BAB 6
MENYIPAT DATAR

Pengajar :
A.Adhe Noor PSH, ST, MT
Definisi
Tujuan :
menentukan beda tinggi antara titik – titik di
atas permukaan bumi secara teliti.

Tinggi suatu obyek di atas permukaan bumi
mengacu pada suatu bidang referensi yaitu
bidang yang ketinggiannya dianggap nol.
Definisi
Bidang ini disebut sebagai bidang geoid, yaitu
bidang ekuipotensial yang berhimpit dengan
permukaan air laut rerata (mean sea level) 
bidang nivo  bidang yang selalu tegak lurus
dengan arah gaya berat dimana saja di
permukaan bumi.
Definisi
B
HB

Permukaan Bumi

A

hAB
HA

Mean Sea Level
atau Geoid

Bidang Nivo

Gambar 1 Bidang referensi ketinggian
Alat Penentu Beda tinggi
Penentuan beda tinggi :
a. Sipat datar (spirit levelling)
b. Takhimetrik (tachymetric levelling)
c. Trigonometrik (trigonometric levelling)
d. Barometrik (barometric levelling)
Komponen Dasar Alat Sipat Datar
Alat sipat datar terdiri atas :
a. statip agar alat tegak berdiri
b. rambu ukur  membaca tinggi garis bidik pada
titik yang akan diukur beda tingginya di lapangan.
Bahan bisa terbuat dari aluminium, besi, kayu atau
invar. Rambu memilki nivo rambu dan statip rambu
agar dapat membantu rambu tegak berdiri.
Panjang rambu 3, 4 atau 5 m.
Konsep Pengukuran Beda Tinggi
Pengukuran beda tinggi antara dua buah titik
1.Konsep Penentuan beda tinggi.
a

b
b

a
HAB = a - b

Gambar 3 Penentuan beda tinggi

Sipat datar merupakan konsep penentuan beda tinggi antar dua buah titik
atau lebih dengan garis bidik mendatar / horisontal yang diarahkan pada
rambu – rambu yang berdiri tegak / vertikal.
Konsep Pengukuran Beda Tinggi
Beda tinggi antar A dan B dapat dirumuskan sebagai berikut ini.
HAB = a – b ,
dengan
A dan B : titik di atas permukaan bumi yang akan diukur beda
tingginya,
a dan b : bacaan rambu atau tinggi garis mendatar / garis bidik
di titik A dan B
HA dan HB : ketinggian titik A dan B di atas bidang referensi (m)
HAB : beda tinggi antara A dan B (m)
Apabila HAB > 0, maka Posisi titik B lebih tinggi daripada
titik A.
Apabila HAB < 0, maka Posisi titik B lebih rendah daripada
titik A
Tipe Pengukuran Beda Tinggi
2. Tipe pengukuran beda tinggi antara dua buah titik.
Jarak bidik optimum alat penyipat datar berkisar antara
40 – 60 m, sehingga bila jarak antar dua buah titik
yang akan diukur cukup dekat, maka tipe
pengukuran dengan alat penyipat datar dapat
dilakukan dengan beberapa kemungkinan cara
sebagai berikut.
Tipe Pengukuran Beda Tinggi
a

b

b

t

b

b

a

A

B
HAB = a - b

HAB = b - t

A

B
a

b
b

a
B
HAB = a - b
A

Gambar 4 Kemungkinan tipe pengukuran beda tinggi di lapangan
Tipe Pengukuran Beda Tinggi
Slag : jarak antara dua buah rambu, dimana
posisi alat berada di tengahnya, sehingga
terjadi bidikan ke rambu muka dan ke rambu
belakang.
Pengukuran Sipat Datar Berantai
3. Pengukuran sipat datar berantai.
Pengukuran ini dilakukan apabila jarak antara
dua buah titik yang akan diukur berjauhan (melebihi
batas optimum) dan dinamakan differential levelling.
Pengukuran beda tinggi tidak cukup dilakukan
satu kali jalan melainkan dilakukan pengukuran pergipulang dengan pelaksanaan salam satu hari
(dinamakan seksi/section) yang dimulai dan diakhiri
pada titik tetap.
Gabungan beberapa seksi dinamakan trayek.
Pengukuran Sipat Datar Berantai

