yang menerima langsung dari Syeikh
Muhammad al-Samman al-Madani, adalah Syeikh Muhammad Arsyad
al-Banjari mengajarkan kepada Syeikh Syihabuddin, yang mengajarkan kepada
Syeikh Nawawi al-Bantani, yang mengajarkan kepada Syeikh Zainuddin
al-Sumbawi, yang mengajarkan kepada Syeikh K. H. Sarwani Abdan (guru
Bangil), yang kemudian mengajarkan kepada K.H. Muhammad Zaini bin Abdul
Ghani (Guru Sekumpul).
Kenyataan di lapangan menunjukkan bawha lafal zikir yang merupakan
isi dari tarekat Sammaniyah yang ada di Kalimantan Selatan ini tidak sampai
kepada lafal ha, ha, atau hi, hi tetapi hanya sampai kepada lafal huwa/hu saja.
Jika kita mencermati isi dari tarekat Sammaniyah yang dikemukakan oleh
Abd al-Samad al-Palimbani dalam Hidayat al-Salikin, maka terlihat sangat jauh
berbeda dengan apa yang dipraktekkan dan dilaksanakan oleh pengikut tarekat
Sammaniyah yang ada di Kalimantan Selatan, yang silsilah dari Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari, sebab bentuk zikir yang diklaim sebagai ajaran
tarekat Sammaniyah yang ada di Kalimantan Selatan itu berangkat dari lafal
lailaha illa Allah 166 kali, Allah 66 kali, dan hu / huwa 77 kali.
Barangkali di sinilah titik temu antara Tarekat Sammaniyah dan
Khalwatiyah. Akan tetapi jika kita mencermati ungkapan Karel bahwa tarekat
Sammaniyah itu cabang dan Syaziliyah, maka barangkali bisa saja dijadikan
pertimbangan, jika itu dihadapkan pendapat bentuk tarekat Sammaniyah yang
berkembang di Kalimantan Selatan, sebab jelas sekali terjadi kemiripan dari
bentuk lafal-lafal zikir yang diamalkan. Namun jika dilekatkan pada tarekat
Sammaniyah versi Abd al-Samad al-Palimbani yang ada dalam kitab “Hidayatus
Salikin” anggapan Karel jelas sekali tertolak.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang dikatakan sebagai khalifah
tarekat Sammaniyah, tampaknya juga berbeda dalam mengemukakan bentuk-
bentuk lafal-lafal zikir itu. dalam karyanya Kanz al-Ma‟rifah beliau
mengungkapkan bentuk lafal-lafal zikir itu tidak sampai kepada lafal ha,ha dan
hi,hi, tetapi persis seperti apa yang dipraktikkan oleh pengikut tarekat
Sammaniyah di Kalimantan Selatan dan dalam hal ini sangat dekat dengan
tarekat Syaziliyah.
ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 117
Memang dalam kitab Kanz al-Ma‟rifah tidak di klaim bahwa isinya tarekat
Sammaniyah, akan tetapi berangkat dari anggapan bahwa beliau merupakan
khalifah dari tarekat Sammaniyah, maka bisa saja isi dari kitab itu adalah tarekat
Sammaniyah. Namun jika berangkat dari hipotesis Karel di atas, maka Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari dapat dikatakan masih murni dalam
melaksanakan tarekat Syaziliyah. (versi Samaniyah Syaziliyah, bukan
Sammaniyah Khalwatiyah/Sammaniyah Qadiriyah).
Ada hipotesa lain yang barangkali bisa dipertimbangkan, bahwa Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari beliau mempelajari dan mengikuti beberapa
tarekat, maka isi Kanz al-Ma‟rifah itu merupakan ekspresi dirinya ketika
mengamalkan sebuah tarekat (tarekat Syaziliyah), karena secara psikologis
seseorang itu akan sangat dipengaruhi oleh apa yang sedang ia geluti dan
lakukan, sehingga segala bentuk aktivitasnya terlahir dari semua itu.
Ada pertanyaan lain yang tampaknya cukup menarik untuk
dikembangkan, yaitu bentuk tarekat Sammaniyah yang dikembangkan Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari itu masih murni seperti halnya yang beliau
terima dari Syeikh Muhammad Samman al-Madani atau tarekat Sammaniyah
versi Abdus samad al-Palimbani yang terdapat dalam kitab Hidayatus Salikin/
Sairus Salikin itu juga murni seperti halnya apa yang beliau terima dari Syeikh
Muhammad Samman al-Madani. Sebab secara rasional tidak mungkin berbeda
isi dari sebuah tarekat, jika yang menerima berangkat dari guru yang satu.
