INTRATEKSTUAL
& INTERTEKSTUAL
PENDEKATAN
Presented by Muhammad Imdad Ilhami Khalil
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYEKH WASIL
KEDIRI
Presented in the Contemporary Exegesis Subject
Qur’anic Sciences and Exegesis Major
Thursday, 18th of September 2025
QUOTES
STRIKING
“That faith be Analyzable
does not necessarily imply
a method for getting by
without it”
Julia Kristeva dalam Bukunya, This Incredible Need
to Believe (European Perspective: A Series in Social
Thought and Cultural Criticism)
“Iman/Kepercayaan yang dapat dianalisis tidak
semerta-merta menyiratkan sebuah metode untuk
hidup tanpanya”
PENULIS:
Hamdi Putra Ahmad
Thematic and Structural
Unity of Q 79 (al-Nāziʿāt):
An Intratextual and
Intertextual Analysis
JUDUL ARTIKEL
PENERBIT:
QiST: Journal of Quran
and Tafseer Studies
KETERANGAN:
Vol. 4, No. 1, Tahun
2025 (Sinta 3)
TENTANG PENULIS
Hamdi Putra Ahmad merupakan seorang akademisi
muda berdarang Minang, Padang, Sumatra Barat. Hamdi
pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren
Sumatera Thawalib Parabek, Bukittinggi selama enam
tahun. Di pesantren tersebut, Hamdi mengenal dunia
kitab kuning, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, serta
telah menghafalkan al-Qur’an 30 Juz.
Setelah lulus dari pesantren, Hamdi melanjutkan
studinya ke UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program
Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (Lulus pada Tahun 2019).
Di Yogyakarta, Hamdi juga mengenyam pendidikan di
salah satu pesantren yang fokus pada kajian al-Qur’an
yaitu LSQ al-Rahmah yang diasuh oleh Prof. Dr. KH.
Abdul Mustaqim, M.Ag.
Selepas menempuh studi Strata 1, Hamdi memperoleh
Beasiswa LPDP di Oxford University dengan konsentrasi
Islamic Studies dan lulus pada Tahun 2024. Sekarang,
Hamdi diangkat sebagai Direktur The Centre for Islam
and The Future Studies di Universitas Nahdlatul Ulama
(UNU), Yogyakarta
Apocalypticism and Eschatology
in Late Antiquity: Encounters in
the Abrahamic Religions, 6th-8th
Centuries
Hagit Amirav, Emmanouela Grypeou,
and Guy Stroumsa (Editor)
Terdapat beberapa referensi menarik yang digunakan oleh penulis artikel ini
untuk dibaca dan dikaji lebih mendalam:
REFERENSI MENARIK
Key Terms of the Qur’an: A
Critical Dictionary
Nicolai Sinai
Discovering the Qur’an: A
Contemporary Approach
to a Veiled Text
Neal Robinson
The Qur’an and Late Antiquity:
A Shared Heritage. New York:
Oxford University Press, 2019.
Angelika Neurwith
Istilah Intratekstual dan Intertekstual pada mulanya dimunculkan sebagai pisau analisis
terhadap suatu karya sastra. Julia Kristeva, seorang filosof, novelis, feminis, psikoanalisis,
sekaligus kritikus sastra, adalah penggagasnya. Banyak pemikiran Julia Kristeva
dipengaruhi oleh Michael Bakhtin, Sigmund Freud, Roland Barthes, Lacan.
Intratekstualitas adalah hubungan antara bagian-bagian dalam teks itu sendiri. Konsep
ini menunjukkan bagaimana elemen-elemen yang ada dalam teks (seperti karakter,
tema, simbol, atau struktur bahasa) saling berinteraksi dan membentuk makna secara
internal dalam teks tersebut. Dalam pandangan Kristeva, teks tidak dapat dipahami
hanya dari satu bagian saja, melainkan harus dilihat sebagai suatu jaringan hubungan
antara berbagai elemen yang ada di dalamnya.
PENDAHULUAN
INTRATEKSTUAL
DAN INTERTEKSTUAL
Konsep Intertekstualitas adalah yang paling terkenal dari Julia Kristeva.
Intertekstualitas merujuk pada hubungan antara satu teks dengan teks-teks lain yang
ada di luar teks tersebut. Kristeva mengembangkan konsep ini dari teori Mikhail Bakhtin
tentang dialogisme, yang menyatakan bahwa setiap teks tidak berdiri sendiri, tetapi
selalu terhubung dengan teks lain yang ada sebelumnya, teks yang sedang berlangsung,
atau teks yang akan datang.
Menurut Kristeva, setiap teks adalah sebuah "kaleidoskop" yang terhubung dengan teks-
teks lain, dan makna suatu teks sering kali dibentuk melalui hubungan dengan teks-teks
lain tersebut. Hal ini menantang pandangan tradisional yang melihat teks sebagai entitas
yang terisolasi, dan mengajak pembaca untuk menganggap teks sebagai hasil dari
interaksi yang terus-menerus antara berbagai teks.
PENDAHULUAN
INTRATEKSTUAL
DAN INTERTEKSTUAL
Kristeva juga mengungkapkan bahwa penulis atau pembuat teks tidak pernah
menciptakan karya secara murni atau sepenuhnya orisinal. Sebaliknya, mereka selalu
dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya dan membangun makna mereka atas dasar
referensi dan kutipan terhadap teks-teks tersebut. Ini mengarah pada pemahaman
bahwa karya sastra selalu terhubung dengan sejarah, budaya, dan konteks di mana ia
muncul. Barangkali, pendapat Kristeva ini juga berhubungan dengan pendapat Nashr
Hamid Abu Zayd, yaitu al-Qur’an sebagai Muntaj al-Tsaqafi (Produk Budaya).
Sebagai contoh sederhananya adalah Komik One Piece. One Piece tidak hanya
mengandalkan ceritanya sendiri, tetapi juga membangun dan mengembangkan referensi
terhadap mitologi dari berbagai kebudayaan, seperti mitologi Yunani, Norse, Jepang,
Mesir dan lain sebagainya, untuk menciptakan lapisan makna yang lebih dalam dan
memperkaya cerita.
PENDAHULUAN
INTRATEKSTUAL
DAN INTERTEKSTUAL
INTRATEKSTUAL DAN INTERTEKSTUAL
DALAM KOMIK ONE PIECE
INTRATEKSTUAL INTERTEKSTUAL
Tema
Bajak Laut dan Harta Karun
Tokoh
Luffy, Zoro, Sanji, Nami, dll
Simbol
One Piece, Topi Jerami,
Bendera Bajak Laut, Sunny Go
Mitologi Yunani
Enel, memiliki kekuatan petir
yang kuat, mirip dengan Zeus,
dewa petir dalam mitologi
Yunani
Mitologi Jepang
Karakter Ryuma, seorang
samurai legendaris dalam
cerita, memiliki hubungan
dengan konsep samurai dalam
mitologi dan budaya Jepang
INTRATEKSTUAL DAN INTERTEKSTUAL
DALAM KAJIAN AL-QUR’AN
Hubungan dengan
Realitas Sosial-Budaya
Arab Abad Pra-Islam
Perbandingan dengan
puisi, syi’ir, nadzam
atau teks teks dari
komunitas lainnya.
Perbandingan dengan
Kitab Suci sebelum al-
Qur’an, Injil dan Taurat
AL-QUR’AN
01
02
03
04
Munasabah antara Satu
Ayat dengan Ayat Lain
Metode Tafsir Maudhu’i
Munasabah antara Satu
Surah dengan Surah lain
Analisis Sintagmatik
01
02
03
04
INTRATEKSTUAL
INTERTEKSTUAL
Hubungan dengan Hadis
Nabi
ANALISIS
ARTIKEL JURNAL
Thematic and Structural Unity of Q 79
(al-Nāziʿāt): An Intratextual and
Intertextual Analysis
Kesatuan Tematik dan Struktural Q 79 (al-Nāziʿāt):
Sebuah Analisis Intratekstual dan Intertekstual
Oleh: Hamdi Putra Ahmad
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYEKH WASIL
KEDIRI
PENDAHULUAN
Eskatologi, atau pembahasan mengenai akhir zaman dan
kehidupan setelah kematian, merupakan tema penting
dalam banyak surah Al-Qur'an yang turun di periode awal
Mekah. Surah ke-79, al-Nāziʿāt, adalah salah satu contoh
surah Mekah yang fokus membahas tema eskatologi ini,
sebagaimana diklasifikasikan oleh beberapa riwayat.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji surah al-Nāziʿāt secara
komprehensif, meliputi aspek bahasa, struktur, hubungan
dengan surah lain, serta kaitannya dengan tradisi
sebelumnya. Argumen utama yang diajukan adalah bahwa
surah al-Nāziʿāt memiliki kesatuan makna dan bentuk yang
didukung oleh struktur tiga bagiannya. Lebih lanjut, analisis
menunjukkan bahwa surah ini kemungkinan ditujukan
kepada masyarakat yang sudah mengenal tradisi Yahudi-
Kristen dan sastra Arab kuno.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan data
pustaka, yang berfokus pada interpretasi teks Al-Qur'an. Pendekatan
diakronik diterapkan untuk menganalisis aspek intratextual dari ayat-ayat
Surah al-Nāziʿāt (Q 79) dan juga untuk mengeksplorasi hubungan
intertekstual antara ayat-ayat tersebut dengan sumber-sumber lain di luar
Al-Qur'an. Tujuan utama dari penelitian ini adalah memberikan interpretasi
yang komprehensif terhadap surah tersebut, dengan menjelaskan setiap
bagian agar pembaca dapat memahami ide-ide yang terkandung dengan
lebih jelas dan mendalam.
