Analisis Bahan Ajar Kb1
Analisis Bahan Ajar Kb1
ABDURROHMAN
Program Studi Pendidikan Sosiologi Universitas Hamzanwadi
Lombok Timur NTB
Email: [email protected]
Abstract
The phenomenon of religious radicalism has become a global threat of the 21st century that
phenomenon was a result of Islam as anaccused religion and was often associated with a
terrorist religion. Educational institutions often "suspected" in creating of terrorists’
generations because the content material of Islamic Religious Education Study was dogmatic,
indoctrinated, and related to proselytizing spirit that confirms truth claims. Anyway,
substance of instructional materials used in senior high school does not contain inclusive
religious content so it can create an exclusive and intolerant religious behavior among senior
high school students. The aim of this study; 1).Providing foothold among students of
theological and sociological thinking and behavior in order to have an inclusive and tolerant
religiosity 2).Deploying and seeding ideas and behavior of an inclusive and tolerant religiosity
as a form of resistance ideology (de-radicalization). 3). Filling the void literature Islamic
Religious Education Study particular model of inclusive diversity relevant to mainstream
Islam in Indonesia. To counteract the religious radicalism among students, the teaching
material of Islamic Religious Education Study must contain religious inclusive content
incorporating the teachings of Islam as a religion Rahmatan Lil Alamin, a religion of
tolerance which is supported by the argument of the Qur'an and hadith. By using this model
of teaching materials is expected of senior high school students have an inclusive religious
behavior that is relevant to the character and Indonesian Islam mainstream in order to
prevent radicalism behavior among senior high school students.
Pendahuluan
Fenomena radikalisme agama telah menjadi perbincangan global yang menarik
perhatian dunia pasca tragedi menara kembar World Trade Centre 11 September 2001
silam. Semenjak tragedi itu istilah “radikalisme” sering dikaitkan dengan “terorisme” yang
kini menjadi common enemy bagi semua negara di dunia.
Tindakan radikalisme sebagai kejahatan kemanusiaan lintas negara acapkali
pelakunya mengatasnamakan jihad dan pembela Islam sehingga berimplikasi pada
munculnya stigmatisasi terhadap citra Islam sebagai agama “teroris”. Hal ini dapat dipahami
karena kelompok-kelompok radikal adalah orang-orang Islam yang militan, literalis dengan
mengusung ideology jihad (istishhad) dan takfiri (mengkafirkan siapapun yang berbeda
faham atau ideologi dengan mereka). Dalam praksis keberagamaan, mereka cenderung
eksklusif, intoleransi dalam beragama, anti keragaman sehingga pada titik kritis
dihipotesiskan melahirkan terorisme1. Kini gerakan-Islam radikal bermetamorfosis menjadi
gerakan radikal baru bernama ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) yang telah menebar
ancaman teror global dan aksi kejam tak berprikemanusiaan kepada siapa saja yang dianggap
tidak sejalan dengan ideologi dan faham mereka.
Istilah radikalisme berasal dari kata latin, radic yang berarti “akar”, dan radikal
adalah (sesuatu yang) bersifat “mendasar” atau hingga ke akar-akarnya. Predikat ini bisa
dikenakan pada pemikiran atau paham, sehingga muncul istilah pemikiran yang radikal, dan
bisa pula pada gerakan2. Berdasarkan hal diatas, radikalisme diartikan sebagai “paham” atau
“aliran” yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
keras atau drastis dan sikap ekstrem disuatu aliran politik3. Dengan demikian, Istilah Islam
radikal adalah paham keislaman yang menginginkan dilakukannya perubahan sosial-politik
sesuai syariat Islam yang dilakukan dengan cara kekerasan4.
