0% found this document useful (0 votes)
76 views19 pages

Jurnal Fiqh Munakahat Hani Ro'ida

1) The document discusses common mistakes that husbands can make in marriage according to Islamic teachings. It lists neglecting one's parents, not properly handling disputes, doubting one's wife, lacking leadership skills, misusing the wife's wealth, not educating one's wife about religion, mistreating one's wife, denouncing one's wife, having intercourse during menstruation, and hastily pursuing divorce as some examples of mistakes. 2) It states that while both husbands and wives can make mistakes, the mistakes of husbands tend to have more serious consequences for the marriage. Husbands must understand what behaviors could lead to mistakes in order to have a harmonious home. 3) The husband is seen as

Uploaded by

Hani Roida
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
76 views19 pages

Jurnal Fiqh Munakahat Hani Ro'ida

1) The document discusses common mistakes that husbands can make in marriage according to Islamic teachings. It lists neglecting one's parents, not properly handling disputes, doubting one's wife, lacking leadership skills, misusing the wife's wealth, not educating one's wife about religion, mistreating one's wife, denouncing one's wife, having intercourse during menstruation, and hastily pursuing divorce as some examples of mistakes. 2) It states that while both husbands and wives can make mistakes, the mistakes of husbands tend to have more serious consequences for the marriage. Husbands must understand what behaviors could lead to mistakes in order to have a harmonious home. 3) The husband is seen as

Uploaded by

Hani Roida
Copyright
© © All Rights Reserved
We take content rights seriously. If you suspect this is your content, claim it here.
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 19

KESALAHAN-KESALAHAN SUAMI DALAM RUMAH TANGGA

Hani Ro'ida
Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum, IAIN Metro, Lampung
Email : [email protected]

Abstract: In the husband's household is the head of the household. He can be analogous as a
president in a country. In his hand there are a variety of responsibilities in order to create a
harmonious, happy, safe and secure family order from the world to the hereafter as mandated
by the Qur'an surah al-Tahrim [66] verse 06 and also the Prophet's mandate regarding the
ideal husband's criteria as stated in many The hadith. In the household there is also no
perfection. Both husband and wife have the potential to make mistakes. However, in general
in the sense that it is not casuistic, husband's mistakes are more fatal when compared to
mistakes made by wives. Therefore the husband must understand and understand what are the
behaviors and actions that can make his mistakes in the household. Husband's mistakes in his
escort are neglect of birr al-walidain, slow in handling polemics, doubt and prejudice against
his wife, minimal jealousy, looking down on his wife, not having the soul of leadership,
eating his wife's wealth in a way, not educating his wife about religion, misery against wives,
often denounce and criticize wives, mutually silent and do not want to start, rarely at home,
opening the secret "bed", not knowing the wife's new habits, intercourse with menstrual
conditions, intercourse with the wife through the rectum, hurriedly dropping divorce.

PENDAHULUAN
Keluarga merupakan miniature kecil dari sebuah Negara. Semua komponen dalam
Negara dapat dianalogikan dan disimulasikan dengan unsur-unsur yang ada dalam keluarga.
Dalam keluarga terdapat unsur-unsur yang saling membutuhkan, mengisi dan melengkapi.
Masing-masing unsur jika mampu menjalankan fungsi dan tugasnya maka meniscayakan
keluarga yang tentram, damai, sejahtera sebagaimana dambaan semua insan. Sebaliknya, jika
salah satu dari unsur-unsur tersebut tidak mampu menjalakan amanah yang diembannya
maka ketimpangan dan kekacauan pasti tidak dapat dielakkan.
Dalam rumah tangga suami merupakan kepala rumah tangga. Ia dapat dianalogikan
sebagai seorang presiden dalam sebuah Negara. Di tangannya terdapat beragam
tanggungjawab dalam rangka menciptakan tatanan keluarga yang harmoni, bahagia, amandan

1
selamat mulai dunia hingga akhirat sebagaimana amanat al-Qur’an surat al-Tahrim [66] ayat
06. Nabi juga telah menggambarkan kreteria suami ideal dengan mengatakan:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya dan sebaik-
baiknya kalian (Mukminin) adalah yang terbaik kepada para istrinya”.1

Dua “amanat” dari dua sumber utama syariat Islam tersebut, dalam ranah teoritis jika
mampu dilaksanakan dengan baik oleh para suami, mengingat khitab (orang kedua dalam
pembicaraan bermakna kamu) dalam kedua sumber tersebut tertuju pada suami, maka akan
terwujud rumah tangga idaman nan jauh dari segala macam pertengkaran dan perselisihan
antara suami dan istri. Tidak akan dijumpai percekcokan yang berbuah perceraian. Misalkan
ada istri yang kurang baik prilakunya (dalam batas-batas kewajaran) namun jika sang suami
memiliki idealitas sebagaimana gambaran di atas maka keutuhan rumah tangga masih pula
dapat dipertahankan walaupun ketimpangan jelas akan tampak.

Sedikit berbeda jika dalam rumah tangga yang malakukan kesalahan, sering berbuat
salah, berlaku tidak bijak dan kurang baik dalam bergaul antar suami-istri adalah suami maka
sedikit kemungkinan keutuhan rumah tangga dapat terwujud. Ibarat kendaraan, jika sopir
tidak dalam kondisi normal misalnya sakit kepala, ugal-ugalan, tidak memahami rambu-
rambu lalu lintas, tidak memiliki tepo seliro dengan sesama pengguna jalan maka
kemungkinan kecelakan tidak dapat dielakkan.
Tidak terhenti di sini, dalam teks-teks syariat Islam yakni al-Qur’an dan al-Hadits,
dalam urusan rumah tangga khitab mayoritas tertuju pada suami maka hal ini bermakna
suamilah yang menjadi pelaksana, suami yang menjadi nahkoda, suami yang harus lebih
memahami ilmu kerumah tanggaan, suami yang harus menjadi subyek dan suami yang (boleh
dikatakan) harus paling sedikit dalam melakukan kesalahan-kesalahan. Jika tidak demikian
maka dampak yang timbul bersifat fatal dan berbuntut panjang.

PEMBAHASAN
Dalam rumah tangga tidak ada kesempurnaan. Suami maupun istri keduanya
berpotensi melakukan kesalahan-kesalahan. Namun demikian, menurut hemat penulis, secara
umum dalam arti bukan bersifat kasuistik, kesalahan yang dilakukan suami bernilai lebih
“berbuntut” jika dibandingkan dengan kesalahan yang dilakukan oleh istri. Oleh karenanya

1
Muhyi al-Din Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Riyadl al-Shalihin (Surabaya: al-
Hidayah, T.Th), 151.

