LAPORAN KEGIATAN
OBSERVASI PEMERIKSAAN PASIEN ANAK
BLOK 8 TUMBUH KEMBANG KRANIOFASIAL
Trainer:
drg. Septia Anggreini Wilujeng
Disusun Oleh:
Vina Widya Putri J2A017017
Ovie Luksita Lathifa J2A017039
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2018
i
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan observasi ini disusun guna memenuhi salah satu tugas pada Blok 8
Tumbuh Kembang Kraniofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Muhammadiyah Semarang.
Kegiatan observasi ini dilaksanakan pada:
Hari : Rabu
Tanggal : 05 September 2018
Tempat : RSGMP Universitas Muhammadiyah Semarang
Mahasiswa Mahasiswa
Vina Widya Putri Ovie Luksita Lathifa
NIM. J2A017017 NIM. J2A017039
Mengetahui,
Penanggung Jawab Blok
drg. Lira Wiet Jayanti
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena
dengan pertolongan-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Kegiatan Field Lab
Blok 8 Tumbuh Kembang Kraniofasial yang berjudul “OBSERVASI
PEMERIKSAAN PASIEN ANAK”.
Laporan ini kami susun untuk memenuhi tugas Laporan Kegiatan Field Lab.
Dalam laporan ini dibahas mengenai Penanganan Kecemasan pada Anak terhadap
Perawatan Gigi serta Tindakan yang Diberikan Terhadap Kasus Pada Gigi Anak
tersebut. Dengan selesainya laporan ini, maka tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih khususnya kepada drg. Septia Anggreini Wilujeng selaku Trainer Tutorial
Blok 8 SGD 3, teman-teman yang sudah memberi masukan baik langsung maupun
tidak langsung, juga pihak-pihak yang menyediakan sumber yang telah kami
satukan.
Demikian laporan ini kami selesaikan, semoga dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Mohon maaf apabila masih terdapat kekurangan disana-sini. Saran-saran
serta kritik yang konstruktif sangat kami harapkan dari para pembaca guna
peningkatan pembuatan laporan pada tugas yang lain di waktu mendatang. Akhir
kata, kami mengucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Semarang, 6 Desember 2018
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………… i
KATA PENGANTAR ………………………………………………ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………. 2
1.3 Tujuan ………………………………………………………………………... 2
1.4 Manfaat ………………………………………………………………………. 3
BAB II KASUS
2.1 Data Pasien …………………………………………………………………… 4
2.2 Hasil Odontogram …………………………………………………………..... 5
2.3 Tindakan ……………………………………………………………………... 6
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Definisi Behavior Management ……………………………………………... 12
3.2 Klasifikasi Perilaku Anak …………………………………………………… 12
3.3 Faktor yang Memengaruhi Perilaku Anak …………………………………... 14
3.4 Teknik Pengelolaan Tingkah Laku ………………………………………….. 16
3.5 Definisi Kecemasan pada Anak ……………………………………………... 19
3.6 Etiologi Kecemasan pada Anak ……………………………………………... 20
3.7 Klasifikasi Tingkat Kecemasan pada Anak …………………………………. 24
iv
3.8 Pengukuran Tingkat Kecemasan pada Anak ………………………………... 26
3.9 Cara Penanganan Kecemasan pada Anak …………………………………… 29
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan …………………………………………………………………. 30
4.2 Saran ………………………………………………………………………... 30
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………..…. 32
LAMPIRAN ……………………………………………………….33
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat awam pada umumnya cenderung memberi kesan bahwa praktek
dokter gigi memiliki suasana dan peralatan yang asing, dan terlebih lagi
berhubungan dengan rasa nyeri. Hal ini menyebabkan pasien menjadi cemas,
sehingga mempengaruhi kunjungan rutin pasien untuk berobat ke dokter gigi.
Kecemasan adalah hal yang wajar dialami semua orang, yang dapat memberi
pengaruh besar dalam perubahan perilaku. Rasa cemas merupakan respon normal
terhadap peristiwa yang dianggap mengancam, atau terhadap tekanan yang dapat
menyebabkan seseorang menjadi gelisah. Kadang kala kecemasan menjadi
berlebihan sehingga menimbulkan ketakutan yang tidak rasional terhadap suatu hal
tertentu.
Kecemasan dental yang timbul mulai dari masa anak-anak merupakan
hambatan terbesar bagi dokter gigi dalam melakukan perawatan yang optimal.
Kecemasan pada anak-anak telah diakui sebagai masalah selama bertahun-tahun
yang menyebabkan anak sering menunda dan menolak untuk melakukan
perawatan. Kecemasan dalam praktek dokter gigi merupakan halangan yang sering
mempengaruhi perilaku pasien dalam perawatan. Salah satu aspek terpenting dalam
mengatur tingkah laku anak dalam perawatan gigi adalah dengan mengontrol rasa
cemas, karena pengalaman yang tidak menyenangkan akan berdampak terhadap
perawatan gigi dimasa yang akan datang. Penundaan terhadap perawatan dapat
mengakibatkan bertambah parahnya tingkat kesehatan mulut dan menambah
kecemasan pasien anak untuk berkunjung ke dokter gigi
Usia sangat memengaruhi keadaan psikologi anak dalam kemampuannya
bekerja sama dengan dokter gigi. Menurut Venham dkk, anak usia 4-8 tahun
menunjukkan perilaku yang mengganggu atau negatif dan paling sulit untuk
dilakukan penanganan. Anak yang berusia sangat muda (umur kurang dari 7 tahun)
2
biasanya memiliki kerja sama yang kurang dengan dokter gigi dikarenakan
kemampuan kognitif mereka masih berkembang sehingga belum bisa berpikir
secara logis untuk memahami prosedur perawatan gigi. Anak usia 7-8 tahun
termasuk dalam periode mix dentition dimana beberapa gigi permanen erupsi, yaitu
gigi molar pertama mandibula, insisif sentral mandibula dan maksila, serta insisif
lateral mandibula dan maksila. Dengan erupsinya gigi-gigi tersebut, anak akan
sering berhubungan dengan perawatan gigi. Jika kecemasan dibiarkan, maka akan
menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan gigi selanjutnya
1.2 Rumusan Masalah
1. Definisi Behavior Management
2. Klasifikasi Perilaku Anak
3. Faktor yang Memengaruhi Perilaku Anak
4. Teknik Pengelolaan Tingkah Laku
5. Definisi Kecemasan pada Anak
6. Etiologi Kecemasan pada Anak
7. Klasifikasi Tingkat Kecemasan pada Anak
8. Pengukuran Tingkat Kecemasan pada Anak
9. Cara Penanganan Kecemasan pada Anak
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan pembuatan laporan ini adalah sebagai
berikut.
1. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Definisi Behavior Management
2. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Klasifikasi Perilaku Anak
3. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Faktor yang Memengaruhi Perilaku Anak
4. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Teknik Pengelolaan Tingkah Laku
5. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Definisi Kecemasan pada Anak
6. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Etiologi Kecemasan pada Anak
3
7. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Klasifikasi Tingkat Kecemasan pada
Anak
8. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Pengukuran Tingkat Kecemasan pada
Anak
9. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Cara Penanganan Kecemasan pada Anak
1.4 Manfaat
1. Untuk menambah wawasan
2. Untuk mengetahui hal-hal mengenai Penanganan Kecemasan pada Anak
terhadap Perawatan Gigi serta Tindakan yang Diberikan Terhadap Kasus
Pada Gigi Anak
3. Untuk memperkaya penulisan dalam bidang Kedokteran/Kesehatan
khususnya mengenai Penanganan Kecemasan pada Anak terhadap
Perawatan Gigi serta Tindakan yang Diberikan Terhadap Kasus Pada Gigi
Anak
4. Dapat dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan laporan kedepannya yang
lebih luas dan mendalam
4
BAB II
KASUS
2.1 Data Pasien
IDENTITAS PASIEN
NO DATA BIOGRAFI
1. Nama : Aqila Putri Aurelia
2. Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 19 September 2013
3. No. KTP / Identitas Lain : -
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Status : Menikah / Belum Menikah
6. Suku / Ras : Jawa
7. Pekerjaan : Pelajar
8. Alamat Rumah : Jl. Watulawang IV RT 03/08 Gajah Mungkur
9. No. Telpon/ HP : -
10. Data Wali
Nama Wali / Orang Tua : Rizky Andy Saputra
Hubungan dengan Pasien : Ayah Kandung
No. Telepon / HP : -
DATA MEDIS UMUM
1. Golongan Darah : -
2. Tekanan Darah : Hypertensi / Hypotensi / Normal
5
3. Penyakit Jantung : Tidak Ada / Ada
4. Diabetes Melitus : Tidak Ada / Ada
5. Hemofilia : Tidak Ada / Ada
6. Riwayat Asma : Tidak Ada / Ada
7. Hepatitis : Tidak Ada / Ada
8. Epilepsy : Tidak Ada / Ada
9. Gastritis : Tidak Ada / Ada
10. Asma : Tidak Ada / Ada
11. TBC : Tidak Ada / Ada
12. Penyakit Lainnya : Tidak Ada / Ada (Riwayat Flek Paru-paru)
13. Obatan : Tidak Ada / Ada
14. Alergi terhadap makanan : Tidak Ada / Ada
2.2 Hasil Odontogram
Relasi oklusi (Klasifikasi Maloklusi Angle)
D : 0 d : 6
M : 0 m : 6
F : 0 f : 0
6
FORMULIR PEMERIKSAAN ODONTOGRAM
Nama Lengkap : Aqila Putri Jenis Kelamin : P
No. KTP/Identitas Tempat, Tanggal
Lahir
: 19/9/ 2016
11 (51) 11 : une ; 51 : rrx 61 : rrx ; 21 : une (61) 21
12 (52) 12 : une ; 52 : rrx 62 : rrx ; 22 :une 62 (22)
13 (53) 13 : une ; 53 : sou 63 : m-car ; 23 : une 63 (23)
14 (54) 14 : une ; 54 : rrx 64 : od-car ; 24 : une 64 (24)
15 (55) 15 : une ; 55 : sou 65 : o-car ; 25 : une 65 (25)
16 une une 26
17 une une 27
18 Non non 28
48 non non 38
47 une Une 37
46 sou sou 36
45 (85) 45 : une ; 85 :
mod-car
75 : od-car ; 35 :sou (75) 35
44 (84) 44 : une ; 84 :
mod-car
74 : od-car; 35 : sou (74) 34
43 (83) 43 : une ; 83 :sou 74 : od-car ; 34 : sou (73) 33
42 (82) 42 : une ; 82 : sou 73 : sou ; 33 :sou (72) 32
41 (81) 41 : une ; 81 : mis 71 : sou ; 31 : sou (71) 31
2.3 Tindakan
Berdasarkan Observasi yang telah kami lakukan, pasien anak atas nama
Aqila Putri Aurelia yang berumur 5 tahun, dengan keluhan banyak gigi yang
mengalami karies. Orangtua pasien menginginkan gigi geraham anaknya yang baru
tumbuh (Gigi 36) untuk dilakukan dilakukan perawatan agar tidak berlubang seperti
gigi desiduinya. Maka dari itu, dilakukanlah perawatan Fissure Sealant dengan GIC
(Gelas Ionomer Kaca).
7
Ilmu kedokteran gigi anak, salah satu yang dipelajari adalah tentang suatu
metode pencegahan terhadap terjadinya karies pada gigi anak. Berbagai tindakan
pencegahan terjadinya karies telah diupayakan melalui fluoridasi air minum,
topikal aplikasi fluor pada fase perkembangan enamel, dan program kontrol plak
bagi masing-masing individu. Hal ini tidak terbukti efektif mengurangi insiden
karies pada pit dan fisura yang merupakan bagian yang rentan karies, karena
bentukan anatomisnya yang menyempit (Robert G.Craig: 1979: 28).
Pemberian fluor secara topikal dan sistemik, tidak banyak berpengaruh
terhadap insidensi pada karies pit dan fisura. Hal ini karena pit dan fisura
merupakan daerah cekungan yang terlindung. Kondisi ini mendukung terjadinya
proses karies. Fluor yang telah diberikan tidak cukup kuat untuk mencegah karies.
Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukanlah suatu cara preventif yang ditujukan
khusus untuk mencegah karies pada daerah ini melalui teknik fissure sealant (R.J
Andlaw, 1992: 58).
Fissure sealant merupakan bahan yang diletakkan pada pit dan fisura gigi
yang bertujuan untuk mencegah proses karies gigi (J.H. Nunn et al, 2000). Bentuk
pit dan fisura beragam, akan tetapi bentuk umumnya adalah sempit, melipat dan
tidak teratur. Bakteri dan sisa makanan menumpuk di daerah tersebut. Saliva dan
alat pembersih mekanis sulit menjangkaunya. Dengan diberikannya bahan penutup
pit dan fisura pada awal erupsi gigi, diharapkan dapat mencegah bakteri sisa
makanan berada dalam pit dan fisura (Sari Kervanto, 2009: 12).
Tujuan utama diberikannya sealant adalah agar terjadinya penetrasi bahan ke dalam
pit dan fisura serta berpolimerisai dan menutup daerah tersebut dari bakteri dan
debris (Kenneth J Anusavice, 2004: 260-261). Bahan sealant ideal mempunyai
kemampuan retensi yang tahan lama, kelarutan terhadap cairan mulut rendah,
biokompatibel dengan jaringan rongga mulut, dsn mudah diaplikasikan (Donna
Lesser, 2001).
Dua bahan sealant yang sering digunakan adalah sealant berbasis resin dan sealant
semen ionomer kaca (SIK). Bahan sealant berbasis resin dapat melakukan
polimerisasi secara autopolimerisasi dan fotopolimerisasi. Sedangkan sealant SIK
yang sering digunakan bersifat autopolimerisasi (Sari Kervanto, 2009: 20).
8
Sealant ionomer kaca memiliki kemampuan mencegah karies yang hampir
sama dengan sealant berbasis resin. Manipulasi sealant semen ionomer kaca lebih
mudah, dan tidak diperlukan tahapan pengetsaan pada permukaan gigi
(Subramaniam, 2008).
Berbeda dengan sealant berbasis resin, bahan sealant semen ionomer kaca
melakukan interaksi khusus dengan enamel gigi dengan melepaskan kalsium,
strontium dan ion fluor yang bersifat kariostatik dan mengurangi perkembangan
karies pada daerah yang diberi sealant (Laurence J. Walsh, 2006).
Bahan Sealant Semen Ionomer Kaca (SIK) / Glass Ionomer Cement (GIC)
Semen ionomer kaca adalah nama generik dari sekelompok bahan yang
menggunakan bubuk kaca silikat dan larutan asam poliakrilat. Bahan ini
mendapatkan namanya dari formulanya yaitu suatu bubuk kaca dan asam ionomer
yang mengandung gugus karboksil. Juga disebut sebagai semen polialkenoat.
Bahan dalam semen ionomer kaca terdiri atas bubuk dan cairan.
 Bubuk semen ionomer kaca
Bubuk adalah kaca kalsium fluoroaluminosilikat yang larut dalam asam.
Komposisi dari bubuk semen ionomer kaca adalah silica, alumina, aluminium
fluoride, calsium fluoride, sodium fluoride, dan aluminium phosphate. Bahan-
bahan mentah digabung sehingga membentuk kaca yang seragam dengan
memanaskannya samapi temperature 1100-1500 ºC. Lanthanum, strontium,
barium, atau oksida seng ditambahkan untuk menimbulkan sifat radiopak (Kenneth
J. Anusavice, 2004: 449).
 Cairan semen ionomer kaca
Cairan yang digunakan untuk semen ini adalah larutan asam poliakrilat
dengan konsentrasi 50%. Cairannya cukup kental dan cenderung membentuk gel
setelah beberapa waktu. Pada sebagian besar semen, asam poliakrilat dalam cairan
adalah dalam bentuk kopolimer dengan asam itikonik, maleik atau trikarbalik.
Asam-asam ini cenderung menambah reaktivitas dari cairan, mengurangi
kekentalan, dan mengurangi kecenderungan membentuk gel. Selain itu,
9
memperbaiki karakteristik manipulasi dan meningkatkan waktu kerja dan
memperpendek waktu pengerasan (Lloyd Baum, 1997: 254).