Di Indonesia gerakan-gerakan keagamaan yang dicap “radikal” mulai bermunculan
pasca reformasi tahun 1998. Pada tahun itu tidak hanya terjadi perubahan dibidang politik
saja tetapi juga terjadi perubahan pada ranah kehidupan keagamaan yaitu dengan tumbuh
suburnya gerakan-gerakan Islam baru non maisnstream5. Bentuk gerakan politik dari
kelompok non mainstream ini salah satunya ada yang bersifat jihadis yaitu bentuk aksi politik
berupa tindakan kekerasan atas nama jihad6. Kelompok jihadis ini disinyalir melahirkan
gerakan radikalisme yang kemudian melahirkan terorisme di Indonesia seperti peristiwa
seperti bom Bali I (2002), bom hotel JW Marriot (2003), bom kedutaan Australia (2004),
bom Bali II (2006) dan terakhir aksi heroik yang terjadi di Jl. MH Thamrin Jakarta (2016)
meski aksi terornya gagal. Tragedi kemanusiaan ini secara drastis telah merusak sendi-sendi
keberagaman dan merubah wajah Islam Indonesia menjadi Islam radikal dan intoleran yang
semula dikenal sebagai penganut Islam yang ramah dan moderat.
Maraknya aksi dan gerakan radikalisme di Indonesia pasca reformasi disinyalir
beberapa pihak sebagai produk pendidikan. Pendidikan “dicurigai” menciptakan generasi
teroris kendati institusi pendidikan tidak pernah secara langsung mengajarkan para siswa
untuk menjadi teroris, tetapi ada beberapa materi pelajaran Pendidikan Agama (Islam) yang
diduga berorama menumbuhkan sifat “sentimen” dan antipati terhadap kelompok lain yang
berbeda agama7. Dengan kata lain cakupan materi bahan ajar PAI di sekolah-sekolah
disinyalir masih bersifat normatif-indoktrinatif, mengarah truth claim, dan belum memuat
konten keberagamaan inklusif yang relevan dengan mainstream Islam Indonesia. Model
bahan ajar seperti ini akan membentuk cara pandang dan perilaku keberagamaan eksklusif
dan intoleran di kalangan siswa. Lagi pula dalam praksis pembelajaran PAI dikelas, banyak
ditemukan guru masih mengandalkan metode ceramah yang bersifat indoktrinatif (Teacher
Centered Learning). Guru bagaikan da’i yang komunikasinya bersifat satu arah (one way).
Disamping itu, guru masih masih terpaku pada penguasaan pengetahuan (transfer of
knowledge) belum menyentuh aspek afektif dan psikomotorik dalam proses pembelajaran.
Ada beberapa hasil penelitian yang memperkuat temuan tersebut diantaranya hasil
Penelitian Indonesian Institut for society empowerment yang dipublikasikan pada tahun
2015 melaporkan bahwa dari 120 narapidana terorisme yang diwawancarai di 16 LP di 3
negara (Indonesia, Malaysia, dan Filipina), 48,2 % pelaku berasal dari SMU, jauh lebih besar
dibandingkan pelaku yang berasal dari pesantren atau madrasah yang hanya 5,5 dan 3,6 %.8
Terkait dengan Hal tersebut, Imam besar al-Azhar Ahmed al-Tayeb juga menyerukan
reformasi pengajaran agama di Negara-negara Muslim untuk mencegah penyebaran
ekstremisme agama. Ia menyebut ekstremisme memiliki korelasi dengan penafsiran yang
buruk terhadap al-Qur’an dan Hadist9
Hasil penelitian Indonesian Institut for society empowerment dan statemen Ahmed
al-Tayeb diatas menjadi dasar kuat bagi peneliti untuk melakukan kajian tentang
pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah-sekolah Menengah Atas (SMA) se-
7 Kompas, 1/4/2015
8 Kompas, 10/09/2015
9 Ahmad al-Tayeb, Pengajaran Agama Perlu di Reformasi, (Kompas, 24/2/2015)
kota Selong dengan mengfokuskan kajian pada muatan konten bahan ajar PAI. Sedangkan
model Pendidikan Agama (Islam) yang dikembangkan dalam bahan ajar ini adalah model
keberagamaan inklusif atau istilah Jack Seymour dan Tabita Kartika Christiani menyebutnya
model beyond the wall 10, atau Richard Martin menyebutnya pendekatan obyektif, positivistik
dan realistik11. Inti dari keberagamaan ini mengajak para siswa dari beragam agama untuk
bekerja sama mengkampanyekan perdamaian, keadilan, kasih sayang, saling toleransi dan
keterlibatan mereka dalam kerja-kerja kemanusiaan. Inti dari model keberagamaan ini sama
sekali tidak mengkaji agama secara tekstualis-doktrinal yang mengarah pada semangat da’wah
yang menegaskan truth claim. Karena musuh agama bukan pemeluk agama yang berbeda,
melainkan kemiskinan, kebodohan, kapitalisme, kekerasan, radikalisme, ketidakjujuran,
korupsi, manipulasi, kerusakan lingkungan dan sebagainya. Pendekatan ini relevan dengan
karakter masyarakat Indonesia yang pluralis dan multireligius12.