2
suami harus faham dan mengerti apa saja prilaku maupun tindakan yang bisa menjadikan
kesalahan-kesalahannya dalam rumah tangga.
Kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh suami sebagaimana dijelaskan oleh
Muhammad Ibrahim al-Hamd melalui karyanya berjudul Min Akhtha’ al-Azwaj sangat
beragam dan kompleks, diantaranya sebagai berikut:

Lalai Terhadap Pelaksanaan Birr Alwalidain


Birr al-Walidain secara literal dapat diartikan sebagai berbuat baik kepada orang tua. Bagi
seseorang yang statusnya sebagai anak Birr al-Walidain menjadi sebuah keniscayaan bahkan
menjadi kewajiban yang harus dan terus diemban sampai kapanpun sekalipun antara anak dan
orang tua berbeda agama. Hal ini tidak lain karena Birr al-Walidain merupakan perintah
agama yang telah dituangkan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits.2Bahkan tidak sedikit, hadits
yang mensejajarkan Birr al-Walidain dengan jihad fisabilillah dan juga menjadi afdlalal-
a’mal (amal-amal paling utama).
Naifnya, sebagian kalangan (suami) term Birr al-Walidain hanya sebatas idealitas dan
tidak dapat diiplementasikan. Status sebagai suami menjadikan seorang laki-laki mengalami
“degredasi” kepatuhan kepada kedua orang tua. Kecintaan terhadap istri secara berlebihan
terkadang mendorong suami lalai terhadap kedua orang tuanya yang seharusnya
dinomorsatukan walaupun dengan tanpa mengabaikan kewajiban berbuat ma’ruf kepada
istri. Hadits yang menceritakan kisah ‘Alqomah yakni seorang sahabat Nabi yang lebih
mementingkan istri dari pada ibunya di masa Rasulullah, kendati hadits tersebut menurut
sebagian kalangan dinyatakan Dla’if (lemah) namun karena terlegalitas oleh Ijma’ maka
hadist tersebut patut dijadikan I’tibar dan menjadi bahan renungan siapa saja khususnya yang
berstatus sebagai suami agar tidak lalai dalam menjalankan kewajiban berbakti kepada orang
tua.
Suami, sebagaimana makna tersirat dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ (4) ayat 34,
dituntut cerdas dan mampu berlaku bijaksana dalam memimpin rumah tangga. Dia harus bisa
memilah dan memilih mana yang harus didahulukan dan diakhirkan. Kapan dia harus
mendahulukan orang tua dan kapan dia harus mengakhirkan istrinya. Tidak pasti kebutuhan
orang tua harus didahulukan karena terkadang kebutuhan istri justru harus diutamakan.
2
Lihat, Al-Qur’an surat Al-Isra’ [17] : 23-24, surat al-Nisa’ [04] : 36, surat al-‘Ankabut [29] :
08. Sedangkan hadits yang menerangkan keutamaan Birr al-Walidain hampir tak terhitung
jumlahnya dan dikutip hampir seluruh kitab-kitab hadits. Misalnya kitab Shahih Bukhari ada
pada hadits nomor indeks 2782, 5515, Shahih Muslim ada pada nomor indeks 4621, 4622,
4623 dan 4624, Sunan Nasai ada pada nomor indeks 3052. Sunan Ibn Majah ada pada nomor
indeks 2708.

3
Oleh karenanya, demi dan untuk melaksanakan Birr al-walidain pada dasarnya
terdapat beragam cara yang dapat dilakukan oleh sang anak baik ia masih tinggal satu rumah
dengan orang tuanya atau sudah memiliki tempat tinggal sendiri,3 diantaranya adalah:

a. Mendoakan

Mendoakan orang tua merupakan perbuatan sangat terpuji. Dalam al-Qur’an terdapat
tiga ayat yang secara tersurat mendorong agar anak selalu berbuat baik kepada orang tuanya,
salah satunya dengan cara mendoakan. Pertama surat al-Ahqaf (46) ayat 15, kedua surat
Ibrahim(14) ayat 41 merupakan doa dari Nabi Ibrahim, ketiga surat al-Naml (27) ayat 19
merupakan doa dari Nabi Sulaiman.

Doa yang termaktub dalam urutan ketiga di atas sebagaimana penjelasan Syekh
Muhammad Thahir ibn ‘Ashur dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir supayaselalu dibaca
oleh seseorang yang telah mencapai usia dewasa (ulama berbeda pendapat perihal ketentuan
ukuran usia dewasa, ada yang mengatakan 18 tahun dan ada yang mengatakan 40 tahun).
Usia ini dijadikan patokan mengingat pada usia tersebut seseorang mudah melalaikan orang
tuanya karena telah memiliki berbagai kesibukan-kesibukan, diantaranya adalah mengurus
rumah tangga, anak, istri dan pekerjaannya sendiri.4

b. Peka terhadap perasaan orang tua

Sang anak yang telah berstatus sebagai suami yang notabenenya adalah “milik” orang
lain hendaknya peka terhadap perasaan kedua orang tuanya. Perubahan status dari anak
menjadi suami orang lain harus selalu disadari dan diingat olehnya. Tidak hanya itu,
perubahan status yang ada sebisa mungkin benar-benar diantisipasi jangan sampai
menyebabkan perasaan orang tua sedih hingga merasa seperti halnya kehilangan anak.
Walaupun anak telah tidak serumah dengan orang tuanya namun anak harus berusaha
tetap dan selalu menunjukkan ketaatan, kasih sayang dan perhatiannya kepada orang tua
kandungnya. Anak seharusnya peka terhadap kebutuhan orang tua baik berupa kebutuhan
primer maupun sekunder. Sebab, tipikal orang tua tidak akan meminta terhadap
anaknyawalapun pada dasarnya ia butuh dan berharap.
c. Menambah kasih sayang
3
Muhammad Ibn Ibrahim al-Hamd, Min Akhtha’ al-Azwaj (Riyadl: Dar Ibn Huzaimah, 1999),
05.
4
Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir (Tunisia: al-Dar al-Tunisiah, 1984), 32-
34.

