HUKUM ACARA PERDATA
(PERSIDANGAN DI PENGADILAN NEGERI)
OLEH:
Hj. EVA NORA, SH. MH.
(WASEKJEN DPN PERADI - SAI)
I. GUGATAN
adalah suatu tuntutan hak yang
diajukan oleh penggugat kepada
tergugat melalui pengadilan
Hal-hal yang perlu diperhatikan
 Diajukan kepada Pengadilan Negeri sesuai
kompetensi relatif.
Surat gugatan secara formil harus diajukan dan
dialamatkan kepada Pengadilan Negeri sesuai dengan
kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR.
Gugatan yang salah alamat atau dialamatkan kepada
Pengadilan Negeri yang berada diluar wilayah hukum
yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya atau
tidak sesuai dengan kompetensi relatif mengakibatkan
gugatan cacat formil, dengan demikian gugatan tersebut
dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke
verklaard) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili.
 Identitas Pihak.
Penulisan nama pihak sebagai perorangan ditulis
secara terang dan lengkap termasuk gelar atau
alias jika ada, demikian pula penulisan nama
perseroan dituliskan sebagaimana yang disebut
dalam anggaran dasar. Selain penulisan nama,
identitas lain yang mutlak dicantumkan adalah
mengenai alamat atau tempat tinggal para pihak.
Apabila tidak diketahui alamat tempat tinggal
tergugat, tidak menjadi hambatan bagi penggugat
untuk mengajukan gugatan (Pasal 390 ayat (3)
HIR), dapat ditempuh cara perumusan identitas
sebagai berikut:
Mencantumkan alamat atau tempat tinggal
terakhir seperti: “terakhir bertempat tinggal atau
bertempat kediaman di.....”.
Atau dengan tegas menyebutkan, “tidak
diketahui alamat atau tempat tinggalnya, tapi
masih berada dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
 Posita Gugatan.
Adalah penjelasan dalil atau alasan gugatan. Posita
disebut juga sebagai fundamentum petendi, yaitu
bagian yang berisi dalil yang mengambarkan atau
menguraikan secara jelas dan runtut mengenai
objek sengketa, hubungan hukum, alas hak yang
dijadikan dasar menggugat, serta kerugian yang
ditimbulkan. Posita yang disusun harus diikuti
dengan adanya permintaan atas sesuatu yang
biasa dikenal dengan istilah petitum.
 Petitum Gugatan.
Supaya gugatan sah dalam arti tidak mengandung
cacat formil, harus mencantumkan petitum
gugatan yang berisi pokok tuntutan penggugat,
berupa deskripsi yang jelas menyebut satu per
satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja
yang menjadi pokok tuntutan gugatan yang harus
dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat.
Petitum yang tidak memenuhi syarat:
 Tidak menyebut secara tegas apa yang diminta
atau petitum bersifat umum. Contoh:
“menetapkan hak penggugat atas tanah”
 Petitum tuntutan ganti rugi yang tidaki dirinci.
 Petitum yang bersifat negatif. Contoh:
“Menghukum tergugat supaya tidak mengambil
tindakan yang bersifat merusak bangunan
sengketa”
 Petitum tidak sejalan dengan dalil (posita)
gugatan
Selain itu.... menjadi perhatian pula
Pencabutan Gugatan Perubahan Gugatan
 Pencabutan gugatan merupakan
hak penggugat selama tergugat
belum menyampaikan jawaban,
apabila setelah ada jawaban
maka pecabutan hanya dapat
terjadi atas persetujuan tergugat
(Pasal 271 Rv).
 Pencabutan gugatan yang belum
diperiksa dilakukan dengan
surat, sedangkan pencabutan
yang sudah diperiksa dilakukan
dalam sidang pengadilan (Pasal
272 Rv).
 Apabila perubahan gugatan dilakukan
sebelum ada jawaban dari pihak tergugat,
maka penggugat/kuasanya mempunyai
keleluasaan untuk melakukan perubahan
asal tidak merubah dasar gugatan, tanpa
perlu memberikan kesempatan kepada
tergugat untuk menjawab dan
menanggapi perubahan tersebut.
 Terhadap perubahan gugatan diberikan
hak dan kesempatan untuk menjawab
dan menanggapi kepada tergugat, namun
dibenarkan ataupun tidak perubahan
sepenuhnya wewenang hakim. Sesuai
yurisprudensi perubahan gugatan selama
persidangan diperbolehkan asal tidak
menyimpang dari posita dan tidak
menghambat pemeriksaan disidang.
II. JAWABAN
 Secara teknis pemeriksaan perkara di sidang pengadilan
menjalani proses jawab-menjawab. Aturan main
mengenai proses jawab menjawab tidak dijumpai dalam
HIR dan RBG, ketentuannya digariskan dalam Pasal 142
RV yang menegaskan para pihak dapat saling
menyampaikan surat jawaban serta replik dan duplik.
 Dalam jawaban biasa dimuat mengenai eksepsi, dan
bantahan terhadap materi pokok perkara, namun tidak
jarang juga terdapat tuntutan balik atau biasa di sebut
rekonvensi. Untuk selanjutnya akan diterangkan sebagai
berikut:
Eksepsi
 Eksepsi ditujukan kepada hal-hal yang
menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan,
yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung
cacat atau pelanggaran fomil yang mengakibatkan
gugatan tidak sah yang karenannya gugatan tidak
dapat diterima, dengan demikian keberatan yang
diajukan dalam bentuk eksepsi, tidak ditujukan
dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok
perkara, bantahan atau tangkisan terhadap materi
pokok perkara diajukan sebagai bagian tersendiri
mengikuti eksepsi.