Mengingat begitu penting dan strategisnya institusi pendidikan sebagai kanal untuk
menyebarluaskan paham Islam moderat, maka bahan ajar Pendidikan Agama Islam (PAI)
model keberagamaan inklusif menjadi sebuah keniscayaan (dharuriyyat). Dengan model
bahan ajar ini diharapkan para siswa memiliki pemikiran dan perilaku keberagamaan yang
inklusif dan toleran yang relevan dengan mainstream Islam Indonesia yaitu Islam yang
Wasathiah (moderat). Tujuannya untuk mencegah perilaku radikalisme beragama dikalangan
siswa (deradikalisasi). Karena penulis yakin bahwa sikap dan perilaku seseorang akan sangat
dipengaruhi oleh cara pandangnya (mindset).
Radikalisme Islam
Tema kajian tentang radikalisme agama pasca tragedi WTC 11 September 2001
telah menjadi isu publik yang tidak hanya ramai diperbincangkan di dunia akademik (the
rational world), tetapi telah menjadi kenyataan empirik (the real world). Kejahatan
kemanusiaan (humanity crime) yang mengatasnamakan agama ini telah nyata terjadi tidak
hanya di Indonesia tetapi juga diberbagai negara di seantero jagad seperti teror di Paris
(2015). Umumnya, para pengkaji gerakan Islam menghubungkan radikalisme dengan
fundamentalisme yang pada masa-masa sebelumnya justru lebih populer. Artinya istilah
Islam radikal sebenarnya muncul belakangan dibanding gerakan atau pemikiran lainnya yang
10
M. Agus Nuryatno, Mengubah Paradigma Pendidikan Agama, (Kompas, 13/1/2012)
11
Pendapat Martin tersebut dikutip oleh Totok Ariyanto dalam artikelnya berjudul Mengakhiri Hipokrisi
Pendidikan Agama, (Kompas, 12/8/2002)
12 Ibid
lebih dulu dilekatkan kepada Islam, misalnya Islam Militan, Islam Tradisionalis, Islam
Modernis, Islam aktual. Akan tetapi pasca tragedi menara kembar WTC 11 september
2001, Istilah “Islam Radikal” telah merebut wacana dalam berbagai pembicaraan dalam
skala global13
Predikat “radikal sebenarnya sudah cukup lama diberikan kepada, Islam.
Mongomery Watt dan Dhilip Hiro yang dikutip Muhammad14 menggunakan istilah “radikal”
untuk menunjukkan gerakan-gerakan di Mesir yang melakukan berbagai tindak kekerasan,
misalnya jama’ah takfir wa al-Hijr, Hizbullah, dan jamaah Al-Jihad.
Terlepas dari perdebatan dalam pemakaian kedua istilah tersebut, gerakan
fundamentalisme atau radikalisme sepertinya memiliki “watak keabadian”karena seperti
yang dikemukakan azra gerakan radikalisme dipastikan akan muncul sewaktu-waktu dalam
system keagamaan, social, budaya, politik yang dipandang tidak menguntungkan Islam dan
kaum muslim15
Islam radikal merupakan fenomena baru yang menegaskan tentang corak
pemahaman dan pengamalan Islam yang khas dan berbeda dari yang lain. Jika pemikiran
dan gerakan lain memiliki ciri-ciri tertentu, maka Islam radikal pun memiliki
karakteristiknya sendiri. Karakteristik tersebut tidak diperoleh dari tempat kosong, tetapi
dari kondisi dan situasi tertentu yang membentuknya. Jika memang demikian, maka
memahami Islam radikal tidak mungkin dapat dilepaskan dari pemahaman tentang berbagai
situasi dan kondisi yang mengelilinginya16.