Surah al-Nāziʿāt (Q 79) terdiri dari 46 ayat yang dibagi
menjadi tiga bagian utama, masing-masing dengan dua
sub-bagian. Angelika Neuwirth membagi surah ini
menjadi ayat 1-14, 15-32, dan 34-46, dengan ayat 33
dianggap sebagai tambahan belakangan. Neal Robinson
juga menyetujui pembagian tiga bagian, tetapi ia
memasukkan ayat 33. Surah ini berfokus pada tema
kebangkitan, kehidupan setelah mati, dan kisah hukuman
yang melibatkan Musa dan Firaun sebagai peringatan
bagi orang yang tidak beriman. Setiap bagian surah
terdiri dari dua sub-bagian dengan satu tema dan rima
yang konsisten, kecuali pada bagian II yang memiliki dua
rima. Pembagian ayat dalam surah ini adalah: Bagian I (14
ayat), Bagian II (19 ayat), dan Bagian III (13 ayat).
TripartiteStructure
Q.S.al-Nāziʿāt[79]
TripartiteStructure
Q.S.al-Nāziʿāt[79]
TripartiteStructureof Q.S.al-Nāziʿāt[79]
Bagian1:
Seri Sumpah dan Kisah Eskatologi
Ayat 1-5: -Cā
Ayat 6-14: -CāCiCāh
RIMA AYAT 1-14
OATH
SERIES
AYAT 1-5
Rima dan Struktur: Sub-bagian ini menggunakan satu rima (-
Cā) dan terdiri dari lima ayat, dengan setiap ayat diawali
dengan bentuk jamak muannats yang berfungsi dalam
sumpah (muqsam bih), yaitu:
al-nāziʿāt (penarik) pada ayat 1,
al-nāshiṭāt (pemberangkat) pada ayat 2,
al-sābiḥāt (perenang) pada ayat 3,
al-sābiqāt (yang mendahului) pada ayat 4,
al-mudabbirāt (yang mengatur) pada ayat 5.
Ada beberapa interpretasi mengenai muqsam bih ini, antara
lain: merujuk pada malaikat yang mengambil nyawa setelah
kematian, kuda yang berangkat untuk ekspedisi militer yang
membuat musuh takut, atau bintang yang menarik dari kerak
bumi ke luar.
OATH
SERIES
AYAT 1-5
Beberapa sarjana seperti Haleem dan Bint al-Shatiʾ
lebih cenderung mengartikan muqsam bih ini sebagai
kuda. Hal ini karena kuda adalah objek yang dikenal
oleh masyarakat Qur'an, sementara malaikat adalah
makhluk yang tidak terlihat.
Menurutnya, ada kesamaan antara surah al-Nāziʿāt
dan surah al-’Adiyat, karena keduanya menggunakan
gambaran kuda untuk menggambarkan efek
mendalam dan mendadak dari kedatangan sesuatu
yang menakutkan, seperti kiamat. Selain itu, kedua
surah juga merupakan surah yang diturunkan di
Makkah berdasarkan kronologi turunnya al-Qur’an
versi Theodore Noldeke.
OATH
SERIES
AYAT 1-5
Angelika Neuwirth menjelaskan bahwa serangkaian sumpah dalam
ayat 1-5 Surah al-Nāziʿāt berasal dari model sastra Arab kuno yang
disebut sajʿ. Sajʿ adalah gaya sastra yang digunakan untuk membuat
sumpah atau pernyataan yang memiliki efek misterius dan intens,
yang sudah ada dalam sastra Arab sebelum Islam. Gaya ini juga
ditemukan dalam Surah al-Qari'ah, yang menggunakan sumpah untuk
menghasilkan efek emosional yang kuat secara lisan.
Ciri-ciri sajʿ ini meliputi penggunaan kalimat-kalimat singkat,
penyebutan fenomena alam, dan pengulangan bunyi akhir kata (rima).
Sebagai contoh, dalam sastra pra-Islam, gaya sajʿ seringkali
menggunakan pengulangan konsonan di akhir kata untuk menciptakan
ritme yang kuat dan intens. Salah satu contohnya bisa ditemukan
dalam karya al-Baghdadi, Kitāb al-Munammaq, yang menunjukkan
penggunaan pengulangan konsonan di akhir kata dalam sumpah atau
pernyataan.
‫باألبطاح‬ ‫قومه‬ ‫أحّل‬ ‫بمن‬ ،‫نحناح‬ ‫بعابدين‬ ‫ّر‬‫الح‬ ‫يعدل‬ ‫ما‬ ،‫اح‬‫ّب‬‫الض‬ ‫العاديات‬ ‫ّب‬‫ور‬ ‫أما‬
Pada bagian ini, rima berubah menjadi (-CāCiCah),
menandakan transisi dari sumpah yang lebih simbolik
menjadi pernyataan yang lebih jelas mengenai
eskatologi.
KISAH
ESKATOLOGI
AYAT 6-14
Dalam mendeskripsikan Keguncangan (tarjufu) dan
Kebangkitan, kelompok ayat ini diklasifikaskan lagi
sebagai berikut:
1.Ayat 6-7 menggambarkan keguncangan besar
(tarjufu) yang terjadi pada hari kiamat, yang
menyebabkan bumi dan gunung berguncang.
2.Ayat 8-9 melanjutkan dengan menggambarkan
orang-orang yang ketakutan di hari kiamat, dengan
mata mereka tertunduk dan hati mereka bergetar
KISAH
ESKATOLOGI
AYAT 6-14
Bagian terakhir dari Part I Surah al-Nāziʿāt (ayat 10-14)
menggambarkan sebuah situasi di mana orang-orang yang
dibangkitkan dari kematian terlibat dalam perdebatan
tentang kemungkinan mereka akan kembali hidup pada
Hari Kiamat. Mereka meragukan bahwa tulang-tulang
mereka akan disatukan kembali (ayat 11) dan mereka akan
hidup kembali (ayat 12). Mereka bahkan bertanya, "Apakah
kita akan hidup kembali setelah tubuh kita hancur?" (ayat
11-12). Sebagai respons terhadap keraguan mereka, Tuhan
menjelaskan bahwa untuk membangkitkan mereka kembali
hanya diperlukan satu tiupan (ayat 13-14), yang akan
langsung membuat mereka hidup kembali.
KISAH
ESKATOLOGI
AYAT 6-14
Robinson mencatat bahwa kata al-ḥāfira (yang dalam ayat
10 berarti "keadaan awal") awalnya merujuk pada tanah yang
digali oleh kaki kuda. Kata ini berasal dari kata kerja ḥ-f-r,
yang berarti menggali. Dalam konteks ini, bagian tersebut
kemungkinan merupakan sebuah metafora yang
mengingatkan pendengar bahwa perasaan yang mereka
alami saat dibangkitkan kembali setelah satu teriakan pada
Hari Kiamat mirip dengan perasaan yang mereka rasakan
ketika mereka terbangun secara mendadak karena
kedatangan kuda yang mendekat di pagi hari, seperti yang
digambarkan dalam ayat 1-5.
Intinya, perbandingan ini menggambarkan betapa mendalam
dan mendadaknya perasaan yang akan dialami orang-orang
pada Hari Kiamat, baik saat kebangkitan maupun ketika
mereka terbangun dari tidur karena kedatangan kuda.
TripartiteStructureof Q.S.al-Nāziʿāt[79]
Bagian2:
Kisah Musa dan Firaun serta
Penciptaan Tuhan
Ayat 15-26: -Cā
Ayat 27-32: -Cāhā
RIMA AYAT 15-33
Ayat 33: -Cācicum
Bagian 2:
Kisah Hukuman
Musa dan Firaun
serta Penciptaan
Tuhan
Pada bagian kedua Surah al-Nāziʿāt, rima berubah
dari -CāCiCāh (ayat 6-14) menjadi -Cā (ayat 15-26),
yang menandakan dimulainya sub-bagian baru. Ayat
15 dimulai dengan ungkapan "hal atāka" yang berarti
"apakah telah sampai kepadamu," yang menunjukkan
permulaan sub-bagian baru. Ungkapan ini sering
muncul dalam surah-surah Mekah lainnya dan
menandakan peralihan ke topik baru.
