0% found this document useful (0 votes)
83 views18 pages

Tarekat Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari: Telaah Atas Kitab Kanz Al-Ma'Rifah Abdul Hadi

The document summarizes the Sufi order (tarekat) of Sheikh Muhammad Arsyad Al-Banjari based on his book Kanz al-Ma'rifah. It discusses Al-Banjari's views on self-knowledge and mentions that while he was said to follow the Sammaniyyah order, his writings seem to align more with the Shadhili order. It also provides context on the development and spread of Sufism in Southeast Asia and different opinions on the concept of Muhammad's light.

Uploaded by

Fahrudin Makkah
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
83 views18 pages

Tarekat Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari: Telaah Atas Kitab Kanz Al-Ma'Rifah Abdul Hadi

The document summarizes the Sufi order (tarekat) of Sheikh Muhammad Arsyad Al-Banjari based on his book Kanz al-Ma'rifah. It discusses Al-Banjari's views on self-knowledge and mentions that while he was said to follow the Sammaniyyah order, his writings seem to align more with the Shadhili order. It also provides context on the development and spread of Sufism in Southeast Asia and different opinions on the concept of Muhammad's light.

Uploaded by

Fahrudin Makkah
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 18

AL-BANJARI, hlm. 103–120 Vol. 10, No.

1, Januari 2011
ISSN 1412-9507

TAREKAT SYEIKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI:


TELAAH ATAS KITAB KANZ AL-MA'RIFAH

Abdul Hadi

ABSTRACT

Development of Sufism in the archipelago is one icon in view of the problems connected with
the Sufi. Sufism is the diversity of colour patterns of thought of religious life, while religious
practice to be a representation of the diversity of religious thought to be highly variable and
often decorated with the interview "controversial" a very sharp. In the context of religious
institutions belonging to the tarekat also have a variety of variants, so that a diverse group of
tarekat scattered every where and have the characteristics of each in accordance with religious
discourse and the "religious experience" developer congregation. In fact there are some
"differences" between the executive tarekat in an area with other regions, although with the
same tarekat. Sheikh Muhammad Arsyad Al-Banjary as a prolific writer in various fields
of Islamic sciences, such as Tawheed, Fiqh and Sufism. Among his works is the Kanz al-
patterned ma'rifah Sufism, but in some discussion related to religious practices and traditions
of the congregation are very close, but the Sammaniyah tarekat who had been brought closer
to the Al-Banjary Arsyad not so visible in Kanz al-Ma 'rifah but Syaziliyah tarekat who
are more visible.

Kata Kunci: tarekat, religious exsperience, tasawuf.

Pendahuluan
Abad-abad pertama Islamisasi Asia Tenggara berbarengan dengan
berkembangannya tasawuf pada abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat.
Abu Hamid al-Ghazali , yang telah menguraikan konsep moderat tasawuf
akhlaqi, yang dapat diterima dikalangan fuqaha, wafat pada tahun 1111 H, Ibn
al-„Arabi, yang karyanya sangat mempengaruhi ajaran hampir semua sufi yang
muncul berikutnya, wafat pada tahun 1240 H. „Abdul Qadir al-Jilani, yang
ajarannya menjadi dasar Tarekat Qadiriyah, wafat tahun 1166 dan Abu al-
Najib al-Suhrawardi yang darinya didirikan tarekat Suhrawardiyah. Bertebaran


Dosen tetap Jurusan Tarbiyah STAI Darussalam Martapura.
104 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011

tarekat di Indonesia menjadi bentuk tersendiri bagi perkembangan Islam di


wilayah Nusantara.
Sammaniyah, sebagai tarekat baru, mulai menyebar ke-Indonesia pada
penghujung abad ke-18. Tarekat ini yang penamaannya mengacu kepada nama
Syekh Muhammad bin „Abd Al-Karim Al-Samman, merupakan perpaduan
dari metode-metode dan bacaan-bacaan seperti tarekat Khalwatiyah, Qadiriyah,
Naqsabandiyyah dan Syadziliyyah. Tarekat Sammaniyah ini tampaknya tarekat
yang pertama kali mendapat tempat dan pengikut yang besar pada masyarakat
di Nusantara. Tarekat ini sangat merakyat di daerah Sumatera dan Kalimantan
Selatan, dan berperan dalam memerangi penjajah di sana.1 Walaupun Syeikh
Samman pada zamannya cukup terkenal dan mempunyai murid di mana-mana,
pada masa kini kita menemukan pengikut Tarekat Sammaniyah dalam jumlah
berarti hanya di Sudan dan di Indonesia saja.
Dua tokoh yang sangat berperan dalam penyebaran Tarekat Sammaniyah
ke Nusantara adalah dua ahli tasawuf besar paruh kedua abad ke-18.
‟Abd al-Samad al-Palimbani dan Muhammad Nafis al-Banjari. Yang paling
terkenal dan paling produktif sebagai penulis, tentu saja, „Abd Samad
al-Palimbani pengarang dua kitab tasawuf berbahasa melayu yang paling
populer, Hidayat al-Salikin dan Siyar al-Salikin. „Abd Samad masih sempat
berguru kepada Syaikh Samman (wafat di Mekkah 1775). Nafis hanya menulis
satu kitab kecil yang banyak beredar di Kalimantan Selatan, namun isinya
cukup menarik, yaitu Al-Dur al-Nafis Fi Bayan Wahdat al-Af‟al wa al-Asma‟
wa al-Sifat wa al-Dzat al-Taqdisi.
Beberapa ulama lain yang juga disebut telah masuk Tarekat Sammaniyah,
seperti Muhammad Arsyad al-Banjari dan Daud bin „Abdullah al-Fathani
(patani), akan tetapi mereka tidak menulis secara khusus tentang tarekat ini dan
pelajarannya, dan apakah mereka pernah berperan dalam penyebarannya
ke daerah asal mereka.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dikenal sebagai tokoh dalam bidang
Fiqh, hal ini terlihat dengan karya-karyanya, akan tetapi bukan berarti dia tidak
memiliki karya dalam bidang tasawuf. Ada beberapa kitab yang ditulisnya
dalam bidang tasawuf, di antaranya Tuhfah al-Raghibin fi Bayani Haqiqat Iman al-
Mu‟minin Wama Yufsiduhu min Riddati al-Murtadin, Fath al-Rahman dan
tulisannnya dalam hal tarekat yaitu Kanz al-Ma'rifah.