4
Pada poin ini, terlihat berat bagi anak yang telah berstatus sebagai suami. Bagaimana
tidak, satu sisi dia disibukkan dengan segala aktifitasnya sendiri, mulai dari aktifitas yang ada
di rumah bersama keluarga hingga aktifitas di tempat kerja. Di tambah lagi dengan aktifitas-
aktifitas tambahan lainnya yang terkadang justru paling banyak menyita waktu. Sedangkan di
lain sisi dia harus menambah kasih sayang terhadap orang tua.
Di era millenium seperti saat ini tidak sulit mewujudkan hal itu sebab orang tua pada
dasarnya tidak selalu butuh terhadap pemberian anak namun justru perhatian anak yang selalu
ia harapkan. Kasih sayang kepada orang tua dapat diwujudkan dengan cara yang cukup
sederhana dan mudah yakni setiap saat menghubungi keduanya melalui Gawai. Bisa dengan
cara telpon, SMS atau bahkan dengan Video Call atau dengan cara lain yang pada intinya
pemanfaatan kecanggihan media social. Cara ini terlihat sepele namun bagi orang tua sangat
berarti karena hal ini menunjukkan perhatian anak kepada orang tuanya.

d. Manjauhkan keduanya dari prolem rumah tangga anak

Salah satu sifat peka yang seharusnya dimiliki anak adalah berusaha menjauhkan
orang tua dari problem rumah tangganya. Problematika rumah tangga berikut kerusuhan dan
keruwetannya tidak boleh diketahui dan terdengar oleh orang tua. Segala hal yang bisa
menyababkan orang tua semakin bertambah beban fikirannya sebisa mungkin harus dihindari
oleh anak.
Tidak bijak manakala anak membebani fikiran orang tua. Orang tua yang seharusnya
sudah tenang hidupnya dan tinggal menikmati masa tuanya sambil melihat kebahagiaan anak-
anaknya namun dengan mengetahui problem anaknya maka mau tidak mau dia akan ikut
berfikir keras dalam menyelesaikannya. Padahal keikutsertaan orang tua dalam mengurai
problematikarumah tangga sang anak belum tentu membawa hasil yang diharapkan namun
terkadang justru menambah karancuan.

Lambat dalam menangani polemic dan “Tebang Pilih”


Diantara kesalahan suami yang sering terjadi adalah lambatnya suami dalam
mengatasi ketidakcocokan antara istri dan orang tua. Suami kurang tanggap dan bergerak
cepat mengkompromikan perbedaan pendapat, perselisihan maupun gesekan yang timbul
diantara keduanya. Ibarat bola yang sedang menggelinding jika suami tidak segera

5
mengambil sikap dengan menghentikannya maka bola akan terus menggelinding hingga ia
jatuh di posisi terendah.
Dengan lambatnya suami mengompromikan polemik yang terjadi di antara istri dan
orang tua maka akan mengakibatkan pertikaian yang berakibat fatal di antara keduanya.
Perkara yang sebenarnya sepele dan remeh namun karena atas dasar ketidakcocokan dan
adanya gesekan maka dalam istilah orang Jawa akan disebut “Kriwikan dadi Grojokan”
maksudnya adalah perkara sepele namun akan berubah menjadi perkara besar.
Oleh karenanya, diantara hal-hal yang perlu diantisipasi dan dihindari oleh suami agar
tidak terjadi perselisihan adalah“Berat sebelah” dan minimnya klarifikasi terhadap kedua
belah fihak. Minimnya dua hal tersebutmerupakan salah satu pintu utama ketidakharmonisan
dalam rumah tangga serta menjadi “minyak” di dekat perapian yang seaktu-waktu akan
tersulut dan terbakar.
Misalnya, apa saja perkataan atau aduan istri atas sikap dan prilaku mertuanya (orang
tua suami) diterima suami sepenuhnya dengan tanpa melakukan klarifikasi lebih dulu kepada
orang tuanya. Sebaliknya, apapun perkataan dan aduan orang tuanya atas prilaku dan sikap
menantunya (istri) diterima apa adanya oleh suami tanpa ada filterisasi ataupun tabayun lebih
dahulu kepada istri.
Suami juga sering kali tidak menyadari bahwa menunjukkan kasih sayang berlebihan
kepada ibu di hadapan istrinya terkadang menimbulkan kecemburuan istri terhadap
mertuanya. Demikian pula sebaliknya yakni suami memperlakukan ibunya dengan begitu
istimewa di hadapan istrinya. Hal ini pada dasarnya jika disikapi dengan positif thinking tidak
akan menimbulkan gejolak dalam rumah tangga namun jika sebelumnya sudah ada
kecemburuan di antara keduanya maka hal tersebut akan memperkeruh keadaan.

Kondisi-kondisi semacam tersebut merupakan percikan-percikan kecil dalam rumah


tangga yang harus ditangani dan diantisipasai secepatnya oleh suami. Sekecil apapun polemik
jika dibiarkan berlarut-larit maka akan menjadi “bom waktu” yang setiap saat bisa meledak.
Oleh karenanya merupakan kesalahan suami jika hal tersebut tidak sesegera mungkin
dikompromikan dan dicarikan jalan keluarnya.

Terdapat beberapa tips yang dapat dilakukan suami untuk meminimalisir ketegangan yang
terjadi diantara istri dan orang tua diantaranya adalah:
a. Memahami watak dan karakter keduanya
b. Memberi pengertian kepada keduanya manakala dibutuhkan
c. Berlaku adil kepada keduanya

6
Ragu dan buruk sangka terhadap istri
Diantara kesalahan-kesalahan suami berikutnyaadalah ragu terhadapa istri dan buruk
sangka kepadanya. Ragu dan buruk sangka apalagi kepada istri merupakan sifat atau watak
tercela suami dan menjadi kesalahannya. Ketidakpercayaan suami kepada kapabilitas dan
loyalitas istri terhadap pengelolaan hartanya, pendidikan anak-anaknya serta segala hal hajat
hidup manusia merupakan kesalahan suami. Hal ini akan berdampak tidak baik dalam rumah
tangga khususnya bagi suami itu sendiri.
Suami yang tidak memiliki kepercayaan terhadap istrinya akan mengalami
ketidaktenangan dalam hidup. Perasaannya tidak akan tenang dan selalu was was karena
dihantui oleh berbagai prasangka yang belum tentu benar dan tidaknya. Misalnya, khawatir
hartanya akan di “curi” oleh istrinya, uangnya akan digunakan berlebihan oleh istrinya,
dibelanjakan yang tidak semestinya dan segala macam kecurigaan lain yang tidak beralasan.
Tidak hanya itu,ia juga tidak yakin kelak anaknya bisa sukses karena ia ragu terhadap
kecakapan istri atas pendidikan dan perawatan anak-anaknya.