Jenis-Jenis Eksepsi
 Eksepsi Prosesual.
Eksepsi tidak berwenang secara absolut.
Adalah eksepsi yang menyangkut pembagian kekuasaan antara
badan-badan peradilan untuk memeriksa perkara, apakah
peradilan umum, peradilan agama, nperadilan militer atau
peradilan tata usaha negara.
Eksepsi kewenangan relatif.
Eksepsi mengenai wewenang atas wilayah hukum dari suatu
pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, dan
dapat berubah berdasarkan domisili atau timpat tinggal para
pihak (Pasal 118 HIR)
 Eksepsi Prosesual diluar eksepsi kompetensi.
Eksepsi surat kuasa khusus tidak sah.
Eksepsi error in persona.
Eksepsi nebis in idem.
Eksepsi gugatan premature.
Eksepsi obscuur libel.
Eksepsi surat kuasa khusus tidak sah
Tidak Memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123
ayat (1) HIR dan SEMA No. 1 Tahun 1971 Jo. SEMA
No. 6 Tahun 1994 Jo. SEMA No. 7 Tahun 2012.
Eksepsi error in persona
Dapat diartikan sebagai kekeliruan mengenai
pihak, baik keliru mengenai penggugat bukan
orang yang berhak (dikualifikasi in person), keliru
pihak yang ditarik sebagai tergugat, dan tidak
lengkap pihak yang ditarik sebagai tergugat
(plurium litis consortium).
Eksepsi nebis in idem
Gugatan yang diajukan dengan dalil (dasar
hukum) yang sama dan diajukan oleh dan
terhadap pihak yang sama dalam hubungan yang
sama pula dengan putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap, maka gugatan tersebut
melekat unsur nebis in idem, oleh karena itu
gugatan tersebut harus dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijke verklaard) (Pasal 1917
KUHPerdata).
Menyimpangi ketentuan Pasal 1917 KUHPerdata
Majelis Kasasi dapat menganggap sebagai Nebis In
Idem meskipun pihaknya tidak sama persis
dengan perkara terdahulu asalkan :
 Pada prinsipnya pihaknya sama meskipun ada
penambahan pihak.
 Status objek perkara telah ditentukan dalam
putusan terdahulu.
Eksepsi gugatan premature
Gugatan yang diajukan prematur, menjadi dasar
bagi hakim untuk menjatuhkan putusan negatif
dalam bentuk gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima, dalam putusan yang demikian tidak
melakat nebis in idem, dapat diajukan kembali
apabila faktor prematur tidak ada lagi.
Eksepsi obscuur libel
Yang dimaksud dengan obscuur libel, surat
gugatan penggugat tidak terang atau isinya gelap
(onduidelijk), disebut juga formulasi gugatan yang
tidak jelas. Padahal agar gugatan dianggap
memenuhi syarat formil, ndalil gugatan harus
terang dan jelas (duidelijk).
Didalam praktik dikenal beberapa bentuk eksepsi obscuur libel,
masing-masing didasarkan pada faktor tertentu, antara lain:
 Tidak jelas dasar hukum dalil gugatan. Contoh: gugatan tidak
menyebutkan dengan jelas berapa dan siapa saja yang
berhak atas objek warisan, dikategorikan sebagai gugatan
kabur karena dianggap tidak memenuhi dasar (feitelijke
ground) gugatan (Putusan MA No. 1145 K/Pdt/1984)
 Tidak jelas objek sengketa. Contoh: terdapat beberapa aspek
yang menimbulkan kaburnya objek gugatan mengenai tanah:
batas-batasnya tidak jelas, letaknya tidak pasti, dan ukuran
yang disebut dalam gugatan berbeda dengan hasil
pemeriksaan setempat.
 Petitum gugatan tidak rinci, kontradiksi dengan posita.
Contoh: petitum menetapkan hak penggugat atas tanah, tidak
jelas ingin ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan
atau penyewa.
Batahan terhadap pokok perkara
 Esensi bantahan terhadap pokok perkara, berisi
alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan
dikemukakan tergugat, baik dengan lisan atau
tulisan dengan maksud untuk melumpuhkan
kebenaran dalil gugatan yang dituangkan
tergugat dalam jawaban (Pasal 121 ayat (2) HIR).
Rekonvensi (gugat balik)
 Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat
sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang
diajukan kepadanya, gugatan rekonvensi diajukan
tergugat kepada pengadilan negeri pada saat
berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan
penggugat (Pasal 132 a ayat (1) HIR) atau diajukan
bersamaan dalam jawaban (Pasal 132 b ayat (1) HIR).
 Yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi hanya terbatas
penggugat konvensi, dilarang dan tidak dibenarkan
menarik sesama tergugat konvensi menjadi tergugat
rekonvensi (Putusan MA No. 636 K/Pdt/1984).