Bagian 2:
Kisah Hukuman
Musa dan Firaun
serta Penciptaan
Tuhan
Menurut Abdel Haleem, pertanyaan "hal atāka" ini bersifat
retoris, yang berarti pertanyaan ini tidak mengharapkan
jawaban langsung "ya" atau "tidak". Sebaliknya, pertanyaan ini
lebih berfungsi untuk menegaskan atau mengingatkan
pendengar tentang sesuatu yang sudah sering mereka dengar
atau ketahui sebelumnya. Dengan kata lain, Nabi Muhammad
SAW dan umat pada waktu itu sudah mengetahui peristiwa
yang disebutkan dalam pertanyaan tersebut, jadi tujuan
pertanyaannya bukan untuk mendapatkan jawaban, tetapi
untuk menekankan pentingnya peristiwa itu sebagai bagian
dari ajaran yang disampaikan.
KISAH MUSA DAN FIR’AUN
1.Tuhan memerintahkan Musa untuk menghadap Firaun
dan memperingatkannya agar menyucikan dirinya dan
takut kepada Tuhan (ayat 17-19).
2.Namun, Firaun menolak dan menganggap dirinya
sebagai Tuhan yang lebih tinggi (ayat 20-24).
3.Akibat ketidaktaatannya, Firaun dihukum baik di dunia
maupun akhirat (ayat 25).
Kisah hukuman Firaun ini bertujuan sebagai peringatan
bagi siapa saja yang sombong terhadap Tuhan. Pelajaran
utama yang bisa diambil dari kisah ini adalah rasa takut
kepada Tuhan (al-khashya), yang muncul dua kali dalam
sub-bagian ini (ayat 19 dan 26).
Ayat 17-19 dalam Surah al-Nāziʿāt:
Exodus 8:1:
“Go to Pharaoh and tell him, “This is what
the Lord says: Let my people go, so that
they may worship me”
Dengan Kitab
Perjanjian Lama (Old
Testament)
Perbandingan
Ayat 17-19 dalam Surah al-Nāziʿāt
mengubah fokus dari perintah dalam
Exodus 8:1, yang memerintahkan Musa
untuk meminta Firaun membebaskan
umat Israel. Dalam Al-Qur'an, Musa lebih
diminta untuk mengajak Firaun
"menyucikan dirinya" daripada
membebaskan orang Israel.
Dengan Kitab
Perjanjian Lama (Old
Testament)
Perbandingan
Ayat27-32
Setelah kisah panjang tentang Musa dan Firaun, bagian kedua surah al-Nāziʿāt melanjutkan
dengan pertanyaan Tuhan kepada umat manusia mengenai penciptaan-Nya, apakah
penciptaan manusia lebih besar dibandingkan dengan penciptaan langit, bumi, dan gunung
(ayat 27-32). Rima pada ayat-ayat ini berubah menjadi -Cāhā, menandakan perubahan sub-
bagian, kecuali ayat 33 yang menggunakan rima -CāCiCum. Robinson mengemukakan
bahwa kata "marʿā" (padang rumput/pemeliharaan) dalam ayat 31 menghubungkan sub-
bagian ini dengan kisah Musa sebelumnya, karena kata tersebut juga muncul dalam
beberapa surah Mekah yang menceritakan kisah Musa. Makna dari "marʿā" menggambarkan
pemberian Tuhan berupa pemeliharaan, yang memiliki keterkaitan dengan kisah Musa dan
Firaun, mengingat pola serupa ditemukan dalam surah-surah lainnya yang menyebutkan
Musa.
DISUSUN OLEH AVERY DAVIS
TripartiteStructureof Q.S.al-Nāziʿāt[79]
Bagian3:
Eskatologi dan Dorongan pada
Nabi
Ayat 34-41: -Cā
Ayat 42-46: -Cāhā
RIMA AYAT 34-46
Pada sub-bagian ini, surah menggambarkan nasib orang-
orang di akhirat, yaitu orang yang menentang (ṭaghā) dan
orang yang takut (khāfa). Rima pada ayat 34-41 berubah
menjadi -Cā, menandakan dimulainya sub-bagian ini. Ayat
34 dimulai dengan ungkapan idhā yang bertujuan untuk
mengejutkan pendengar dengan menggambarkan situasi
yang berbahaya pada Hari Kebangkitan.
Kehidupan Setelah Mati:
1.Orang akan mengingat apa yang telah dilakukan di
dunia (ayat 35).
2.Neraka akan terlihat dengan jelas bagi semua orang
(ayat 36).
PEMANDANGAN ESKATOLOGI
Beberapa kata dari kisah Musa-Firaun (ayat
15-26) muncul kembali dalam sub-bagian
eskatologi ini, seperti al-kubrā, ṭaghā,
yasʿā/saʿā, dan arā/yarā. Hal ini menunjukkan
adanya kesinambungan antara kedua sub-
bagian tersebut, dengan pola rima yang
sama (-Ca).
PEMANDANGAN ESKATOLOGI
1.Skenario Eskatologi pada ayat 34-35, Menggambarkan peristiwa besar pada
Hari Kebangkitan yang mirip dengan gambaran keguncangan bumi dan
senada dengan ayat 6-7.
2.Proses Eskatologi pada ayat 35-36, Orang-orang akan merenungkan
perbuatan mereka di dunia, dan neraka akan ditunjukkan kepada semua
orang. Ini mengingatkan pada ayat 8-12, yang menggambarkan kecemasan
orang tentang kebangkitan dan keadaan mereka pada hari itu.
3.Dua Gambaran (Double Image), Menjelaskan dua nasib orang: Pertama,
orang yang menentang Tuhan dan lebih memilih kehidupan duniawi akan
dihukum di neraka (ayat 37-39). Kedua, orang yang takut kepada Tuhan dan
menahan diri dari dorongan hawa nafsu akan mendapatkan surga (ayat 40-
41). Pernyataan tentang dua nasib ini mengingatkan pada apa yang
disebutkan dalam ayat 14 mengenai kebangkitan semua orang untuk
menghadapi penghakiman terakhir.
KOMPONEN ESKATOLOGI
AYAT 42-46
Perubahan rima pada ayat 42 menjadi -Cāhā menandakan dimulainya sub-bagian
terakhir surah. Selain itu, kata "yasʾalūnaka" yang berarti "mereka bertanya
kepadamu (wahai nabi)" juga menunjukkan peralihan ke sub-bagian baru. Kata ini
sering digunakan dalam surah-surah Mekah dan Madinah serta surah-surah
berikutnya, menandakan dimulainya bagian baru. Abdul Muiz Amir mencatat bahwa
frasa "yasʾalūnaka ʿani l-sāʿati ayyāna mursāha" menunjukkan bahwa ayat ini
merupakan respons terhadap pertanyaan tentang tanda-tanda Hari Kiamat.
Menariknya, frasa "the Hour" (al-sāʿa) dalam ayat 42, yang merujuk pada akhir dunia,
juga memiliki kesamaan dengan dua ayat dalam Perjanjian Baru, yaitu Matius 24:36
dan Matius 25:13, yang menyatakan bahwa tidak ada yang mengetahui waktu pasti
kedatangan Hari Kiamat.
PERBANDINGAN
Surah Al-Nazi’at: 42
Matthew 24:36
“No One Knows That Day and Hour”
“Watch therefore, for you know neither the day nor the hour”
Matthew 25:13
Pada ayat 42–46, digambarkan orang-orang yang bertanya
kepada Nabi mengenai waktu pasti Hari Kiamat. Karena Nabi
hanya berperan sebagai "pemberi peringatan" (mundhir) (ayat
45), ia tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut karena
hanya Tuhan yang mengetahui waktu pasti Hari Kiamat (ayat
44). Sebutan Nabi sebagai mundhir adalah khas dalam surah-
surah Mekah, sementara dalam banyak surah Madinah, Nabi
disebut sebagai nabī (nabi). Bagian terakhir ini menekankan
betapa tidak terduganya Hari Kiamat. Ketika orang-orang
menyaksikan kebangkitan, mereka akan merasa seolah-olah
mereka hanya berada di dunia selama satu malam atau pagi
saja (ayat 46), menggambarkan betapa mendalamnya
perasaan kejutan yang akan mereka rasakan.
AYAT 42-46
Al-Qur'an tidak menyebutkan waktu pasti Hari Kiamat, dan
hal ini mirip dengan beberapa ayat dalam Alkitab, khususnya
dalam Matius 24:3, Markus 13:4, dan Lukas 21:17. Dalam ayat-
ayat tersebut, para pengikut Yesus bertanya tentang tanda-
tanda kedatangannya pada akhir zaman dan kapan dunia
akan berakhir. Dalam Matius 24:36, Yesus menjawab, "Tetapi
mengenai hari dan jam itu tidak ada yang tahu, bahkan
malaikat di surga, atau Anak, hanya Bapa saja yang tahu."
Jawaban ini mirip dengan apa yang dikatakan dalam Surah
al-Nāziʿāt (79:44-45), yang menyatakan bahwa Nabi hanya
diutus untuk memperingatkan orang-orang yang takut, dan
hanya Tuhan yang tahu waktu pasti Hari Kiamat. Ini
menunjukkan bahwa, sama seperti Yesus, Nabi juga tidak
mengetahui waktu pasti Kiamat.
AYAT 42-46
Pertanyaan tentang Waktu Kiamat
1.Ayat 42-43 menggambarkan orang-orang yang bertanya kepada
Nabi tentang waktu pasti Hari Kiamat.
