0% found this document useful (0 votes)
103 views18 pages

Analisis Pemasaran Buah Naga (Hylocereus Undatus) Di Kabupaten Banyuwangi

This document analyzes the marketing of dragon fruit in Banyuwangi Regency, East Java. It finds that dragon fruit marketing chains in the study area consist of three patterns involving small traders, wholesaler merchants, wholesaler traders, and retailers. The analysis shows the third chain pattern is the most efficient as indicated by a 55.45% farmer's share, while the first chain pattern is the least efficient with a 45% farmer's share. The price transmission elasticity of 0.4 also indicates inefficient marketing. In conclusion, improving marketing efficiency and farmer welfare for dragon fruit in Banyuwangi requires addressing inefficient long marketing channels and irrational benefits to some marketing agencies.

Uploaded by

Ana Rainasiar
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
103 views18 pages

Analisis Pemasaran Buah Naga (Hylocereus Undatus) Di Kabupaten Banyuwangi

This document analyzes the marketing of dragon fruit in Banyuwangi Regency, East Java. It finds that dragon fruit marketing chains in the study area consist of three patterns involving small traders, wholesaler merchants, wholesaler traders, and retailers. The analysis shows the third chain pattern is the most efficient as indicated by a 55.45% farmer's share, while the first chain pattern is the least efficient with a 45% farmer's share. The price transmission elasticity of 0.4 also indicates inefficient marketing. In conclusion, improving marketing efficiency and farmer welfare for dragon fruit in Banyuwangi requires addressing inefficient long marketing channels and irrational benefits to some marketing agencies.

Uploaded by

Ana Rainasiar
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 18

Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1,Vol.

15, 2019,
Januari No. 1,hlm.
Januari 2019, hlm. 01-18
01-18
ISSN 0213-2431 (Print)
ISSN 2502-9525 (Online)

Analisis Pemasaran Buah Naga (Hylocereus Undatus) Di


Kabupaten Banyuwangi

Syamsul Hadi
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Jember

Abstract
Dragon fruit to be one of the flagship products Banyuwangi, but some patterns running
inefficient marketing chains with an indication of some farmers receive farmer's share is
less than 50% and most marketing agencies involved received benefits irrational. Least
efficient marketing dragon fruit is determined by the length of the short marketing channels
that lead further on the high and low cost marketing functions that must be removed. The
objectives of this study were: 1) Tracing patterns dragon fruit marketing chains are
awakened in Banyuwangi, and 2) to analyze margins, marketing efficiency, and elasticity
of price transmission dragon fruit marketing. The type and method used in this research is
descriptive and survey conducted in 2016 - 2017 some of the districts in Banyuwangi and
Jember with sampling techniques through incidental and snowbolling sampling and data
collection techniques in depth interviews and observations of the 32 respondents
merchants, The results of this study concluded that: 1) Marketing of dragon fruits in the
study area is formed of three patterns of chain marketing, where marketing agencies
involved include, Small traders, merchant wholesalers, traders wholesalers, and retailers,
each of which performs the function of different marketing, and 2) the results of the analysis
of marketing margins dragon fruit showed that the pattern of the third chain is the most
efficient marketing chain and patterns I chain most inefficient as indicated by the farmer's
share of respectively 55.45% and 45%. The marketing price transmission elasticity Et
dragon fruit (0.4) <1 or run inefficiently.
Keywords: Pattern chain marketing, marketing margin and marketing efficiency

1.Pendahuluan
Tanaman buah naga (dragon fruit) yang awalnya dikenal sebagai tanaman
hias ini sudah cukup lama dikenal masyarakat Taiwan, Vietnam, maupun Thailand.
Terlebih saat diketahui bahwa buahnya dapat dikonsumsi, semakin banyak yang
mengenalnya. Bagi masyarakat di negara tersebut, usaha budidaya tanaman buah
naga terus dilakukan karena sangat menguntungkan (Kristanto, 2008). Buah naga
sekarang mulai tersedia di toko buah dan pasar swalayan dan sejumlah perkebunan
melirik komoditas ini karena budidayanya mudah dan prospek ke depan cerah
dibanding buah lainnya. Tetapi Indonesia masih tercatat sebagai pengimpor buah

STIE MANDALA JEMBER 1


Corresponding Author
Nama : Syamsul Hadi
Email : [email protected]
Phone: 08124990539 dan 082330202496
Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