Minim rasa cemburu


Cemburu merupakan luapan perasaan atau emosi yang keluar secara spontanitas dari
salah satu pasangan sebagai salah satu dari sekian banyak tanda cinta sejati. Dengan rasa
cemburu, suami dapat menjaga istrinya demikian pula sebaliknya istri juga dapat menjaga
suaminya dari fihak-fihak yang dapat mengancam keutuhan dan keharmonisan rumah tangga.
Dengan rasa cemburu masing-masing dari suami-istri dapat menjaga pasangannya dari
“penyelewengan” yang dapat muncul kapan saja.
Cemburu merupakan salah satu tanda dari kemuliaan seorang laki-laki. Tidak pantas
bagi laki-laki terhormat lemah dalam hal cemburu. Cemburu merupakan barometer volume
cinta seorang suami kepada istri. Semakin tinggi kemuliaan seseorang maka semakin besar
pula perasaan cemburunya namun sebaliknya semakin seseorang tidak memiliki kemuliaan
maka semakin rendah pula tingkat kecemburuan yang ia miliki.

Meremehkan istri
Diantara kesalahan suami selanjutnya adalah mudah merendahkan dan meremehkan
istri. Suami memandang sebelah mata terhadap kualifikasi istri karena istri merupakan
representasi dari mahluk yang lemah, kurang cakap dalam segala hal dan tidak bisa memberi

7
kontribusi yang signifikan dalam kehidupan. Oleh karenanya suami tidak memberi porsi yang
cukup dan tidak menjadikannya sebagai salah satu dari penentu kebijakan rumah tangga.
Tidak jarang pula, suami menjadikannya hanya sebagai konco wingkeng yang
berfungsisebagai pelengkap dalam kehidupan rumah tangga.
Di antara bentuk-bentuk meremehkan istri adalah mencibir, mencela, menghardik dan
menyalahkannya di hadapan anak-anaknya. Lebih parah lagi memberistigma buruk padanya
dengan tidak cakap dan tidak pandai dalam mendidik anak, mengatur kebutuhan rumah
tangga dan kurang peka terhadap gejala-gejala yang timbul dalam rumah tangga.

Bentuk-bentuk meremehkan istri peringkat selanjutnya adalah mencela, merendahkan


dan menjelek-jelekkan keluarga istri di hadapan istri. Baik dari keluarga dekat istri misalnya
orang tua, saudara kandung maupun kerabat agak dekat seperti sepupu, paman, kakek-nenek
dan kerabat lainnya.Kategori dalam item ini adalah mengatakan keburukan yang telah mereka
lakukan maupun keburukan yang statusnya masih sebatas dugaan.

Tidak memiliki jiwa kepemimpinan dan menyerahkannya pada istri


Item nomor 6 ini merupakan kebalikan dari sebelumnya. Jika sebelumnya kesalahan
suami adalah tidak menghargai istri bahkan merendahkan dan meremehkannya maka dalam
item ini sebaliknya yakni suami tidak cakap dalam memimpin rumah tangga sehingga
menyerahkan kepemimpinan kepada istri. Suami tunduk dan patuh terhadap semua kemauan
dan keinginan istri. Segala urusan rumah tangga diatur dan kendalikan oleh istri. Suami tidak
berhak menentukan kebijakan dan ikut berperan dalam menjalankan kehidupan berumah
tangga.
Kondisi semacam itu akan berakibat tidak baik dalam rumah tangga. Istri yang
seharusnya berbakti dan patuh kepada suami, menjaga harta dan hak milik suami, merawat
dan mendidik keturunan suami akan berbalik posisi menjadi sebaliknya. Istri akan terus-
terusan keluar rumah demi kerja mencari nafkah danmenjalankan semua kesibukan yang
seharusnya dilakukan oleh suami. Dengan demikian sama halnya dengan istri telah
meninggalkan fungsi utamanya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga.
Rumah tangga dengan kondisi demikian kurang dibenarkan baik dalam sudut pandang
agama, social maupun psikoligis. Dalam sudut agama karena bertentangan dengan amanat
surat al-Nisa’ [04] ayat 34 di mana laki-laki seharusnya menanggung perempuan karena
kecakapan yang ia miliki. Tidak hanya itu, indikator perempuan salihah dalam ayat tersebut
adalah manakala istri mampu menjaga hak milik suami dan menjaga dirinya tatkala suaminya
tidak di rumah.

8
Memakan harta istri dengan Bathil

Tidak semua laki-laki menikah dalam kondisi memiliki pengetahuan agama yang
cukup khususnya perihal kerumahtanggaan. Bahkan, sebagian diantara mereka dapat dibilang
minim dan pas-pasan. Oleh karenanya tidak jarang ada suami yang sedikit rasa malunya
bahkan tidak memiliki harga diri. Memakan dan menggunakan harta milik istri tanpa izin dan
tanpa memberi tau padanya semestinya tercela dan menciderai harga diri namun dilakukan
dengan tanpa ada beban dan merasa berdosa.
Hal ini banyak terjadi pada rumah tangga di mana si istri memiliki harta pribadi yang
cukup, baik yang ia hasilkan melalui kerja sebelum menikah maupun pasca menikah,
misalnya menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara), pebisnis hingga harta yang ia peroleh dari
warisan, hibah maupun sumber-sumber yang lain. Bukan harta pemberian dari suami atau
bukan pula harta hasil kerja bersama yang tergolong Gono-gini.
Harta-harta tersebut secara de jure maupun de vacto merupakan hak milik pribadi
istri. Oleh karenanya suami tidak boleh menggunakan harta-harta tersebut tanpa seizin dan
sepengetahuan istri. Namun karena katerbatasan pengetahuan yang dimiliki suami
sebagaimana katerangan di atas, suami mengambil dan menggunakan harta-harta tersebut
dengan berbagai cara demi dapat memenuhi keinginannya. Adakalanya dengan memberi
ancaman akan dicerai jika tidak dipenuhi, adakalanya dengan “mencari muka” dan menghiba
atau dengan segala macam alasan.
Prilaku-prilaku tersebut tidak akan dilakukan oleh suami yang memiliki pengetahuan
agama yang cukup dan memiliki harga diri karenaprilaku tersebut tidak dibenarkan dalam
Islam. Islam benar-benar menjaga dan menghargai hak milik termasuk milik istri. Istri bebas
menggunakan dan membelanjakan hartanya sesuai keinginantanpa harus minta izin pada
fihak manapun. Bahkan, suami juga tidak punya hak sedikitpun untuk melarangnya. Namun
sebaliknya, suami tidak boleh mengambil dan menggunakan sedikitpun harta istri tanpa minta
izin atau tanpa sepengetahuannya. Andaikan suami ingin menggunakan harta milik istri maka
harus dengan cara-cara yang dibenarkan, misalnya hibah, hutang, jual beli, pinjam dan lain
sebagainya.5