Terkait dengan tema tersebut, ICG (International crisis Group) yang dikutip Hilmi
dalam riset terakhirnya secara hati-hati melakukan pembedaan antara dua kelompok dalam
13
Ada beberapa ilmuawan yang alergi terhadap istilah fundamentalisme dalam menyebut gerakan
radikalisme agama seperti John L. Esposito dan Mark Jurgensmeyer. Jurgensmeyer mengemukakan
tiga alasan untuk menolak istilah fundamentalisme. 1). Istilah fundamentalisme bersifat
merendahkan. Ia menunjuk kepada orang-orang yang memegang literalisme religious yang intoleran,
merasa paling benar dan dogmatik. 2) Fundamentalisme merupakan kategori yang tidak tepat untuk
membuat perbandingan lintas kultural karena berasal dari tradisi keagamaan protestan. 3). Istilah
fundamentalisme cenderung tidak mengandung gerakan politik, dan lebih mementingkan unsur
keagamaan ketimbang urusan keduniawian. Sedangkan penolakan Esposito terhadap
fundamentalisme adalah 1). Istilah fundamentalisme memiliki pengertian yang terlalu generic karena
semua yang menghendaki untuk kembali ke kepercayaan dasar atau dasar-dasar suatu agama dapat
dikatakan fundamentalisme. 2). Pengertian dan persepsi tentang fundamentalisme sangat
dipengaruhi oleh protestanisme Amerika. 3). Fundamentalisme sering disejajarkan dengan aktifitas
politik, ekstrimis, fanatisme, terorisme dan anti Amerika . Lihat Syamsul Arifin, Studi Agama
Perspektif Sosiologis dan Isu-isu kontemporer (Malang, UMM Press, 2009), 186
14
Afif Muhammad, Agama dan Konflik Sosial: Studi Pengalaman Indonesia, (Bandung: Marja, 2013),62
15
Syamsul Arifin…………..,184
16
Ibid, 63
lanskap Islamisme radikal di Indonesia yaitu; pertama, “Salafi” dan yang kedua “salafi jihad”.
Kedua aliran yang berbeda ini biasanya memiliki satu kesamaan yaitu di cap “radikal”. ICG
mengartikan Salafi sebagai sebuah gerakan reformis muslim yang bertujuan mengembalikan
Islam ke dalam bentuknya yang paling murni sebagaimana dipraktekkan oleh Nabi SAW
dan sahabat-sahabatnya. Sedangkan salafi jihad diartikan sebagai sayap radikal dari salafisme
yang menargetkan musuh-musuh Islam melalui kekerasan khususnya ditujuakan kepada
Amerika dan sekutunya17
Sedangkan isu yang umum di perbincangkan dalam kajian radikalisme agama
18
menurut Hilmi adalah faktor apa yang melatarbelakangi kelahiran radikalisme agama?