2.Ini mirip dengan pertanyaan yang diajukan pada ayat 10-11, di
mana orang-orang bertanya bagaimana tubuh mereka yang
telah menjadi tulang belulang akan dipulihkan kembali.
Kekuasaan Tuhan
1.Pada ayat 44, Tuhan menegaskan bahwa hanya Tuhan yang
mengetahui waktu Kiamat, bukan Nabi. Ini menunjukkan bahwa
Tuhan memiliki kekuasaan penuh atas segalanya.
2.Penekanan pada kekuasaan Tuhan mengingatkan pada ayat 13-
14, di mana kebangkitan manusia hanya memerlukan satu
tiupan, menunjukkan betapa mudahnya bagi Tuhan untuk
mewujudkan tujuan-Nya.
PERAN NABI SEBAGAI PEMBERI PERINGATAN
Ayat 45 menggambarkan peran Nabi sebagai pemberi peringatan
(mundhir) untuk mereka yang takut (yakhshāhā), mirip dengan peran
Nabi Musa dalam ayat 17–19, di mana Tuhan memerintahkan Musa
untuk memperingatkan Firaun agar takut kepada Tuhan.
Kata "takut" (takhshā/yakhshā/yakhshāhā) disebut empat kali dalam
surah ini (ayat 19, 26, 45, dan 40), menunjukkan pentingnya rasa takut
kepada Tuhan.
Meskipun kata "takut" tidak eksplisit muncul dalam Bagian I (ayat 1–5), pesan utamanya
tetap tentang rasa takut. Orang-orang dalam ayat ini digambarkan mengalami ketakutan
mendalam akibat serangan kuda yang datang mendadak atau guncangan bumi pada Hari
Kiamat (ayat 8–12).
PERAN NABI SEBAGAI PEMBERI PERINGATAN
Menurut Sinai, pengulangan kata "takut" dalam surah ini
menunjukkan bahwa keyakinan pada Hari Kiamat harus mencakup
aspek kognitif (keyakinan) dan emosional (rasa takut), bukan hanya
sekadar pemahaman intelektual, tetapi juga kesiapsiagaan
emosional.
Ayat 46 menggambarkan bagaimana orang-orang merasa seolah-
olah mereka hanya tinggal di dunia sebentar, seperti satu malam
atau pagi, yang mengingatkan pada perasaan mendadak dan
menakutkan yang juga digambarkan dalam bagian awal surah
(serangan kuda yang mendadak). Hal ini menekankan tema
ketidakpastian dan mendadaknya akhir dunia yang menjadi pesan
utama dalam surah ini.
Analisis Ayat 33: Sebuah (ayat)
Tambahan atau Bagian dari
Surah?
Neuwirth berpendapat bahwa ayat 33 dalam Surah al-Nāziʿāt adalah
intervensi redaksional yang ditambahkan belakangan, karena rima -
CāCiCum pada ayat tersebut berbeda dari rima di ayat sebelumnya dan
sesudahnya, serta dari rima lainnya dalam surah ini. Ia juga mengklaim
bahwa ayat 33 mirip dengan ayat 32 dalam Surah Q 80, yang
membahas tentang makanan dan pemberian Tuhan, sehingga mungkin
ayat 33 diambil dari Surah Q 80. Menurut Neuwirth, ayat 33 tampaknya
tidak sesuai dengan konteks sebelumnya yang berbicara tentang
hukuman, bukan makanan.
Analisis Ayat 33: Sebuah (ayat)
Tambahan atau Bagian dari
Surah?
Namun, Robinson membantah klaim ini dengan tiga alasan: pertama, ada
hubungan yang jelas antara ayat 33 dan ayat-ayat sebelumnya, terutama dengan
penggunaan kata "kum" yang mengingatkan pada pernyataan Firaun di ayat 24.
Kedua, kata "untukmu dan untuk ternakmu" pada ayat 33 sesuai dengan konteks
air dan padang rumput di ayat 31, bukan dengan gunung di ayat 32. Ketiga,
kemiripan redaksional antara ayat 33 di Q 79 dan ayat 32 di Q 80 bukanlah hal
yang aneh, karena kesamaan semacam ini ditemukan di ayat-ayat lain dalam Al-
Qur'an. Robinson berpendapat bahwa ayat 33 adalah bagian dari Surah al-Nāziʿāt,
karena adanya kesatuan kata dan penggunaan yang konsisten dalam surah ini. Ia
juga menunjukkan bahwa meskipun rima -CāCiCum di ayat 33 berbeda,
pengulangan kata "kum" dan kesamaan tema dengan ayat-ayat lain menguatkan
argumen bahwa ayat ini tetap cocok dengan surah ini.
Rima yang
Berbeda
Ayat 33 memiliki rima -CāCiCum
yang berbeda dari rima
sebelumnya dan sesudahnya,
menunjukkan intervensi
redaksional.
ANALISIS AYAT 33: SEBUAH (AYAT)
TAMBAHAN ATAU BAGIAN DARI SURAH?
Angelika Neurwith Neal Robinson
Meskipun rima berbeda,
penggunaan kata "kum" dalam
ayat 33 menghubungkannya
dengan ayat sebelumnya (ayat
24) yang juga menggunakan
"kum".
Hubungan
dengan ayat
sebelumnya
Ayat 33 mungkin berasal dari
Surah Q 80, yang membahas
pemberian makanan, bukan
tentang hukuman.
Robinson berpendapat bahwa
kata "untukmu dan untuk
ternakmu" di ayat 33 relevan
dengan konteks air dan padang
rumput di ayat 31.
Neuwirth berpendapat
bahwa ayat ini adalah
tambahan belakangan.
ANALISIS AYAT 33: SEBUAH (AYAT)
TAMBAHAN ATAU BAGIAN DARI SURAH?
ANGELIKA
NEURWITH
NEAL ROBINSON
Robinson berpendapat bahwa
ayat 33 adalah bagian dari Surah
al-Nāziʿāt karena adanya kesatuan
tema dan pengulangan kata.
KESIMPULAN
Surah al-Nāziʿāt merupakan surah Mekah awal yang menyampaikan pesan
eskatologi dengan struktur tripartit. Tema utamanya adalah kemungkinan dan
kepastian datangnya Hari Kebangkitan. Perubahan rima serta penggunaan
beberapa frasa khas seperti "yasʾalūnaka," "hal atāka," dan "idhā" sepanjang
surah membantu audiens untuk mengenali transisi antar sub-bagian.
Hubungan intratextual antar ayat menunjukkan bahwa setiap sub-bagian
dalam surah ini saling terhubung dan terintegrasi. Selain itu, hubungan
intertekstual antara Surah al-Nāziʿāt dan tradisi-tradisi sebelumnya, baik dalam
sastra Arab kuno maupun Yahudi-Kristen, mungkin membantu audiens dalam
memahami pesan-pesan surah ini. Mengingat kaitannya dengan bagian lain
dari surah, argumen bahwa ayat 33 merupakan intervensi redaksional
belakangan yang harus dihilangkan, kemungkinan besar tidak akan diterima.
REFLEKSI
Pendekatan intratekstual dan intertekstual dalam menganalisis teks Al-Qur'an sangat
penting untuk menggali makna yang lebih dalam dan memperkaya pemahaman tentang
pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Intratekstual mengacu pada hubungan dan
keterkaitan antar ayat dalam satu surah atau teks, yang membantu kita melihat bagaimana
tiap bagian saling mendukung dan membentuk satu kesatuan pesan yang utuh. Sementara
itu, intertekstual melibatkan hubungan antara teks Al-Qur'an dengan tradisi-tradisi
keagamaan atau sastra sebelumnya, seperti teks-teks Yahudi, Kristen, dan sastra Arab
kuno, yang memberikan konteks tambahan dan memungkinkan pemahaman yang lebih
kaya tentang wahyu yang disampaikan. Kedua pendekatan ini penting karena membantu
kita melihat teks bukan hanya sebagai entitas yang terisolasi, tetapi sebagai bagian dari
jalinan tradisi dan pemikiran yang lebih luas, yang membuat pesan Al-Qur'an lebih relevan
dan kontekstual dalam memahami eskatologi, moralitas, dan prinsip-prinsip hidup.
REFLEKSI
Analisis teks Al-Qur'an menggunakan kedua pendekatan tersebut memang memungkinkan kita
untuk memahami struktur, konteks, dan makna dari wahyu secara lebih mendalam, baik dalam
hubungan antar ayat maupun dalam kaitannya dengan tradisi agama dan sastra sebelumnya.
Namun, seperti yang dikatakan dalam kutipan tersebut, meskipun kita dapat menganalisis
iman atau teks agama secara rasional dan metodologis, hal itu tidak berarti bahwa kita bisa
hidup tanpa iman itu sendiri. Iman, pada dasarnya, melampaui analisis intelektual dan
membutuhkan pengalaman batin yang mendalam. Oleh karena itu, meskipun pendekatan
intratekstual dan intertekstual membantu memperkaya pemahaman kita, iman itu sendiri
tetap merupakan aspek yang mengarah pada pengalaman spiritual dan transformasi pribadi
yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan atau digantikan oleh analisis semata. Pendekatan ini
mengingatkan kita bahwa pemahaman intelektual terhadap Al-Qur'an harus dilengkapi dengan
penerapan nilai-nilai iman dalam kehidupan sehari-hari.