Kurang mendidik istri perihal agama

5
Muhammad Ibn Ibrahim al-Hamd, Min Akhtha’ al-Azwaj…, 19.

9
Sebagaimana laki-laki, tidak semua perempuan tatkala menikah sudah memiliki
pengetahuan agama yang cukup. Tidak jarang perempuan menikah berbekal pengetahuan
agama pas-pasan. Oleh karenanya, merupakan kesalahan suami manakala memiliki istri
berpengetahuan pas-pasan namun ia tidak selekasnya mengajarkan dan memahamkan ilmu
agama yang cukup terhadap istrinya sekaligus mendidiknya.6
Hal ini menjadi kesalahan suami karena jika suami tidak mengajarkan ilmu agama
yang cukup pada istrinya padahal ia membutuhkan niscaya istri tidak akan mengetahui hak-
hak suami, kewajiban-kewajibannya sebagai istri, tidak mengetahui bagaimana dia harus
mendidik dan mengajarkan ilmu pada anak-anaknya, tidak tau bagaimana ia harus beribadah
yang benar dan mengetahui mana kewajiban yang harus didahulukan dan diakhirkan.

Kikir tehadap istri


Kesalahan suami berikutnya adalah berlaku kikir terhadap istri, dalam bahasa arab
disebut Taqthiryaitu prilaku dimana suami kurang dalam memberi nafkah kepada istri bahkan
di bawah batas standart padahal suami kategori mampu dan memiliki harta yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan istri sedangkan istri sangat membutuhkan.Dalam istilah lain yang lebih
familiar prilaku tersebut disebut dengan bakhil.
Sikap ini dikategorikan parah dan benar-benar tercela manakala berkenaan dengan
nafkah wajib. Maksudnya, dalam upayanya memberi nafkah kepada anak dan istri suami
dikategorikan kurang dari batas minimum yakni batas dimana kebutuhan pokok dalam rumah
tangga terpenuhi dan tidak sampai lebih. Masuk dalam ketegori ini adalah kebutuhan berupa
makanan, tempat tinggal dan pakaian. Ketiga kebutuhan pokok tersebut tidak dicukupi suami
sebagaimana ukuran kepantasan dan ukuran semestinya padahal suami mampu
mencukupinya.

Taqthir sebagaimana tersebut tidak diperkenankan dalam agama. Dalam al-Qur’an


Allah telah mengingatkan dalam surat al-Thalaq ayat 07dengan redaksi (Hendaklah orang
yang mampu, memberi nafkah menurut kemampuannya). Ayat ini mengindikasikan bahwa
suami yang memiliki kecukupan harta hendaknya memberi nafkah sesuai kadar
kecukupannya. Sebaliknya sebagaimana lanjutan ayat tersebut, bagi suami yang sempit
rizkinya maka silahkan memberi nafkah semampunya.

Ayat tersebut walaupunpada dasarnya ditujukan kepada suami yang mentalak istri
namun secara umum memberi panduan kepada para suami supaya tidak berlaku Taqthir
6
Ibid.

10
terhadap anak dan istrinya sehingga dapat mengakibatkan kurang terjaminnya keluarga yang
sejahtera.
Pada saat haji Wada’nabi berwasiat agar para suami hendaknya memberlakukan istri
dengan baik. Selanjutnya nabi juga menjelaskan hak-hak dan kewajiban keduanya. Nabi
menjelaskan bahwa suami tidak berhak selain berbuat baik pada istri kecuali jika istri
melakukan perbuatan buruk (fahisyah). Jika istri melakukan perbuatan tersebut maka suami
hendaknya menghukum dengan cara “pisah ranjang”. Nabi juga berpesan:
“Ketahuilah, Hak-hak mereka (para istri) terhadap kalian adalah berbuat baik pada mereka di
dalam pakaian dan makanannya”.7
Di dalam hadits lain Nabi juga berpesan:

“Taqwalah kepada Allah terhadap perempuan karena sesungguhnya mereka adalah


tawananmu, ambillah mereka dengan amanah Allah, halalkan mereka dengan kalimat Allah
dan wajib bagi kalian atas mereka rizki dan paikaian yang baik”.8

Sering mencela dan mengkritik istri


Terdapat unsur kesengajaan maupun tidak,merupakan perangai pembawaan ataupun
hanya luapan emosi sesaat, nyata adanya bahwa dalam kehidupan ini terdapat suami memiliki
tipikal sering mencela istri. Baik dalam urusan skala besar maupun hal-hal kecil. Mencela
manakala istri kurang tepat dan sesuai dalam menyuguhkan hidangan, mencela tatkala kurang
bisa merawat anak-anaknya dan selalu akan memperbesar celaannya di saat istri teledor
dalam upayanya mengabdi dan melayani suami.
Lebih parahlagi manakala suami mencela istri yang tidak mampu melakukan hal-hal
di luar batas kemampuannya dan kemampuan manusia pada umumnya. Misalnya istri tidak
dapat memberi keturunan ataubisa memberi keturunan namun hanya satu jenis kelamin saja
misalnya laki-laki atau perempuan saja atau memberi keturunan namun “buruk rupa”dan
tidak elok atau mampu memberi keturunan namun cacat secara fisik atau mental.
Prilaku-prilaku suami di atas merupakan prilaku di luar batas kewajaran manusia pada
umumnyayang tidak mungkin dilakukan oleh orang terhormat dan waras otaknya. Mencela
apalagi terhadap hal-hal yang tidak dapat dilakukan manusia merupakan perbuatan yang tidak
tepat, salah dan hanya dialakukan oleh orang yang tidak memiliki rasa prikemanusiaan.

7
Terdapat beberapa hadits yang senada. Lihat selengkapnya, Wahbah Zuhaily, al-Wajiz fi Fiqh
al-Islamy (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), 113.
8
Muhammad Ibn Ibrahim al-Hamd, Min Akhtha’ al-Azwaj…32. Lihat pula, Muhyi al-Din Abi
Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Riyadl al-Shalihin (Surabaya: al-Hidayah, T.Th), 150.