1Martin Van Bruinessen, Tarikat dan Politik: Amalan Untuk Dunia dan Akhirat, Pesantren
Vol.IX, No.1, h. 3-4 (dalam Buku ini hal 330)
ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 105

Memang selama kiprahnya dalam perkembangan keIslaman di daerah


Kalimantan Selatan yang banyak terlihat dalam bidang Fiqh dan pemerintahan,
karena pada saat itu ia menjadi Mufti pada kesultanan Banjar. Oleh karena itu
dalam pemahaman tasawuf ia tidak begitu menjadi sorotan, Disamping itu
ketidak terkenalannya dalam bidang tasawuf karena tulisannya dalam bidang itu
masih berupa manuskrip saja dan hal itu hanya diketahui oleh kalangan tertentu
saja, sedangkan dalam bidang Fiqh sudah dibukukan tulisannya, seperti Sabil al-
Muhtadin li Tafaqquh fi Amr al-Dien, Lain halnya dengan Muhammad Nafis
dengan kitabnya yang berjudul al-Dur al-Nafis, yang berbicara tentang tasawuf
falsafi, sedangkan dalam bidang Fiqh Muhammad Nafis tidak terkenal, karena
karyanya dalam bidang ini tidak ada yang dibukukan.
Muhammad Arsyad al-Banjari dalam beberapa literatur disebutkan
sebagai pengikut tarekat Sammaniyyah sebagaimana halnya Muhammad Nafis
dan Abd Samad al-Palimbani.2 akan tetapi dalam tulisannya tentang hal itu
tampaknya ia tidak mengikuti tarekat tersebut, lihat saja pada tulisannya dalam
kitab Kanz al-Ma'rifah, tetapi dekat dengan Tarekat Syaziliyah.3
Namun demikian dalam tulisannya (Kanz al-Ma'rifah) tersebut
Muhammad Arsyad tidak menyebutkan bahwa yang ditulisnya itu adalah
tarekat Sammaniyah atau Syaziliyah atau gabungan dari kedua tarekat itu, dan
juga beliau tidak memberikan nama terhadap isi tulisan itu, akan tetapi kalau
dicermati isi tulisan itu merupakan rangkaian dari sebuah tarekat, karena ia
memuat aturan-aturan dan rentetan cara berzikir, seperti halnya dalam tarekat
yang lainnya.
Deskripsi Kitab Kanz al-Ma’rifah
Sudah menjadi isu besar dalam perkembangan pemikiran tasawuf bahwa
keberadaan tentang konsep pengenalan diri menjadi tema besar dan hal ini
tampaknya Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari juga menjadikannya sebagai
salah satu pembahasan dalam tasawufnya.
Menurut Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Kanz al-Ma‟rifah
sebelum seseorang ingin menjalani dan memahami dan mengamalkan lebih
jauh tentang konsep tasawuf maka ia harus mengenal dirinya. Menurut beliau

2Muhammad Nafis al-Banjari, Al-Dur al-Nafis, fi Bayan Wahdat al-Af‟al wa al-Asma‟ wa al-

Sifat wa al-Dzat al- Taqdisi.(Sanqafurah; Jeddah, t.th) h. 37.


3Dalam tarikat sammaniyyah pengucapan zikir itu dari lafadz ‫ الاله االهللا‬kemudian ‫ هللا‬lalu ‫ه‬,

sedangkan dalam tulisan beliau itu tidak sampai kepada pengucapan “Hu” tetapi hanya sampai
kepada ‫ هللا‬dan hal ini kalau dilihat tampaknya lebih dekat dengan Tarikat Syazaliyyah.
106 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011

ada tiga hal yang harus dilalui, yaitu: 1). Mengenal asal kejadiannnya ialah dari
Nur Muhammad; 2). Mematikan dirinya sebelum ia mati; dan 3). Memfanakan
diri di dalam Qudrat Allah, Iradat Allah dan Ilmu Allah.4
Syeikh Muhammad Arsyada al-Banjari tampaknya juga menganut faham
Nur Muhammad, menurut beliau bahwa asal kejadian makhluk ini berasal dari
Nur Muhammad, meskipun banyak kalangan yang menentang begitu keras
tentang konsep ini, terutama kelompok Muhadditsin dan ulama yang rasional
dan menempatkan pemahaman yang bersifat detail mengenai berbagai ajaran
agama terutama jika didudukkan dalam konteks penegasan dan pemahaman
akan dalil agama, tetapi ada sekelompok lainnya yang begitu kuat memegang
konsep ini. mereka lebih dikenal dengan kelompok sufi. Kelompok yang
mendudukkan pemahaman rasional dan dzauqiyah dalam setiap sikap dan
tindakan, lebih-lebih dalam pengalaman keagamaan (religious experience) yang
sangat bervariatif dan subyektif.
Beberapa tulisan yang mendukung dan menentang mengenai adanya
konsep Nur Muhammad. Dalam hal ini penulis akan menampilkan sejumlah
pendapat mengenai hal itu. “Penciptaan Nur Muhammad sebelum kejadian
makhluk suatu pembuktian bahwa Nabi Besar Muhammad saw itu pembawa
rahmat bagi seluruh Alam,” terbitan Bintang Usaha Surabaya, karangan Ustadz
Labib5 Salim Usman dalam buku yang berjudul “Nur Muhammad saw”
diterbitkan M.A. Jaya, Jakarta.6 Dalam buku yang berjudul ”Keagungan Sinar-
sinar (Nur) Muhammad saw rahmatan lil „alamin” Terbit Terang Surabaya,
karya Usadz M.A. Asharie7 Dalam Kitab Simthud Durar karangan Sayyid Quthb
Ali Ibn Muhammad Ibn Husein Al-Habsyi.8
Pada kitab sya‟ir al-Habsy jelas dikatakan dari riwayat Abdurrazak,
namun riwayat Abdurrazak ini dianggap lemah malah maudhu‟ oleh Syeikh „Abd
al-Rauf Syinkiti, guru besar ilmu Tafsir Universitas Islam Madinah. Dalam
buku beliau yang berjudul “Kritik Hadits Nur Muhammad Riwayat Abdurrazak”
yang dialih bahasakan oleh Asywadie Syukur, mengatakan hadits Abdurrazak
ini sama sekali tidak ada dasarnya. Hadits tersebut menurut beliau tidak

4Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Kanz al-Ma‟rifah, alih Bahasa Asywadie Syukur,
(Banjarmasin: 1990), h. 1.
5Labib MZ, Penciptaan Nur Muhammad Sebelum Penciptaan Makhluk, (Surabaya: Bintang

Usaha Jaya, t.th), h, 7-10.


6Salim Umar, Nur Muhammad, (Jakarta: M.A. Jaya, 1980), h.10-3.
7Asyhari, Keagungan Sinar-sinar (Nur) Muhammad SAW, Rahmatan Lil „Alamin, (Surabaya:

Terbir terang, 1997), h. 6 –12.