‫بالصواب‬ ‫أعلم‬ ‫هللا‬ ‫و‬
Mari Berdiskusi

Contoh Review Jurnal - Mata Kuliah Tafsir Kontemporer IAT 2025.pdf

  • 1.
    INTRATEKSTUAL & INTERTEKSTUAL PENDEKATAN Presented byMuhammad Imdad Ilhami Khalil UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH WASIL KEDIRI Presented in the Contemporary Exegesis Subject Qur’anic Sciences and Exegesis Major Thursday, 18th of September 2025
  • 2.
    QUOTES STRIKING “That faith beAnalyzable does not necessarily imply a method for getting by without it” Julia Kristeva dalam Bukunya, This Incredible Need to Believe (European Perspective: A Series in Social Thought and Cultural Criticism) “Iman/Kepercayaan yang dapat dianalisis tidak semerta-merta menyiratkan sebuah metode untuk hidup tanpanya”
  • 3.
    PENULIS: Hamdi Putra Ahmad Thematicand Structural Unity of Q 79 (al-Nāziʿāt): An Intratextual and Intertextual Analysis JUDUL ARTIKEL PENERBIT: QiST: Journal of Quran and Tafseer Studies KETERANGAN: Vol. 4, No. 1, Tahun 2025 (Sinta 3)
  • 4.
    TENTANG PENULIS Hamdi PutraAhmad merupakan seorang akademisi muda berdarang Minang, Padang, Sumatra Barat. Hamdi pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Sumatera Thawalib Parabek, Bukittinggi selama enam tahun. Di pesantren tersebut, Hamdi mengenal dunia kitab kuning, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, serta telah menghafalkan al-Qur’an 30 Juz. Setelah lulus dari pesantren, Hamdi melanjutkan studinya ke UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (Lulus pada Tahun 2019). Di Yogyakarta, Hamdi juga mengenyam pendidikan di salah satu pesantren yang fokus pada kajian al-Qur’an yaitu LSQ al-Rahmah yang diasuh oleh Prof. Dr. KH. Abdul Mustaqim, M.Ag. Selepas menempuh studi Strata 1, Hamdi memperoleh Beasiswa LPDP di Oxford University dengan konsentrasi Islamic Studies dan lulus pada Tahun 2024. Sekarang, Hamdi diangkat sebagai Direktur The Centre for Islam and The Future Studies di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU), Yogyakarta
  • 5.
    Apocalypticism and Eschatology inLate Antiquity: Encounters in the Abrahamic Religions, 6th-8th Centuries Hagit Amirav, Emmanouela Grypeou, and Guy Stroumsa (Editor) Terdapat beberapa referensi menarik yang digunakan oleh penulis artikel ini untuk dibaca dan dikaji lebih mendalam: REFERENSI MENARIK Key Terms of the Qur’an: A Critical Dictionary Nicolai Sinai Discovering the Qur’an: A Contemporary Approach to a Veiled Text Neal Robinson The Qur’an and Late Antiquity: A Shared Heritage. New York: Oxford University Press, 2019. Angelika Neurwith
  • 6.
    Istilah Intratekstual danIntertekstual pada mulanya dimunculkan sebagai pisau analisis terhadap suatu karya sastra. Julia Kristeva, seorang filosof, novelis, feminis, psikoanalisis, sekaligus kritikus sastra, adalah penggagasnya. Banyak pemikiran Julia Kristeva dipengaruhi oleh Michael Bakhtin, Sigmund Freud, Roland Barthes, Lacan. Intratekstualitas adalah hubungan antara bagian-bagian dalam teks itu sendiri. Konsep ini menunjukkan bagaimana elemen-elemen yang ada dalam teks (seperti karakter, tema, simbol, atau struktur bahasa) saling berinteraksi dan membentuk makna secara internal dalam teks tersebut. Dalam pandangan Kristeva, teks tidak dapat dipahami hanya dari satu bagian saja, melainkan harus dilihat sebagai suatu jaringan hubungan antara berbagai elemen yang ada di dalamnya. PENDAHULUAN INTRATEKSTUAL DAN INTERTEKSTUAL
  • 7.
    Konsep Intertekstualitas adalahyang paling terkenal dari Julia Kristeva. Intertekstualitas merujuk pada hubungan antara satu teks dengan teks-teks lain yang ada di luar teks tersebut. Kristeva mengembangkan konsep ini dari teori Mikhail Bakhtin tentang dialogisme, yang menyatakan bahwa setiap teks tidak berdiri sendiri, tetapi selalu terhubung dengan teks lain yang ada sebelumnya, teks yang sedang berlangsung, atau teks yang akan datang. Menurut Kristeva, setiap teks adalah sebuah "kaleidoskop" yang terhubung dengan teks- teks lain, dan makna suatu teks sering kali dibentuk melalui hubungan dengan teks-teks lain tersebut. Hal ini menantang pandangan tradisional yang melihat teks sebagai entitas yang terisolasi, dan mengajak pembaca untuk menganggap teks sebagai hasil dari interaksi yang terus-menerus antara berbagai teks. PENDAHULUAN INTRATEKSTUAL DAN INTERTEKSTUAL
  • 8.
    Kristeva juga mengungkapkanbahwa penulis atau pembuat teks tidak pernah menciptakan karya secara murni atau sepenuhnya orisinal. Sebaliknya, mereka selalu dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya dan membangun makna mereka atas dasar referensi dan kutipan terhadap teks-teks tersebut. Ini mengarah pada pemahaman bahwa karya sastra selalu terhubung dengan sejarah, budaya, dan konteks di mana ia muncul. Barangkali, pendapat Kristeva ini juga berhubungan dengan pendapat Nashr Hamid Abu Zayd, yaitu al-Qur’an sebagai Muntaj al-Tsaqafi (Produk Budaya). Sebagai contoh sederhananya adalah Komik One Piece. One Piece tidak hanya mengandalkan ceritanya sendiri, tetapi juga membangun dan mengembangkan referensi terhadap mitologi dari berbagai kebudayaan, seperti mitologi Yunani, Norse, Jepang, Mesir dan lain sebagainya, untuk menciptakan lapisan makna yang lebih dalam dan memperkaya cerita. PENDAHULUAN INTRATEKSTUAL DAN INTERTEKSTUAL
  • 9.
    INTRATEKSTUAL DAN INTERTEKSTUAL DALAMKOMIK ONE PIECE INTRATEKSTUAL INTERTEKSTUAL Tema Bajak Laut dan Harta Karun Tokoh Luffy, Zoro, Sanji, Nami, dll Simbol One Piece, Topi Jerami, Bendera Bajak Laut, Sunny Go Mitologi Yunani Enel, memiliki kekuatan petir yang kuat, mirip dengan Zeus, dewa petir dalam mitologi Yunani Mitologi Jepang Karakter Ryuma, seorang samurai legendaris dalam cerita, memiliki hubungan dengan konsep samurai dalam mitologi dan budaya Jepang
  • 10.
    INTRATEKSTUAL DAN INTERTEKSTUAL DALAMKAJIAN AL-QUR’AN Hubungan dengan Realitas Sosial-Budaya Arab Abad Pra-Islam Perbandingan dengan puisi, syi’ir, nadzam atau teks teks dari komunitas lainnya. Perbandingan dengan Kitab Suci sebelum al- Qur’an, Injil dan Taurat AL-QUR’AN 01 02 03 04 Munasabah antara Satu Ayat dengan Ayat Lain Metode Tafsir Maudhu’i Munasabah antara Satu Surah dengan Surah lain Analisis Sintagmatik 01 02 03 04 INTRATEKSTUAL INTERTEKSTUAL Hubungan dengan Hadis Nabi
  • 11.
    ANALISIS ARTIKEL JURNAL Thematic andStructural Unity of Q 79 (al-Nāziʿāt): An Intratextual and Intertextual Analysis Kesatuan Tematik dan Struktural Q 79 (al-Nāziʿāt): Sebuah Analisis Intratekstual dan Intertekstual Oleh: Hamdi Putra Ahmad UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH WASIL KEDIRI
  • 12.
    PENDAHULUAN Eskatologi, atau pembahasanmengenai akhir zaman dan kehidupan setelah kematian, merupakan tema penting dalam banyak surah Al-Qur'an yang turun di periode awal Mekah. Surah ke-79, al-Nāziʿāt, adalah salah satu contoh surah Mekah yang fokus membahas tema eskatologi ini, sebagaimana diklasifikasikan oleh beberapa riwayat. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji surah al-Nāziʿāt secara komprehensif, meliputi aspek bahasa, struktur, hubungan dengan surah lain, serta kaitannya dengan tradisi sebelumnya. Argumen utama yang diajukan adalah bahwa surah al-Nāziʿāt memiliki kesatuan makna dan bentuk yang didukung oleh struktur tiga bagiannya. Lebih lanjut, analisis menunjukkan bahwa surah ini kemungkinan ditujukan kepada masyarakat yang sudah mengenal tradisi Yahudi- Kristen dan sastra Arab kuno.