Tentang gugatan rekonvensi, sesuai dengan Pasal
132 a ayat (1) HIR gugatan rekonvensi dapat
diajukan dalam tiap-tiap perkara tanpa harus ada
hubungan objek sengketa dengan perkara
konvensi, kecuali terhadap :
 Kalau Penggugat konvensi menuntut karena
sesuatu kualitas sedang dalam rekonvensi
mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya.
 Kalau PN yang memeriksa perkara konvensi
secara absolut tidak berwenang.
 Dalam perkara perselisihan tentang
menjalankan putusan Hakim.
III. REPLIK DAN DUPLIK
 Sejalan dengan asas audi alteram partem, kepada
penggugat diberi hak untuk menanggapi
jawaban yang diajukan tergugat, dan secara
teknis disebut replik, dengan demikian replik
merupakan jawaban atas jawaban tergugat.
 Duplik merupakan jawaban balik dari tergugat
terhadap replik penggugat.
IV. BUKTI SURAT
Pasal 1867 – 1894 KUHPerdata dikatakan alat bukti
surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-
tanda baca dimaksud mencurahkan isi hati dan
buah pikiran dipergunakan sebagai bukti.
Jenis-jenis bukti surat:
Akta.
Akta adalah surat yang sengaja sejak awal dibuat untuk pembuktian. Akta terdiri
dari:
 Akta autentik.
Menurut Pasal 1868 KUHPerdata akta autentik adalah suatu akta yang bentuknya
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa ditempat dimana akta dibuat. Adapun yang dimaksud
dengan pegawai-pegawai umum tersebut adalah notaris, polisi dan hakim.
 Akta di bawah tangan.
Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat dan disetujui oleh para pihak yang
membuatnya serta mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Akta dibawah
tangan tidak dibuat dihadapan pejabat yang berwenang seperti notaris, namun
hanya dibuat oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Surat biasa.
Surat biasa merupakan bukti surat yang awalnya
tidak diperuntukan untuk dijadikan bukti, namun
jika disuatu hari alat bukti surat tersebut bisa
membuktikan suatu perkara di pengadilan, maka
alat bukti surat tersebut bisa dipergunakan
sebagai pembuktian.
V. PEMERIKSAAN SETEMPAT
 Pemeriksaan setempat adalah sidang pengadilan yang dilakukan
ditempat objek barang terpekara terletak, untuk melihat keadaan atau
memeriksa secara langsung objek tersebut.
 Pemeriksaan dilakukan oleh salah seorang atau lebih hakim anggota
majelis, dibantu oleh panitera pengganti yang akan bertindak
membuat berita acara, dan jurusita, serta dihadiri pula para pihak
yang berpekara atau kuasanya (Pasal 153 HIR, Pasal 180 RBG, Pasal
211-214 Rv).
 Pemeriksaan setempat dapat diadakan oleh hakim karena jabatannya
maupun atas permintaan para pihak. Adapun pembebanan panjar
biaya pemeriksaan dalam praktek dibebankan kepada penggugat, dan
biaya tersebut dibayar lebih dahulu sebelum pemeriksaan dilakukan.
 Apabila pemeriksaan setempat harus dilakukan dalam
wilayah hukum pengadilan negeri yang lain disebabkan
objek barang tersebut terletak diwilayah hukum
pengadilan negeri dimaksud, pemeriksaan dilimpahkan
kepada pengadilan negeri yang bersangkutan dengan
jalan mendelegasikan kepadanya (Pasal 180 ayat (3)
RBG, Pasal 213 Rv).
 Apabila pemeriksaan setempat harus dilakukan dalam
wilayah hukum pengadilan negeri yang lain disebabkan
objek barang tersebut terletak diwilayah hukum
pengadilan negeri dimaksud, pemeriksaan dilimpahkan
kepada pengadilan negeri yang bersangkutan dengan
jalan mendelegasikan kepadanya (Pasal 180 ayat (3)
RBG, Pasal 213 Rv).
VI. PEMERIKSAAN SAKSI
 Saksi adalah orang yang memberikan keterangan/kesaksian
di depan pengadilan mengenai apa yang mereka ketahui,
lihat sendiri,n dengar sendiri atau alami sendiri, yang
dengan kesaksian itu akan menjadi jelas suatu perkara.
 Pada prinsipnya setiap orang boleh menjadi saksi kecuali
orang tertentu yang tidak dapat didengar sebagai saksi,
antara lain:
- Keluarga sedarah dan semenda.
- Istri atau suami, meskipun telah bercerai.
- Anak-anak yang belum dewasa atau dibawah umur.
- Orang dengan gangguan jiwa.
Sesuai prinsip unus testis nullus testis yang
ditegaskan dalam Pasal 1905 KUHPerdata, Pasal
169 HIR, bahwa seorang saksi bukan kesaksian.
Berarti seorang saksi saja belum mencapai batas
minimal pembuktian, maka agar tercapai batas
minimal pembuktian saksi yang akan dihadirkan
dipersidangan, paling sedikit diajukan 2 (dua)
orang saksi yang memenuhi syarat formil dan
materil. Atau apabila hanya terdiri dari seorang
saksi saja, harus ditambah dengan salah satu alat
bukti lain seperti, bukti surat, persangkaan dan
sebagainya.