8Al-Habsy, Simthut al-Durar, (Banjarmasin: Hasyim al-Habsy, t.th), h.25-7
ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 107

terdapat di dalam kumpulan hadits shahih (Kutubussitah, juga dalam Musnad


Abdurrazak). Jika hadits ini juga tercantum juga pada catatan, maka ini suatu
bencana yang terbesar terhadap catatan Abdurrazak, sebagai mana
diungkapkan Hafidz Ibnu Hajar. Perawi hadits lain sengaja meninggalkan
hadits itu kerana bertentangan dengan rasio, sunnah yang shahih dan ijma‟
ummat. Telah disepakati oleh para perawi hadits baik yang terdahulu maupun
yang sekarang ini bahwa hadits Abdurrazak itu adalah hadits maudhu‟, hadits
dha‟if dan sanadnya tidak sampai kepada Jabir bin Abdullah. Sebagai bukti
bahwa hadits tersebut adalah dhaif dan maudhu‟, kata beliau juga adalah
bertentangan dengan ayat Alquran, banyak ayat-ayat Alquran yang beliau kutip,
antara lain ar-Rahman ayat 14-15, Fushilat 9-12, Hud 7, al-Anbiya 30, beliau
juga mengemukakan beberapa hadits shahih yang bertentangan dengan hadits
tersebut.9
Hal yang agak aneh adalah bahwa persoalan Nur Muhammad itu berasal
pertama kali adalah konsep dari Al-Hallaj yang cendrung syi‟ah, karena
menurut Hamka ia mempercayai sebagai kepercayaan Ismailiyah yang
menganggap imam sejati adalah imam yang gaib10 dan kedekatan al-Hallaj
dengan Syi‟ah juga diakui Massignon.11
Al-Hallaj menurut Margaret Smith dapat membaca rahasia-rahasia
manusia, juga semacam ilmu laduni.12 Hal ini mungkin saja ada hubungannya
dengan apa yang dikatakan oleh Yunasir Ali bahwa teori Nur Muhammad
sekarang ini berkembang pesat, diajarkan oleh guru-guru tarekat yang punya
kesaktian kebal.13 Menurut Asywadie Syukur bahwa teori Nur Muhammad itu
berasal dari kalangan Syi‟ah. Pendapat beliau tersebut beliau kutip dari
pendapat Abdul Kadir Mahmud dalam bukunya “Falsafah As-shufy” dalam
kalangan Syi‟ah tersebar kepercayaan bahwa Nur Muhammad itu qadim
berlanjut terus menerus melalui nabi-nabi, Imam-imam dan para wali.14 Teori
Nur Muhammad ini masuk menjadi kaidah sunni dan dalam sunni dipahami

9Abdur Rauf al-Sinkiti, Kritik Atas Hadis Jabir tentang Nur Muhammad, terj. Asywadie

Syukur, t.th, h. 2- 27.


10Hamka, Tasawuf Modern …, h. 127.
11Masignon, Lois, Al Halaj, Sang Sufi Syahid, terjemahan Dewi Candraningrum,

(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 200; 141.


12Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996),

h. 144.
13Yunasril Ali, Membersihkan Tasawuf dari Bid‟ah dan Khurafat, (Jakarta: Pedoman Ilmu

Jaya, 1992) h. 99.


14Asywadi Syukur, Ilmu Tasawuf , (Surabaya: Bina Ilmu, 1978), h. 67.
108 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011

secara lugu yakni berupa hadits-hadits dan dipahami pada umumnya bahwa Nur
Muhammad itu adalah hadts (baru), bukan qadim. Sebenarnya dalam beberapa
literatur disadari bahwa konsep Nur Muhammad itu berasal dari pemikiran
filsafat Neo Platonis.15 Padahal pengaruh al-Ghazali yang anti filsafat sangat
kental pada golongan sunni, tetapi mengapa kepercayaan Nur Muhammad
ini dapat merembes juga? Abdus Samad al-Palimbani mempercayai Nur
Muhammad ini melalui Martabat Tujuh.16 yang nampak agak membingungkan
adalah ar-Raniry mengkafirkan Hamzah Fansuri karena faham-fahamnya yang
berorientasi kepada wahdat al-wujud, padahal sama-sama meyakini adanya Nur
Muhammad.17
Kemudian Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mengemukakan tentang
konsep “Mati sebelum mati".18 Jika seseorang ingin mengenal dirinya secara
sempurna, maka ia harus betul-betul menempatkan dirinya dalam posisi
tersebut. Konsep ini tampaknya mempunyai dua pandangan yang berbeda. Ada
yang melihat konsep ini dalam tataran syariat yang menempatkan konsep mati
sebelum mati itu dengan banyak mengingat mati, artinya pemahaman tentang
hanya berkisar kepada sebuah ajaran yang mengingatkan manusia agar jangan
terlalu tertipu dengan kehidupan dunia yang penuh dengan permainan dan
senda gurau.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari tampaknya dalam kitab Kanz al-
Ma‟rifah tersebut mendudukkan konsep ini tidak hanya dalam tataran syariat
saja tetapi justru lebih memposisikannya dalam tataran sufistik, menurut beliau
“mati sebelum mati‟ adalah memposisikan diri pada af‟alnya Allah semata
dengan mendasarkannya pada konsep Fana‟ dan Baqa‟. Bagaimanapun juga,
apabila seorang sufi bertafakkur atas “segala sesuatu di muka bumi akan rusak,
kecuali wajah Allah (QS. 28: 88) Zat Yang Maha suci dan Maha Agung yang
akan kekal selamanya”, maka ia akan kehilangan minatnya akan segala sesuatu
yang duniawi, dan kemudian terserap ke dalam Tuhan dalam keadaan “mabuk”
(sukr) dan tiada (mahw). Cara terbaik untuk mencapainya adalah membayangkan
diri dalam keadaan mati.19 Kemudian berubah menjadi debu yang tertiup

15Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1960),
h. 314.
16Abdu Samad Al-Palimbani, Syiar al-Salikin …, h. 137.
17Abdul Hadi W.M. Hamzah Fansuri; Risalah Tasawuf dan Puisi-pusisinya, (Bandung: Mizan,
1995), h. 34.
18Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Kanz al-Ma‟rifah …, h. 2.
19Muhammad Abd. Haq Anshari, Merajut Tradisi Syari‟ah dengan Sufisme; Mengkaji