 Pengerasan
Ketika bubuk dan cairan dicampur untuk membentuk suatu pasta, permukan
partikel kaca akan terpajan asam. Ion-ion kalsium, aluminium, natrium dan fluorin
dilepaskan ke dalam media yang bersifat cair. Rantai asam poliakrilat akan
berikatan silang dengan ion-ion kalsium dan membentuk masa yang padat.
Selama 24 jam berikutnya, terbentuk fase baru dimana ion-ion aluminium
menjadi terikat dalam campuran semen. Ini membuat semen menjadi lebih kaku.
Ion natrium dan fluorin tidak berperan serta di dalam ikatan silang dari semen.
Beberapa ion natrium dapat menngantikan ion-ion hidrogen dari gugus karboksil,
sementara sisanya bergabung dengan ion-ion fluorin membentuk natrium fluoride
yang menyebar merata di dalam semen yang mengeras (Kenneth J. Anusavice,
2004: 451).
Mekanisme pengikatan ionomer kaca dengan struktur gigi belum dapat
diterangkan dengan jelas. Meskipun demikian, perekatan ini diduga terutama
melibatkan proses kelasi dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di
kristal apatit pada enamel dan dentin. Ikatan antara semen dengan enamel selalu
lebih besar daripada ikatannya dengan dentin, mungkin karena kandungan
anorganiknya enamel yang lebih banyak dan homogenitasnya lebih besar (Kenneth
J. Anusavice, 2004: 452).
 Sifat semen ionomer kaca
Semen ini memiliki sifat kekerasan yang baik, namun jauh inferior
dibanding kekerasan bahan resin. Kemampuan adhesi melibatkan proses kelasi dari
gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di kristal apatit enamel dan dentin.
Semen ini memiliki sifat anti karies karena kemampuannya melepaskan fluor.
Dalam proses pengerasan harus dihindarkan dari saliva karena mudah larut dalam
cairan dan menurunkan kemampuan adhesi. Ikatan fisiko kimiawi antara bahan dan
permukaan gigi sangat baik sehingga mengurangi kebocoran tepi tumpatan
(Kenneth J. Anusavice, 2004: 453).
10
 Indikasi fisure sealant semen ionomer kaca
Indikasi penggunaan Fissure sealant dengan semen ionomer kaca sebagai
berikut:
1) Digunakan pada geligi sulung
2) Kekuatan kunyah relatif tidak besar
3) Pada insidensi karies tinggi
4) Gigi yang belum erupsi sempurna
5) Area yang kontaminasi sulit dihindari
6) Pasien kurang kooperatif
 Teknik Aplikasi Fissure Sealant dengan Sealant Semen Ionomer Kaca
A. Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure
sealant menggunakan brush dan pumis
Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi:
1) Memiliki kemampuan abrasif ringan
2) Tanpa ada pencampur bahan perasa
3) Tidak mengandung minyak
4) Tidak mengandung Fluor
5) Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain
6) Memiliki kemampuan poles yang bagus
B. Pembilasan dengan air
Syarat air:
1) Air bersih
2) Air tidak mengandung mineral
3) Air tidak mengandung bahan kontaminan
C. Isolasi gigi
Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam
D. Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara.
Syarat udara :
1) Udara harus kering
2) Udara tidak membawa air (tidak lembab)
11
3) Udara tidak mengandung minyak
4) Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan
langsung ke permukaan gigi.
E. Aplikasi bahan dentin kondisioner selama 10-20 detik (tergantung instruksi
pabrik). Hal ini akan menghilangkan plak dan pelikel dan mempersiapkan
semen beradaptasi dengan baik dengan permukaan gigi dan memberikan
perlekatan yang bagus
F. Pembilasan dengan air selama 60 detik
Syarat air sama dengan point B.
G. Pengeringan dengan udara setelah aplikasi dentin kondisioner permukaan
pit dan fisura dilakukan pembilasan
Syarat udara sama dengan point C. Keringkan dengan udara selama 20-30
detik
H. Aplikasikan bahan SIK pada pit dan fisura
I. Segera aplikasi bahan varnish setelah aplikasi fissure sealant dilakukan
J. Evaluasi permukaan oklusal
1) Cek oklusi dengan articulating paper
2) Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot grinding)
(Departemen Kesehatan North Sidney, 2008)
12
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi Behavior Management
Adalah metode yang digunakan untuk mendapatkan penerimaan anak
terhadap perawatan di kursi gigi. Atau merupakan cara dimana tim Kesehatan Gigi
dan Mulut melakukan perawatan secara efektif dan efisien terhadap pasien anak
dan pada waktu yang berasaamaan juga menanamkan sikap positif pada anak
tersebut.
Proses ini adalah rangkaian interaksi yang melibatkan dokter gigi dan
timnya, pasien, dan orang tua, yang mana tujuannya adalah untuk:
a) Membangun komunikasi
b) Mengurangi ketakutan dan kecemasan
c) Memberikan perawatan gigi yang berkualitas dengan efektif dan efisien
d) Membangun hubungan saling percaya antara dokter gigi/staf dengan
anak/orang tua
e) Mendorong sikap positif anak terhadap perawatan kesehatan gigi dan mulut
Behaviour Management seharusnya tidak boleh berupa suatu bentuk
hukuman, tuntutan atau strategi lain yang menyakiti, memalukan atau meremehkan
seorang pasien.
3.2 Klasifikasi Perilaku Anak
Wilson (1993)
1. Normal / Berani (Normal/Bold)
Anak cukup berani untuk menghadapi situasi baru, kooperatif, dan
ramah dengan dokter gigi.
2. Berkeinginan / Malu (Tasteful / Timid)
13
Anak pemalu, tapi tidak mengganggu prosedur perawatan gigi dan
mulut
3. Histeris / Memberontak (Hysterical / Rebellious)
Anak dipengaruhi oleh lingkungannya di rumah; melontarkan
amarahnya dan memberontak
4. Gugup / Ketakutan (Nervous / Fearful)
Anak merasa tegang dan gelisah, takut akan Dokter Gigi
Lampshire (1970)
1. Kooperatif (Cooperative)
Anak secara fisik dan emosional santai serta kooperatif selama
prosedur perawatan
2. Kooperatif tetapi Tegang (Tense Cooperative)
Anak tegang dan kooperatif di waktu yang bersamaan.
3. Tampak Khawatir (Outwardly Apprehensive)
Anak menghindari perawatan pada awalnya, biasanya bersembunyi
di belakang ibunya, menghindari melihat atau berbicara dengan
dokter gigi. Namun akhirnya menerima perawatan gigi.
4. Takut (Fearful)
Butuh dukungan yang cukup besar, sehingga dapat mengatasi
ketakutan terhadap perawatan gigi dan mulut
5. Keras Kepala / Menantang (Stubborn / Defiant)
Secara pasif menolak perawatan dengan menggunakan teknik yang
telah berhasil dalam situasi lain
6. Hipermotif (Hypermotive)
Anak benar-benar gelisah dan berusaha untuk berteriak, menendang
7. Cacat (Handicapped)
Anak tersebut secara fisik/mental/emosional cacat
8. Secara Emosional Belum Dewasa (Emotionally Immature)
Anak yang masih sangat kecil
Frankl Behavioral Rating Scale
Merupakan gold standar dari skala penilaian klinis.
1. Definitely Negative ( -- )
14
Menolak perawatan, menangis kuat, atau melakukan hal ekstrem
lainnya yang negatif
2. Negative ( - )
Enggan menerima perawatan, tidak kooperatif, menunjukkan sikap
negative tapi tidak melalui ucapan, seperti cemberut, diam
3. Positive ( + )
Menerima perawatan, penuh dengan kehati-hatian, kesediaan untuk
mengikuti arahan dokter gigi secara kooperatif
4. Definitely Positive ( ++ )
Hubungan yang baik dengan dokter gigi, tertarik dengan prosedur
perawatan, tertawa, senang/gembira
Wright (1975)
1. Kooperatif
Anak bersikap kooperatif, santai dan dengan
ketakukan/keprihatinan yang minimal
2. Kurang mampu untuk Kooperatif
Termasuk kelompok anak-anak yang masih kecil (kemampuan
berkomunikasi masih kurang), kelompok anak yang memiliki
kondisi spesifik seperti disabilitas, anak-anak dengan cacat fisik
maupun mental. Anak-anak dalam kategori ini termasuk dalam
tahap pre-kooperatif yang mana seiring dengan berjalannya waktu
dapat menjadi pasien yang kooperatif
3. Berpotensi Kooperatif
Anak-anak dalam kategori ini bisa merupakan anak yang
keadaannya sehat maupun yang mengalami disabilitas. Kategori ini
dibedakan dari kategori anak yang Kurang mampu untuk Kooperatif
karena anak-anak dalam kategori ini lebih berpotensi untuk
memiliki kemampuan berperilaku baik.