naga cukup besar hingga mencapai 200-400 ton/tahun asal Thailand dan Vietnam
sebagai akibat tingginya permintaan buah naga yang diyakini berkhasiat mujarab
untuk berbagai penyakit dan bermanfaat sebagai bahan baku di bidang industri
pengolahan makanan, minuman, kosmetik serta produk kesehatan (Anonim, 2008).
Hingga saat ini kebutuhan akan buah naga Indonesia cukup besar dan bukan
hanya pasar lokal saja. Peluang ekspor masih terbuka lebar untuk buah naga ini,
namun kebutuhan yang besar tersebut belum mampu dipenuhi oleh produksi dalam
negeri karena Indonesia dalam kondisi yang cukup sulit memenuhi peluang pasar
dan adanya hal-hal yang berhubungan dengan iklim investasi yang cenderung lesu.
Kabupaten Banyuwangi secara geografis merupakan daerah yang subur dan
memiliki potensi yang besar bagi peningkatan pengembangan produk pertanian,
karena hampir semua komoditas pertanian khususnya tanaman pangan dan
hortikultura dapat tumbuh dan berkembang. Dukungan kekayaan sumber daya alam
yang melimpah serta permintaan pasar yang tinggi menempatkan komoditas
hortikultura sebagai produk bernilai ekonomi tinggi, sehingga usaha hortikultura
menjadi sumber pendapatan petani dan pelaku usaha lainnya di daerah Provinsi
Jawa Timur termasuk Kabupaten Banyuwangi.
Produksi buah naga di Kabupaten Banyuwangi menunjukkan peningkatan
yang pesat dala beberapa tahun terakhir, dimana pada tahun 2014 produksinya
mencapai 28.819 ton dengan luas lahan 1.152 hektar meningkat dibanding tahun
2013 yang hanya 16.631 ton dengan luas lahan hanya 678 hektar. Sementara
produktivitas buah naga di Banyuwangi mengalami peningkatan dari 245 kw/ha
tahun 2013 menjadi 250 kw/ha tahun 2014. Pemasaran buah naga Banyuwangi telah
merambah pasar luar Jawa seperti Kalimantan, Makasar dan Maluku. Bahkan
Kecamatan Bangorejo saja menyumbang 39 persen dari total produksi buah naga
di Banyuwangi atau setara 11.000 ribu ton/ha dengan luas lahannya sendiri
mencapai 449 ha. Oleh karena itu, Kabupaten Banyuwangi saat ini terkenal
sebagai lumbung buah naga tertinggi di Jawa Timur (Dinas Pertanian, Perkebunan
dan Kehutanan Kabupaten Banyuwangi, 2015).
Fenomena menarik yang tengah berkembang di daerah Kabupaten
Banyuwangi khususnya bagian selatan adalah petani yang memiliki lahan sawah

2 STIE MANDALA JEMBER


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

atau tegalan terbatas menerapkan sistem usahatani multiple cropping dwi


komoditas, yaitu tanaman buah naga sebagai tanaman pokok, dan komoditas
kedelai menjadi tanaman sela. Selain itu, sebagian besar petani mengusahakan
lahannya dengan sistem usahatani monoculture, yaitu buah naga saja khususnya
yang mengusahakannya di lahan pekarangan rumah yang pada umumnya adalah
buah naga varitas putih dan merah, Harga jual produk buah baga merah lebih mahal
dibandingkan yang putih dengan jumlah permintaan yang relatif seimbang. Kecuali
pada usahatani jeruk manis, sebagian besar petani buah naga masih menggunakan
teknik dan peralatan usahatani yang cukup sederhana dan akses pemasarannya
masih terbatas. Walaupun demikian sebagian kecil petani buah naga yang berskala
usaha menengah dan luas, teknologi (bahan dan alat) yang digunakan tergolong
moderen karena modal yang dimiliki sangat memadai dengan jangkauan
pemasarannya luas. Diantaranya adalah penggunaan lampu listrik yang tersebar di
areal tanam buah naga guna merangsang pembuahan lebih cepat daripada tanpa
pemberian lampu listrik, sehingga dalam satu tahun biasanya panen buahnya hanya
satu kali, maka dengan penggunaan lampu bisa panen dua kali.
Kenaikan jumlah penawaran yang dilakukan produsen berhubungan
dengan mening-katnya permintaan konsumen terhadap buah jeruk itu sendiri.
Selain karena tuntutan permintaan pasar, keuntungan yang diperoleh produsen
sangat menentukan semangatnya dalam bekerja untuk lebih meningkatkan
penawarannya terhadap buah naga. Panjangnya rantai pemasaran dari petani di
daerah sentra produksi yang terdistribusi ke daerah Kabupaten Banyuwangi di
tingkat lokal hingga ke luar daerah seperti Kabupaten Jember, Situbondo,
Bondowoso, Lumajang, dan Probolinggo hingga ke luar Pulau Jawa, membawa
implikasi pada pola saluran dan margin serta efisiensi pemasaran buah naga. Pola
saluran pemasaran dan tingkat efisiennya akan menentukan tingkat kesesuaian
harga baik pada tingkat petani produsen maupun konsumen. Kondisi ini juga dapat
berpengaruh terhadap tingkat motivasi dalam mengelola usahatani buah naga.
Margin pemasaran yang tinggi dengan tingkat rasio keuntungan dan biaya yang
tidak proporsional dan iirrasional dimana harga di tingkat petani yang relatif rendah,
mendorong petani kurang intensif dalam mengelola usahataninya.

STIE MANDALA JEMBER 3


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini meliputi: 1)


Menelusuri pola saluran pemasaran buah naga yang terbangun di Kabupaten
Banyuwangi, dan 2) Menganalisis margin, efisiensi pemasaran, dan elastisitas
transmisi harga pemasaran buah naga tersebut. Oleh karena itu, maka dapat
dirumuskan hiputesis sebagai berikut:1) Diduga bahwa share margin of farmer
pada saluran pemasaran buah naga > 50% atau berjalan efisien, dan 2) Diduga
bahwa pemasaran komoditas buah naga di Kabupaten Banyuwangi memiliki
elastisitas transmisi harga Et > 1 atau berjalan belum efisien.
2.Metode Penelitian
Jenis dan Metode Penelitian serta Teknik Pengambilan Sampel
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk menggambarkan fenomena secara sitematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat dan hubungan antar fenomena yang terjadi pada
masa sekarang dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode survei (Nazir, 1985). Pengambilan sampel dilakukan secara insidental
sampling dan snowbolling sampling, Maksud Sampling Insidental adalah teknik
penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara
kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila
dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok dengan sumber data. Adapun
Snowball Sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya
kecil, kemudian membesar ibarat bola salju yang menggelinding yang lama-lama
menjadi besar. Dalam penentuan sampel, pertama-tama dipilih satu atau dua orang,
tetapi dengan dua orang ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan,
maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi
data yang diberikan dua orang sebelumnya (Sugiyono, 2014).
Sementara itu, jumlah sampel pedagang buah naga yang terambil sebanyak
32 orang responden yang tersebar pada beberapa wilayah kecamatan sampel di
daerah Kabupaten Banyuwangi, dan Jember baik yang berlokasi di pasar induk
maupun kecamatan dan desa. Sampel pedagang keliling (pengecer) berjumlah 8
orang, pedagang pengecer di pasar tradisional (Pasar induk dan kecamatan/desa)
sebanyak 8 orang, pedagang kecil di daerah lokasi sentra produksi buah naga