b3

b2

b1

m3

m2

m1

B
1

2

A

Gambar 5 Differential Levelling
Pengukuran Sipat Datar Berantai
Pada gambar di atas, titik A dan B adalah titik yang akan
dicari beda tingginya.
Karena jarak cukup jauh, maka dibuat beberapa slag.
Beda tinggi antara A dan B adalah kumulatif dari
beda tinggi setiap slag, yaitu :
hA1 = a1 – b1
dengan,
a
: jumlah pembacaan rambu belakang
hA2 = a2 – b2
b
: jumlah pembacaan rambu muka
hA3 = a3 – b3
h
: beda tinggi setiap slag
- = - hAB =
h= a– b
Perataan Beda Tinggi
4. Perataan beda tinggi ukuran sipat datar
Apabila jarak antara dua buah titik sangat jauh,
dilakukan pengukuran pergi – pulang. Beda tinggi
yang diperoleh pun ada dua yaitu beda tinggi pergi
( hpg) dan beda tinggi pulang ( hpl).
Beda tinggi definitif yang digunakan adalah
rerata antara hpg dan hpl sebagai berikut.
h rerata ( hr) = 0,5 x ( hpg + hpl)
Perataan Beda Tinggi
• Pengukuran pergi – pulang akan menghasilkan beda tinggi
( h) yang tidak sama ( hpg ≠ hpl ), oleh karena dalam
pengukuran di lapangan banyak ketidak sempurnaan. Selisih
antara hasil pengukuran pergi dan pulang serta jarak
antaranya akan menentukan diterima atau tidaknya hasil
pengukuran tersebut.
• Angka penentu diterima atau tidaknya perbedaan hasil
pengukuran pergi dan pulang ( hpg dan hpl) disebut
toleransi. Apabila selisih hpg dan hpl ≤ toleransi 
pengukuran tersebut diterima. Apabila selisih hpg dan hpl >
toleransi  pengukuran tersebut ditolak.
Perataan Beda Tinggi
• Apabila hasil pengukuran diterima (selisih hpg dan
hpl ≤ toleransi ), maka beda tinggi definitif antara A
dan B adalah rerata hpg dan hpl.
• Selisih antara hr dan hpg dinamakan
penyimpangan pengukuran pergi sedangkan selisih
antara hr dan hpl penyimpangan pengukuran
pulang.
• Simbol untuk penyimpangan pengukuran pergi atau
pulang adalah fh.
Perataan Beda Tinggi
Apabila akan dicari beda tinggi antar slag secara definitif
maka hpg atau hpl dikoreksi sebanding dengan jarak
– jaraknya, atau :
i = fH x (di / d)
dengan
i : koreksi beda tinggi slag ke i
fH : kesalahan atau penyimpangan pengukuran
di : jarak slag ke i
d : jumlah jarak dalam seksi
Perataan Beda Tinggi
Apabila pengukuran terdiri atas beberapa seksi dan berbentuk tertutup
(loop/circuit)  persyaratan untuk setiap seksi harus ≤ toleransi.
Pengukuran tertutup (loop/circuit) juga harus ≤ toleransi, selain itu jumlah
beda tinggi rerata loop seksi harus sama dengan nol ( hRS = 0 ).
Apabila hRS ≠ 0  dinamakan fH (kesalahan penutup beda tinggi).
Apabila fh ≤ toleransi  pengukuran tertutup diterima.
Agar dapat memenuhi persyaratan hRS = 0, maka beda tinggi rerata setiap
seksi dikoreksi sebesar berikut.
Hi = fH x ( Di / D )
dengan
Hi : koreksi beda tinggi seksi ke i
fH : kesalahan penutup beda tinggi
Di : jarak seksi ke i (jarak rerata pergi – pulang)
D : jumlah jarak pengukuran tertutup
Sumber Kesalahan yang umumnya terjadi dalam Pengukuran dengan
menggunakan Alat Penyipat Datar di Lapangan
Bersumber dari alat ukur
a.
b.
c.
d.

garis bidik tidak sejajar garis arah nivo
kesalahan titik nol rambu
rambu tidak betul - betul vertikal
penyinaran pada alat tidak merata

Bersumber dari si pengukur
a.
b.
c.
d.

kurang paham tentang pembacaan rambu
mata cacat atau lelah
kondisi fisik yang lemah
pendengaran yang kurang

Bersumber dari alam
a.
b.
c.