Gagasan Mujaddid Syeikh Ahmad Sirhindi, ( Jakarta: Srigunting, 1997), h. 51


ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 109

musnah oleh angin lalu, yang mana surga pun punah, dan segala sesuatu akan
tercerai-berai, dan yang di sana hanyalah ilahi.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari menawarkan konsep Fana‟ dan
Baqa‟ secara transparan artinya setiap orang yang sudah mencapai maqam
muqarrabin, maka ia senantiasa memfanakan dirinya di dalam qudrat, iradat dan
ilmu Allah. Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari tidak hanya sebatas
menawarkan konsep Fana‟ itu hanya dalam tataran falsafi semata, akan tetapi
beliau menyetir konsep itu dengan sepotong ayat yang mendudukkan syari‟at
secara jelas. Menurut beliau kita wajib mengikuti amar (perintah) Nabi saw dan
menjauhi segala Nahi (larangan)-Nya, agar masuk kedalam kandungan „Abdullah
(hamba Allah), yakni hamba Allah yang kamil (sempurna) pada sifat
kehambaannya.
Dalam hal ini jelas sekali terlihat bahwa beliau tidak semata
mendudukkan konsep Fana‟ seperti halnya Abu Yazid, tetapi menempatkan
syari‟at secara kokoh sebelum memasuki pemahaman yang lebih mendalam
mengenai ajaran tasawuf khususnya ketika masuk dalam wilayah falsafi.
Menurut Arsyad al-Banjari, setelah posisi kehambaan itu betul-betul
meresap dalam bathinnya, maka hendaklah si salik memantapkan musyahadah
(pandangan) terhadap ke-Esaan Allah, muraqabah (merasa melihat dengan mata
hati kepada Allah) dan muhadharah (hadir) hati selalu mengingat Allah serta
mengucapkan zikrullah. Sambil menghadirkan ingatan akan makna nya di
dalam hati akan ke-Esaan zat-Nya dan selalu berusaha untuk berkhidmat
mentaati-Nya. Menurut beliau sebelum mencapai ini ada tiga hal yang mesti
dipersiapkan/ dimantapkan:
Pertama, Musyahadah, menurut Abdul karim al-Jilli untuk mencapai insan
kamil itu seseorang harus melalui beberapa tahapan di antaranya adalah
musyahadah, yaitu menguatkan kemauannya dalam cinta kepada Allah,
mengingat Allah dan melawan hawa nafsu.20 Musyahadah yang dimaksudkan
adalah menjaga segenap perasaan dan memelihara apa yang dipikirkan atau
ditafakkurkan semata melihat akan wujudnya Allah dan kebesaran-Nya semata
tidak bercampur dengan makhluk lainnya, meskipun makhluk itu berwujud
nyata dan terlihat dalam pandangan zhahir. Akan tetapi hal itu bukan menjadi
tujuan dan perenungan.

20Yunasir Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta: PT. Temprint, 19970, h. 146.
110 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011

Kedua, Muraqabah, kata muraqabah sendiri mustaq dari raqib


diterjemahkan sebagai – menjaga, mengawal, mengawasi.21 Menurut Arsyad al-
Banjari konsep muraqabah ini seperti halnya pengertian ihsan, yang diartikan
bahwa dalam segala amal itu (ibadah) seolah-olah melihat Allah hadir di depan
kita, dan jika tidak mampu demikian maka nyatakan bahwa Allah yang melihat
kita.22 Ketika mendudukan Allah melihat kita, maka disitulah letak muraqabah
yang sebenarnya. Menurut Mustafa Zahri menulik pendapat al-Hasani yang
menjelaskan bahwa untuk meningkatkan muraqabah tersebut yaitu dengan;
Muraqabat al-Qalbi, maksudnya kewaspadaan dan peringatan kepada hati agar
tidak keluar dari kehadiran Allah, kemudian muraqabat al-Ruhi, maksudnya
kewaspadaan dan peringatan terhadap ruh, dan yang terakhir, muaraqabat al-
Sirri, yaitu keawaspadaan dan peringatan terhadap sirr (bagain yang terkecil dari
ruh).23
Ketiga, Muhadharah (hadir hati selalu mengingat akan Allah). Di sinilah
seolah-olah menjadi tolak ukur bagi setiap salik ketika menjalani sebuah ibadat
atau tarekat yaitu bagaimana mampu mendekatkan dan menghadirkan diri
untuk selalu ingat kepada Allah, tentunya dengan melalui tahapan di atas, yaitu
musyahadah dan muraqabah.
Dengan demikian, nyatalah ketika seseorang telah menjalankan syariat
secara mantap, maka semakin begitu berarti jika diisi dengan nuansa ketiga hal
di atas, dan hal itu menurut Arsyad al-Banjari merupakan sesuatu yang mutlak
dilakukan karena jika tanpa itu, maka akan terasa kering ibadah yang dilakukan
itu. Sebagaimana sebuah tarekat yang biasa melakukan kegiatan ibadah dengan
melalui bacaan-bacaan yang berupa zikir atapun shalawat, tasbih dan juga do‟a-
do‟a, maka di sana juga diletakkan tata aturan yang menjadi acuan dalam
melakukakan kegiatan tersebut. Dalam hal ini Muhammad Arsyad,
mengemukakan beberapa urutan dan persiapan yang dilakukan bagi seorang
salik dalam melakukan ibadah.
Menurut Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari ketika hendak melakukan
zikir lebih dahulu mandi, bersuci dari kotoran lahir, mengambil wudhu dan

21Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: Perantren Krapyak, 1985),


h. 557. Lih Ahmad bin Faris Bin Zakaria, al-Miqyas fi al-Lughat, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994),
h. 417.
22Abu Zakaria, Yahya bin Syaraf al-Nawawie, Riyadh al-Shalihin, (Bandung: al-Ma‟arif,

t.th), h. 45-6.
23Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h. 216.
ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 111

membersihkan bathin dengan banyak-banyak mengucapkan istigfar,24 yaitu


meminta ampun kepada Allah. Sebelum memulai zikir memakai pakaian yang
berwarna putih bersih, memilih tempat yang sepi (khalwat). Kemudian
mengerjakan sembahyang sunat dua rakaat sambil memohon taufiq dan
hidayah dari Allah. Kemudian duduk bersila dengan cara yang sopan,
merendahkan diri kepada-Nya, menghadap kiblat meletakkan kedua telapak
tangan di atas lutut sambil mengucap lâ ilâha illa Allâh
Serta menghadirkan makna di dalam hati disertai dengan I‟tikad
(keyakinan) yang kuat bahwa wujudku dan seluruh alam ini wujudnya bukan
wujud hakiki. Pada saat lidah menuturkan kalimat lâ ilâha illa Allâh dengan mata
dipejamkan dan hati mengingat maksud yang terkandung dalam kalimat tauhid,
sampai masuk ke dalam hati dan`menyatu dengan rasa bahwa hanya Allah yang
mempunyai wujud hakiki, dan hal ini dilakukan berkali-kali.
Sesudah sebutan ini mantap dan tinggalkan kalimat nafi dan isbath dan
diganti dengan zikir: Allâh, Allâh, Allâh dan maknanya diresapkan di dalam
hati. Zikir yang seperti ini selalu dibiasakan sehingga menjadi kebiasaan baik
pada waktu bangun ataupun pada waktu tidur, baik pada waktu duduk maupun
pada waktu berdiri, baik pada waktu berkata-kata maupun pada waktu berjalan,
sehingga setiap napas yang dikeluarkan dan masuk diisi dengan zikir kalimat at-
tauhid.25
Pada saat menyebut kata “hu” pada akhir kalimat at-tauhid. Dipanjangkan
sambil merasakan rasa dirinya lenyap dalam pandangan bathinnya dan dengan
demikian lenyap pula ingatannya kepada ma siwallah (segala yang lain dari Allah)
dan kulliyah dirinya, karena berada di dalam ke-Esaan Zat Allah yang wajib
al-wujud dengan cara yang seperti itu semoga memperoleh jazbah (tarikan) Allah.
Orang yang seperti yang diterangkan tadi telah sampai kepada tingkat
tahayyuran (kebingungan) dan Fana‟ ingatannya dari ma siwallah dan keluar
dirinya, karena Fana‟ pandangannya terhadap Fana‟ ma Siwallah, pada pula
pandangannya terhadap dirinya karena tenggelam dalam tajalli Nur Jamal
(kecantikan) Allah dan Jalal (kebesaran-Nya) pada hamba. Tidak akan terjadi
lupa dan fana‟ seperti yang disebutkan tadi melainkan melalui jazbah Allah.
Inilah perolehan jiwa yang paling utama, wali dari segala keramat dan maqamat

24Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: Perantren Krapyak, 1985),

h. 557. Lih Ahmad bin Faris Bin Zakaria, al-Miqyas fi al-Lughat, (Beirut, Dar al-Fikr, 1994),
h. 417.
25Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Kanz …, h. 5.
112 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011

(tingkatan tingkah laku yang sudah mantap) yang semua itu merupakan hasil
kasyaf (tersingkap hijab) yang dikaruniakan Allah kepada hambanya.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari mengemukakan konsep Fana‟
hamba kepada dua bagian: 1). Fana‟ hamba kepada semua sifat basyariah
(manusiawinya) disebabkan Fana‟ dalam musyahadahnya kedalam semua sifat
Allah, yang seperti ini dinamakan “Qurbun Nawafil”; 2). Fana‟ hamba pada
semua masiwallah ( selain Allah) dan Kulliyah dirinya, karena fana‟ dalam
musyahadah wujud Allah. Disebabkan fana‟ dalam musyahadahnya terhadap selain
Allah maka fanalah pula pandangannya terhadap dirinya, maka yang seperti ini
dinamakan “Qurbun faraidh”,26 ialah yang menjadi maqam jam‟ul jama'27
(anggapan segala yang terbit dari dirinya semata karunia Allah) karena Fana‟
fillah dan Baqa‟ billah.
Arsyad al-Banjari juga mengemukakan konsep bagaimana cara
menghadapi kematian (sakaratul maut ). Menurut beliau ketika seseorang sedang
menghadapi maka yang mesti dilakukan adalah memusyahadahkan kepada ke-
Esaan Zat Allah swt dan menghadirkan hati untuk selalu ingat kepada Allah,
pada saat itu fanalah diri dari ketergantungan selain Allah dan kecendrungan
untuk mengikuti hawa nafsu, rasa keakuan serta rasa sakitnya sakaratul maut
pada bercerai nyawa dengan tubuh.28 Maka kematian yang demikian berada
dalam Fana‟ fillah dan Baqa‟ billah, sehingga akan memperoleh maqam jam‟ul
jama‟ yaitu amal dan hal (kondisi jiwa yang mantap) seperti halnya “konsep
mati sebelum mati”. Inilah akhir dari sebuah perjalanan dari Nabi Saw dan
semua orang yang arif billah serta orang yang memperoleh ma‟rifah yang
sempurna. Akan tetapi bukannya mati secara fisik tetapi memfana‟kan dirinya di
dalam „af‟al, asma‟ sifat, bahkan dzat-Nya.

26Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Kanz …, h. 4.


27Kebanyakan dari tokoh-tokoh Tasawuf dalam beberapa tulisan dan kitab mereka
membagi tentang tingkatan dalam pemahaman sufistik itu kepada tiga, yaitu; „Awam, Khawwas
dan Khawwas al-khawwas. Lih. Al-Ghazali, Ihya „Ulum al-Dien, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz
IV, h. 368. Sedangkan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari membagi maqam itu tidak kepada
tiga bentuk di atas tetapi maqam farq yaitu manakala seorang salik telah memperoleh salah satu
dari ketiga macama tauhid (tauhid Zat, Sifat dan „af‟al). maqam jama‟ yaitu setelah ketiga macam
tauhid itu sudah dijalankan secara kontinue dan dipraktekkan secara baik maka naiklah salik
kepada maqam kedua ini ( Maqam jama),sedangkan maqam jam‟ul jama‟.yaitu maqam orang
yang betul-betul arif billah martabah orang yang siddiq pada maqam ini betul-betul jazam
keyakinan hanya kepada Allah semata. Muhammad Arsyad, Fathur Rahman fi Risalat al- Wali al-
Ruslan, terj. Asywadie Syukur, (Banjarmasin: t.th), h. 4.
28Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, Kanz …, h. 5.
ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 113

Kanz al-Ma’rifah dalam Perbandingan


Sosok Arsyad al-Banjari memang sepertinya mempunyai kemampuan
mufti dimensi dalam berbagai bidang keagamaan, meskipun ia lebih dikenal
dengan tokoh Fiqh-nya sebab Sabilal Muhtadin li Tafaqquh fi al-Dien, yang
dikarang beliau telah menyebar keberbagai wilayah, bahkan lintas negara,
sedangkan dalam bidang-bidang lain tidak begitu muncul. Barangkali hal ini
karena masih sedikitnya karya-karya beliau yang dipublikasikan oleh beberapa
kalangan. Bahkan sampai sekarang tampaknya hanya dua bidang saja yang telah
sampai kepada masyarakat umum yaitu kitab yang berbicara masalah Fiqh dan
tauhid saja, sedangkan dalam bidang-bidang lain tidak ada, pada ada beberapa
karya beliau yang masih di simpan oleh keturunan beliau, di antaranya kitab
Kanz al-Ma‟rifah yang berbicara tentang tarekat dan tasawuf.
Dalam masalah tasawuf khususnya masalah tarekat memang dalam
beberapa tulisan disebutkan beliau dibimbing langsung oleh Syekh Samman al-
Madani langsung dengan tarekat Sammaniyahnya. Sehingga oleh Martin
disebutkan bahwa Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah khalifahnya
tarekat Sammaniyah. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi, bahwa Arsyad al-
Banjari tidak hanya menganut satu tarekat saja, tetapi banyak tarekat yang
beliau amalkan, hal ini dikemukakan oleh KH. Irsyad Zien.29 salah seorang
keturunan Syeikh Arsyad yang sampai sekarang aktif mengumpulkan dan
menulis kembali karya-karya Arsyad al-Banjari. Hal ini terlihat dari beberapa
sanad tarekat yang ada seperti halnya Syaziliyah, Khalwatiyah dan lain-lain.
Meskipun demikian dalam konteks sejarah yang terlihat secara realitas
bahwa beliau merupakan penerus tarekat Sammaniyah yang sekarang
dikembangkan oleh K.H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru
Sekumpul) dengan puluhan ribu pengikutnya, tersebar diberbagai penjuru kota
dan desa khususnya di Kalimantan. Akan tetapi dalam karya beliau Kanz al-
Ma‟rifah tidak terlihat secara jelas beliau itu penganut tarekat Sammaniyah,
karena terdapat beberapa perbedaan yang begitu nampak di sana.
Memang secara umum isi kitab Kanz al-Ma‟rifah itu memuat beberapa
aturan dan persiapan yang lazim dilakukan oleh seorang penganut tarekat
secara umum, di antaranya dikemukakan tentang konsep mengenal diri, hal ini
dimaksudkan agar mempersiapkan seorang salik dalam menjalani segala bentuk
peribadatan dan kegiatan yang dilakukan ketika mengamalkan dari tarekat itu.