VII. KESIMPULAN
Pengajuan kesimpulan dilakukan setelah tahap
pembuktian selesai. HIR dan RBG tidak mengatur
secara jelas mengenai keharusan para pihak
menyampaikan kesimpulan, penyampaian
kesimpulan diadopsi dari ketentuan Pasal 28 Rv
yang menegaskan para pihak diwajibkan
membuat dan menyampaikan kesimpulan yang
mereka tanda tangani, ternyata ketentuan ini telah
dikembangkan dalam praktik dan dijadikan salah
satu tahap proses pemeriksaan yang disebut
penyampaian kesimpulan.
VIII. PUTUSAN
Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo, yang
dimaksud putusan adalah suatu pernyataan yang
oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi
wewenng untuk itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan
suatu perkara atau masalah antar pihak.
Asas Putusan
Terdapat asas-asas yang mesti ditegakan agar putusan yang
dijatuhkan tidak mengandung cacat sebagaimana diterangkan
dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:
 Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman yang mengatakan:
“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum
tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”
 Wajib mengadili seluruh bagian gugatan.
Digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG, dan
Pasal 50 Rv. Putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa
dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan, tidak boleh hanya
memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan
selebihnya.
 Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan.
Digariskan pada Pasal 178 ayat (3) HIR,Pasal 189 ayat (3) RBG dan
Pasal 50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan
yang dikemukakan dalam gugatan, larangan ini disebut ultra petitum
partium. Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum
gugatan dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires
yakni bertindak melampaui wewenangnya.apabila putusan
mengandung ultra petitum, maka harus dinyakan cacat (invalid)
meskipun hal itu dilakukan hakim dengan idtikat baik (good faith)
maupun sesuai dengan kepentingan umum (public inters).
 Diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (2)
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman mengatakan: “Putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum”.
Formulasi Putusan
Format putusan diatur lebih lanjut oleh
Mahkamah Agung melalui Keputusan Ketua MA
Nomor 44/KMA/SK/III/2014 tentang Pemberlakuan
Template Putusan dan Standar Penomoran
Perkara Peradilan Umum. Dalam peraturan
tersebut, Mahkamah Aagung mengatur format
putusan pada pengadilan umum sebagai berikut:
 Kepala putusan.
Kepala putusan terdiri dari judul, nomor putusan,
irah-irah, dan keterangan mengenai perkara apa yang
sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri.
 Identitas para pihak.
Penulisan identitas para pihak dituliskan nama
pricipal terlebih dahulu baru diikuti nama kuasa
hukum.
 Duduk perkara.
Mencantumkan gugatan, mediasi, jawaban, eksepsi
(jika ada), rekonvensi (jika ada).
 Pertimbangan hukum.
Bagian pertimbangan hukum memuat pokok gugatan, dalil yang diakui
atau setidak-tidaknya tidak dibantah, dalil-dalil yang dibantah,
pertimbangan tentang alat bukti yang diajukan oleh para pihak dan
pertimbangan mengenai petitum gugatan.
Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat,
pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan vide Pasal 14
ayat (3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Dalam pertimbangan juga dicantumkan mengenai biaya perkara
dibebankan kepada pihak yang kalah.
Kemudian, bagian pertimbangan hukum harus diakhiri dengan acuan
peraturan perundang-undangan baik formal maupun hukum materiil
yang digunakan dalam pertimbangan penjatuhan putusan.
 Amar putusan.
Penulisan bagian amar putusan diawali dengan kata MENGADILI
yang ditulis dengan huruf kapital dan ditebalkan serta diikuti
tanda titik dua. Amar putusan diberikan penomoran dengan
angka numeral (arab). Misalnya putusan kabul perdata.
 Penutup.
Penutup putusan harus memuat hari, tanggal, tahun, siapa yang
memutus, nama panitera pengganti, tanda tangan majelis,
panitera dan biaya perkara. Apabila hakim (baik ketua maupun
anggota) yang ditunjuk berhalangan, maka ditulis nama hakim
yang hadir dalam pembacaan putusan dengan penetapan
penunjukan majelis pengganti. Apabila penggantian majelis
terjadi sebelum musyawarah, maka penetapan yang disebut
dalam putusan adalah penetapan yang terakhir. Penetapan
disebutkan dalam putusan dan dicatat dalam berita acara sidang.
Referensi
 Harahap, Yahya. 2007. Hukum Acara perdata, Gugatan,
persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan.
JakartaSinaar Grafika,
 Undang-Undang No. 48 tentang Kekuasaan Kehakiman
 Herzien Inlandsch Reglement (HIR)
 Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBG)
 Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering (Rv)
 Keputusan Ketua MA Nomor 44/KMA/SK/III/2014 tentang
Pemberlakuan Template Putusan dan Standar Penomoran
Perkara Peradilan Umum
 Aldian Harikhman. Yurisprudensi tentang Perunbahan Gugatan.
Diakses dari media wordpress.com, tanggal 10 Oktober 2023,
https://aldianharikhman.wordpress.com/2015/12/
BIOGRAFI Hj. EVA NORA
Hj. Eva Nora, SH. MH. yang lahir pada tanggal 11 agustus 1966 di Kabupaten Bengkalis Riau dan
mendapatkan gelar Sarjana Hukum-nya dalam waktu 4,5 tahun pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau
pada tahun 1990, dan menyelesaikan Magister Hukum Bisnis dalam kurun waktu 1 tahun 2 bulan di
Universitas Islam Indonesia Yokyakarta. Dipercaya menduduki Jabatan ketua Pada Organisasi Asosiasi
Advokat Indonesia (AAI) Pekanbaru periode 2005 - 2011. Saat ini dipercayai dan aktif dalam struktural
kepengurusan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) di bawah
kepemimpinan Dr. Juniver Girsang, SH. MH.