kelengkungan permukaan bumi
refraksi sinar
Undulasi

Kondisi tanah tidak stabil
Sekian Terima Kasih

Bab 6 menyipat datarasdfgh

  • 1.
    BAB 6 MENYIPAT DATAR Pengajar: A.Adhe Noor PSH, ST, MT
  • 2.
    Definisi Tujuan : menentukan bedatinggi antara titik – titik di atas permukaan bumi secara teliti. Tinggi suatu obyek di atas permukaan bumi mengacu pada suatu bidang referensi yaitu bidang yang ketinggiannya dianggap nol.
  • 3.
    Definisi Bidang ini disebutsebagai bidang geoid, yaitu bidang ekuipotensial yang berhimpit dengan permukaan air laut rerata (mean sea level)  bidang nivo  bidang yang selalu tegak lurus dengan arah gaya berat dimana saja di permukaan bumi.
  • 4.
    Definisi B HB Permukaan Bumi A hAB HA Mean SeaLevel atau Geoid Bidang Nivo Gambar 1 Bidang referensi ketinggian
  • 5.
    Alat Penentu Bedatinggi Penentuan beda tinggi : a. Sipat datar (spirit levelling) b. Takhimetrik (tachymetric levelling) c. Trigonometrik (trigonometric levelling) d. Barometrik (barometric levelling)
  • 6.
    Komponen Dasar AlatSipat Datar Alat sipat datar terdiri atas : a. statip agar alat tegak berdiri b. rambu ukur  membaca tinggi garis bidik pada titik yang akan diukur beda tingginya di lapangan. Bahan bisa terbuat dari aluminium, besi, kayu atau invar. Rambu memilki nivo rambu dan statip rambu agar dapat membantu rambu tegak berdiri. Panjang rambu 3, 4 atau 5 m.
  • 7.
    Konsep Pengukuran BedaTinggi Pengukuran beda tinggi antara dua buah titik 1.Konsep Penentuan beda tinggi. a b b a HAB = a - b Gambar 3 Penentuan beda tinggi Sipat datar merupakan konsep penentuan beda tinggi antar dua buah titik atau lebih dengan garis bidik mendatar / horisontal yang diarahkan pada rambu – rambu yang berdiri tegak / vertikal.
  • 8.
    Konsep Pengukuran BedaTinggi Beda tinggi antar A dan B dapat dirumuskan sebagai berikut ini. HAB = a – b , dengan A dan B : titik di atas permukaan bumi yang akan diukur beda tingginya, a dan b : bacaan rambu atau tinggi garis mendatar / garis bidik di titik A dan B HA dan HB : ketinggian titik A dan B di atas bidang referensi (m) HAB : beda tinggi antara A dan B (m) Apabila HAB > 0, maka Posisi titik B lebih tinggi daripada titik A. Apabila HAB < 0, maka Posisi titik B lebih rendah daripada titik A
  • 9.
    Tipe Pengukuran BedaTinggi 2. Tipe pengukuran beda tinggi antara dua buah titik. Jarak bidik optimum alat penyipat datar berkisar antara 40 – 60 m, sehingga bila jarak antar dua buah titik yang akan diukur cukup dekat, maka tipe pengukuran dengan alat penyipat datar dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan cara sebagai berikut.
  • 10.
    Tipe Pengukuran BedaTinggi a b b t b b a A B HAB = a - b HAB = b - t A B a b b a B HAB = a - b A Gambar 4 Kemungkinan tipe pengukuran beda tinggi di lapangan
  • 11.
    Tipe Pengukuran BedaTinggi Slag : jarak antara dua buah rambu, dimana posisi alat berada di tengahnya, sehingga terjadi bidikan ke rambu muka dan ke rambu belakang.
  • 12.
    Pengukuran Sipat DatarBerantai 3. Pengukuran sipat datar berantai. Pengukuran ini dilakukan apabila jarak antara dua buah titik yang akan diukur berjauhan (melebihi batas optimum) dan dinamakan differential levelling. Pengukuran beda tinggi tidak cukup dilakukan satu kali jalan melainkan dilakukan pengukuran pergipulang dengan pelaksanaan salam satu hari (dinamakan seksi/section) yang dimulai dan diakhiri pada titik tetap. Gabungan beberapa seksi dinamakan trayek.
  • 13.