3.3 Faktor yang Memengaruhi Perilaku Anak
a) Patient Attributes
15
Berkaitan dengan ciri yang ada pada pasien anak tersebut. Seperti
keterlambatan perkembangan, cacat fisik maupun mental, memiliki
penyakit akut atau kronis yang tentunya memengaruhi perilaku anak
tersebut.
b) Riwayat Kesehatan
Kunjungan medis di masa lalu sangatlah menentukan. Bila kualitas
pelayanan/perawatannya tidak menyenangkan maka berpengaruh pada
kunjungan medis anak kedepannya.
c) Pengaruh Orangtua
Orang tua yang memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan sebagai
pasien dapat menularkan kecemasan atau ketakutannya ke anak yang
dengan demikian mempengaruhi sikap dan tanggapan anak tersebut
terhadap perawatan. Selain itu, kesulitan ekonomi jangka panjang yang
berpengaruh pada orangtua sehingga menyebabkan orangtua menjadi
depresi, cemas, penyalahgunaan obat-obatan, melakukan tindak kekerasan
juga dapat menyebabkan masalah emosi dan perilaku pada anak.
d) Kebutuhan akan Perawatan
Jika seorang anak menyadari bahwa terdapat masalah pada giginya, maka
kemungkinan besar bahwa kecemasan anak akan meningkat, yang
menyebabkan anak menjadi tidak kooperatif selama perawatan.
e) Lingkungan Tempat Praktik Gigi
Peran staff yang bekerja ditempat tesebut juga berperan penting, karena
mereka merupakan orang pertama yang berkontak dengan orangtua si anak,
seperti melalui telepon. Staff harus berperan aktif dengan bersikap ramah
dan memberikan informasi yang tepat baik pada orangtua maupun anak.
Selain itu, pengelolaan ruangan tunggu (terdapat tempat bermain) juga perlu
diperhatikan, karena dapat mengalihkan perhatian anak.
f) Sikap Dokter Gigi dan Timnya
Sikap, Bahasa tubuh, keterampilan komunikasi yang dimiliki oleh dokter
maupun timnya sangat penting untuk menciptakan kesan yang positif dan
juga mendapatkan kepercayaan dari anak dan orangtuanya. Selain itu,
16
keterampilan yang dimiliki dokter maupun timnya juga dapat mengurangi
rasa cemas dari pasien anak tersebut dan orangtuanya.
3.4 Teknik Pengelolaan Tingkah Laku
 Pengelolaan Tingkah Laku Teknik Mendasar
a) Komunikasi
Pada teknik ini, Dokter harus mempertimbangkan perkembangan kognitif
pasien, serta adanya gangguan komunikasi lainnya (gangguan pendengaran,
dll). Peran dokter sangat penting dalam hal komunikasi untuk membangun
suatu hubunganyang baik dan mendapatkan kepercayaan pasien, bias
dengan mengajukan pertanyaan mengenai keluhan pasien dan
mendengarkannya. Selain itu dokter juga dapat memberikan arahan disertai
ketegasan seperti “Saya butuh kamu untuk duduk diam sehingga kita bisa
mengambil foto giginya”.
b) Citra Pra-kunjungan yang Positif
Tujuannya yaitu memberikan informasi visual pada orangtua maupun anak
mengenai apa yang akan dilakukan saat kunjungan tersebut. Dapat
dilakukan dengan cara pasien diperlihatkan foto/gambar yang positif
mengenai dokter gigi dan perawatan gigi di ruang tunggu.
c) Observasi Langsung/Modelling
Tujuannya yaitu membiasakan pasien dengan prosedur yang ada,
memberikan kesempatan pada pasien untuk bertanya mengenai prosedur
yang ada. Dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan video atau secara
langsung memperlihatkan pasien anak yang kooperatif selama perawatan.
d) Tell-Show-Do (TSD)
Tujuannya yaitu mengajarkan pada pasien mengenai aspek penting
kunjungan perawatan gigi serta pengaturannya dan membentuk respon
pasien. Dapat dilakukan dengan cara memberikan penjelasan secara verbal
dengan memerhatikan perkembangan kognitif pasien (Tell),
Mendemonstrasikan prosedur secara visual, pendengaran, taktil, dll pada
pasien dengan hati-hati dan tidak membahayakan (Show), Melakukan
prosedur (Do). Dapat dilakukan dengan reinforcement.
17
e) Ask-Tell-Ask
Tujuannya yaitu untuk menilai kecemasan pasien yang dapat menunjukkan
sikap non-kooperatif selama perawatan, mengajarkan pasien mengenai
prosedur dan cara pencapaiannya, dan mengonfirmasi pasien apakah merasa
nyaman dengan perawatannya sebelum melanjutkan perawatan. Dapat
dilakukan dengan cara menyelidiki alasan kedatangan pasien dan prosedur
yang diinginkannya (Ask), menjelaskan prosedur dengan demonstrasi yang
dilakukan dengan hati-hati dan tidak membahayakan (Tell), Menanyakan
kembali pada pasien apakah sudah mengerti dan tanggapannya mengenai
perawatan yang akan dilaksanakan nantinya (Ask).
f) Desensitisasi
Bertujuan untuk membantu anak mengatasi kecemasan pada perawatan gigi
dan untuk memberikan serangkaian pengalaman mengatasi kecemasan anak
pada perawatan gigi. Digunakan untuk anak yang gelisah, takut, ataupun
fobia pada perawatan gigi. Prinsip ini dapat dengan mudah dimanfaatkan
oleh dokter gigi untuk semua pasien anak.
g) Voice Control
Tujuannya yaitu untuk mendapatkan perhatian dan kerjasama pasien dan
cegah perilaku pasien yang negatif. Dapat dilakukan dengan cara merubah
volume suara, nada, kecepatan untuk memengaruhi dan mengarahkan
pasien. Sebaiknya sebelum menggunakan teknik ini dijelaskan terlebih
dahulu pada orangtua agak tidak terjadi kesalahpahaman.
h) Reinforcement Positive
Tujuannya yaitu memberikan penguatan untuk hasilkan perilaku yang
diinginkan. Dapat dilakukan dengan cara memberikan pujian seperti
“Terimakasih sudah tetap duduk dengan posisi yang baik”, memberikan
kasih sayang, memberikan hadiah seperti mainan, dll.
i) Distraksi
Tujuannya yaitu untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan pasien serta
mencegah perilaku negatif. Dapat dilakukan dengan cara mengalihkan
perhatian pasien, memberikan waktu istirahat setelah menjalani suatu
prosedur yang cukup menegangkan.
18
j) Restrukturisasi Memori
Tujuannya yaitu merestrukturisasi pengalaman pasien terhadap perawatan
yang tidak menyenangkan sebelumnya dan meningkatkan perilaku positif
pasien pada kunjungan berikutnya. Dapat dilakukan dengan cara
memperlihatkan gambar orang tersenyum setelah melakukan perawatan,
memberikan pujian pada pasien atas sikap positifnya selama jalani
perawatan.
k) Inhalasi Nitrogen Oksida / Oksigen
Bertujuan untuk mengurangi atau hilangkan rasa cemas, mengurangi
gerakan yang tidak diinginkan selama perawatan, meningkatkan
komunikasi dan kerjasama pasien. Diindikasikan untuk pasien yang cemas,
takut, susah diajak bekerjasama, pasien berkebutuhan khusus, pasien
dengan reflek muntah yang mengganggu perawatan. Kontraindikasinya
yaitu pasien yang alami PPOK, ibu hamil trimester satu, pasien
ketergantungan obat-obatan.
l) Hand Over Mouth Exercise (HOME)
HOME adalah suatu teknik manajemen perilaku digunakan pada kasus yang
selektif misalnya pada anak yang agresif dan histeris yang tidak dapat
ditangani secara langsung. Dilakukan dengan cara menahan anak pada
dental chair dan meletakkan tangannya menutupi mulut, tetapi hidung tidak
boleh tertutup. Kemudian dokter akan berbicara dengan perlahan ke anak
bahwa tangannya tidak akan dilepaskan sampai tangisannya berhenti.