11
Andai saja dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan (misalnya istri berlebihan dalam
membelanjakan harta suami) suami berhak mencela istri namun tidak sepatutnya suami
mengulang-ulang celaannya. Tidak dibenarkan suami mengatakan hal-hal yang dapat melukai
perasaan istri yang pada tahapan berikutnya justru dapat membuatnya tersinggung, mutung
dan luka hati sehingga cepat atau lambat akan dapat mengurangi rasa hormat dan kasih
sanyang istri terhadap suami.

Oleh karenanya Nabi telah berwasiat kepada para suami agar memberlakukan istri
dengan sebaik-baiknya. Bahkan Nabi telah mengingatkan bahwa perempuan (istri) tercipta
dari tulang rusuk yang paling atas yang notabenenya mudah patah. Nabi bersabda:
“Berbuat baiklah kalian dengan kaum wanita karena perempuan tercipta dari tulang rusuk dan
sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas”.9

Hadits tersebut mengajarkan kepada para suami bagaimana suami harus


memberlakukan istri dengan cara yang lemah lembut, pelan-pelan dan tidak kasar karena jika
tidak demikian layaknya tulang rusuk makaakan mudah retak dan pecah.

Saling diam dan mau tidak memulai


Pada poin sebelumnya telah dijelaskan bahwa di antara para suami ada yang mudah
dan sering mengkritik dan mencela istri terhadap hal-hal kecil maupun besar. Hal ini
terkadang berdampak pada pertengkaran di antara keduanya yang mengakibatkan saling
mendiamkan, tidak saling sapa dan tidak saling tanya hingga seakan-akan telah putus
hubungan walaupun masih dalam status suami-istri.
Kondisi semacam ini adakalanya tidak membutuhkan waktu panjang karena keduanya
kembali berbaikan namun tidak sedikit pula kondisi ini berlarut larut hingga berhari-hari,
berminggu-minggu bahkan terkadang hingga berbulan. Kondisi semacam ini tidak baik bagi
keberlangsungan keduanya karenaemosi ataupun perasaan marah yang mereka miliki lambat
laun akan menggumpal dan mengkristal sehingga akan menjadi “bom waktu” yang siap
meledak kapan saja manakala tersulut pertikaian walaupun tarafnya kecil dan sepele.
Oleh karenanya tidak baik bagi suami mendiamkan kondisi semacam ini hingga
berlarut-larut. Walaupun “Percikan-percikan kecil” dalam rumah tangga adalah wajar dan
dialami oleh siapa sajanamun sebisa mungkin suami yang notabenenya sebagai nahkoda

9
Hadits Riwayat Bukhari, nomor indeks 3331 dan Hadist riwayat Muslim, nomor indeks
1428. Lihat pula, Muhyi al-Din Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Riyadl al-Shalihin,…
148.

12
rumah tangga segera mengambil inisiatif ataupun sikap untuk berbaikan dengan istri agar
polemic segera dapat diakhiri. Jika kondisi ini tidak segera diakhiri maka akan berdapampak
pada hilangnya rasa cinta-kasih diantara keduanya secara berlahan-lahan.
Andaikan terdapat sesuatu yang dapat membenarkan tindakan suami mendiamkan
istri, misalnya istri tidak taat lagi pada suami dan cenderung membangkang perintahnya maka
harus dilakukan dengan batas-batas kewajaran dan tidak dilakukan di depan anak-anaknya
karena hal ini berdampak tidak baik bagi mereka. Anak sebagai generasi dari keduanya
memiliki kemungkinan besar meniru prlilaku orang tuanya.
Telah disinggung dalam al-Qur’an, surat al-Nisa’ ayat 34 sebagaimana penjelasan
dalam tafsir Ibn Kathir bahwamenurut Ali Abu Thalhah dari Ibn Abbas, makna yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah jika suami terpaksa harus mendiamkan istri maka
hendaknya suami melakukannya dengan cara tidak menyetubuhinya, tidak pula tidur
bersamanya.10Jika terpaksa tidur bersamanya maka hendaknya suami memalingkan punggung
dari istrinya.
Oleh karenanya, suami yang baik dan bijak adalah suami yang mampu menguasai
emosi pada saat pertengkaran dan memahami perbedaan. Suami tau bahwa dalam rumah
tangga pasti tidak terlepas dari perbedaan dan perselisihan. Dia faham bahwa hidup berumah
tangga meniscayakan problematika dan permasalahan. Oleh karenanya ia harus mampu
mengatasi dan menguasai emosi, mencari jalan keluar atas problematika yang ada,
memberlakukan istri sedemikian rupa agar rumah tangganya baik-baik saja.

Jarang di rumah
Diantara para suami tidak sedikit dari mereka jarang berada di rumah. Hari-harinya
banyak digunakan aktifitas di luar rumah.Bahkan hampirtidak memiliki waktuluang alih-alih
bisa santai berada dan tinggal bersama keluarga di rumah.Berangkat pagi buta hingga larut
malam sehingga tidak jarang sampai di rumah badan telah loyo, capek, ngantuk dan
terkurashabis tenaganya karena telah digunakan seharian. Oleh karenanya tidak ada lagi
waktu tersisa untuk sekedar ngobrol, duduk santai dengan istri maupun bercanda dengan
anak-anak.
Ada pula suami yang menghabiskan waktunya bersama kolega, patner atau
komunitas-komunitas yang ia ikuti karena ia menjadi bagian di dalamanya. Berjam-jam,
berhari-hari bahkan terkadang berminggu-minggusuami di luar rumah tanpa keikutsertaan

10
Lihat selengkapnya, Abi al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Kathir al-Qurasyi, Tafsir al-Qur’an
al-‘Adzim, Vol. II (Riyadl: Dar Thayibah, 1999), 294.

13
anak dan istrimya. Suami bersama komunitasnya terlibat dalam kegiatan maupun event baik
bersifat formal maupun non formal. Terkadang ada kaitannya dengan pekerjaannyadan tidak
jarang pula hanya sekedar kongkow-kongkow maupun menghadiri beragam pesta yang
diadakan oleh rekanan maupun komunitasnya.
Kegiatan-kegiatan semacam itu kategori berlebihan.Cepat atau lambat akan membawa
dampak tidak baik dalam rumah tangga. Istri dan anak butuh perhatian, butuh kasih sayang,
butuh pendampingan dan butuh kenyamaanan, rasa aman dan merasa dilindungi. Oleh
karenanya jika hal ini kurang diperhatikan oleh suami maka dapat dipastikan lambat laun
akan terjadi kesenjangan dalam rumah tangganya. Respon negative dari istri maupun anak
akibat kurang adanya waktu dan perhatian untuk mereka pasti akan muncul dan dirasakan
oleh suami.