Sebelum bergelut di dunia kepengacaraan Hj. Eva Nora, SH. MH. telah lama berkecimpung dalam dunia
perbankan selama kurang lebih 7 tahun pada Bank Harapan Sentosa (BHS) Pekanbaru dengan jabatan
terakhirnya sebagai Kepala Accounting, sejak ia menyelesaikan kuliahnya sampai dilikuidasinya Bank
Harapan Sentosa (BHS) pada tahun 1997. Jadi tidak diragukan lagi kepiawaian Hj. Eva Nora, SH. MH. dalam
memahami dan menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan perbankan.
Sekian
Terima Kasih

HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA NEGARA.pptx

  • 1.
    HUKUM ACARA PERDATA (PERSIDANGANDI PENGADILAN NEGERI) OLEH: Hj. EVA NORA, SH. MH. (WASEKJEN DPN PERADI - SAI)
  • 2.
    I. GUGATAN adalah suatutuntutan hak yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat melalui pengadilan
  • 3.
    Hal-hal yang perludiperhatikan  Diajukan kepada Pengadilan Negeri sesuai kompetensi relatif. Surat gugatan secara formil harus diajukan dan dialamatkan kepada Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR. Gugatan yang salah alamat atau dialamatkan kepada Pengadilan Negeri yang berada diluar wilayah hukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif mengakibatkan gugatan cacat formil, dengan demikian gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili.
  • 4.
     Identitas Pihak. Penulisannama pihak sebagai perorangan ditulis secara terang dan lengkap termasuk gelar atau alias jika ada, demikian pula penulisan nama perseroan dituliskan sebagaimana yang disebut dalam anggaran dasar. Selain penulisan nama, identitas lain yang mutlak dicantumkan adalah mengenai alamat atau tempat tinggal para pihak.
  • 5.
    Apabila tidak diketahuialamat tempat tinggal tergugat, tidak menjadi hambatan bagi penggugat untuk mengajukan gugatan (Pasal 390 ayat (3) HIR), dapat ditempuh cara perumusan identitas sebagai berikut: Mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir seperti: “terakhir bertempat tinggal atau bertempat kediaman di.....”. Atau dengan tegas menyebutkan, “tidak diketahui alamat atau tempat tinggalnya, tapi masih berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
  • 6.
     Posita Gugatan. Adalahpenjelasan dalil atau alasan gugatan. Posita disebut juga sebagai fundamentum petendi, yaitu bagian yang berisi dalil yang mengambarkan atau menguraikan secara jelas dan runtut mengenai objek sengketa, hubungan hukum, alas hak yang dijadikan dasar menggugat, serta kerugian yang ditimbulkan. Posita yang disusun harus diikuti dengan adanya permintaan atas sesuatu yang biasa dikenal dengan istilah petitum.
  • 7.
     Petitum Gugatan. Supayagugatan sah dalam arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan gugatan yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat.
  • 8.
    Petitum yang tidakmemenuhi syarat:  Tidak menyebut secara tegas apa yang diminta atau petitum bersifat umum. Contoh: “menetapkan hak penggugat atas tanah”  Petitum tuntutan ganti rugi yang tidaki dirinci.  Petitum yang bersifat negatif. Contoh: “Menghukum tergugat supaya tidak mengambil tindakan yang bersifat merusak bangunan sengketa”  Petitum tidak sejalan dengan dalil (posita) gugatan
  • 9.
    Selain itu.... menjadiperhatian pula Pencabutan Gugatan Perubahan Gugatan  Pencabutan gugatan merupakan hak penggugat selama tergugat belum menyampaikan jawaban, apabila setelah ada jawaban maka pecabutan hanya dapat terjadi atas persetujuan tergugat (Pasal 271 Rv).  Pencabutan gugatan yang belum diperiksa dilakukan dengan surat, sedangkan pencabutan yang sudah diperiksa dilakukan dalam sidang pengadilan (Pasal 272 Rv).  Apabila perubahan gugatan dilakukan sebelum ada jawaban dari pihak tergugat, maka penggugat/kuasanya mempunyai keleluasaan untuk melakukan perubahan asal tidak merubah dasar gugatan, tanpa perlu memberikan kesempatan kepada tergugat untuk menjawab dan menanggapi perubahan tersebut.  Terhadap perubahan gugatan diberikan hak dan kesempatan untuk menjawab dan menanggapi kepada tergugat, namun dibenarkan ataupun tidak perubahan sepenuhnya wewenang hakim. Sesuai yurisprudensi perubahan gugatan selama persidangan diperbolehkan asal tidak menyimpang dari posita dan tidak menghambat pemeriksaan disidang.
  • 10.
    II. JAWABAN  Secarateknis pemeriksaan perkara di sidang pengadilan menjalani proses jawab-menjawab. Aturan main mengenai proses jawab menjawab tidak dijumpai dalam HIR dan RBG, ketentuannya digariskan dalam Pasal 142 RV yang menegaskan para pihak dapat saling menyampaikan surat jawaban serta replik dan duplik.  Dalam jawaban biasa dimuat mengenai eksepsi, dan bantahan terhadap materi pokok perkara, namun tidak jarang juga terdapat tuntutan balik atau biasa di sebut rekonvensi. Untuk selanjutnya akan diterangkan sebagai berikut:
  • 11.