Teknik ini juga sering digunakan bersama teknik sedasi inhalasi. Tujuannya
ialah untuk mendapatkan perhatian dari anak sehingga komunikasi dapat
dijalin dan diperoleh kerjasama dalam melakukan perawatan yang aman.
Teknik ini hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan tidak boleh
digunakan secara rutin.
 Pengelolaan Tingkah Laku yang Lebih Maju
a) Stabilisasi Pelindung
Bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan gerakan pasien yang tidak
diinginkan selama perawatan, melindungi pasien, dokter gigi maupun staf,
19
atau orang tua dari cedera, serta membantu kelancaran pemberian perawatan
yang berkualitas. Dapat dilakukan dengan cara membatasi ruang gerak
pasien dengan memegangnya menggunakan bantuan orang lain,
alat/perangkat stabilisasi pasien, maupun gabungan keduanya. Di
indikasikan untuk pasien yang tidak dapat mengontrol gerakannya, pasien
yang tidak kooperatif karena level perkembangan emosional atau
kognitifnya, kondisi mental atau fisiknya. Sebelum menggunakan teknik ini
perlu memerhatikan informed consent dari orangtuanya juga memberikan
penjelasan.
b) Sedasi
Bertujuan untuk menjaga keselamatan pasien dengan mengontrol
perilaku/gerakannya sehingga memungkinkan penyelesaian prosedur
perawatan yang aman, meminimalkan trauma psikologis, mengontrol rasa
cemas, meminimalkan ketidaknyamanan fisik dan rasa sakit pasien. Di
indikasikan untuk pasien yang merasa cemas, ketakutan yang mana
pengelolaan tingkah laku dengan teknik mendasar tidak ampuh, Pasien yang
tidak kooperatif karena kurang kematangan emosional dan psikologisnya,
cacat fisik maupun mental. Sebelum menggunakan teknik ini perlu
memerhatikan informed consent dari orangtuanya juga memberikan
penjelasan.
3.5 Definisi Kecemasan pada Anak
Yang dimaksud dengan kecemasan adalah suatu perasaan yang tidak jelas,
tidak menyenangkan atau tidak nyaman ditandai bahwa sesuatu yang tidak
diinginkan akan terjadi (Kagan dan Havemann, 1976). Kecemasan merupakan
emosi yang diturunkan dari rasa sakit atau rasa takut. Beberapa psikolog
berpendapat bahwa timbulnya rasa cemas dapat diketahui dari tindakan seseorang.
Kecemasan sangat berhubungan erat dengan rasa takut. Rasa cemas dan
takut saling berhubungan dan hubungan antara rasa cemas dan takut sering
dipertukarkan baik oleh pasien maupun dokter gigi. Rasa takut adalah bentuk
konkrit, yang memiliki latar belakang yang jelas, dan dapat diekspresikan melalui
20
kata-kata apa yang ditakutkan. Secara klinis, rasa takut digunakan untuk
menggambarkan reaksi patologi terhadap obyek tertentu seperti jarum. Terdapat
perbedaan antara cemas dan takut : cemas merupakan perasaan dari
ketidaknyamanan sedangkan takut dianggap sebagai reaksi terhadap keadaan atau
obyek tertentu (Kent dan Blinkhorn, 1991).
Kecemasan terkadang disebut sebagai satu ketakutan yang tidak jelas,
bersifat panjang/meluas dan tidak berkaitan terhadap ancaman spesifik tertentu.
Kecemasan tampak dihasilkan oleh ancaman internal, perasaan yang tidak baik;
berbeda dengan perasaan takut yang memiliki obyek eksternal atau apa yang dilihat
pasien sebagai suatu bahaya. Oleh sebab itu, rasa cemas lebih sulit diatasi
dibandingkan rasa takut.
Jadi, cemas dapat diartikan sebagai keadaan emosional yang berkaitan
dengan rasa takut yang dialami seseorang tanpa orang tersebut mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi. Dapat juga diartikan sebagai ketegangan yang dialamu sesorang
akibat dari ancaman yang nyata maupun tidak nyata terhadap rasa aman pada orang
itu sendiri. Sedangkan takut adalah perasaan yang mendorong individu untuk
menjauhi sesuatu dan sedapat mungkin menghindari kontak dengan hal yang
ditakutkan itu; dalam hal ini, seseorang dapat menyadari apa yang menyebabkan
rasa takut dan mengetahui apa yang ditakutkan.
3.6 Etiologi Kecemasan pada Anak
a. Kecemasan orang tua
Kecemasan pada anak akan semakin menjadi buruk diakibatkan sikap dari
orang sekitarnya (umumnya orang tua, saudara, dan teman sebaya) terhadap bidang
kedokteran gigi. Orang tua yang tidak dapat mengendalikan rasa cemas tanpa
disadari dapat diteruskan ke anak mereka atau menyebabkan kondisi semakin buruk
ketika sebenarnya orang tua berusaha untuk membantu. Bailey dkk (1973)
melaporkan bahwa terdapat hubungan antara kecemasan ibu dan menajemen
perawatan pada anak di seluruh kategori usia, khususnya usia ≤4 tahun (Gupta dkk.,
2014). Beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh kehadiran orang tua
21
adalah membingungkan komunikasi, mempengaruhi sikap anak, membicarakan
aspek negatif perawatan gigi saat anak mendengarkan dan mengancam anak dengan
perawatan gigi (Chadwick dan Hosey, 2003).
Salah satu satu cara yang dapat digunakan menurunkan rasa takut orang tua
dan dapat membantu para orang tua untuk persiapan kunjungan ke dokter gigi
adalah dengan mengirimkan orang tua surat pendahuluan yang menjelaskan
mengenai hal yang diperlukan untuk kunjungan pertama kali ke dokter gigi. Surat
ini sangat berguna khususnya sebagai masukan kepada orang tua mengenai
bagaimana cara menyiapkan anak untuk kunjungan pertama kali ke dokter gigi
(Gupta dkk., 2014).
b. Fear of the unknown
Untuk beberapa pasien rasa ketidaktahuan dapat menyebabkan kecemasan
pada saat kunjungan pertama pasien ke dokter gigi (Chadwick dan Hosey, 2003).
c. Lack of control
Duduk di dental chair menimbulkan rasa tidak berdaya pada anak, selain itu
keterbatasan komunikasi dengan dokter gigi juga menyebabkan pasien merasa tidak
berdaya, ini disebabkan oleh rongga mulut yang terisi penuh dengan instrumen gigi
menyebabkan rasa tidak berdaya pada pasien (Chadwick dan Hosey, 2003).
d. Pengalaman Medis Umum dan Gigi
Anak yang mempunyai pengalaman buruk, terhadap kunjungan terakhir ke
rumah sakit atau perawatan medis yang diterima, atau kunjungan ke dokter gigi,
akan lebih cemas terhadap perawatan gigi dan berhati-hati membangun hubungan
kepercayaan dengan dokter gigi (Gupta, 2012; Roberts, 2010). Ketika anamnesis
mengenai riwayat medis, sangat penting untuk menanyakan kepada orang tua
mengenai perawatan terakhir yang diterima dan bagaimana respon anak terhadap
perawatan tersebut. Hal ini mungkin dapat mengidentifikasi timbulnya kecemasan
yang berhubungan dengan kebiasaan dan memungkinkan dokter gigi untuk
menggunakan strategi yang tepat untuk mengoreksi kebiasaan anak (Gupta, 2014).
Anak yang mendapat banyak perhatian dari orang tuanya 10 saat anak tersebut
menangis akan lebih mungkin menangis saat kunjungan berikutnya (Robert, 2010).