Oleh karenanya, terdapat beberapa alternative yang dapat digunakan suami sebagai
acuan dalam upayanya memenuhi hak-hak istri dan anak agar rumah tangganya relative
damai dan tentram, diantaranya adalah:
a. Menyediakan waktu khusus untuk keluarga. Beberapa menit atau beberapa jam dalam
sehari. Seminggu sekali atau beberapa minggu sekali hendaknya suami meluangkan
waktu khusus bagi keluarga untuk sekedar santai, ngobrol dan bermain-main dengan
anak.
b. Memberi pengertian. Item ini hendaknya sering dilakukan oleh suami yang memiliki
kesibukan misalnya sebagai pendakwah agama atau suami masih menempuh
pendidikan tinggi, suami sedang menyelesaikan karya tulis baik berupa buku atau
yang lain di mana perkerjaan-pekerjaan tersebut tidak bisa dilakukan dengan
setengah-setengan melainkan butuh pencurahan tenaga dan fikiran dalam tempo
waktu yang cukup panjang.
c. Meminta maklum atau minta maaf. Bagi suami yang banyak memiliki kesibukan di
luar rumah hendaknya sering minta maklum, pengertian dan bila perlu minta maaf
kepada istri manakala ia sering terlambat pulang atau pulang terlalu malam atau
bahkan jarang pulang. Hal ini penting dilakukan karena pada dasarnya dengan
keterlambatan pulang suami dan jarangnya suami pulang berarti sama halnya dengan
suami telah berbuat dzalim kepada istri karena telah mengambil hak istri berupa
waktu kebersamaaan.
d. Membantu pekerjaan istri. Bagi suami yang waktunya habis di luar rumah hendaknya
meluangkan hal ini walaupun tidak selalu dan kadang-kadang. Dengan membantu

14
pekerjaan istri maka istri akan merasa diperhatikan dan dihargai. Dengan demikian
istri akan merasa nyaman dan tenang hatinya dan akan memaklumi manakala suami
sering terlambat pulang atau meninggalkannya.11

Membuka rahasia “Ranjang”.


Diantara kesalahan suami adalah membuka rahasia “ranjang”. Maksudnya adalah
suami menceritakan kepada orang lain tentang apa saja yang ia lakukan dengan istrinya di
saat bergubungan badan di atas ranjang. Tanpa ada rasa canggungataupun tabu suami
menceritakan hal tersebut kepada orang lain bahkan adakalanya hingga detail seakan-akan
orang lain melihat dan menyatakan sendiri.
Bagi laki-laki yang memiliki harga diri, memiliki sifat ‘iffah dan akal yang sempurna
menceritakan “urusan ranjang” kepada orang lain merupakan prilaku yang tidak patut dan
tidak boleh dilakukan karena melanggar syara’. Bagaimana tidak, Allah yang notabenenya
sebagai Tuhan semesta alam yang mampu berbuat apa saja tanpa ada yang mampu
menghalangi, metutup siri atau rahasia maklukNYA,menyembunyikan aibnya dan tidak
membuka keburukannyanamun kenapa makhluknya justru membuka dan menceritakan
rahasia dan aibnya sendiri kepada orang lain? Lebih parah lagi jika hal-hal yang diceritakan
suami merupakan siriatau aib istrinya. Prilaku ini mendapat ancaman langsung dari Nabi
sebagai sebruk-buruknya manusia di hadapan Allah kelak di hari qiyamat. Dalam kitab Sahih
Muslim nomor indeks 1437 Nabi bersabda:
“Sesungguhnya diantara seburuk-buruknya manusia di hadapan Allah di hari qiyamat adalah
laki-laki yang mendatangi (jima’) istrinya dan istrinya mendatanginya (jima’) kemudian laki-
laki tersebut menyebarkan sirinya”.
Oleh karenanya imam Nawawi memberi komentar terhadap hadits tersebut dengan
haram hukumnya bagi suami menceritakan perihal apa saja yang dia lakukan bersama istrinya
khususnya ketika di “ranjang”. Baik yang diceritakan tersebut berupa ucapan ataupun
perilaku keduanya. Lebih parah lagi jika hal-hal tersebut diceritakan secara detail.16Adapun
menceritakan perihal jima’ dengan tanpa adanya tujuan-tujuan tertentu dan tanpa adanya
faidah maka hukumnya makruh.

Tidak mengetahui kebiasaan baru istri

11
Sebagai rujukan dari item tersebut adalah hadits Nabi riwayat imam Bukhari dalam kitab
Shahih Bukhari nomor indeks 5363 bahwa sahabat Aswad bin Yazid bertanya pada Sayidah
‘Aisyah RA: “Apa yang dilakukan Nabi di rumah?”. Sayidah ‘Aisyah menjawab: “Nabi melayani
keluarganya dan ketika beliau mendengar kumandang Adzan maka beliau bergegas keluar”.

15
Kesalahan suami berikutnya adalah tidak mengetahui kebiasaan baru istri yang justru
dialami oleh kaum perempuan pada umumnya. Maksud dari ungkapan ini adalah suami tidak
memahami kebiasaan-kebiasaan yang lazim muncul pada kaum perempun di luar watak
aslinya. Misalnya, tatkala istri sedang hamil dia minta sesuatu yang sulit dan jarang
ditemukan. Istri minta dicarikan buah-buahan disaat bukan lagi musimnya. 12 Minta dibelikan
sesuatu di saat sudah tidak ada lagi yang jualan dan lain sebagainya.
Contoh kebiasan baru selanjutnya adalah perubahan perangai disebabkan sedang
“libur” yakni menstruasi. Merupakan kesalahan suami manakala ia tidak memahami hal
tersebut.Pada saat menstruasi pada umumnya perempuan mengalami labilitas emosional.
Emosinya tidak stabil, mudah marah, mudah tersinggung, pola hidup berganti, perangainya
tidak lazim dan tidak semestinya. Tidak hanya itu, ia cenderung sensitive perasaannya,
mudah tersinggung, tidak cukup sabar bahkan cenderung tidak mau tampil menarik di depan
umum dan enggan merias diri.
Di saat suami tidak dapat memahami kebiasaan-kebiasaan temporal tersebut maka
dapat dipastikan pertengkaran dan perselisihan antara suami dan istri baik bersifat ringan atau
berat tidak dapat dihindarkan. Ibarat seseorang yang bermain api, ia berada didekat kilang
minyaksehingga minim kemungkinannya kilang minyak tidak akan terbakar.