    Eksepsi  Eksepsi ditujukankepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran fomil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenannya gugatan tidak dapat diterima, dengan demikian keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi, tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara, bantahan atau tangkisan terhadap materi pokok perkara diajukan sebagai bagian tersendiri mengikuti eksepsi.
  • 12.
    Jenis-Jenis Eksepsi  EksepsiProsesual. Eksepsi tidak berwenang secara absolut. Adalah eksepsi yang menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan untuk memeriksa perkara, apakah peradilan umum, peradilan agama, nperadilan militer atau peradilan tata usaha negara. Eksepsi kewenangan relatif. Eksepsi mengenai wewenang atas wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, dan dapat berubah berdasarkan domisili atau timpat tinggal para pihak (Pasal 118 HIR)
  • 13.
     Eksepsi Prosesualdiluar eksepsi kompetensi. Eksepsi surat kuasa khusus tidak sah. Eksepsi error in persona. Eksepsi nebis in idem. Eksepsi gugatan premature. Eksepsi obscuur libel.
  • 14.
    Eksepsi surat kuasakhusus tidak sah Tidak Memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR dan SEMA No. 1 Tahun 1971 Jo. SEMA No. 6 Tahun 1994 Jo. SEMA No. 7 Tahun 2012.
  • 15.
    Eksepsi error inpersona Dapat diartikan sebagai kekeliruan mengenai pihak, baik keliru mengenai penggugat bukan orang yang berhak (dikualifikasi in person), keliru pihak yang ditarik sebagai tergugat, dan tidak lengkap pihak yang ditarik sebagai tergugat (plurium litis consortium).
  • 16.
    Eksepsi nebis inidem Gugatan yang diajukan dengan dalil (dasar hukum) yang sama dan diajukan oleh dan terhadap pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula dengan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, maka gugatan tersebut melekat unsur nebis in idem, oleh karena itu gugatan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) (Pasal 1917 KUHPerdata).
  • 17.
    Menyimpangi ketentuan Pasal1917 KUHPerdata Majelis Kasasi dapat menganggap sebagai Nebis In Idem meskipun pihaknya tidak sama persis dengan perkara terdahulu asalkan :  Pada prinsipnya pihaknya sama meskipun ada penambahan pihak.  Status objek perkara telah ditentukan dalam putusan terdahulu.
  • 18.
    Eksepsi gugatan premature Gugatanyang diajukan prematur, menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan negatif dalam bentuk gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, dalam putusan yang demikian tidak melakat nebis in idem, dapat diajukan kembali apabila faktor prematur tidak ada lagi.
  • 19.
    Eksepsi obscuur libel Yangdimaksud dengan obscuur libel, surat gugatan penggugat tidak terang atau isinya gelap (onduidelijk), disebut juga formulasi gugatan yang tidak jelas. Padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil, ndalil gugatan harus terang dan jelas (duidelijk).
  • 20.
    Didalam praktik dikenalbeberapa bentuk eksepsi obscuur libel, masing-masing didasarkan pada faktor tertentu, antara lain:  Tidak jelas dasar hukum dalil gugatan. Contoh: gugatan tidak menyebutkan dengan jelas berapa dan siapa saja yang berhak atas objek warisan, dikategorikan sebagai gugatan kabur karena dianggap tidak memenuhi dasar (feitelijke ground) gugatan (Putusan MA No. 1145 K/Pdt/1984)  Tidak jelas objek sengketa. Contoh: terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek gugatan mengenai tanah: batas-batasnya tidak jelas, letaknya tidak pasti, dan ukuran yang disebut dalam gugatan berbeda dengan hasil pemeriksaan setempat.  Petitum gugatan tidak rinci, kontradiksi dengan posita. Contoh: petitum menetapkan hak penggugat atas tanah, tidak jelas ingin ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa.
  • 21.
    Batahan terhadap pokokperkara  Esensi bantahan terhadap pokok perkara, berisi alasan dan penegasan yang sengaja dibuat dan dikemukakan tergugat, baik dengan lisan atau tulisan dengan maksud untuk melumpuhkan kebenaran dalil gugatan yang dituangkan tergugat dalam jawaban (Pasal 121 ayat (2) HIR).
  • 22.
    Rekonvensi (gugat balik) Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan kepadanya, gugatan rekonvensi diajukan tergugat kepada pengadilan negeri pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat (Pasal 132 a ayat (1) HIR) atau diajukan bersamaan dalam jawaban (Pasal 132 b ayat (1) HIR).  Yang ditarik sebagai tergugat rekonvensi hanya terbatas penggugat konvensi, dilarang dan tidak dibenarkan menarik sesama tergugat konvensi menjadi tergugat rekonvensi (Putusan MA No. 636 K/Pdt/1984).
  • 23.