22
e. Sikap dan Prilaku Dokter Gigi
Ekspresi wajah dokter gigi dapat menambah kesan atau bahkan dapat
mengganggu komunikasi verbal (misalnya: perasaan seperti disbelief atau
ketidakpercayaan, mencela, tidak suka, terkejut) dapat terlihat dari ekspresi wajah
yang ditunjukkan oleh dokter gigi. Senyum adalah sarana yang sangat baik dan
dapat menunjukkan sikap untuk memotivasi pasien. Ketika dokter gigi memakai
masker, meskipun wajahnya tidak terlihat, tetap berusaha untuk bersikap ramah
kepada pasien sehingga pasien dapat melihat ‘senyum’ dokter gigi meskipun
tertutup oleh masker (Chadwick dan Hosey, 2003).
Dokter gigi dengan kontak mata yang kurang kemungkinan akan
mengurangi tingkat kepercayaan pasien pada dokter gigi. Gerak gerik dan postur
tubuh dari dokter gigi juga dapat mempengaruhi kecemasan anak. Sikap
menyilangkan lengan saat berbicara dapat menunjukkan sikap seolah-olah mencela
pasien, terutama jika dilakukan dengan mengetukkan kaki ke lantai. Dokter gigi
dapat menunjukkan tingkah lakunya untuk mengatasi atau meningkatkan
kecemasan anak. Tindakan dokter gigi dalam merespon tingkah laku anak seperti
menanyakan apa yang mereka rasakan (empati) dan menekan dengan lembut bahu
atau tangan dapat mengurangi tingkat kecemasan pada pasien usia muda dan
memperbaiki tingkah laku mereka saat duduk di dental chair. Sementara sikap
dokter gigi yang memaksa atau membujuk akan memperburuk tingkah laku anak.
Sikap kontraproduktif harus dihindari, misalnya memberi penghiburan secara
verbal seperti “ini tidak akan sakit” akan memungkinkan anak untuk berpikir
sebaliknya. Mengatakan bahwa “tidak ada yang perlu dikhawatirkan” malah akan
membuat anak khawatir (Chadwick dan Hosey, 2003).
f. Lingkungan Praktek Dokter Gigi
Pemandangan yang asing, suara, dan bau dari perawatan gigi berkontribusi
menimbulkan kecemasan pada anak. Tindakan bedah dan ruang tunggu pasien
harus dibuat ramah untuk anak dan tidak membuat anak merasa terancam dengan
cara mendekorasi ruangan dengan gambar berorientasi anak-anak dan meletakkan
beberapa mainan yang ditempatkan secara strategis (misalnya, children's corner).
Ventilasi yang baik dapat meminimalkan bau yang berhubungan dengan kedokteran
23
gigi yang ditimbulkan oleh bahan atau alat kedokteran gigi. Penggunaan instrumen
getaran yang rendah juga dapat membantu menurunkan kecemasan anak (Gupta,
2014).
g. Komunikasi dengan Pasien
Staf penerima pasien dan tim kedokteran gigi, harus ramah dan bersahabat.
Komunikasi verbal dan non-verbal memiliki peran utama dalam manajemen
perilaku. Tim kedokteran gigi harus membentuk hubungan berdasarkan
kepercayaan dengan anak dan orang dewasa yang menyertainya untuk memastikan
kepatuhan terhadap pencegahan dan ijin untuk melakukan tindakan. Komunikasi
non-verbal terjadi sepanjang waktu dan kadang-kadang dapat bertentangan dengan
komunikasi verbal. Bagi pasien anak dan pasien yang pre kooperatif, komunikasi
non-verbal memiliki peran yang paling penting (Gupta, 2014).
Pasien mungkin tidak mengerti kata yang di gunakan, tetapi mereka akan
mengenali senyum dan menanggapi nada suara. Seperti tersenyum, komunikasi non
verbal juga termasuk menjaga kontak mata untuk membangun kepercayaan. Jabat
tangan dapat meningkatkan kepercayaan untuk beberapa orang tua. Sikap tenang,
peduli, dan empati lebih berhasil dalam menangani kecemasan anak. Anak-anak
harus menjadi pusat perhatian, seperti menyapa nama mereka (Gupta, 2014).
Komunikasi harus disesuaikan dengan usia anak dan tim kedokteran gigi
perlu mengembangkan kosa kata spesifik untuk komunikasi dengan anak-anak.
Contohnya seperti “jus mengantuk” untuk anestesi lokal, atau “mewarnai gigi”
untuk fissure sealant. Penjelasan harus diberikan dalam bahasa sederhana dan tidak
mengancam, serta hindari penggunaan jargon. Perlu komunikasi yang baik dan
melibatkan anak, dokter gigi,orang tua, dan perawat gigi. Namun, anak mungkin
hanya bisa berkonsentrasi pada satu orang dalam satu waktu. Ketika terjadi
masalah, orang tua atau pengasuh sering membuat keadaan lebih buruk dengan
komunikasi yang kurang sesuai antara anak dan orang tua atau pengasuh. Setiap
anggota dalam tim kedokteran gigi dan orang tua yang menemani harus mengerti
peran mereka dalam perawatan gigi yang dilakukan. Jika dokter gigi
memperbolehkan orang tua atau wali menemani anak saat operasi, dokter gigi harus
memastikan mereka telah memberikan penjelasan kepada orang tua atau wali apa
24
yang harus dibantu dan apa yang dokter gigi inginkan maupun yang tidak
diinginkan dan apa yang dokter gigi ingin orang tua lakukan dan katakan (Gupta,
2014).
3.7 Klasifikasi Tingkat Kecemasan pada Anak
Bucklew (1980)
1. Tingkat Psikologis
Kecemasan yang berwujud sebagai gejala-gejala kejiwaan, seperti
tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, perasaan tidak
menentu, dsb.
2. Tingkat Fisiologis
Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala-
gejala fisik, terutama pada sistem fungsi saraf misalnya tidak dapat
tidur, jantung berdebar-debar, gemetar, perut mual, dsb.
Tingkat Kecemasan
1. Kecemasan Ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari,
menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang
persepsinya. Dapat memotivasi belajar dan hasilkan pertumbuhan
serta kreativitas.
2. Kecemasan Sedang
Memungkinkan individu untuk fokus pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain. Ansietas ini mempersempit lapang
persepsi individu. Dengan demikian, individu mengalami perhatian
yang tidak selektif namun dapat fokus pada lebih banyak area jika
diarahkan untuk melakukannya.
3. Kecemasan Berat
Sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu cenderung
fokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir
tentang hal lainnya. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi
ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk
fokus pada area lain.
25
4. Tingkat Panik dari Kecemasan
Berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan terror. Hal yang
rinci terpecah dari proporsinya. Karena alami hilang kendali,
individu yang alami panic tidak mampu melakukan sesuatu
walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi
kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain,
persepsi yang menyimpang ,dan kehilangan pemikiran yang
rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan jika
berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan
dan kematian.
Finn (2003)
1. Kecemasan Objektif
Merupakan kecemasan yang dirasakan dengan adanya rangsangan
fisik secara langsung. Mereka merespon rangsangan tersebut dengan
merasakan, melihat, mendengar, membau atau merasakan sesuatu
yang tidak disukai atau yang tidak diterima.
Kecemasan objektif pada kedokteran gigi biasanya merupakan hasil
dari buruknya penanganan gigi di masa lampau. Mereka takut pada
jas putih dan bau dari beberapa obat dan bahan kimia di rumah sakit.
Hal ini merupakan suatu tanggung jawab dokter gigi untuk merubah
kecemasan tersebut dengan meningkatkan kepercayaan diri anak
dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang.
2. Kecemasan Subjektif
Hal ini berdasarkan pada perasaan dan kebiasaan dimana anak-anak
tersugesti oleh orang lain tentang kedokteran gigi tanpa mengerti
bahwa anak tersebut memiliki pengalaman secara personal.
Orangtua mungkin memberitahu kepada anak tentang rasa tidak
nyaman atau rasa sakit yang didapatkan oleh situasi yang dialami
oleh mereka, sehingga dapat menambah rasa takut pada pikiran
anak.
 Sugestif
26
Didapatkan dari observasi atau meniru kecemasan yang
kemudian anak akan mengembangkan rasa takut yang sama
pada objek nyata. Kecemasan anak erat kaitannya dengan
kecemasan orangtua. Anak sering meniru orangtuanya. Jika
orangtuanya merasa sedih, anak akan merasa sedih dan jika
orangtua menunjukkan rasa takut, maka anak akan merasa
takut.