4 STIE MANDALA JEMBER


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

sebanyak 6 orang, pedagang pengumpul (pengepul sebanyak 6 orang, dan pedagang


besar antar daerah sebanyak 4 orang. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara terhadap responden melalui teknik depth intervew maupun
observasi guna melengkapinya dengan teknik inventory.

Lokasi Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Kecamatan Purwoharjo, Tegaldlimo,
Pesanggaran, Siliragung, Bangorejo, Muncar, dan Cluring secara purposive
sampling atas pertimbangan bahwa beberapa wilayah kecamatan tersebut
merupakan sentra produksi buah naga di Kabupaten Banyuwangi. Artinya
keberadaan responden seperti pedagang kecil, pengepul, pedagang besar bahkan
pedagang keliling (pengecer) dapat dipastikan berada di wilayah kecamatan
sampel, sehingga lokasi tersebut menjadi salah satu pertimbangan peneliti untuk
dijadikan daerah ampel. Selain itu, wilayah kecamatan Genteng, Gambiran,
Glenmore, Kalibaru, Srono, Rogojampi, Kota, Singujuruh, Sempu, dan Wongsorejo
juga menjadi kecamatan sampel termasuk beberapa wilayah kecamatan di
Kabupaten Jember seperti Silo, Mayang, Kalisat, Sumbersari dan Pasar Induk.

Analisa Data
Guna menjawab tujuan pertama, mama dilakukan identifikasi pola saluran
pemasaran yang terbangun atas proses pemasaran komoditas buah naga di
Kabupaten Banyuwangi, maka dilakukan penelurusan dari petani sampai kepada
konsumen akhir dan selanjutnya dibuat rantai pemasaran (marketing chain) tiap
pola saluran pemasaran tersebut melalui analisa deskriptif kualitatif dan
diinterpretasi untuk selanjutnya ditarik kesimpulan secara inferensial. Sementara
untuk menjawab tujuan kedua, maka dilakukan analisis marjin pemasaran, efisiensi
dan elastisitas transmisi harga. Margin pemasaran merupakan perbedaan harga
ditingkat konsumen (harga yang terjadi karena perpotongan kurva permintaan
primer dengan kurva penawaran turunan) dengan harga di tingkat produsen (harga
yang terjadi karena perpotongan kurva penawaran primer dengan permintaan
turunan) (Hastuti dan Rahim, 2007).
Rasionalitas dapat diketahui dengan mebandingkan antara tingkat

STIE MANDALA JEMBER 5


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

keuntungan dengan biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran selama proses
transaksi jual beli buah naga berlangsung ( Rasio = π / Sbi ). Selain itu, lebih
ditegaskan bahwa untuk mengetahui besarnya distribusi keuntungan tiap saluran
pemasaran dapat diukur dengan rumus:
[(π/C) terendah)
DK = -----------------------
[((π/C) tertinggi)

Keterangan: DK = Distribusi keuntungan, π = Keuntungan pemasaran,


C = Biaya pemasaran dengan kriteria keputusan: Jika DK ≥ 0,5 berarti distribusi
keuntungan antar lembaga pemasaran adil, dan Jika DK < 0,5 berarti distribusi
keuntungan antar lembaga pemasaran tidak adil.

Selanjutnya untuk mengetahui saluran pemasaran yang mana memiliki


tingkat efisiensi tertinggi, maka digunakan analisis matematis dengan rumus
sebagai berikut (Gultom, 1996 dalam Putra Bisuk, 2009):
Biaya Pemasaran (Rp/Kg)
Ep = ----------------------------------- x 100%
Harga Jual (Rp/Kg)
Semakin kecil nilai Ep, maka semakin efisien pemasaran pada saluran Pemasaran
tersebut, dan dapat dikatakan efisien jika Ep < 50%. Untuk mengetahui saluran
mana yang paling efisien, maka setiap saluran pemasaran dibandingkan nilai Ep
atas sejumlah lembaga pemasaran yang terlibat. Selanjutnya Gultom (1996) dalam
Putra Bisuk (2009) juga menyatakan bahwa pada umumnya suatu sistem tataniaga
untuk (sebagian) produk hasil pertanian dapat dikatakan sudah efisien bila share
margin petani berada di atas 50%. Adapun bagian harga yang diterima petani
(farmer’s share) merupakan perbandingan harga yang diterima oleh petani dengan
harga di tingkat lembaga pemasaran yang dinyatakan dalam persentase. Farmer’s
share dimaksud dirumuskan sebagai berikut: Fs = Pf/Pr x 100%.
Efisisensi pemasaran merupakan tolak ukur atas produktivitas proses
pemasaran dengan membandingkan sumberdaya yang digunakan terhadap keluaran
yang dihasilkan selama berlangsungnya proses pemasaran (Downey dan Steven,
1994 dalam Hastuti dan Rahim, 2007). Dari sudut pandang marketing mix, efisiensi
pemasaran menurut Downey dan Erickson (1992) dalam Hastuti dan Rahim (2007)
dapat dilihat dari masing-masing elemen, yaitu:

6 STIE MANDALA JEMBER


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

1. Efisiensi produk merupakan usaha untuk menghasilkan suatu produk melalui


penghematan harga serta penyederhanaan prosedur teknis produksi guna
keuntungan maksimum.
2. Efisiensi distribusi dinyatakan sebagai produk dari produsen menuju ke pasar
sasaran melalui saluran distribusi yang pendek atau berusaha menghilangkan
satu atau lebuh mata rantai pemasaran yang panjang di mana distribusi produk
berlangsung dengan tindakan penghematan biaya dan waktu.
3. Efisiensi harga yang menguntungkan pihak produsen dan konsumen diikuti
dengan keuntungan yang layak diambil oleh setiap mata rantai pemasaran
sehingga harga yang terjadi di tingkat petani tidak berbeda jauh dengan harga
yang terjadi di tingkat konsumen.
4. Efisiensi promosi mencerminkan penghematan biaya dalam melaksanakan
pemberitahuan di pasar sasaran mengenai produk yang tepat, meliputi
penjualan perorangan atau missal dan promosi penjualan.
Selanjutnya menurut Azzaino (1982) dalam Masyoefi (1994) juga
menjelaskan tentang elastisitas harga transmisi () dimana definisinya adalah
sebagai persentase peruba-han harga eceran terhadap persentase perubahan harga
ditingkat petani produsen atau analisis elastisitas transmisi harga atau nisbah
perubahan nilai dari harga konsumen dengan peruba-han harga di tingkat produsen
yang dapat dihitung melalui formulasi rumus sebagai berikut:

 = % Δ Pr = Pr . Pf
% Δ Pf Pf . Pr
Dimana
 = elastisitas harga transmisi
Pr = harga di tingkat konsumen
Pf = harga di tingkat petani produsen
Pr = perubahan harga di tingkat konsumen
Pf = perubahan harga di tingkat produsen

Harga mempunyai hubungan linier, di mana Pf merupakan fungsi dari Pr


yang secara matematis dirumuskan sebagai : Pf = a + b Pr atau Pf = a + Pr .
Dari persamaan tersebut dapat diperoleh bahwa Et = δPr/δPf . Pr/Pf, di mana: Et =
Elastisitas transmisi harga, δ = Diferensiasi atau turunan, Pf = Harga rata-rata

STIE MANDALA JEMBER 7


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

di tingkat petani (produsen), Pr = Harga rata-rata di tingkat konsumen, a =


Konstanta atau titik potong, dan b= Koefisien regresi. Oleh karena kriteria
keputusannya adalah sebagai berikut (Azzaino, 1982 dalam Masyoefi, 1994):
a) Jika Et = 1, maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan
mengakibatkan perubahan harga sebesar 1% di tingkat petani dan merupakan
pasar persaingan sempurna, dan sistem tataniaga yang terjadi sudah efisien,
b) Jika Et < 1, maka Apabila elastisitas transmisi harga lebih kecil dari satu (Et <
1) dapat diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan
mengakibatkan perubahan harga kurang dari 1% di tingkat petani dan bentuk
pasar mengarah ke Monopsoni/Oligopsoni dan pemasaran berlangsung tidak
efisien, dan
c) Jika Et > 1, berarti Apabila elastisitas transmisi harga lebih besar dari satu (Et
> 1), maka perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan
mengakibatkan perubahan harga lebih besar dari 1% di tingkat petani dan
bentuk pasarnya mengarah ke Monopoli atau pemasaran belum efisien.

4. Hasil Dan Pembahasan


Saluran Pemasaran Buah Naga
Panjang pendeknyanya suatu saluran pemasaran akan ditentukan oleh
banyaknya pedaganh perantara (medleman) yang dilalui oleh suatu barang dan jasa.
Saluran distribusi yang terlalu panjang menyebabkan makin banyak rantai yang ikut
dalam kegiatan pemasaran dan berimplikasi pada luasnya jangkauan pada
konsumen akhir, namun harganya relatif mahal. Sebaliknya saluran distribusi yang
terlalu pendek kurang efektif untuk penyebarlu-asan, tetapi karena mata rantai
pemasaran lebih pendek maka biaya produksi dapat ditekan sehingga harga ke
konsumen dapat lebih rendah.Oleh karena itu, panjang pendeknya saluran
pemasaran akan menentukan tinggi rendahnya tingkat efisiensi pemasarannya.
Saluran pemasaran buah naga asal Kabupaten Banyuwangi yang
terbangun terdiri dari tiga macam pola saluran pemasaran. Kondisi ini
berbeda dengan pola pemasaran buah naga di Kabupaten Jember dalam
sebuah artikel dengan judul Pemasaran Agribisnis pada Komoditas Buah