    Tentang gugatan rekonvensi,sesuai dengan Pasal 132 a ayat (1) HIR gugatan rekonvensi dapat diajukan dalam tiap-tiap perkara tanpa harus ada hubungan objek sengketa dengan perkara konvensi, kecuali terhadap :  Kalau Penggugat konvensi menuntut karena sesuatu kualitas sedang dalam rekonvensi mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya.  Kalau PN yang memeriksa perkara konvensi secara absolut tidak berwenang.  Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan Hakim.
  • 24.
    III. REPLIK DANDUPLIK  Sejalan dengan asas audi alteram partem, kepada penggugat diberi hak untuk menanggapi jawaban yang diajukan tergugat, dan secara teknis disebut replik, dengan demikian replik merupakan jawaban atas jawaban tergugat.  Duplik merupakan jawaban balik dari tergugat terhadap replik penggugat.
  • 25.
    IV. BUKTI SURAT Pasal1867 – 1894 KUHPerdata dikatakan alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda- tanda baca dimaksud mencurahkan isi hati dan buah pikiran dipergunakan sebagai bukti.
  • 26.
    Jenis-jenis bukti surat: Akta. Aktaadalah surat yang sengaja sejak awal dibuat untuk pembuktian. Akta terdiri dari:  Akta autentik. Menurut Pasal 1868 KUHPerdata akta autentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa ditempat dimana akta dibuat. Adapun yang dimaksud dengan pegawai-pegawai umum tersebut adalah notaris, polisi dan hakim.  Akta di bawah tangan. Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat dan disetujui oleh para pihak yang membuatnya serta mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Akta dibawah tangan tidak dibuat dihadapan pejabat yang berwenang seperti notaris, namun hanya dibuat oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
  • 27.
    Surat biasa. Surat biasamerupakan bukti surat yang awalnya tidak diperuntukan untuk dijadikan bukti, namun jika disuatu hari alat bukti surat tersebut bisa membuktikan suatu perkara di pengadilan, maka alat bukti surat tersebut bisa dipergunakan sebagai pembuktian.
  • 28.
    V. PEMERIKSAAN SETEMPAT Pemeriksaan setempat adalah sidang pengadilan yang dilakukan ditempat objek barang terpekara terletak, untuk melihat keadaan atau memeriksa secara langsung objek tersebut.  Pemeriksaan dilakukan oleh salah seorang atau lebih hakim anggota majelis, dibantu oleh panitera pengganti yang akan bertindak membuat berita acara, dan jurusita, serta dihadiri pula para pihak yang berpekara atau kuasanya (Pasal 153 HIR, Pasal 180 RBG, Pasal 211-214 Rv).  Pemeriksaan setempat dapat diadakan oleh hakim karena jabatannya maupun atas permintaan para pihak. Adapun pembebanan panjar biaya pemeriksaan dalam praktek dibebankan kepada penggugat, dan biaya tersebut dibayar lebih dahulu sebelum pemeriksaan dilakukan.
  • 29.
     Apabila pemeriksaansetempat harus dilakukan dalam wilayah hukum pengadilan negeri yang lain disebabkan objek barang tersebut terletak diwilayah hukum pengadilan negeri dimaksud, pemeriksaan dilimpahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan dengan jalan mendelegasikan kepadanya (Pasal 180 ayat (3) RBG, Pasal 213 Rv).  Apabila pemeriksaan setempat harus dilakukan dalam wilayah hukum pengadilan negeri yang lain disebabkan objek barang tersebut terletak diwilayah hukum pengadilan negeri dimaksud, pemeriksaan dilimpahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan dengan jalan mendelegasikan kepadanya (Pasal 180 ayat (3) RBG, Pasal 213 Rv).
  • 30.
    VI. PEMERIKSAAN SAKSI Saksi adalah orang yang memberikan keterangan/kesaksian di depan pengadilan mengenai apa yang mereka ketahui, lihat sendiri,n dengar sendiri atau alami sendiri, yang dengan kesaksian itu akan menjadi jelas suatu perkara.  Pada prinsipnya setiap orang boleh menjadi saksi kecuali orang tertentu yang tidak dapat didengar sebagai saksi, antara lain: - Keluarga sedarah dan semenda. - Istri atau suami, meskipun telah bercerai. - Anak-anak yang belum dewasa atau dibawah umur. - Orang dengan gangguan jiwa.
  • 31.
    Sesuai prinsip unustestis nullus testis yang ditegaskan dalam Pasal 1905 KUHPerdata, Pasal 169 HIR, bahwa seorang saksi bukan kesaksian. Berarti seorang saksi saja belum mencapai batas minimal pembuktian, maka agar tercapai batas minimal pembuktian saksi yang akan dihadirkan dipersidangan, paling sedikit diajukan 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat formil dan materil. Atau apabila hanya terdiri dari seorang saksi saja, harus ditambah dengan salah satu alat bukti lain seperti, bukti surat, persangkaan dan sebagainya.
  • 32.
    VII. KESIMPULAN Pengajuan kesimpulandilakukan setelah tahap pembuktian selesai. HIR dan RBG tidak mengatur secara jelas mengenai keharusan para pihak menyampaikan kesimpulan, penyampaian kesimpulan diadopsi dari ketentuan Pasal 28 Rv yang menegaskan para pihak diwajibkan membuat dan menyampaikan kesimpulan yang mereka tanda tangani, ternyata ketentuan ini telah dikembangkan dalam praktik dan dijadikan salah satu tahap proses pemeriksaan yang disebut penyampaian kesimpulan.