 Imajinatif
Seorang ibu yang takut untuk ke dokter gigi secara tidak
langsung dapat mengirimkan rasa takut tersebut kepada
anaknya, dimana saat itu sang anak juga melihat keadaan ibu.
Jenis kecemasan ini mungkin dimunculkan oleh orangtua
atau didapat pada saat kecil oleh anak tanpa disadari.
Meremas tangan anak pada saat di klinik dokter gigi
merupakan gestur yang secara tidak langsung akan
menimbulkan kecemasan pada anak.
Moree et al.
1. Tipe I
Tipe ini merupakan ketakutan akibat rangsangan yang menyakitkan
atau tidak menyenangkan seperti jarum, suara, dan bau.
2. Tipe II
Tipe ini merupakan kecemasan tentang reaksi somatik selama
pengobatan atau perawatan gigi (reaksi serangan panik).
3. Tipe III
Pasien dengan kecemasan yang rumit atau multiphobia.
4. Tipe IV
Tipe ini tergolong kepada ketidakpercayaan pasien terhadap dokter
gigi.
3.8 Pengukuran Tingkat Kecemasan pada Anak
Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A)
27
Merupakan salah satu skala penilaian pertama yang dikembangkan untuk
mengukur tingkat keparahan gejala kecemasan, dan masih banyak
digunakan saat ini baik pada pengukuran klinis maupun penelitian.
State-Trait Anxiety Inventory (STAI)
Tersusun berdasarkan skala Likert 4 poin dan terdiri dari 40 pertanyaan
terhadap self-report sehari-hari. STAI mengukur dua jenis kecemasan yaitu
kecemasan keadaan / kecemasan tentang suatu kejadian, dan kecemasan
sifat / tingkat kecemasan sebagai karakteristik pribadi. Skor yang lebih
tinggi berkorelasi positif dengan tingkat kecemasan yang lebih tinggi.Skala
ini terdiri dari 14 item, masing-masing ditentukan oleh serangkaian gejala,
dan pengukuran baik kecemasan psikis (mental agitasi dan tekanan
psikologis) maupun kecemasan somatik (Keluhan fisik yang berhubungan
dengan kecemasan).
28
Beck Anxiety Inventory (BAI)
Adalah ukuran untuk kecemasan secara singkat dengan fokus pada gejala-
gejala somatik yang dikembangkan sebagai ukuran untuk membedakan
antara kecemasan dan depresi.
Modified faces version of modified child dental anxiety scale (MCDAS)
29
3.9 Cara Penanganan Kecemasan pada Anak
a) Tell-Show-Do
b) Jeda Istirahat (Rest Breaks)
c) Distraksi
d) Desensitisasi
e) Strategi Farmalogikal
f) Signalling (komunikasi non verbal)
g) Relaxation Breathing (Inhale, Exhale)
h) Strategi Farmakologikal
 Sedasi Inhalasi, kombinasi nitrogen oksida dengan oksigen
 Sedasi Oral, dengan menggunakan
benzodiazepines(Valium, Xanax) yang bertindak sebagai
obat anti-anxiety
 Sedasi Intravenous
30
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari observasi terhadap pemeriksaan yang dilakukan di RSGMP Unimus
dapat disimpulkan bahwa pasien anak atas nama Aqila Putri Aurelia dalam
menjalani prosedur perawatannya berpotensi kooperatif dibuktikan dengan saat
pertama kali dating sempat menolak untuk dilakukan perawatan. Namun, dengan
dilakukannya pendekatan melalui metode Tell-Show-Do pasien anak tersebut mulai
menerima dan mengikuti arahan yang diberikan. Pasien anak ini memiliki trauma
pengalaman terhadap dokter karena riwayat penyakit yang diderita yaitu flek paru-
paru yang mana perawatan pada penyakit tersebut selalu melakukan pengambilan
darah sehingga anak menjadi trauma terhadap dokter. Selain melakukan metode
Tell-Show-Do dilakukan juga metode Reinforcement Positive dimana setiap
dilakukannya suatu arahan pasien diberikan pujian yang membangun dan dijanjikan
akan diberikan hadiah setelah perawatan berakhir.
Untuk hasil dari odontogram bahwa terdapat gigi permanen yang sudah
erupsi yaitu gigi 46 dan 36 yang masih dalam keadaan baik sedangkan gigi
permanen lainnya dinyatakan belum erupsi. Kemudian untuk gigi desidui yang
masih dalam keadaan baik yaitu gigi 55, 53, 71,72, 73, 82, dan 83. Gigi yang
mengalami karies yaitu gigi 63 : bagian mesial, 64 : bagian oklusal dan distal, 65 :
bagian oklusal, 75 : bagian oklisal dan distal, 74 : bagian okusal dan distal, 84 :
bagian mesial, oklusal, dan distal, 85 : bagian mesial, oklusal dan distal. Pada gigi
pasien anak tersebut banyak mengalami karies yang parah sehingga diindikasikan
dalam sisa akar yaitu gigi 54, 52, 51, 61, 62, dan 81.
4.2 Saran
Kegiatan Field Lab yang dilaksanakan pada dasarnya bermanfaat bagi
mahasiswa pendidikan dan mahasiswa profesi, namun masih terdapat kendala
31
waktu dimana kami harus menyesuaikan dengan dua pihak, yaitu pasien dan
mahasiswa profesi. Ditambah lagi dengan jadwal kuliah yang padat dan tidak
menentu, sehingga bisa dibilang kegiatan Field Lab kali ini kurang terorganisir.
Selain itu dalam hal penyebaran informasi kegiatan Field Lab ini, banyak
mahasiswa profesi yang masih belum paham mengenai apa saja yang akan
dilaksanakan untuk kami memenuhi kegiatan Field Lab ini. Diharapkan
kedepannya bisa lebih baik lagi, sehingga kegiatannya bisa berjalan dengan lancar
tanpa membingungkan banyak pihak.
32
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatric Dentistry. Proceedings of the consensus
conference: Behavior management for the pediatric dental patient.
American Academy of Pedi- atric Dentistry. Chicago, Ill; 1989
MC Donald, Dean, Avery. 2011. Dentistry for The Child and Adolescent. 9th ed.
Missouri: Mosby-year book, Inc.
Singh, H., Rehman, R., Kadtane, s., Dalai, D. R., Dev Jain, D. C 2014. Techniques
for The Behaviors Management in Pediatric Dentistry, International Journal
of Scientific Study.
Wright, Gerald Z. dan Ari Kupietzky. 2014. Behavior Management in Dentistry for
Children Second Edition. Oxford: Wiley Blackwell.
33
LAMPIRAN
34
35
36
37

Laporan Field Lab OBSERVASI PEMERIKSAAN PASIEN ANAK

  • 1.
    LAPORAN KEGIATAN OBSERVASI PEMERIKSAANPASIEN ANAK BLOK 8 TUMBUH KEMBANG KRANIOFASIAL Trainer: drg. Septia Anggreini Wilujeng Disusun Oleh: Vina Widya Putri J2A017017 Ovie Luksita Lathifa J2A017039 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2018
  • 2.
    i LEMBAR PENGESAHAN Laporan observasiini disusun guna memenuhi salah satu tugas pada Blok 8 Tumbuh Kembang Kraniofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah Semarang. Kegiatan observasi ini dilaksanakan pada: Hari : Rabu Tanggal : 05 September 2018 Tempat : RSGMP Universitas Muhammadiyah Semarang Mahasiswa Mahasiswa Vina Widya Putri Ovie Luksita Lathifa NIM. J2A017017 NIM. J2A017039 Mengetahui, Penanggung Jawab Blok drg. Lira Wiet Jayanti
  • 3.
    ii KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum WarahmatullahiWabarakatuh. Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan pertolongan-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Kegiatan Field Lab Blok 8 Tumbuh Kembang Kraniofasial yang berjudul “OBSERVASI PEMERIKSAAN PASIEN ANAK”. Laporan ini kami susun untuk memenuhi tugas Laporan Kegiatan Field Lab. Dalam laporan ini dibahas mengenai Penanganan Kecemasan pada Anak terhadap Perawatan Gigi serta Tindakan yang Diberikan Terhadap Kasus Pada Gigi Anak tersebut. Dengan selesainya laporan ini, maka tidak lupa kami mengucapkan terima kasih khususnya kepada drg. Septia Anggreini Wilujeng selaku Trainer Tutorial Blok 8 SGD 3, teman-teman yang sudah memberi masukan baik langsung maupun tidak langsung, juga pihak-pihak yang menyediakan sumber yang telah kami satukan. Demikian laporan ini kami selesaikan, semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Mohon maaf apabila masih terdapat kekurangan disana-sini. Saran-saran serta kritik yang konstruktif sangat kami harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan laporan pada tugas yang lain di waktu mendatang. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Semarang, 6 Desember 2018 Penyusun
  • 4.