Apakah agama itu sendiri yang by nature mengandung ajaran radikal, ataukah karena faktor
hadirnya unsur-unsur diluar agama seperti vested interest dikalangan para pertualang politik
yang meminjam agama sebagai kedok untuk memenuhi ambisi dan kepentingan politik
mereka?. Pertanyaan ini penting dalam kajian radikalisme agama bukan semata-mata karena
agama diyakini memiliki peran strategis dalam proses transformasi sosial-politik-budaya
dalam sebuah komunitas, melainkan juga karena efek yang ditimbulkan dari fenomena
radikalisme agama seringkali muncul dalam bentuk kekerasan. Terhadap pertanyaan ini
muncul dua mazhab pemikiran yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu mazhab
primordialisme (kulturalisme) dan mazhab instrumentalisme (strukturalisme) 19
Mazhab primordialisme memiliki asumsi dasar bahwa realitas teks-doktrinal dalam
agama harus ditempatkan sebagai variabel independen guna menjelaskan radikalisme agama
yang berujung pada tindak kekerasan. Perspektif primordialisme banyak diadopsi oleh para
ilmuwan seperti, Samuel K. Huntington, Gilles Kepel, Mark Juergensmeyer, dan Bernard
Lewis. Ilmuan-ilmuan tersebut memandang bahwa agamalah yang mempola, membentuk
dan memproduksi sebuah entitas peradaban & kebudayaan. Di abad pasca modern ini, kata
mereka, warna peradaban yang akan muncul ke permukaan adalah religion-based; ada
peradaban Islam, kristen, Yahudi,Buddha, Hindu, Taoisme dan sebagainya. Berbagai
peradaban ini membawa karakter dasar primordialistiknya masing-masing yang tidak bisa
dipersatukan dalam sebuah bejana sosial yang heterogen,dan diantara mereka akan terjadi
proses kontestasi kuasa yang bisa berujung pada konflik kekerasan. Dalam konteks
Islamisme radikal, sejumlah doktrin agama yang tertuang dalam kitab suci seringkali
17
Masdar Hilmi, Membaca Agama: Islam Sebagai Realitas terkonstruksi, (Yogyakarta: Kanisius2009),19
18
Ibid, 45
19 Ibid
“dituduh” sebagai faktor yang harus bertanggungjawab bagi terjadinya aksi vandalisme dan
kekerasan, seperti doktrin jihad,doktrin kafir, doktrin supremasi Islam dan lain-lain. Tidak
semua faksi Islamisme radikal menggunakan jalur kekerasan untuk memuluskan agenda
politiknya. Meski tetap berpijak pada prinsip literalitas dalam memahami teks agama. Faksi
ini mengkonstekstualkan doktrin-doktrin diatas dalam kerangka perjuangan (jihad) yang
damai). Dalam konteks Islam radikal Indonesia, faksi semacam inilah oleh Sidney Jones
diklasifikasikan sebagai kelompok gerakan “salafi murni”. Sementara faksi lain yang
cenderung menggunakan jalann kekerasan disebut sebagai “salafi jihad”
Sedangkan yang kedua adalah mazhab Instrumentalisme. Mazhab ini menolak
segala klaim primordialisme. Mazhab ini berargumen, doktrin agama bukanlah variabel
independen yang bisa “berbicara sendiri”, namun ada faktor eksternal diluar agama yang
bermain disini.Mazhab ini meyakini ada invisible hand (Meminjam Istilah Adam Smith)
yang memanfaatkan sentimen agama untuk kepentingan politik pihak tertentu. Logikanya
adakah ajaran agama (Islam) yang by definition mengajarkan konflik kekerasan atau perang
antar-agama?, demikian pula agama-agama lain. Oleh karena itu, kaum instrumentalis
membalikkan seluruh asumsi teoritis mazhab primordialisme, dengan berpendapat bahwa
variabel yang dapat menjelaskan fenomena radikalisme agama adalah variabel “luaran” yang
mengelilingi agama, seperti ekonomi, sosial dan politik. Kaum instrumentalis memang tidak
menegasikan peran agama dalam arena kehidupan, namun ia lebih mempresentasikan
kontestasi kuasa dikalangan komunitas yang secara sosial, ekonomi dan politik mengalami
deprivasi. Dikalangan mazhab ini meyakini, kajian radikalisme agama tidak bisa diseret ke
wilayah perdebatan dogmatik, tetapi harus dipahami sebagai konsekuensi logis dari distribusi
kuasa dan sumber daya yang tidak merata antara masyarakat agama tertentu dengan
masyarakat agama lainnya.