  • 13.
    METODE PENELITIAN Dalam penelitianini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan data pustaka, yang berfokus pada interpretasi teks Al-Qur'an. Pendekatan diakronik diterapkan untuk menganalisis aspek intratextual dari ayat-ayat Surah al-Nāziʿāt (Q 79) dan juga untuk mengeksplorasi hubungan intertekstual antara ayat-ayat tersebut dengan sumber-sumber lain di luar Al-Qur'an. Tujuan utama dari penelitian ini adalah memberikan interpretasi yang komprehensif terhadap surah tersebut, dengan menjelaskan setiap bagian agar pembaca dapat memahami ide-ide yang terkandung dengan lebih jelas dan mendalam.
  • 14.
    Surah al-Nāziʿāt (Q79) terdiri dari 46 ayat yang dibagi menjadi tiga bagian utama, masing-masing dengan dua sub-bagian. Angelika Neuwirth membagi surah ini menjadi ayat 1-14, 15-32, dan 34-46, dengan ayat 33 dianggap sebagai tambahan belakangan. Neal Robinson juga menyetujui pembagian tiga bagian, tetapi ia memasukkan ayat 33. Surah ini berfokus pada tema kebangkitan, kehidupan setelah mati, dan kisah hukuman yang melibatkan Musa dan Firaun sebagai peringatan bagi orang yang tidak beriman. Setiap bagian surah terdiri dari dua sub-bagian dengan satu tema dan rima yang konsisten, kecuali pada bagian II yang memiliki dua rima. Pembagian ayat dalam surah ini adalah: Bagian I (14 ayat), Bagian II (19 ayat), dan Bagian III (13 ayat). TripartiteStructure Q.S.al-Nāziʿāt[79]
  • 15.
  • 16.
    TripartiteStructureof Q.S.al-Nāziʿāt[79] Bagian1: Seri Sumpahdan Kisah Eskatologi Ayat 1-5: -Cā Ayat 6-14: -CāCiCāh RIMA AYAT 1-14
  • 17.
    OATH SERIES AYAT 1-5 Rima danStruktur: Sub-bagian ini menggunakan satu rima (- Cā) dan terdiri dari lima ayat, dengan setiap ayat diawali dengan bentuk jamak muannats yang berfungsi dalam sumpah (muqsam bih), yaitu: al-nāziʿāt (penarik) pada ayat 1, al-nāshiṭāt (pemberangkat) pada ayat 2, al-sābiḥāt (perenang) pada ayat 3, al-sābiqāt (yang mendahului) pada ayat 4, al-mudabbirāt (yang mengatur) pada ayat 5. Ada beberapa interpretasi mengenai muqsam bih ini, antara lain: merujuk pada malaikat yang mengambil nyawa setelah kematian, kuda yang berangkat untuk ekspedisi militer yang membuat musuh takut, atau bintang yang menarik dari kerak bumi ke luar.
  • 18.
    OATH SERIES AYAT 1-5 Beberapa sarjanaseperti Haleem dan Bint al-Shatiʾ lebih cenderung mengartikan muqsam bih ini sebagai kuda. Hal ini karena kuda adalah objek yang dikenal oleh masyarakat Qur'an, sementara malaikat adalah makhluk yang tidak terlihat. Menurutnya, ada kesamaan antara surah al-Nāziʿāt dan surah al-’Adiyat, karena keduanya menggunakan gambaran kuda untuk menggambarkan efek mendalam dan mendadak dari kedatangan sesuatu yang menakutkan, seperti kiamat. Selain itu, kedua surah juga merupakan surah yang diturunkan di Makkah berdasarkan kronologi turunnya al-Qur’an versi Theodore Noldeke.
  • 19.
    OATH SERIES AYAT 1-5 Angelika Neuwirthmenjelaskan bahwa serangkaian sumpah dalam ayat 1-5 Surah al-Nāziʿāt berasal dari model sastra Arab kuno yang disebut sajʿ. Sajʿ adalah gaya sastra yang digunakan untuk membuat sumpah atau pernyataan yang memiliki efek misterius dan intens, yang sudah ada dalam sastra Arab sebelum Islam. Gaya ini juga ditemukan dalam Surah al-Qari'ah, yang menggunakan sumpah untuk menghasilkan efek emosional yang kuat secara lisan. Ciri-ciri sajʿ ini meliputi penggunaan kalimat-kalimat singkat, penyebutan fenomena alam, dan pengulangan bunyi akhir kata (rima). Sebagai contoh, dalam sastra pra-Islam, gaya sajʿ seringkali menggunakan pengulangan konsonan di akhir kata untuk menciptakan ritme yang kuat dan intens. Salah satu contohnya bisa ditemukan dalam karya al-Baghdadi, Kitāb al-Munammaq, yang menunjukkan penggunaan pengulangan konsonan di akhir kata dalam sumpah atau pernyataan. ‫باألبطاح‬ ‫قومه‬ ‫أحّل‬ ‫بمن‬ ،‫نحناح‬ ‫بعابدين‬ ‫ّر‬‫الح‬ ‫يعدل‬ ‫ما‬ ،‫اح‬‫ّب‬‫الض‬ ‫العاديات‬ ‫ّب‬‫ور‬ ‫أما‬
  • 20.
    Pada bagian ini,rima berubah menjadi (-CāCiCah), menandakan transisi dari sumpah yang lebih simbolik menjadi pernyataan yang lebih jelas mengenai eskatologi. KISAH ESKATOLOGI AYAT 6-14 Dalam mendeskripsikan Keguncangan (tarjufu) dan Kebangkitan, kelompok ayat ini diklasifikaskan lagi sebagai berikut: 1.Ayat 6-7 menggambarkan keguncangan besar (tarjufu) yang terjadi pada hari kiamat, yang menyebabkan bumi dan gunung berguncang. 2.Ayat 8-9 melanjutkan dengan menggambarkan orang-orang yang ketakutan di hari kiamat, dengan mata mereka tertunduk dan hati mereka bergetar
  • 21.
    KISAH ESKATOLOGI AYAT 6-14 Bagian terakhirdari Part I Surah al-Nāziʿāt (ayat 10-14) menggambarkan sebuah situasi di mana orang-orang yang dibangkitkan dari kematian terlibat dalam perdebatan tentang kemungkinan mereka akan kembali hidup pada Hari Kiamat. Mereka meragukan bahwa tulang-tulang mereka akan disatukan kembali (ayat 11) dan mereka akan hidup kembali (ayat 12). Mereka bahkan bertanya, "Apakah kita akan hidup kembali setelah tubuh kita hancur?" (ayat 11-12). Sebagai respons terhadap keraguan mereka, Tuhan menjelaskan bahwa untuk membangkitkan mereka kembali hanya diperlukan satu tiupan (ayat 13-14), yang akan langsung membuat mereka hidup kembali.
  • 22.
    KISAH ESKATOLOGI AYAT 6-14 Robinson mencatatbahwa kata al-ḥāfira (yang dalam ayat 10 berarti "keadaan awal") awalnya merujuk pada tanah yang digali oleh kaki kuda. Kata ini berasal dari kata kerja ḥ-f-r, yang berarti menggali. Dalam konteks ini, bagian tersebut kemungkinan merupakan sebuah metafora yang mengingatkan pendengar bahwa perasaan yang mereka alami saat dibangkitkan kembali setelah satu teriakan pada Hari Kiamat mirip dengan perasaan yang mereka rasakan ketika mereka terbangun secara mendadak karena kedatangan kuda yang mendekat di pagi hari, seperti yang digambarkan dalam ayat 1-5. Intinya, perbandingan ini menggambarkan betapa mendalam dan mendadaknya perasaan yang akan dialami orang-orang pada Hari Kiamat, baik saat kebangkitan maupun ketika mereka terbangun dari tidur karena kedatangan kuda.
  • 23.
    TripartiteStructureof Q.S.al-Nāziʿāt[79] Bagian2: Kisah Musadan Firaun serta Penciptaan Tuhan Ayat 15-26: -Cā Ayat 27-32: -Cāhā RIMA AYAT 15-33 Ayat 33: -Cācicum
  • 24.
    Bagian 2: Kisah Hukuman Musadan Firaun serta Penciptaan Tuhan Pada bagian kedua Surah al-Nāziʿāt, rima berubah dari -CāCiCāh (ayat 6-14) menjadi -Cā (ayat 15-26), yang menandakan dimulainya sub-bagian baru. Ayat 15 dimulai dengan ungkapan "hal atāka" yang berarti "apakah telah sampai kepadamu," yang menunjukkan permulaan sub-bagian baru. Ungkapan ini sering muncul dalam surah-surah Mekah lainnya dan menandakan peralihan ke topik baru.
  • 25.