29Hasil wawancara dengan KH. Irsyad Zien (Dalam Pagar), tanggal 20 Juni 2002.
114 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011

Beliau juga mengemukakan tentang kedudukan syari‟at, amal dan wahyu.


Menurut beliau syari‟at merupakan pondasi pertama yang dalam melakukan
kegiatan yang lebih mendalam, terutama masalah penggodokan hati. Tidak
akan berhasil seseorang dalam melakukan berbagai amaliyah bathin manakala
dalam tataran syari‟at tidak tepat (belum sempurna). Oleh karena itu, beliau
menempatkan syari‟at dalam tataran yang penting guna mendudukan persoalan
yang lebih mendalam mennganai bentuk-bentuk ajaran agama lainnya.
Setelah syari‟at berjalan, maka usaha untuk memberi isi terhadap semua
itu, dengan melakukan musyahadah, yaitu; melakukan penyaksian atas segala
perbuatan dengan mengembalikan semua itu kepada pencipta/Allah swt tidak
kepada makhluk, hal ini dimaksudkan karena banyak manusia yang tertipu
dengan simbul, kelebihan dan hal-hal yang mengarah kepada dunia.
Beliau juga mengemukakan tentang muraqabah, yaitu; begaimana seorang
hamba harus berusaha sedekat mungkin dekat dengan Allah, apakah dengan
melalui ibadah ritual ataukah melalui ibadah secara umum, atau menjalani
maqamat secara teratur dengan berdasarkan bimbingan seorang murabbi mursyid.
Juga membahas tentang ma‟rifah, yaitu; mengenal Allah secara ijmali dan tafsili,
sehingga siapa yang disembah itu betul-betul dikenal, sebab orang hanya tahu
bahwa Allah itu pencipta, Esa, tetapi tidak mengetahui secara rinci tentang
Allah itu. Dalam konteks tarekat seseorang yang betul-betul terjun kedalam
kegiatan-kegiatan dan peribadatan tarekat harus betul-betul ma‟rifah kepada
Allah, sebab penghayatan terhadap bacaan atau wirid-wirid itu sangat dituntut.
Setelah sejumlah persiapan itu dilakukan, maka beliau menampilkan
zikir-zikir, serta beberapa aturannya sebagimana layaknya tarekat. Sebab dalam
kitab Kanz al-Ma‟rifah itu tidak disebutkan bahwa kitab ini adalah rincian dari
amalan-amalan tarekat. Akan tetapi semua bentuk bacaan dan tata aturannya
sama dengan apa yang ada dalam tarekat.
Di dalam tarekat Syaziliyah dikenal beberapa lafal zikir yang menjadi
wirid bagi pengikut dan pengamal tarekat tersebut. Di antara zikir-zikir itu
adalah la ilaha illa Allah kemudian Allah-Allah. Dan huwa / hu‟.30 Lain halnya
dengan dzikir dalam tarekat Sammaniyah. Dalam tarekat Sammaniyah sebelum
melakukan zikir itu, ada beberapa aturan yang mesti dijalankan, yaitu: 1).
Duduk bersila menghadap kiblat; 2). Meletakkan kedua tangannya di atas kedua

30Ibnu „Atha‟illah al-Sakandari, Latha‟if al-Minan fi Manaqib al-Syeikh Abi al- „Abbas al-

Marasi wa Syaikhukhu al-Syazali bin al-Hasan, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 164. Lih,
„Ibnu „Atha‟illah, al-Qasdu al-Mujarrad fi Ma‟rifati al-ismi al Mufrad, (Kairo: Jundi, T.th), h. 18-19.
Lih, Ibnu „Athaillah, Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah, (Kairo: Jundi, T.th), h 29-30.
ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 115

lututnya; 3). Menundukkan kepala; 4). Pendangan diarahkan kepada pusat


(posisi perut); 5). Menarik nafas dengan meyakinkan akan ism dzat (Allah); 6).
Memejamkan mata dan menahan nafas sekuasanya; dan 7). Kemudian
melepaskan nafasnya. (mengiringinya dengan lafaz Allah).31
Sedangkan lafal zikirnya adalah dari kalimat thaibah la ilaha illa Allah,
kemudian Allah, Allah, kemudian huwa, huwa, atau hu‟hu kemudian la, la, la
kemudian a, a, a, kemudian ah, ah, ah atau ha, ha, ha atau hi, hi, hi, dengan
suara nyaring.32 Dalam perkembangannya sebagai ciri khas dari tarekat
Sammaniyah itu dalam pelafalan bentuk zikir-zikirnya dengan “terbang atau
rebana”. Akan tetapi ternyata dalam perkembangan tarekat ini sangat
berpengaruhi terhadap budaya yang ada pada suatu daerah, seperti hal di Aceh
pengaruh zikir dan gerakan-gerakan dalam melakukan zikir membentuk model
kesenian Aceh, seperti Seudati yang tadinya merupakan gerakan tubuh pada
saat berzikir, lebih terkenal lagi seperti tarian Meusaman yang dahulunya
gerakan pada saat membaca Ratib Saman yang diganti dengan sya‟ir bahasa
Aceh dan juga syi‟ir percintaan seperti dalam tarian Seudati Inong.33
Tarekat Sammaniyah berisi zikir kepada Allah yang dilaksanakan setiap
malam Jum‟at dimesjid dan dilakukan bersama-sama sampai jauh malam, zikir
itu diucapkan dengan suara yang keras diiringi dengan bunyi-bunyian dibawah
bimbingan seorang guru tarekat.
Bentuk zikir dalam tarekat Sammaniyah, tampaknya juga dipengaruhi
oleh bentuk lafal zikir yang ada dalam tarekat Khalwatiyah, karena bentuk
zikirnya, yang sampai kepada lafal “hu”, memang dalam kitab Siar al-Salikin,
penulis (mushanif) sering memakai istilah Khalwatiyah Sammaniyah dan
Khalwatiyah Qadiriyah. Meskipun Karel Steinbrink menyebutkan bahwa
tarekat Sammaniyah itu adalah cabang tarekat Sayziliyah.34 Namun apakah
tarekat Syaziliyah itu masih “murni” atau versi Sammaniyah saja. sebab pada
umumnya tarekat Sammaniyah sampai saat itu dianggap sebagai tarekat yang
berdiri sendiri, dan tidak bercampur dengan Syaziliyah. Akan tetapi ungkapan
Karel ini perlu dipertanyakan sebab lafal zikir pada tarekat Syaziliyah itu tidak