Lebih lanjut terkait dengan fenomena terorisme, menurut Qodir20 ada masalah
dengan Pendidikan Agama yang lebih bercorak formalisme-indoktrinatif, sehingga kurang
memberikan ruang refleksi dan kritis pada peserta didik yang mendapatkan pembelajaran
terutama sekolah-sekolah berbasis non-agama (sekolah umum) dan belakangan di sekolah-
sekolah berbasis Agama. Pendidikan agama ini tentu akan terkait dengan pemahaman
keagamaan, yaitu adanya keyakinan atas teks agama yang mengajarkan tentang terorisme dari
kata jihad. Agama lanjut Qodir, akan menjadi sumber dari terorisme apabila tindakan teror
merupakan perwujudan dari perintah Tuhan (teks), baik secara langsung maupun tidak
20
Zuly Qodir, Sosiologi Agama Esay-Esay agama Di Ruang Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),70
langsung sebagai persyaratan dalam bentuk-bentuk ritual. Karena secara langsung tidak ada
dalil (teks) agama yang menyatakan tentang teror, maka lebih banyak melakukan interpretasi
terhadap teks keagamaan seperti jihad, mati syahid dan lain-lain. Dalam hal ini agama bukan
merupakan “penyebab” tetapi sebagai “pembenar” atas tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh para pelaku tindak kekerasan, ancaman dan pembunuhan atas orang lain. Agama di
banyak tempat lebih ditempatkan sebagai justifikasi atas perilaku yang dilakukan oleh
sekelompok orang atau segelintir orang yang tidak puas dan benci pada kondisi yang terjadi
dalam kehidupannya21.
21 Ibid
22
(Kompas, 13/1/2012).
Sedangkan Paradigma Pendidikan Agama at the wall tidak hanya mengajarkan agama
sendiri, tetapi sudah mendiskusikannya dengan agama lain. Model paradigma pendidikan
agama ini merupakan tahap transformasi keyakinan dengan belajar mengapresiasi orang lain
yang berbeda agama dan terlibat dalam dialog antaragama.
Sementara Pendidikan Agama beyond the wall tak sekedar berorientasi untuk
berdiskusi dan berdialog dengan orang yang berbeda agama. Namun lebih dari itu mengajak
peserta didik dari beragam agama untuk bekerja sama mengkampanyekan perdamaian,
keadilan, harmoni, dan keterlibatan mereka dalam kerja-kerja kemanusiaan. Semua itu
untuk menunjukkan musuh agama bukan pemeluk agama yang berbeda, melainkan
kemiskinan, kebodohan, kapitalisme, kekerasan, radikalisme, ketidakjujuran, korupsi,
manipulasi, kerusakan lingkungan dan sebagainya. Model pendidikan agama seperti ini juga
untuk menunjukkan semua agama mengajarkan kebaikan, dan bahwa agama adalah untuk
kebaikan manusia sesuai misi profetiknya. Maka pendidikan agama yang saat ini cenderung
eksklusif karena hanya mengajarkan agamanya sendiri (in the wall) perlu digeser kearah
inklusif dengan model at dan beyond the wall. Peserta didik tidak hanya kenal agamanya
sendiri, tetapi juga bersentuhan dengan agama lain untuk melintasi tradisi lain dan kemudian
kembali kepada tradisi sendiri
Sedangkan Totok Ariyanto23 dengan mengutip Richard Martin menjelaskan secara
elaboratif tentang pola pembelajaran Pendidikan Agama disekolah-sekolah melalui dua yaitu
pertama, pendekatan yang bersifat tekstualis, literalis dan skripturalis sehingga menghasilkan
seorang believer (mukmin). Kedua, Pendekatan yang bersifat obyektif, positivistik, dan
realistik untuk dapat menghasilkan seorang historian atau muarrikh.
Lebih lanjut Ariyanto berargumen, apabila dalam menjelaskan dimensi-dimensi
keagamaan dalam pembelajaran Pendidikan Agama menggunakan pendekatan tekstualis,
literalis, dan skripturalis maka lebih menitikberatkan pada kebenaran doktrinal dan
dogmatis. Pendekatan ini hanya menekankan keunggulan-keunggulan dari sistem nilai,
otensitas teks-teks keagamaan serta absolutisme ajaran-ajaran agamanya sendiri. Sementara
pada tataran praktis, pendekatan ini banyak menggunakan cara-cara yang bersifat persuasif-
apologetik. Artinya, disatu sisi ia lebih menonjolkan keunggulan dan kelebihan agamanya
sendiri, disisi lain selalu mengorek kelemahan dan mendiskreditkan kekurangan agama lain.