8 STIE MANDALA JEMBER


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

Naga di Kabupaten Jember tahun 2013. Bahwa terdapat dua saluran


pemasaran yang ada pada komoditas buah naga di Kabupaten Jember, yakni
(Irmawati, 2013): 1) Produsen (petani)  tengkulak  pedagang
pengumpul pengecer konsumen, dan 2) produsen  pedagang
pengecer  konsumen. Hal ini disebabkan karena pemasaran komoditas
buah naga asal Kabupaten Jember masing tergolong baru sehingga jumlah
produksi dan luas panennya masih relatif terbatas. Sedangkan buah naga
asal Kabupaten Banyuwangi sudah berskala besar dan menjadi salah satu
produk unggulan dengan pasar ekspor. Banyak pola sluran buah naga yang
terbangun di kabupaten Banyuwangi sejalan dengan hasil penelitian
Nuryasin, Prasmatiwi, dan Santoso (2014) di Kecamatan Sragi Kabupaten
Lampung Selatan yang mengungkapkan bahwa saluran pemasaran yang
terbentuk ada 3 (tiga) saluran pemasaran. Berikut ini akan digambarkan tiga
pola saluran pemasaran buah naga dari Kabupaten Banyuwangi.

1)
Petani Buah Naga Pedagang Kecil Pengepul

Pedagang Besar Pedagang Pengecer Konsumen Akhir

2) Petani Buah Naga Pedagang Kecil Pedag. Pengepul

Pedagang Pengecer Konsumen Akhir


3) Petani Buah Naga Pengepul Pedagang Pengecer

Konsumen Akhir

Masing-masing lembaga pemasaran tersebut melakukan fungsi-fungsi pemasaran


yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut: Petani buah naga: melakukan fungsi
penjualan, Pedagang kecil: melakukan fungsi pembelian-pemanenan, penjualan,
pengangkutan, pembiayaan, dan informasi pasar, Pedagang pengepul: melakukan

STIE MANDALA JEMBER 9


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

fungsi pembelian, penjualan, pengangkutan, sortasi, standarisasi, penyimpanan,


pembiayaan dan Informasi pasar, Pedagang pedagang besar: melakukan fungsi
pembelian, penjualan, pengangkutan, sortasi, standarisas-grading, penyimpanan,
penanggungan resiko, pembiayaan dan Informasi pasar, dan Pengecer: melakukan
fungsi pembelian, penjualan, penyimpanan, pengangkutan, sortasi, pembiayaan,
dan informasi pasar.

Margin dan Efisiensi Pemasaran Buah Naga serta Elastisitas Transmisi Harga
Pola Saluran Pemasaran Pertama
Tabel 3.1 menunjukkan bahwa saluran I pada pemasaran buah naga di
daerah penelitian berjalan dengan tidak efisien yang diindikasikan bahwa Farmer’s
share besarnya kurang dari 50%. Lembaga pemasaran yang terlibat dalam
pemasaran buah naga ini yang paling banyak menerima keuntungan adalah
pengepul meskipun biaya pemasaran yang dikeluarkan untuk melakukan fungsi-
fungsi pemasaran bukan paling rendah dibandingkan dengan lainnya. Hal ini
disebabkan selisih harga beli dan jual sangat tinggi dibandingkan dengan biaya
pemasarannya. Pengepul hanya melakukan fungsi pembelian, penjualan,
pengangkutan, penyimpanan dan biaya restribusi. Adapun pedagang besar antar
daerah bila diukur dari sisi biaya pemasaran untuk melakukan berbagai fungsi
pemasaran justru memperoleh nilai rasio keuntungan-biaya pemasaran paling
rendah. Kondisi distribusi keuntungan pada Saluran I ini masih belum adil karena
nilainya hanya 0,43 atau < 0,5.
Tabel 3.1
Analisis Marjin Pemasaran Buah Naga pada Pola Saluran Pemasaran
Pertama
di Kabupaten Banyuwangi Bagian Selatan, Tahun 2017
Efisiensi
Share Pemasara
Margin n [
Jenis Harg Rasio
Biaya untuk (Biaya
Lembaga Harga a Keuntung (Untun
No Pemasar Petani Pemasara
Pemasaran Beli /Kg Jual an /Kg g/
an/ Kg (%) n : Nilai
Buah Naga /Kg Biaya)
(Pf/Pr) x Penjualan
100% ) x 100%
]
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Rata-rata Harga Tingkat 4,50
45.00
Petani (Pf) 0
1 Pedagang 4,500 520 1.08

10 STIE MANDALA JEMBER


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

Kecil 5,50 480 8.73


0
7,50
2 Pengepul 5,500 1,215 1.55
0 785 10.47
Pedagang
3 7,500 9,00 600
Besar 900 10.00 0.67
0
10,0
4 Pengecer 9,000 500 5.00 1.00
00 500
Share Margin Pemasaran (%) 28.35
26.65
Distribusi
Margin Pemasaran 5,500 Jumlah Share Margin Keuntung
100.00 0.43
an
Sumber: Data Primer Diolah, 2017
Tabel 3.1 di atas juga memberikan gambaran bahwa pengepul memiliki
rasio keuntungan-biaya pemasaran paling tinggi dibandingkan lembaga pemasaran
lainnya, sedangkan pengecer memiliki tingkat efisiensi pemasaran paling tinggi
karena antara biaya pemasaran dan harga jual produk pada konsumen akhir
besarnya sama. Pada konsisi ini pihak petani dan konsumen akhir menjadi
korbannya karena petani harus menerima harga yang relatif rendah dan konsumen
harus membayar seluruh biaya pada proses distribusi produk dengan harga yang
tinggi hingga sampai kepada tangannya. Oleh karena itu, Saluran pemasaran I
belum memberikan tingkat kepuasan dikehendaki semua pihak, karena pola saluran
ini merupakan rantai terpanjang dibandingkan dua pola saluran lainnya. Diketahui
bahwa pada Saluran I ini pedagang besar mendistribusikan buah naga dari daerah
penelitian ke daerah Kabupaten Jember, Bondowoso, Lumajang dan Situbondo.