    Bagian 2: Kisah Hukuman Musadan Firaun serta Penciptaan Tuhan Menurut Abdel Haleem, pertanyaan "hal atāka" ini bersifat retoris, yang berarti pertanyaan ini tidak mengharapkan jawaban langsung "ya" atau "tidak". Sebaliknya, pertanyaan ini lebih berfungsi untuk menegaskan atau mengingatkan pendengar tentang sesuatu yang sudah sering mereka dengar atau ketahui sebelumnya. Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW dan umat pada waktu itu sudah mengetahui peristiwa yang disebutkan dalam pertanyaan tersebut, jadi tujuan pertanyaannya bukan untuk mendapatkan jawaban, tetapi untuk menekankan pentingnya peristiwa itu sebagai bagian dari ajaran yang disampaikan.
  • 26.
    KISAH MUSA DANFIR’AUN 1.Tuhan memerintahkan Musa untuk menghadap Firaun dan memperingatkannya agar menyucikan dirinya dan takut kepada Tuhan (ayat 17-19). 2.Namun, Firaun menolak dan menganggap dirinya sebagai Tuhan yang lebih tinggi (ayat 20-24). 3.Akibat ketidaktaatannya, Firaun dihukum baik di dunia maupun akhirat (ayat 25). Kisah hukuman Firaun ini bertujuan sebagai peringatan bagi siapa saja yang sombong terhadap Tuhan. Pelajaran utama yang bisa diambil dari kisah ini adalah rasa takut kepada Tuhan (al-khashya), yang muncul dua kali dalam sub-bagian ini (ayat 19 dan 26).
  • 27.
    Ayat 17-19 dalamSurah al-Nāziʿāt: Exodus 8:1: “Go to Pharaoh and tell him, “This is what the Lord says: Let my people go, so that they may worship me” Dengan Kitab Perjanjian Lama (Old Testament) Perbandingan
  • 28.
    Ayat 17-19 dalamSurah al-Nāziʿāt mengubah fokus dari perintah dalam Exodus 8:1, yang memerintahkan Musa untuk meminta Firaun membebaskan umat Israel. Dalam Al-Qur'an, Musa lebih diminta untuk mengajak Firaun "menyucikan dirinya" daripada membebaskan orang Israel. Dengan Kitab Perjanjian Lama (Old Testament) Perbandingan
  • 29.
    Ayat27-32 Setelah kisah panjangtentang Musa dan Firaun, bagian kedua surah al-Nāziʿāt melanjutkan dengan pertanyaan Tuhan kepada umat manusia mengenai penciptaan-Nya, apakah penciptaan manusia lebih besar dibandingkan dengan penciptaan langit, bumi, dan gunung (ayat 27-32). Rima pada ayat-ayat ini berubah menjadi -Cāhā, menandakan perubahan sub- bagian, kecuali ayat 33 yang menggunakan rima -CāCiCum. Robinson mengemukakan bahwa kata "marʿā" (padang rumput/pemeliharaan) dalam ayat 31 menghubungkan sub- bagian ini dengan kisah Musa sebelumnya, karena kata tersebut juga muncul dalam beberapa surah Mekah yang menceritakan kisah Musa. Makna dari "marʿā" menggambarkan pemberian Tuhan berupa pemeliharaan, yang memiliki keterkaitan dengan kisah Musa dan Firaun, mengingat pola serupa ditemukan dalam surah-surah lainnya yang menyebutkan Musa. DISUSUN OLEH AVERY DAVIS
  • 30.
    TripartiteStructureof Q.S.al-Nāziʿāt[79] Bagian3: Eskatologi danDorongan pada Nabi Ayat 34-41: -Cā Ayat 42-46: -Cāhā RIMA AYAT 34-46
  • 31.
    Pada sub-bagian ini,surah menggambarkan nasib orang- orang di akhirat, yaitu orang yang menentang (ṭaghā) dan orang yang takut (khāfa). Rima pada ayat 34-41 berubah menjadi -Cā, menandakan dimulainya sub-bagian ini. Ayat 34 dimulai dengan ungkapan idhā yang bertujuan untuk mengejutkan pendengar dengan menggambarkan situasi yang berbahaya pada Hari Kebangkitan. Kehidupan Setelah Mati: 1.Orang akan mengingat apa yang telah dilakukan di dunia (ayat 35). 2.Neraka akan terlihat dengan jelas bagi semua orang (ayat 36). PEMANDANGAN ESKATOLOGI
  • 32.
    Beberapa kata darikisah Musa-Firaun (ayat 15-26) muncul kembali dalam sub-bagian eskatologi ini, seperti al-kubrā, ṭaghā, yasʿā/saʿā, dan arā/yarā. Hal ini menunjukkan adanya kesinambungan antara kedua sub- bagian tersebut, dengan pola rima yang sama (-Ca). PEMANDANGAN ESKATOLOGI
  • 33.
    1.Skenario Eskatologi padaayat 34-35, Menggambarkan peristiwa besar pada Hari Kebangkitan yang mirip dengan gambaran keguncangan bumi dan senada dengan ayat 6-7. 2.Proses Eskatologi pada ayat 35-36, Orang-orang akan merenungkan perbuatan mereka di dunia, dan neraka akan ditunjukkan kepada semua orang. Ini mengingatkan pada ayat 8-12, yang menggambarkan kecemasan orang tentang kebangkitan dan keadaan mereka pada hari itu. 3.Dua Gambaran (Double Image), Menjelaskan dua nasib orang: Pertama, orang yang menentang Tuhan dan lebih memilih kehidupan duniawi akan dihukum di neraka (ayat 37-39). Kedua, orang yang takut kepada Tuhan dan menahan diri dari dorongan hawa nafsu akan mendapatkan surga (ayat 40- 41). Pernyataan tentang dua nasib ini mengingatkan pada apa yang disebutkan dalam ayat 14 mengenai kebangkitan semua orang untuk menghadapi penghakiman terakhir. KOMPONEN ESKATOLOGI
  • 34.
    AYAT 42-46 Perubahan rimapada ayat 42 menjadi -Cāhā menandakan dimulainya sub-bagian terakhir surah. Selain itu, kata "yasʾalūnaka" yang berarti "mereka bertanya kepadamu (wahai nabi)" juga menunjukkan peralihan ke sub-bagian baru. Kata ini sering digunakan dalam surah-surah Mekah dan Madinah serta surah-surah berikutnya, menandakan dimulainya bagian baru. Abdul Muiz Amir mencatat bahwa frasa "yasʾalūnaka ʿani l-sāʿati ayyāna mursāha" menunjukkan bahwa ayat ini merupakan respons terhadap pertanyaan tentang tanda-tanda Hari Kiamat. Menariknya, frasa "the Hour" (al-sāʿa) dalam ayat 42, yang merujuk pada akhir dunia, juga memiliki kesamaan dengan dua ayat dalam Perjanjian Baru, yaitu Matius 24:36 dan Matius 25:13, yang menyatakan bahwa tidak ada yang mengetahui waktu pasti kedatangan Hari Kiamat.
  • 35.
    PERBANDINGAN Surah Al-Nazi’at: 42 Matthew24:36 “No One Knows That Day and Hour” “Watch therefore, for you know neither the day nor the hour” Matthew 25:13
  • 36.
    Pada ayat 42–46,digambarkan orang-orang yang bertanya kepada Nabi mengenai waktu pasti Hari Kiamat. Karena Nabi hanya berperan sebagai "pemberi peringatan" (mundhir) (ayat 45), ia tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut karena hanya Tuhan yang mengetahui waktu pasti Hari Kiamat (ayat 44). Sebutan Nabi sebagai mundhir adalah khas dalam surah- surah Mekah, sementara dalam banyak surah Madinah, Nabi disebut sebagai nabī (nabi). Bagian terakhir ini menekankan betapa tidak terduganya Hari Kiamat. Ketika orang-orang menyaksikan kebangkitan, mereka akan merasa seolah-olah mereka hanya berada di dunia selama satu malam atau pagi saja (ayat 46), menggambarkan betapa mendalamnya perasaan kejutan yang akan mereka rasakan. AYAT 42-46
  • 37.
    Al-Qur'an tidak menyebutkanwaktu pasti Hari Kiamat, dan hal ini mirip dengan beberapa ayat dalam Alkitab, khususnya dalam Matius 24:3, Markus 13:4, dan Lukas 21:17. Dalam ayat- ayat tersebut, para pengikut Yesus bertanya tentang tanda- tanda kedatangannya pada akhir zaman dan kapan dunia akan berakhir. Dalam Matius 24:36, Yesus menjawab, "Tetapi mengenai hari dan jam itu tidak ada yang tahu, bahkan malaikat di surga, atau Anak, hanya Bapa saja yang tahu." Jawaban ini mirip dengan apa yang dikatakan dalam Surah al-Nāziʿāt (79:44-45), yang menyatakan bahwa Nabi hanya diutus untuk memperingatkan orang-orang yang takut, dan hanya Tuhan yang tahu waktu pasti Hari Kiamat. Ini menunjukkan bahwa, sama seperti Yesus, Nabi juga tidak mengetahui waktu pasti Kiamat. AYAT 42-46
  • 38.