31Al-Palimbani, Siar …, h. 37. Lih. Alwi Shihab, Islam Sufistik “Islam Pertama‟ dan
Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2001), h. 186-9.
32Al-Palimbani, Hidayat …, h. 273.
33Tim Penulis Ensklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Indonesia …, h. 842.
34Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1984), h. 92. Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Karel di atas, bahwa tarikat
Sammaniyah adalah cabang Tarikat Syaziliyah, Lih. Ahmad al-Santanawi, et.al, Dairat al-Ma‟arif
al-Islamiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h 182.
116 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011

sama dengan apa yang ada pada tarekat Sammaniyah, yaitu tidak sampai kepada
lafal, la,la, a, a, ah, ah atau hi, hi.
Sedangkan dari pengikut tarekat Sammaniyah di daerah ini (Kalimantan
Selatan) di peroleh keterangan bahwa silsilah Musyidnya sejak Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari yang menerima langsung dari Syeikh
Muhammad al-Samman al-Madani, adalah Syeikh Muhammad Arsyad
al-Banjari mengajarkan kepada Syeikh Syihabuddin, yang mengajarkan kepada
Syeikh Nawawi al-Bantani, yang mengajarkan kepada Syeikh Zainuddin
al-Sumbawi, yang mengajarkan kepada Syeikh K. H. Sarwani Abdan (guru
Bangil), yang kemudian mengajarkan kepada K.H. Muhammad Zaini bin Abdul
Ghani (Guru Sekumpul).
Kenyataan di lapangan menunjukkan bawha lafal zikir yang merupakan
isi dari tarekat Sammaniyah yang ada di Kalimantan Selatan ini tidak sampai
kepada lafal ha, ha, atau hi, hi tetapi hanya sampai kepada lafal huwa/hu saja.
Jika kita mencermati isi dari tarekat Sammaniyah yang dikemukakan oleh
Abd al-Samad al-Palimbani dalam Hidayat al-Salikin, maka terlihat sangat jauh
berbeda dengan apa yang dipraktekkan dan dilaksanakan oleh pengikut tarekat
Sammaniyah yang ada di Kalimantan Selatan, yang silsilah dari Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari, sebab bentuk zikir yang diklaim sebagai ajaran
tarekat Sammaniyah yang ada di Kalimantan Selatan itu berangkat dari lafal
lailaha illa Allah 166 kali, Allah 66 kali, dan hu / huwa 77 kali.
Barangkali di sinilah titik temu antara Tarekat Sammaniyah dan
Khalwatiyah. Akan tetapi jika kita mencermati ungkapan Karel bahwa tarekat
Sammaniyah itu cabang dan Syaziliyah, maka barangkali bisa saja dijadikan
pertimbangan, jika itu dihadapkan pendapat bentuk tarekat Sammaniyah yang
berkembang di Kalimantan Selatan, sebab jelas sekali terjadi kemiripan dari
bentuk lafal-lafal zikir yang diamalkan. Namun jika dilekatkan pada tarekat
Sammaniyah versi Abd al-Samad al-Palimbani yang ada dalam kitab “Hidayatus
Salikin” anggapan Karel jelas sekali tertolak.
Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang dikatakan sebagai khalifah
tarekat Sammaniyah, tampaknya juga berbeda dalam mengemukakan bentuk-
bentuk lafal-lafal zikir itu. dalam karyanya Kanz al-Ma‟rifah beliau
mengungkapkan bentuk lafal-lafal zikir itu tidak sampai kepada lafal ha,ha dan
hi,hi, tetapi persis seperti apa yang dipraktikkan oleh pengikut tarekat
Sammaniyah di Kalimantan Selatan dan dalam hal ini sangat dekat dengan
tarekat Syaziliyah.
ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 117

Memang dalam kitab Kanz al-Ma‟rifah tidak di klaim bahwa isinya tarekat
Sammaniyah, akan tetapi berangkat dari anggapan bahwa beliau merupakan
khalifah dari tarekat Sammaniyah, maka bisa saja isi dari kitab itu adalah tarekat
Sammaniyah. Namun jika berangkat dari hipotesis Karel di atas, maka Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari dapat dikatakan masih murni dalam
melaksanakan tarekat Syaziliyah. (versi Samaniyah Syaziliyah, bukan
Sammaniyah Khalwatiyah/Sammaniyah Qadiriyah).
Ada hipotesa lain yang barangkali bisa dipertimbangkan, bahwa Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari beliau mempelajari dan mengikuti beberapa
tarekat, maka isi Kanz al-Ma‟rifah itu merupakan ekspresi dirinya ketika
mengamalkan sebuah tarekat (tarekat Syaziliyah), karena secara psikologis
seseorang itu akan sangat dipengaruhi oleh apa yang sedang ia geluti dan
lakukan, sehingga segala bentuk aktivitasnya terlahir dari semua itu.
Ada pertanyaan lain yang tampaknya cukup menarik untuk
dikembangkan, yaitu bentuk tarekat Sammaniyah yang dikembangkan Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari itu masih murni seperti halnya yang beliau
terima dari Syeikh Muhammad Samman al-Madani atau tarekat Sammaniyah
versi Abdus samad al-Palimbani yang terdapat dalam kitab Hidayatus Salikin/
Sairus Salikin itu juga murni seperti halnya apa yang beliau terima dari Syeikh
Muhammad Samman al-Madani. Sebab secara rasional tidak mungkin berbeda
isi dari sebuah tarekat, jika yang menerima berangkat dari guru yang satu.
Barangkali disinilah yang perlu dipertanyakan mengenai keberadaan isi sebuah
tarekat. Apakah dipengaruhi oleh segi sosial dan kepercayaan yang dihadapi
oleh Murabbi Mursyid atau isi sebuah tarekat yang meskipun berangkat dari
guru yang satu. Namun dalam perkembangannya akan sangat dipengaruhi oleh
religious experience (pengalaman keberagamaan) pengembang/murabbi mursyid
berikutnya.
Isi Kanz al-Ma‟rifah yang dikarang oleh Syeikh Muhammad Arsyad al-
Banjari itu jika kita banding dengan berbagai sumber atau literatur, sangat
mendekati kepada tarekat Syaziliyah dan isi tarekat Sammaniyah yang
dikembangkan oleh Syeikh Muhammad Samman al-Madani, menggunakan
silsilah yang dikenal dalam tarekat Khalwatiyah dan lafadz zikir hu, hu itu
berangkali pengaruh dari tarekat Khalwatiyah.
Penutup
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diberikan beberapa catatan:
Pertama, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari seorang tokoh/ulama yang
118 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011