Pola Saluran Pemasaran Kedua


Pada saluran II sebagimana yang tampak dalam Tabel 3.2. memberikan
gambaran bahwa nilai Farmer’s share (50%) lebih tinggi daripada Saluran I yang
menunjukkah bahwa pola saluran II berjalan secara efisien. Adapun pengecer
memproleh rasio keuntungan-biaya pemasaran paling tinggi (2) dan justru pengepul
memperolehnya paling rendah. Hal ini disebabkan pengepul paling banyak
melakukan fungsi pemasaran seperti fungsi pembelian, penjualan, penyimpanan,
pengangkutan, standarisasi-grading, sortasi, dan informasi pasar. Tabel 3.2
menunjukkan bahwa distribusi keuntungan (DK) terhadap semua lembaga
pemasaran yang terlibat sangat tidak adil karena nilai DK hanya 0,38 (< 0,50),

STIE MANDALA JEMBER 11


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

dimana pengecer menerima keuntungan lebih tinggi dengan biaya paling rendah.
Sementara itu, tingkat keuntungan pedagang kecil paling tinggi, namun biayanya
juga lebih tinggi daripada yang dikeluarkan pengecer. Diketahui bahwa pada
Saluran II ini pengepul buah naga didatangi pengecer untuk didistribusikan ke luar
wilayah kecamatan sentra produksi buah naga, seperti ke wilayah kecamatan kota,
Wongsorejo, Rogojampi, Sempu, dan Kalibaru.
Tabel 3.2.
Analisis Marjin Pemasaran Buah Naga pada Pola Saluran Pemasaran
Kedua
di Kabupaten Banyuwangi Bagian Selatan, Tahun 2017

Efisiensi
Pemasaran
Jenis Share Margin
Harga Biaya [ (Biaya Rasio
Lembaga Harga Keuntungan untuk Petani
No Jual Pemasaran/ Pemasaran : (Untung/
Pemasaran Beli /Kg /Kg (%) (Pf/Pr) x
/Kg Kg Nilai Biaya)
Buah Naga 100%
Penjualan) x
100% ]
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Rata-rata Harga Tingkat
50.00
Petani (Pf) 5,000
Pedagang
1 5,000 7,000 700 1,300 10.00 1.86
Kecil
2 Pengepul 7,000 8,500 850 650
10.00 0.76
3 Pengecer 8,500 10,000 500 1,000
5.00 2.00
Share Margin Pemasaran (%) 20.50 29.50
Distribusi
Margin
Jumlah Share Margin 100.00 Keuntungan
Pemasaran (MP) 5,000 0.38
(DK)
Sumber: Data Primer Diolah, 2017
Pola Saluran Pemasaran Ketiga
Tabel 3.3 menunjukkan bahwa Saluran III merupakan pola saluran
pemasaran buah naga di daerah penelitan yang paling efisien disamping rantain
pemasarannya terpendek dibandingan pola saluran lainnya. Hal ini dibuktikan
bahwa nilai farmer’s share mencapai angka di atas 50% yang berarti bahwa harga
yang diterima oleh petani (Rp 6000/kg) lebih tinggi dari nilai marjin pemasarannya
(MP) (Rp 5000/Kg). Namun demikian DK pada saluran III ini berjalan sangat tidak
adil karena nilainya (0,23) < 0,50, dimana pengecer menerima keuntungan paling
tinggi dengan biaya pemasaran paling rendah dibandingkan dengan pedagang
pengepul. Oleh karena itu, tingkat efisiensi pemasaran yang dicapai pengecer (2,73)

12 STIE MANDALA JEMBER


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

lebih tinggi daripada yang dicapai pengepul (8,13). Fungsi pemasaran yang
dilakukan oleh pengepul jauh lebih variatif dibandingkan pengecer, dimana
pengecer hanya melakukan fungsi pembelian, penjualan dan pengangkutan serta
restribusi pasar. Jangkauan pendistribu-sian produk buah naga ini cukup terbatas
pada wilayah sekitar wilayah sentra produksi buah naga di daerah penelitian, yaitu
Pasar tradisional di Genteng, Glenmore, dan Sempu.
Tabel 3.3.
Analisis Marjin Pemasaran Buah Naga pada Pola Saluran Pemasaran
Ketiga
di Kabupaten Banyuwangi Bagian Selatan, Tahun 2017

Efisiensi
Share Pemasara
Jenis Margin n [
Rasio
Lembaga Harga Biaya Keuntu untuk (Biaya
Harga (Untun
No Pemasara Jual Pemasara -ngan Petani Pemasara
Beli /Kg g/
n Buah /Kg n/Kg /Kg (%) n : Nilai
Biaya)
Naga (Pf/Pr) x Penjualan
100% ) x 100%
]
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Rata-rata Harga Tingkat
54.55
Petani (Pf) 6,000
1 Pengepul 6,000 8,000 2.08
650 1,350 8.13
2 Pengecer
8,000 1,000 300 2,700 2.73 9.00
Share Margin Pemasaran (%)
8.64 36.82