    Pertanyaan tentang WaktuKiamat 1.Ayat 42-43 menggambarkan orang-orang yang bertanya kepada Nabi tentang waktu pasti Hari Kiamat. 2.Ini mirip dengan pertanyaan yang diajukan pada ayat 10-11, di mana orang-orang bertanya bagaimana tubuh mereka yang telah menjadi tulang belulang akan dipulihkan kembali. Kekuasaan Tuhan 1.Pada ayat 44, Tuhan menegaskan bahwa hanya Tuhan yang mengetahui waktu Kiamat, bukan Nabi. Ini menunjukkan bahwa Tuhan memiliki kekuasaan penuh atas segalanya. 2.Penekanan pada kekuasaan Tuhan mengingatkan pada ayat 13- 14, di mana kebangkitan manusia hanya memerlukan satu tiupan, menunjukkan betapa mudahnya bagi Tuhan untuk mewujudkan tujuan-Nya.
  • 39.
    PERAN NABI SEBAGAIPEMBERI PERINGATAN Ayat 45 menggambarkan peran Nabi sebagai pemberi peringatan (mundhir) untuk mereka yang takut (yakhshāhā), mirip dengan peran Nabi Musa dalam ayat 17–19, di mana Tuhan memerintahkan Musa untuk memperingatkan Firaun agar takut kepada Tuhan. Kata "takut" (takhshā/yakhshā/yakhshāhā) disebut empat kali dalam surah ini (ayat 19, 26, 45, dan 40), menunjukkan pentingnya rasa takut kepada Tuhan. Meskipun kata "takut" tidak eksplisit muncul dalam Bagian I (ayat 1–5), pesan utamanya tetap tentang rasa takut. Orang-orang dalam ayat ini digambarkan mengalami ketakutan mendalam akibat serangan kuda yang datang mendadak atau guncangan bumi pada Hari Kiamat (ayat 8–12).
  • 40.
    PERAN NABI SEBAGAIPEMBERI PERINGATAN Menurut Sinai, pengulangan kata "takut" dalam surah ini menunjukkan bahwa keyakinan pada Hari Kiamat harus mencakup aspek kognitif (keyakinan) dan emosional (rasa takut), bukan hanya sekadar pemahaman intelektual, tetapi juga kesiapsiagaan emosional. Ayat 46 menggambarkan bagaimana orang-orang merasa seolah- olah mereka hanya tinggal di dunia sebentar, seperti satu malam atau pagi, yang mengingatkan pada perasaan mendadak dan menakutkan yang juga digambarkan dalam bagian awal surah (serangan kuda yang mendadak). Hal ini menekankan tema ketidakpastian dan mendadaknya akhir dunia yang menjadi pesan utama dalam surah ini.
  • 41.
    Analisis Ayat 33:Sebuah (ayat) Tambahan atau Bagian dari Surah? Neuwirth berpendapat bahwa ayat 33 dalam Surah al-Nāziʿāt adalah intervensi redaksional yang ditambahkan belakangan, karena rima - CāCiCum pada ayat tersebut berbeda dari rima di ayat sebelumnya dan sesudahnya, serta dari rima lainnya dalam surah ini. Ia juga mengklaim bahwa ayat 33 mirip dengan ayat 32 dalam Surah Q 80, yang membahas tentang makanan dan pemberian Tuhan, sehingga mungkin ayat 33 diambil dari Surah Q 80. Menurut Neuwirth, ayat 33 tampaknya tidak sesuai dengan konteks sebelumnya yang berbicara tentang hukuman, bukan makanan.
  • 42.
    Analisis Ayat 33:Sebuah (ayat) Tambahan atau Bagian dari Surah? Namun, Robinson membantah klaim ini dengan tiga alasan: pertama, ada hubungan yang jelas antara ayat 33 dan ayat-ayat sebelumnya, terutama dengan penggunaan kata "kum" yang mengingatkan pada pernyataan Firaun di ayat 24. Kedua, kata "untukmu dan untuk ternakmu" pada ayat 33 sesuai dengan konteks air dan padang rumput di ayat 31, bukan dengan gunung di ayat 32. Ketiga, kemiripan redaksional antara ayat 33 di Q 79 dan ayat 32 di Q 80 bukanlah hal yang aneh, karena kesamaan semacam ini ditemukan di ayat-ayat lain dalam Al- Qur'an. Robinson berpendapat bahwa ayat 33 adalah bagian dari Surah al-Nāziʿāt, karena adanya kesatuan kata dan penggunaan yang konsisten dalam surah ini. Ia juga menunjukkan bahwa meskipun rima -CāCiCum di ayat 33 berbeda, pengulangan kata "kum" dan kesamaan tema dengan ayat-ayat lain menguatkan argumen bahwa ayat ini tetap cocok dengan surah ini.
  • 43.
    Rima yang Berbeda Ayat 33memiliki rima -CāCiCum yang berbeda dari rima sebelumnya dan sesudahnya, menunjukkan intervensi redaksional. ANALISIS AYAT 33: SEBUAH (AYAT) TAMBAHAN ATAU BAGIAN DARI SURAH? Angelika Neurwith Neal Robinson Meskipun rima berbeda, penggunaan kata "kum" dalam ayat 33 menghubungkannya dengan ayat sebelumnya (ayat 24) yang juga menggunakan "kum". Hubungan dengan ayat sebelumnya Ayat 33 mungkin berasal dari Surah Q 80, yang membahas pemberian makanan, bukan tentang hukuman. Robinson berpendapat bahwa kata "untukmu dan untuk ternakmu" di ayat 33 relevan dengan konteks air dan padang rumput di ayat 31.
  • 44.
    Neuwirth berpendapat bahwa ayatini adalah tambahan belakangan. ANALISIS AYAT 33: SEBUAH (AYAT) TAMBAHAN ATAU BAGIAN DARI SURAH? ANGELIKA NEURWITH NEAL ROBINSON Robinson berpendapat bahwa ayat 33 adalah bagian dari Surah al-Nāziʿāt karena adanya kesatuan tema dan pengulangan kata.
  • 45.
    KESIMPULAN Surah al-Nāziʿāt merupakansurah Mekah awal yang menyampaikan pesan eskatologi dengan struktur tripartit. Tema utamanya adalah kemungkinan dan kepastian datangnya Hari Kebangkitan. Perubahan rima serta penggunaan beberapa frasa khas seperti "yasʾalūnaka," "hal atāka," dan "idhā" sepanjang surah membantu audiens untuk mengenali transisi antar sub-bagian. Hubungan intratextual antar ayat menunjukkan bahwa setiap sub-bagian dalam surah ini saling terhubung dan terintegrasi. Selain itu, hubungan intertekstual antara Surah al-Nāziʿāt dan tradisi-tradisi sebelumnya, baik dalam sastra Arab kuno maupun Yahudi-Kristen, mungkin membantu audiens dalam memahami pesan-pesan surah ini. Mengingat kaitannya dengan bagian lain dari surah, argumen bahwa ayat 33 merupakan intervensi redaksional belakangan yang harus dihilangkan, kemungkinan besar tidak akan diterima.
  • 46.
    REFLEKSI Pendekatan intratekstual danintertekstual dalam menganalisis teks Al-Qur'an sangat penting untuk menggali makna yang lebih dalam dan memperkaya pemahaman tentang pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Intratekstual mengacu pada hubungan dan keterkaitan antar ayat dalam satu surah atau teks, yang membantu kita melihat bagaimana tiap bagian saling mendukung dan membentuk satu kesatuan pesan yang utuh. Sementara itu, intertekstual melibatkan hubungan antara teks Al-Qur'an dengan tradisi-tradisi keagamaan atau sastra sebelumnya, seperti teks-teks Yahudi, Kristen, dan sastra Arab kuno, yang memberikan konteks tambahan dan memungkinkan pemahaman yang lebih kaya tentang wahyu yang disampaikan. Kedua pendekatan ini penting karena membantu kita melihat teks bukan hanya sebagai entitas yang terisolasi, tetapi sebagai bagian dari jalinan tradisi dan pemikiran yang lebih luas, yang membuat pesan Al-Qur'an lebih relevan dan kontekstual dalam memahami eskatologi, moralitas, dan prinsip-prinsip hidup.
  • 47.
    REFLEKSI Analisis teks Al-Qur'anmenggunakan kedua pendekatan tersebut memang memungkinkan kita untuk memahami struktur, konteks, dan makna dari wahyu secara lebih mendalam, baik dalam hubungan antar ayat maupun dalam kaitannya dengan tradisi agama dan sastra sebelumnya. Namun, seperti yang dikatakan dalam kutipan tersebut, meskipun kita dapat menganalisis iman atau teks agama secara rasional dan metodologis, hal itu tidak berarti bahwa kita bisa hidup tanpa iman itu sendiri. Iman, pada dasarnya, melampaui analisis intelektual dan membutuhkan pengalaman batin yang mendalam. Oleh karena itu, meskipun pendekatan intratekstual dan intertekstual membantu memperkaya pemahaman kita, iman itu sendiri tetap merupakan aspek yang mengarah pada pengalaman spiritual dan transformasi pribadi yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan atau digantikan oleh analisis semata. Pendekatan ini mengingatkan kita bahwa pemahaman intelektual terhadap Al-Qur'an harus dilengkapi dengan penerapan nilai-nilai iman dalam kehidupan sehari-hari.
  • 48.