memiliki pengetahuan berbagai bidang keagamaan, baik fiqh, tauhid maupun


tasawuf. Kedua, dalam kanz al-ma'rifah tidak di klaim isi tentang tarekat, tetapi
beberapa pembahasannya tampak "dekat" dan tradisi tarekat. Ketiga,
berdasarkan beberapa perbandingan mengenai isi kanz al-ma'rifah dengan
beberapa tarekat yang dekat dengan tarekat syeikh M. Arsyad al-Banjari, maka
isi kitab ini sangat dekat dengan tarekat syaziliyah. Keempat, sebuah pokok
fikiran yang dituangkan dalam sebuah tulisan sangat tergantung pada kondisi
atau setting sosial/keagamaan, maka tulisan Arsyad al-Banjari diilhami dari
kondisi beliau sedang mengamalkan tarekat syaziliyah, karena sudah menjadi
tradisi bahwa ulama mengamalkan beberapa tarekat.

Daftar Pustaka
Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, Jakarta, 1966.
Adenan As, M., Risalah Nurul Muqarrabin, Barabai, Penulis. Mido, 1969.
Afifi, A.E., A Myastical Philosophy of Mahyuddin Ibn al-Arabi, diterjemahkan oleh
Sharir Mawi dan Nandi Rahman, Filsafat Mistis Ibn Arabi, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 1989.
Ali, Yunasir, Manusia Citra Ilahi, Jakarta, PT. Temprint, 1997.
--------, Pengantar Ilmu Tashawuf, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
--------, Membersihkan Tasawuf dari Bid‟ah dan Khurafat, Jakarta, Pedoman Ilmu
Jaya, 1992.
Anis, Ibrahim, at.al, al-Mu‟jam al-Wasith, Jilid II, Kairo, Dar al-Fikr, 1972.
Anshari, Muhammad Abd. Haq, Merajut Tradisi Syari‟ah dengan Sufisme; Mengkaji
Gagasan Mujaddid Syeikh Ahmad Sirhindi, Jakarta, Srigunting, 1997.
Arberry, A.J., an Account of the Mystic of Islam, alih bahasa Bambang Herawan,
Pasang Surut Aliran Tasawuf, Bandung, Mizan, 1993.
Arsyad, Muhammad, Fathur Rahman fi Risalat al- Wali al-Ruslan, terj. Asywadie
Syukur, Banjarmasin, t.th.
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 1960.
Asyhari, Keagungan Sinar-sinar (Nur) Muhammad SAW, Rahmatan Lil „Alamin,
Surabaya, Terbit Terang, 1997.
ABDUL HADI Tarekat Syekh Muhammad 119

al-Banjari, Muhammad Nafis, Al-Dur al-Nafis, fi Bayan Wahdat al-Af‟al wa al-


Asma‟ wa al-Sifat wa al-Dzat al- Taqdisi, Jeddah, Sanqafurah, t.th.
al-Banjari, Syeikh Muhammad Arsyad, Kanz al-Ma‟rifah, alih Bahasa Asywadie
Syukur, Banjarmasin, 1990.
al-Barsany, Noer Iskandar, Tasawuf Tarikat & Para Sufi, Jakarta, Sri Gunting,
2001.
Basyuni, Ibrahim, Nasy‟at al-Tashawwuf al-Islami, Kairo, Dar al-Ma‟arif, t.th.
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarikat, Bandung, Mizan,
1985.
--------, Tarikat dan Politik: Amalan Untuk Dunia dan Akhirat, Pesantren Vol. IX,
No.1.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai,
Jakarta, LP3ES, 1982.
al-Ghazali, Ihya „Ulum al-Dien, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.
al-Ghazali, Imam, Menyingkap Hati Menghampiri Ilahi; Ziarah Kubur bersama Imam
al-Ghazali, Terj. Irawan Kurniawan, Bandung, Pustaka al-Hidayah, 2001.
al-Habsy, Simthut al-Durar, Banjarmasin, Hasyim al-Habsy, t.th.
Hadi W.M., Abdul, Hamzah Fansuri; Risalah Tasawuf dan Puisi-pusisinya, Bandung,
Mizan, 1995.
Khan, Khan Sahib Khaja, Studies in Tasawuf, Delhi, Ibarah „Adabiyah, 1978.
Labib MZ, Penciptaan Nur Muhammad Sebelum Penciptaan Makhluk, Surabaya,
Bintang Usaha Jaya, t.th.
Ma‟luf, Luwis, al-Munjid fi al-Lughat wa al-„Alam, Beirut, Dar al- Masyriq, 1973.
Madjid, Norcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Yayasan Wakap
Paramadina, 1992.
Mansur, Laily, Tasawuf Islam Mengenal Aliran dan Ajaran, Banjarmasin, Lambung
Mangkurat Press, 1992.
Masignon, Lois, Al Halaj, Sang Sufi Syahid, terjemahan Dewi Candraningrum,
Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, 2000.
120 AL-BANJARI Vol. 10, No. 1, Januari 2011

Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,
1992.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abd al- Karim Hawazin, al-Risalah al-Qusyairiyyah fi-
ilm al-Tashawwuf, Al-Azhar Kairo, Maktabah wa Mathba‟at Muhammad
„Ali Shabih, t.th.
al-Santanawi, Ahmad, et.al, Dairat al-Ma‟arif al-Islamiyah, Beirut, Dar al-Fikr,
t.th.
Shihab, Alwi, Islam Sufistik “Islam Pertama‟ dan Pengaruhnya Hingga Kini di
Indonesia, Bandung, Mizan, 2001.
Siddik, Abdurrahman, Amal Ma‟rifah, Singapura, Mathba‟ah Ahmadiyah, 1929.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta, RajaGrafindo Persada,
1996.
al-Sinkiti, Abdur Rauf, Kritik Atas Hadis Jabir tentang Nur Muhammad, terj.
Asywadie Syukur, t.th.
Steenbrink, Karel, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta,
Bulan Bintang, 1984.
Syukur, H.M. Asywadie, Ilmu Tasawuf I, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1978.
Team Penyusun IAIN Sumut, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan, IAIN Sumut,
1982.
Trimingham, J. Spencer, The Sufi Orders in Islam, London, Oxford, 1971.
Turmudji, Imam, Sunan at-Turmudji, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.
Umar, Salim, Nur Muhammad, Jakarta, M.A. Jaya, 1980.
Yafie, Ali, Syari‟ah Thariqah, Haqiqah dan Ma‟rifah, dalam “Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah”, (Ed) Budhy Munawar Rachman, Jakarta,
Yayasan Wakap Paramadina, 1994.
Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya, Bina Ilmu, 1979.

You might also like