Menggauli istri dalam kondisi menstruasi


Tidak sedikit diantara para suami tidak mengetahui bahwa menggauli istri dalam
kondisi menstruasi hukumnya adalah haram. Oleh karenanya merupakan kesalahan besar
bagi suami tidak mengetahui hal ini karena perbuatan tersebut tidak diperkenankan dalam
syariat bahkan mendapat ancaman siksa di akhirat dan berdampak tidak baik bagi kesehatan
suami maupun istri bahkan terhadap keturunan.
Keharaman menggauli istri dalam kondisi menstruasi didasarkan pada nash sharih
yakni surat al-Baqarah ayat 222. Imam Ibn Taimiyah menambahkan bahwa menggauli
(wathi) istri dalam kondisi haidl haram berdasarkan ittifaq (konsensus) ulama’. Imam ibn al-
Qoyyim juga menyatakan bahwa menggauli (jima’) istri dalam kondisi menstruasi haram
secara syara’ dan tabiat manusia karena hal tersebut sangat membahayakan. 13 Oleh karenanya
semua dokter tanpa terkecuali melarangnya.
Dalam tafsir al-Maraghi disebutkan bahwa para ahli kesehatan menyatakan bahwa
berhubungan badan (jima’) pada saat istri sedang menstruasi akan berdampak pada:
12
Kebiasaan-kebiasaan baru semacam itu dalam masyarakat Jawa lazim disebut dengan istilah
Ngidam.
13
Muhammad Ibn Ibrahim al-Hamd, Min Akhtha’ al-Azwaj…63.

16
1. Membahayakan organ reproduksi wanita, membahayakan kesehatan
Rahim,membahayakan indung telur dan membahayakan kesehatan kandungan.
2. Masuknya darah haidl ke dalam organ reproduksi terkadang akan mengakibatkan
penyakitradang yang menyerupai keputihan dan jika hal ini berlangsung lama maka
akan membahayakan buah dzakar yang dapat mengakibatkan kemandulan.

Keharaman menggauli istri, selain nashsharih di atas juga atas dasar sabda Nabi yang
berbunyi: ‫( إصنعوا ك ّل شيئ إال النكاح‬berbuatlah sesukamu kecuali nikah (jima’). Walaupun sabda
Nabi terebut menggunakan kata ‫ النك^^اح‬yakni lafad yang maknanya masih ambigu namun
ulama sepakat bahwa makna kata tersebut adalah jima’.

Menggauli istri melalui Dubur


Diantara kesalahan suami berikutnya adalah menggauli istrinya tidak pada tempat
semestinya yakni farj atau Qubul melainkan di dubur. Hal ini dilakukan adakalanya karena
ketidaktahuan suami mengenai hukumnya, adakalanya karena nafsu dan fikiran yang kotor
yakni belum puas dengan pemberian Allah berupa Qubul dan adakalanya karena
ketidaktahuan akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatan tersebut.

Tergesa menjatuhkan Talaq


Tidak sedikit diantara para suami meremehkan dan menganggap sepele urusan Talaq.
Kata talak, cerai, pisah, pegat begitu ringan diucapkan oleh suami ketika bertengkar dengan
istrinya hanya karena perkara yang sepele dan tidak mendasar. Suami tidak menyadari bahwa
kata-kata tersebut memiliki dampak yang tidak ringan, panjang, fatal dan membawa
konsekwensi tidak mudah pada kehidupan berikutnya. Dengan suami mengucapkan kata-kata
tersebut maka jatuhlah talak atas istrinya.
Suami tidak menyadari bahwa kata cerai, pisah, pegat dan lain-lain yang
mengindikasikan putusnya pernikahan jika diucapkan suami baik dalam kondisi serius
maupun gurauan, kondisi marah maupun kondisi normal (kondisi sadar) maka jatuhlah Talak.
Hal ini sebagaimana amanah hadist (Tiga perkara seriusnya adalah serius/terjadi, gurauannya
adalah serius yaitu Nikah, Talak dan Ruju’). Hadits tersebut dengan jelas sekali memberi
pengertaian bahwa suami hendaknya tidak “main-main” dengan mengucapkan kata cerai,
pisah, pegat dan lain-lain yang mengindikasikan putusnya pernikahan karena kata-kata
tersebut walaupun diucapkan dengan gurauan sekalipun maka jatuhlah Talak. Begitu pula

17
ketika diucapkan dalam keadaan marah dan dia menyatakan jika pada saat mengucapkan itu
dia alpa, tidak sadar ataupun lupa.

PENUTUP
Kehidupan rumah tangga selalu ada onak dan duri. Dengannya keharmonisan dan
keutuhan rumah tangga sewaktu-waktu dapat terancam. Salah satu dari onak dan duri tersebut
adalah kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh masing-masing suami dan istri. Jika
keduanya tidak saling memahami dan menerima maka dapat dipastikan keutuhan rumah
tangga sudah diambang kehancurannya.
Adapun kesalahan-kesalahan suami adalah lalai terhadap birr al-walidain, lambat
dalam menangani polemik, ragu dan buruk sangka terhadap istri, minim rasa cemburu,
meremehkan istri, tidak memiliki jiwa kepemimpinan, memakan harta istri dengan bathil,
kurang mendidik istri perihal agama, kikir terhadap istri, sering mencela dan mengkritik istri,
saling diam dan tidak mau memulai, jarang di rumah, membuka rahasia “ranjang”, tidak
mengetahui kebiasaan baru istri, menggauli istri dalam kondisi menstruasi, menggauli istri
melalui Dubur, tergesa-gesa menjatuhkan Talak.

DAFTAR PUSTAKA
Abi al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Kathir al-Qurasyi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Riyadl:
Dar Thayibah, 1999.
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bairut: Dar ibn Kathir,
2002.
Abu al-Husain Muslim bi al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, Bandung: Dahlan, T.Th.
Muhammad Ibn Ibrahim al-Hamd, Min Akhtha’ al-Azwaj, Riyadl: Dar Ibn Huzaimah, 1999.
Muhammad Thahir ibn ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunisia: al-Dar al-Tunisiah, 1984.
Muhyi al-Din Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Riyadl al-Shalihin, Surabaya: al-
Hidayah, T.Th.
Sayyid Abu Bakr Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’anat al-Thalibin, Indonesia: Dar Ihya al-
kutub al-‘Arabiyah, T.Th.
Wahbah Zuhaily, al-Wajiz fi Fiqh al-Islamy, Damaskus: Dar al-Fikr, 2006.
www.Bincangsyariah.com.
Zain al-Din Abd al-‘Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in, Surabaya: al-Hidayah, T.Th.

18
19

You might also like