Margin Distribusi
Jumlah Share Margin
Pemasaran (MP) 5,000 100.00 Keuntung 0.23
an (DK)
Sumber: Data Primer Diolah, 2017
Rata-rata ketiga pola saluran pemasaran buah naga di daerah penelitian
berjalan efisien sebagaimana yang tampak pada Tabel 3.5 dimana rata-rata
Farmer’s share pada ketiga saluran pemasaran mencapai 50%, kecuali pada pola
slauran pemasaran I Farmer’s share < 50%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Ningsih, Felani, dan Sakdiyah (2015) tentang Keragaan Usahatani dan Pemasaran
Buah naga Organik di Kabupaten Pamekasan yang mengungkapkan bahwa kisaran
(Acquirement) marjin pemasaran antara lembaga-lembaga pemasaran cenderung
bervariasi dan timpang. Besarnya marjin pemasaran pada tengkulak (pedagang
kecil) dan pedagang pengumpul masing-masing Rp 5.000/kg dan Rp 4.000/kg.

STIE MANDALA JEMBER 13


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

Kondisi tersebut didukung oleh bahwa rata-rata distribuysi keuntungan (DK) pada
semua pola saluran pemasaran belum menunjukkan sebaran keuntungan yang adil,
karena nilai DK < 0,50 sebagaimana yang tampak pada Tabel 3.5.
Hasil penelitian ini agak berbeda dengan hasil penelitiannya Nuryasin, et al.
(2014) di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan yang mengungkapkan
ketiga pola saluran yang terbentuk seluruhnya berjalan belum (tidak) efisien,
sedangkan pada penelitian ini salah satu pola saluran pemasaran buah naga (Pola
Saluran I) berjalan tidak efisien dan dua pola lainnya berjalan efisien. Sementara
rata-rata rasio keuntungan-biaya pemasaran masing-masing lembaga pemasaran
yang terlibat tidak menunjukkan kondisi proporsional sebagaimana sama dengan
hasil penelitian Nuryasin, et al. (2014), dimana pengecer memperoleh rasio yang
paling tinggi diikuti oleh pengepul. Adapun pedagang pengepul dan pedagang besar
mencapai rasio yang sama. Selanjutnya rata-rata pengecer mencapai tingkat
efisiensi pemasaran paling tinggi dan pedagang besar antar daerah mencapai paling
rendah akibat banyaknya fungsi pemasaran yang dilakukan.
Tabel 3.5 juga mengungkapkan bahwa elastisitas transmisi harga (Et)
pemasaran buah naga dii daerah penelitian < 1, tetapi bertanda positif. Namun
sebelum mengangalisis elastisitas transmisi harga ini sebelumnya harus mencari
koefisien regresi (b) dari variabel harga tingkat eceran (pr), karena harga
mempunyai hubungan linier, dimana Pf merupakan fungsi dari Pr yang secara
matematis dirumuskan sebagai: Pf = a + b Pr. Elastisitas harga dapat juga dicari
dengan menggunakan logaritma dari fungsi (Azzaino, 1982) : Pf = a + Pr n, maka
ln Pf = ln a + n ln Pr. Hasil analisis regresi melalui pendekatan model matematis
tersebut menghasilkan nilai kofesien regresi pada variabel Pr sebesar 1,250
sebagaimana yang tampak pada tabel 3.4 di bawah ini

14 STIE MANDALA JEMBER


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

Tabel 3.4. Hasil Analisis Regresi Terhadap Hubungan antara Harga Buah
Naga tingkat Petani (Pf) dengan harga tingkat konsumen (Pr) pada
Pemasaran Buah Naga di Kabupaten Banyuwangi Bagian Selatan, Th. 2017
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) -5250.000 7060.232 -.744 .478
Pr 1.250 .781 .493 1.601 .148
Keterangan: Dependent Variable: Pf
Sumber: Data Primer Diolah, tahun 2017

Tabel 3.5.Analisis Marjin Pemasaran, Distribusi Keuntungan dan Elastisitas


Transmisi Harga pada Rata-Rata Pola Saluran Pemasaran Buah Naga di
Kabupaten Banyuwangi Bagian Selatan, Tahun 2017
Efisie
nsi
Pemas
aran
Share [
Jenis Ha Har Keu Margi (Biaya
Biaya
N Lembaga rga ga ntu- n Pemas
O Pemasaran Beli Jual
Pemasar
ngan Pemas aran : Rasio /C
an/Kg
Buah Naga /Kg /Kg /Kg aran Harga
(%) Penju
alan )
x
100%
]

1 Petani 5,0 50.00


Jeruk 00
Pedagang 5,0 6,0
2 590 410 10.00 9.83
Kecil 00 00 0.69
6,0 7,5
3 Pengepul 718 783 15.00 9.57
00 00 1.09
Pedagang
7,5 9,0
4 Besar antar 900 600 15.00 10.00
00 00
daerah 0.67
9,0 10,
5 Pengecer 433 567 10.00 4.33
00 000 1.31
Elastisitas
transmisi
Margin
harga ( =
Pemasaran 5,0 100.0 8.43
(1/b) x 0.40
(Rp) 00 0
Distribusi Keuntungan
(Pf/Pr) (DK) = 0.35
Sumber: Data Primer Diolah, 2017
Tabel 3.5 juga menjelaskan elastisitas transmisi harga (Et) terhadap pola
saluran pemasaran buah naga yang terbangun dimana nilain Et < 1, yang dapat
diartikan bahwa perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan

STIE MANDALA JEMBER 15


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

mengakibatkan perubahan harga kurang dari 1% di tingkat petani dan bentuk


struktur pasar mengarah kepada pasar persaingan tidak sempurna. Adapun Et =
0,40 dapat diartikan bahwa apabila perubahan harga buah naga di tingkat konsumen
akhir sebesar 1%, maka akan mengakibatkan perubahan harga di tingkat petani naik
hanya sebesar 0,40%. Artinya sistem pemasaran yang terbentuk pada pola saluran
pemasaran buah naga di daerah penelitian berjalan tidak efisien (Azzaino, 1982).
Adapun struktur pasar yang terbentuk dalam hasil penelitian ini sama dengan hasil
penelitian Nuryasin, et al. (2014) bahwa pasar oligopsoni, perilaku pasar
mengarah pada penentuan harga (price maker) oleh pedagang, sedangkan petani
sebagai penerima harga (price taker).
4. KESIMPULAN
1. Pola saluran pemasaran jeruk siam di daerah penelitian yang terbentuk lima
macam rantai pemasaran, sedangkan pada pola saluran pemasaran buah naga
membentuk tiga rantai pemasara. Saluran pemasaran dimaksud terdiri dari
beberapa lembaga pemasaran yang terlbat yaitu meliputi, Petani, Pedagang kecil,
Pedagang pengepul, Pedagang pedagang besar, dan Pengecer dimana masing-
masing lembaga pemasaran tersebut melakukan fungsi pemasaran yang berbeda-
beda, dan
2. Hasil analisis marjin pemasaran jeruk siam menunjukkan bahwa pola saluran III
adalah rantai pemasaran paling efisien dan pola saluran V paling tidak efisien,
dimana diindikasikan dengan farmer’s share masing-masing sebesar 59,09%
dan 40,91%. Pola saluran pemasaran III melibatkan tiga lembaga pemasaran,
yaitu petani, pedagang kecil, dan pengecer, sedangkan pola saluran V melibatkan
tiga lembaga pemasaran yang meliputi petani, pengepul, dan pengecer.
Selanjutnya pada hasil analisis marjin pemasaran buah naga menunjukkan
bahwa pola saluran III adalah rantai pemasaran paling efisien dan pola saluran I
paling tidak efisien, dimana diindikasikan dengan farmer’s share masing-
masing sebesar 55,45% dan 45%. Pola saluran pemasaran III melibatkan tiga
lembaga pemasaran, yaitu petani, pengepul, dan pengecer, sedangkan pola
saluran I melibatkan lima lembaga pemasaran yang meliputi petani, pedagang
kecil, pengepul, pedagang besar antar daerah dan pengecer. Adapun elastisitas

16 STIE MANDALA JEMBER


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

transmisi harga kedua pemasaran komoditas tersebut besranya  (Et) < 1, yaitu
masing-masing sebesar – 1,57 dan 0,40 yang berarti keduanya berjalan tidak
efisien. Perubahan harga sebesar 1% di tingkat pengecer akan mengakibatkan
perubahan harga kurang dari 1% di tingkat petani dan bentuk struktur pasar
mengarah kepada pasar persaingan tidak sempurna (Monopsoni atau
monopolistik).
UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat – UM Jember yang telah mendukung terhadap
penelitian ini dari berbagai macam kontribusi, sehingga penelitian ini dapat
dilakukan dengan baik dan menghasilkan output berupa artikel ilmiah yang siap
untuk dipublikasikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Buah Naga. http://www.wikipedia.org/buah naga. Diakses pada


tanggal 19 Nopember 2016.
Anonim, 2015. Dinas Pertanian, Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Banyuwangi. Jaringnews.com dan Tempo.com. Diakses pada tanggal 20
Nopember 2016.
Azziano, Z., 1982. Pengantar Tataniaga Pertanian. Departemen Pertanian.
Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor: IPB Press.
Bisuk, P. 2009. Analisis Tataniaga Dan Elastisitas Transmisi Harga CPO
Internasional Terhadap Harga TBS (Tandan Buah Segar) Kelapa Sawit. Studi
Kasus Desa Mananti Kecamatan Sosa Kabupaten Padang Lawas. Skripsi
USU. Diakses Pada Tanggal 17 Nopember 2016.
Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan Kabupaten Banyuwangi, 2015. Laporan
Tahunan Dinas – SKPD Tahun 2015.
Hastuti D. R. dan Rahim A. 2007. Ekonomika Pertanian (pengantar, Teori, dan
kasus). Jakarta: Penebar Swadaya.

STIE MANDALA JEMBER 17


Relasi : Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 1, Januari 2019, hlm. 01-18

Irmawati, N., 2013. Pemasaran Agribisnis pada Komoditas Buah Naga di


Kabupaten Jember. http://Mbem25. Just Wanna Share With Others. Diunduh
pada tanggal 24 Oktober 2016
Kristanto, D. 2008. Buah Naga Pembudidayaan di Pot dan di Kebun. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Nazir, 1985. Metode Penelitian. Bandung: Grafika Indonesia.
Ningsih, K., Felani, H., Sakdiyah, H., 2015. Keragaan Usahatani dan Pemasaran
Buah naga Organik di Kabupaten Pamekasan. Jurnal Agriekonomika. 4 (2):
Halaman 169 – 184.
Nuryasin, M., Prasmatiwi, F.E., dan Santoso, H., 2014. Analisis Finansial dan
Pemasaran Buah Naga di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung selatan.
Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
http://digilib.unila.ac.id/3000. Diakses Tanggal 25 Maret 2017.
Sugiyono, 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.

18 STIE MANDALA JEMBER

You might also like