    Pengukuran Sipat DatarBerantai b3 b2 b1 m3 m2 m1 B 1 2 A Gambar 5 Differential Levelling
  • 14.
    Pengukuran Sipat DatarBerantai Pada gambar di atas, titik A dan B adalah titik yang akan dicari beda tingginya. Karena jarak cukup jauh, maka dibuat beberapa slag. Beda tinggi antara A dan B adalah kumulatif dari beda tinggi setiap slag, yaitu : hA1 = a1 – b1 dengan, a : jumlah pembacaan rambu belakang hA2 = a2 – b2 b : jumlah pembacaan rambu muka hA3 = a3 – b3 h : beda tinggi setiap slag - = - hAB = h= a– b
  • 15.
    Perataan Beda Tinggi 4.Perataan beda tinggi ukuran sipat datar Apabila jarak antara dua buah titik sangat jauh, dilakukan pengukuran pergi – pulang. Beda tinggi yang diperoleh pun ada dua yaitu beda tinggi pergi ( hpg) dan beda tinggi pulang ( hpl). Beda tinggi definitif yang digunakan adalah rerata antara hpg dan hpl sebagai berikut. h rerata ( hr) = 0,5 x ( hpg + hpl)
  • 16.
    Perataan Beda Tinggi •Pengukuran pergi – pulang akan menghasilkan beda tinggi ( h) yang tidak sama ( hpg ≠ hpl ), oleh karena dalam pengukuran di lapangan banyak ketidak sempurnaan. Selisih antara hasil pengukuran pergi dan pulang serta jarak antaranya akan menentukan diterima atau tidaknya hasil pengukuran tersebut. • Angka penentu diterima atau tidaknya perbedaan hasil pengukuran pergi dan pulang ( hpg dan hpl) disebut toleransi. Apabila selisih hpg dan hpl ≤ toleransi  pengukuran tersebut diterima. Apabila selisih hpg dan hpl > toleransi  pengukuran tersebut ditolak.
  • 17.
    Perataan Beda Tinggi •Apabila hasil pengukuran diterima (selisih hpg dan hpl ≤ toleransi ), maka beda tinggi definitif antara A dan B adalah rerata hpg dan hpl. • Selisih antara hr dan hpg dinamakan penyimpangan pengukuran pergi sedangkan selisih antara hr dan hpl penyimpangan pengukuran pulang. • Simbol untuk penyimpangan pengukuran pergi atau pulang adalah fh.
  • 18.
    Perataan Beda Tinggi Apabilaakan dicari beda tinggi antar slag secara definitif maka hpg atau hpl dikoreksi sebanding dengan jarak – jaraknya, atau : i = fH x (di / d) dengan i : koreksi beda tinggi slag ke i fH : kesalahan atau penyimpangan pengukuran di : jarak slag ke i d : jumlah jarak dalam seksi
  • 19.
    Perataan Beda Tinggi Apabilapengukuran terdiri atas beberapa seksi dan berbentuk tertutup (loop/circuit)  persyaratan untuk setiap seksi harus ≤ toleransi. Pengukuran tertutup (loop/circuit) juga harus ≤ toleransi, selain itu jumlah beda tinggi rerata loop seksi harus sama dengan nol ( hRS = 0 ). Apabila hRS ≠ 0  dinamakan fH (kesalahan penutup beda tinggi). Apabila fh ≤ toleransi  pengukuran tertutup diterima. Agar dapat memenuhi persyaratan hRS = 0, maka beda tinggi rerata setiap seksi dikoreksi sebesar berikut. Hi = fH x ( Di / D ) dengan Hi : koreksi beda tinggi seksi ke i fH : kesalahan penutup beda tinggi Di : jarak seksi ke i (jarak rerata pergi – pulang) D : jumlah jarak pengukuran tertutup
  • 20.
    Sumber Kesalahan yangumumnya terjadi dalam Pengukuran dengan menggunakan Alat Penyipat Datar di Lapangan Bersumber dari alat ukur a. b. c. d. garis bidik tidak sejajar garis arah nivo kesalahan titik nol rambu rambu tidak betul - betul vertikal penyinaran pada alat tidak merata Bersumber dari si pengukur a. b. c. d. kurang paham tentang pembacaan rambu mata cacat atau lelah kondisi fisik yang lemah pendengaran yang kurang Bersumber dari alam a. b. c. kelengkungan permukaan bumi refraksi sinar Undulasi Kondisi tanah tidak stabil
  • 21.