Pendekatan agama seperti inilah menurut Ariyanto yang mendominasi penyelenggaraan
23
Totok Ariyanto, Mengakhiri Hipokrisi Pendidikan Agama, Kompas, 12/8/2002
Pendidikan Agama di ruang-ruang kelas mulai dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi.
Output yang dihasilkan lembaga pendidikan model seperti ini berupa orang-orang yang
mudah menafsirkan ayat-ayat suci secara sempit dan kaku dan klaim kebenaran (truth claim)
mendasari setiap perilakunya. Dalam hidup bermasyarakat orang-orang seperti ini
cenderung bersikap eksklusif, primordialistik. Maka sudah saatnya pola pembelajaran agama
seperti ini segera diakhiri, digantikan dengan pola pembelajaran yang sesuai dengan karakter
masyarakat Indonesia, yaitu melalui pendekatan yang obyektif, positivistik dan realistik
Pola pendekatan yang terakhir ini berusaha mengurai secara luas dan komprehensif
tentang berbagai aspek keagamaan, seperti sejarah, sistem nilai, struktur religi dan doktrinnya
serta kontribusinya bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan, bukan sama sekali
menyalahkan atau membenarkan (value judgement) keagamaan. Pada tataran praksis,
pendekatan ini tidak lagi berkutat pada pola pembelajaran ayat-ayat suci dan kewahyuan
secara tekstual-literalis, melainkan lebih menekankan pada pemahaman kontekstual sambil
mengangkat dan menggali kembali segi-segi “ historis eskegetis” dari teks-teks kitab suci.
Dengan menggunakan pendekatan obyektif, postivistik dan realistik ini, orientasi pendidikan
agama tidak lagi diarahkan pada upaya pencarian kelemahan dan perbedaan suatu agama.
Tetapi lebih dititikberatkan pada upaya pembentukan sikap apresitif positif terhadapa
agama lain, seraya tetap mempertahankan sikap otokritik dan introspeksi kreatif terhadap
agamanya sendiri. Pendekatan pendidikan agama seperti ini akan dapat membawa pola
pemikiran, pemahaman atau penghayatan keimanan seseorang menuju ke corak kehidupan
beragama yang inklusif, toleran, dialogis dan kooperatif24.
Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti tahap-tahap
Education Research and Development yang biasa disingkat dengan R & D, karena
penelitian ini termasuk ke dalam penelitian pengembangan pendidikan. Metode ini
digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut.
Produk dalam penelitian ini adalah berupa bahan ajar Pendidikan Agama (Islam) model
Keberagamaan Inklusif. Produk Bahan ajar yang sudah jadi akan divalidasi oleh ekspert
sebelum dilakukan ujicoba
24
Totok Ariyanto, Mengakhiri Hipokrisi Pendidikan Agama, Kompas, 12/8/2002
Lokasi penelitian ini di 5 (Lima) SMA baik Negeri maupun Swasta di Selong dengan
rincian 3 (tiga) SMA Negeri dan 2 (dua) SMA Swasta, yaitu SMA Negeri 1 Selong, SMA
Negeri 2 Selong, SMA Negeri 3 Selong, SMA Muhammadiyah Selong dan SMA Nahdlatul
Wathan (NW) Pancor. Lokasi penelitian ini ditetapkan secara purposive sampling sebagai
tempat ujicoba produk agar produk bahan ajar PAI model keberagamaan inklusif yang
dihasilkan bisa digunakan di sekolah-sekolah SMA baik Negeri maupun Swasta.
Selanjutnya bahan ajar yang sudah dikembangkan dan divalidasi dilakukan uji coba
produk pada sekolah yang dipergunakan sebagai subyek penelitian (Nitiasih dkk, 2013).