  • 33.
    VIII. PUTUSAN Menurut pendapatSudikno Mertokusumo, yang dimaksud putusan adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenng untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar pihak.
  • 34.
    Asas Putusan Terdapat asas-asasyang mesti ditegakan agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat sebagaimana diterangkan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:  Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman yang mengatakan: “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”
  • 35.
     Wajib mengadiliseluruh bagian gugatan. Digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG, dan Pasal 50 Rv. Putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan, tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya.  Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan. Digariskan pada Pasal 178 ayat (3) HIR,Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50 Rv. Putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan, larangan ini disebut ultra petitum partium. Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum gugatan dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires yakni bertindak melampaui wewenangnya.apabila putusan mengandung ultra petitum, maka harus dinyakan cacat (invalid) meskipun hal itu dilakukan hakim dengan idtikat baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public inters).
  • 36.
     Diucapkan dalamsidang terbuka untuk umum. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan: “Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”.
  • 37.
    Formulasi Putusan Format putusandiatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung melalui Keputusan Ketua MA Nomor 44/KMA/SK/III/2014 tentang Pemberlakuan Template Putusan dan Standar Penomoran Perkara Peradilan Umum. Dalam peraturan tersebut, Mahkamah Aagung mengatur format putusan pada pengadilan umum sebagai berikut:
  • 38.
     Kepala putusan. Kepalaputusan terdiri dari judul, nomor putusan, irah-irah, dan keterangan mengenai perkara apa yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri.  Identitas para pihak. Penulisan identitas para pihak dituliskan nama pricipal terlebih dahulu baru diikuti nama kuasa hukum.  Duduk perkara. Mencantumkan gugatan, mediasi, jawaban, eksepsi (jika ada), rekonvensi (jika ada).
  • 39.
     Pertimbangan hukum. Bagianpertimbangan hukum memuat pokok gugatan, dalil yang diakui atau setidak-tidaknya tidak dibantah, dalil-dalil yang dibantah, pertimbangan tentang alat bukti yang diajukan oleh para pihak dan pertimbangan mengenai petitum gugatan. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan vide Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pertimbangan juga dicantumkan mengenai biaya perkara dibebankan kepada pihak yang kalah. Kemudian, bagian pertimbangan hukum harus diakhiri dengan acuan peraturan perundang-undangan baik formal maupun hukum materiil yang digunakan dalam pertimbangan penjatuhan putusan.
  • 40.
     Amar putusan. Penulisanbagian amar putusan diawali dengan kata MENGADILI yang ditulis dengan huruf kapital dan ditebalkan serta diikuti tanda titik dua. Amar putusan diberikan penomoran dengan angka numeral (arab). Misalnya putusan kabul perdata.  Penutup. Penutup putusan harus memuat hari, tanggal, tahun, siapa yang memutus, nama panitera pengganti, tanda tangan majelis, panitera dan biaya perkara. Apabila hakim (baik ketua maupun anggota) yang ditunjuk berhalangan, maka ditulis nama hakim yang hadir dalam pembacaan putusan dengan penetapan penunjukan majelis pengganti. Apabila penggantian majelis terjadi sebelum musyawarah, maka penetapan yang disebut dalam putusan adalah penetapan yang terakhir. Penetapan disebutkan dalam putusan dan dicatat dalam berita acara sidang.
  • 41.
    Referensi  Harahap, Yahya.2007. Hukum Acara perdata, Gugatan, persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. JakartaSinaar Grafika,  Undang-Undang No. 48 tentang Kekuasaan Kehakiman  Herzien Inlandsch Reglement (HIR)  Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBG)  Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering (Rv)  Keputusan Ketua MA Nomor 44/KMA/SK/III/2014 tentang Pemberlakuan Template Putusan dan Standar Penomoran Perkara Peradilan Umum  Aldian Harikhman. Yurisprudensi tentang Perunbahan Gugatan. Diakses dari media wordpress.com, tanggal 10 Oktober 2023, https://aldianharikhman.wordpress.com/2015/12/
  • 42.
    BIOGRAFI Hj. EVANORA Hj. Eva Nora, SH. MH. yang lahir pada tanggal 11 agustus 1966 di Kabupaten Bengkalis Riau dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum-nya dalam waktu 4,5 tahun pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau pada tahun 1990, dan menyelesaikan Magister Hukum Bisnis dalam kurun waktu 1 tahun 2 bulan di Universitas Islam Indonesia Yokyakarta. Dipercaya menduduki Jabatan ketua Pada Organisasi Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Pekanbaru periode 2005 - 2011. Saat ini dipercayai dan aktif dalam struktural kepengurusan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) di bawah kepemimpinan Dr. Juniver Girsang, SH. MH. Sebelum bergelut di dunia kepengacaraan Hj. Eva Nora, SH. MH. telah lama berkecimpung dalam dunia perbankan selama kurang lebih 7 tahun pada Bank Harapan Sentosa (BHS) Pekanbaru dengan jabatan terakhirnya sebagai Kepala Accounting, sejak ia menyelesaikan kuliahnya sampai dilikuidasinya Bank Harapan Sentosa (BHS) pada tahun 1997. Jadi tidak diragukan lagi kepiawaian Hj. Eva Nora, SH. MH. dalam memahami dan menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan perbankan.
  • 43.