Barangkali disinilah yang perlu dipertanyakan mengenai keberadaan isi sebuah
tarekat. Apakah dipengaruhi oleh segi sosial dan kepercayaan yang dihadapi
oleh Murabbi Mursyid atau isi sebuah tarekat yang meskipun berangkat dari
guru yang satu. Namun dalam perkembangannya akan sangat dipengaruhi oleh
religious experience (pengalaman keberagamaan) pengembang/murabbi mursyid
berikutnya.
Isi Kanz al-Ma‟rifah yang dikarang oleh Syeikh Muhammad Arsyad al-
Banjari itu jika kita banding dengan berbagai sumber atau literatur, sangat
mendekati kepada tarekat Syaziliyah dan isi tarekat Sammaniyah yang
dikembangkan oleh Syeikh Muhammad Samman al-Madani, menggunakan
silsilah yang dikenal dalam tarekat Khalwatiyah dan lafadz zikir hu, hu itu
berangkali pengaruh dari tarekat Khalwatiyah.
Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diberikan beberapa catatan:
Pertama, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari seorang tokoh/ulama yang
118 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011
Daftar Pustaka
Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, Jakarta, 1966.
Adenan As, M., Risalah Nurul Muqarrabin, Barabai, Penulis. Mido, 1969.
Afifi, A.E., A Myastical Philosophy of Mahyuddin Ibn al-Arabi, diterjemahkan oleh
Sharir Mawi dan Nandi Rahman, Filsafat Mistis Ibn Arabi, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 1989.
Ali, Yunasir, Manusia Citra Ilahi, Jakarta, PT. Temprint, 1997.
--------, Pengantar Ilmu Tashawuf, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
--------, Membersihkan Tasawuf dari Bid‟ah dan Khurafat, Jakarta, Pedoman Ilmu
Jaya, 1992.
Anis, Ibrahim, at.al, al-Mu‟jam al-Wasith, Jilid II, Kairo, Dar al-Fikr, 1972.
Anshari, Muhammad Abd. Haq, Merajut Tradisi Syari‟ah dengan Sufisme; Mengkaji
Gagasan Mujaddid Syeikh Ahmad Sirhindi, Jakarta, Srigunting, 1997.
Arberry, A.J., an Account of the Mystic of Islam, alih bahasa Bambang Herawan,
Pasang Surut Aliran Tasawuf, Bandung, Mizan, 1993.
Arsyad, Muhammad, Fathur Rahman fi Risalat al- Wali al-Ruslan, terj. Asywadie
Syukur, Banjarmasin, t.th.
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1960.
Asyhari, Keagungan Sinar-sinar (Nur) Muhammad SAW, Rahmatan Lil „Alamin,
Surabaya, Terbit Terang, 1997.
ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 119
Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,
1992.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abd al- Karim Hawazin, al-Risalah al-Qusyairiyyah fi-
ilm al-Tashawwuf, Al-Azhar Kairo, Maktabah wa Mathba‟at Muhammad
„Ali Shabih, t.th.
al-Santanawi, Ahmad, et.al, Dairat al-Ma‟arif al-Islamiyah, Beirut, Dar al-Fikr,
t.th.
Shihab, Alwi, Islam Sufistik “Islam Pertama‟ dan Pengaruhnya Hingga Kini di
Indonesia, Bandung, Mizan, 2001.
Siddik, Abdurrahman, Amal Ma‟rifah, Singapura, Mathba‟ah Ahmadiyah, 1929.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta, RajaGrafindo Persada,
1996.
al-Sinkiti, Abdur Rauf, Kritik Atas Hadis Jabir tentang Nur Muhammad, terj.
Asywadie Syukur, t.th.
Steenbrink, Karel, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta,
Bulan Bintang, 1984.
Syukur, H.M. Asywadie, Ilmu Tasawuf I, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1978.
Team Penyusun IAIN Sumut, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan, IAIN Sumut,
1982.
Trimingham, J. Spencer, The Sufi Orders in Islam, London, Oxford, 1971.
Turmudji, Imam, Sunan at-Turmudji, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.
Umar, Salim, Nur Muhammad, Jakarta, M.A. Jaya, 1980.
Yafie, Ali, Syari‟ah Thariqah, Haqiqah dan Ma‟rifah, dalam “Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah”, (Ed) Budhy Munawar Rachman, Jakarta,
Yayasan Wakap Paramadina, 1994.
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya, Bina Ilmu, 1979.