Hasil dari tahapan ini adalah model Pendidikan Agam Islam model keberagamaan inklusif.
Sedangkan Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1). Lembar observasi.
Instrumen ini digunakan untuk mengamati pengelolaan pembelajaran yang dilakukan oleh
guru yang mencakup materi Pembelajaran yang disampaikan guru, sumber belajar yang
dipakai guru, metode mengajar guru, tugas yang diberikan oleh guru dan karakteristik siswa.
2). Pedoman wawancara. Instrumen ini digunakan untuk mewawancarai guru PAI dan siswa
terkait materi (content) PAI, pelaksanaan pembelajarn, tugas, evaluasi dan gambar yang
terdapat dalam buku ajar yang digunakan.. Kegiatan observasi dan wawancara ini dilakukan
untuk memperoleh informasi tentang masalah yang terkait materi dan pembelajaran PAI di
SMA 3). Angket need assessment. Angket ini ditujukan kepada guru PAI untuk
memperoleh masukan data kebutuhan tentang cakupan materi PAI model keberagamaan
inklusif yang akan digunakan di SMA. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan
menggunakan teknik analisis dekriptif,
Sedangkan Subyek penelitian pengembangan ini adalah Guru Pendidikan Agama
Islam (PAI) dan siswa SMA kelas XI se Kecamatan Selong Lombok Timur. Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 1). Lembar observasi. Instrumen ini digunakan untuk
mengamati materi Pembelajaran yang disampaikan guru, sumber belajar yang dipakai guru,
metode mengajar guru, dan karakteristik siswa. 2). Pedoman wawancara. Instrumen ini
digunakan untuk mewawancarai guru PAI dan siswa terkait materi dan pembelajaran PAI.
Kegiatan observasi dan wawancara ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang
masalah yang terkait materi dan pembelajaran PAI di SMA 3). Angket untuk need
assessment. Angket ini ditujukan kepada guru PAI untuk memperoleh data kebutuhan
tentang cakupan materi PAI model keberagamaan inklusif yang akan digunakan di SMA.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis dekriptif.
25
Direktorat Pendidikan Agama Islam, Mewaspadai radikalisme di sekolah, Jakarta,77
26 Kompas, 11/8/2015
Keberagamaan Inklusif
Penutup
Pelajaran Pendidikan Agama (Islam) di Sekolah Menengah Atas (SMA)
merupakan pelajaran yang membahas wilayah nilai (values). Karena Membahas
wilayah nilai (value) ,maka Substansi cakupan materinya hitam-putih, literal dan
terkesan normatif indoktrinatif tanpa member ruang kritis-reflektis pada siswa dalam
proses pembelajaran. Titik tekan normative-indoktrinatif ini pada gilirannya akan
menumbuhkan perilaku keberagamaan yang eksklusif, cenderung intoleran,
berorientasi truth claim sehingga dapat menumbuhkan benih-benih radikalisme
dikalangan siswa. Keberadaan bahan ajar PAI tersebut akan membahayakan
kehidupan sosial keagamaan dimasyarakat karena tidak relevan dengan karakter
masyarakat Indonesia dan mainstream Islam Indonesia yang mayoritas berhaluan
Islam Wasathiyyah (moderat).
Berdasarkan kondisi diatas maka Bahan ajar Pendidikan Agama Islam (PAI)
model keberagamaan inklusif ini sangat penting dan strategis karena relevan dengan
karakter masyarakat Indonesia yang plural dan mainstream Islam Indonesia yaitu
Islam yang Wasathiah (moderat). Bahan ajar ini ingin mempertegas Islam sebagai
agama cinta damai, agama Rahmatan Lil ‘alamain dan agama toleransi yang diperkuat
dengan dalil alqur’an dan hadist. Hal ini dilakukan untuk mencegah radikalisme
beragama dikalangan siswa (deradikalisasi) seiring dengan maraknya aktor-aktor
radikal (teroris) yang mayoritas masih berstatus kaum muda terpelajar.
Daftar Pustaka