    iii DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN………………………………………… i KATA PENGANTAR ………………………………………………ii DAFTAR ISI ………………………………………………………. iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………….. 1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………. 2 1.3 Tujuan ………………………………………………………………………... 2 1.4 Manfaat ………………………………………………………………………. 3 BAB II KASUS 2.1 Data Pasien …………………………………………………………………… 4 2.2 Hasil Odontogram …………………………………………………………..... 5 2.3 Tindakan ……………………………………………………………………... 6 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Definisi Behavior Management ……………………………………………... 12 3.2 Klasifikasi Perilaku Anak …………………………………………………… 12 3.3 Faktor yang Memengaruhi Perilaku Anak …………………………………... 14 3.4 Teknik Pengelolaan Tingkah Laku ………………………………………….. 16 3.5 Definisi Kecemasan pada Anak ……………………………………………... 19 3.6 Etiologi Kecemasan pada Anak ……………………………………………... 20 3.7 Klasifikasi Tingkat Kecemasan pada Anak …………………………………. 24
  • 5.
    iv 3.8 Pengukuran TingkatKecemasan pada Anak ………………………………... 26 3.9 Cara Penanganan Kecemasan pada Anak …………………………………… 29 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan …………………………………………………………………. 30 4.2 Saran ………………………………………………………………………... 30 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………..…. 32 LAMPIRAN ……………………………………………………….33
  • 6.
    1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Masyarakat awam pada umumnya cenderung memberi kesan bahwa praktek dokter gigi memiliki suasana dan peralatan yang asing, dan terlebih lagi berhubungan dengan rasa nyeri. Hal ini menyebabkan pasien menjadi cemas, sehingga mempengaruhi kunjungan rutin pasien untuk berobat ke dokter gigi. Kecemasan adalah hal yang wajar dialami semua orang, yang dapat memberi pengaruh besar dalam perubahan perilaku. Rasa cemas merupakan respon normal terhadap peristiwa yang dianggap mengancam, atau terhadap tekanan yang dapat menyebabkan seseorang menjadi gelisah. Kadang kala kecemasan menjadi berlebihan sehingga menimbulkan ketakutan yang tidak rasional terhadap suatu hal tertentu. Kecemasan dental yang timbul mulai dari masa anak-anak merupakan hambatan terbesar bagi dokter gigi dalam melakukan perawatan yang optimal. Kecemasan pada anak-anak telah diakui sebagai masalah selama bertahun-tahun yang menyebabkan anak sering menunda dan menolak untuk melakukan perawatan. Kecemasan dalam praktek dokter gigi merupakan halangan yang sering mempengaruhi perilaku pasien dalam perawatan. Salah satu aspek terpenting dalam mengatur tingkah laku anak dalam perawatan gigi adalah dengan mengontrol rasa cemas, karena pengalaman yang tidak menyenangkan akan berdampak terhadap perawatan gigi dimasa yang akan datang. Penundaan terhadap perawatan dapat mengakibatkan bertambah parahnya tingkat kesehatan mulut dan menambah kecemasan pasien anak untuk berkunjung ke dokter gigi Usia sangat memengaruhi keadaan psikologi anak dalam kemampuannya bekerja sama dengan dokter gigi. Menurut Venham dkk, anak usia 4-8 tahun menunjukkan perilaku yang mengganggu atau negatif dan paling sulit untuk dilakukan penanganan. Anak yang berusia sangat muda (umur kurang dari 7 tahun)
  • 7.
    2 biasanya memiliki kerjasama yang kurang dengan dokter gigi dikarenakan kemampuan kognitif mereka masih berkembang sehingga belum bisa berpikir secara logis untuk memahami prosedur perawatan gigi. Anak usia 7-8 tahun termasuk dalam periode mix dentition dimana beberapa gigi permanen erupsi, yaitu gigi molar pertama mandibula, insisif sentral mandibula dan maksila, serta insisif lateral mandibula dan maksila. Dengan erupsinya gigi-gigi tersebut, anak akan sering berhubungan dengan perawatan gigi. Jika kecemasan dibiarkan, maka akan menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan gigi selanjutnya 1.2 Rumusan Masalah 1. Definisi Behavior Management 2. Klasifikasi Perilaku Anak 3. Faktor yang Memengaruhi Perilaku Anak 4. Teknik Pengelolaan Tingkah Laku 5. Definisi Kecemasan pada Anak 6. Etiologi Kecemasan pada Anak 7. Klasifikasi Tingkat Kecemasan pada Anak 8. Pengukuran Tingkat Kecemasan pada Anak 9. Cara Penanganan Kecemasan pada Anak 1.3 Tujuan Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan pembuatan laporan ini adalah sebagai berikut. 1. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Definisi Behavior Management 2. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Klasifikasi Perilaku Anak 3. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Faktor yang Memengaruhi Perilaku Anak 4. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Teknik Pengelolaan Tingkah Laku 5. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Definisi Kecemasan pada Anak 6. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Etiologi Kecemasan pada Anak
  • 8.
    3 7. Mahasiswa MampuMenjelaskan Klasifikasi Tingkat Kecemasan pada Anak 8. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Pengukuran Tingkat Kecemasan pada Anak 9. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Cara Penanganan Kecemasan pada Anak 1.4 Manfaat 1. Untuk menambah wawasan 2. Untuk mengetahui hal-hal mengenai Penanganan Kecemasan pada Anak terhadap Perawatan Gigi serta Tindakan yang Diberikan Terhadap Kasus Pada Gigi Anak 3. Untuk memperkaya penulisan dalam bidang Kedokteran/Kesehatan khususnya mengenai Penanganan Kecemasan pada Anak terhadap Perawatan Gigi serta Tindakan yang Diberikan Terhadap Kasus Pada Gigi Anak 4. Dapat dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan laporan kedepannya yang lebih luas dan mendalam
  • 9.
    4 BAB II KASUS 2.1 DataPasien IDENTITAS PASIEN NO DATA BIOGRAFI 1. Nama : Aqila Putri Aurelia 2. Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 19 September 2013 3. No. KTP / Identitas Lain : - 4. Jenis Kelamin : Perempuan 5. Status : Menikah / Belum Menikah 6. Suku / Ras : Jawa 7. Pekerjaan : Pelajar 8. Alamat Rumah : Jl. Watulawang IV RT 03/08 Gajah Mungkur 9. No. Telpon/ HP : - 10. Data Wali Nama Wali / Orang Tua : Rizky Andy Saputra Hubungan dengan Pasien : Ayah Kandung No. Telepon / HP : - DATA MEDIS UMUM 1. Golongan Darah : - 2. Tekanan Darah : Hypertensi / Hypotensi / Normal
  • 10.
    5 3. Penyakit Jantung: Tidak Ada / Ada 4. Diabetes Melitus : Tidak Ada / Ada 5. Hemofilia : Tidak Ada / Ada 6. Riwayat Asma : Tidak Ada / Ada 7. Hepatitis : Tidak Ada / Ada 8. Epilepsy : Tidak Ada / Ada 9. Gastritis : Tidak Ada / Ada 10. Asma : Tidak Ada / Ada 11. TBC : Tidak Ada / Ada 12. Penyakit Lainnya : Tidak Ada / Ada (Riwayat Flek Paru-paru) 13. Obatan : Tidak Ada / Ada 14. Alergi terhadap makanan : Tidak Ada / Ada 2.2 Hasil Odontogram Relasi oklusi (Klasifikasi Maloklusi Angle) D : 0 d : 6 M : 0 m : 6 F : 0 f : 0
  • 11.
    6 FORMULIR PEMERIKSAAN ODONTOGRAM NamaLengkap : Aqila Putri Jenis Kelamin : P No. KTP/Identitas Tempat, Tanggal Lahir : 19/9/ 2016 11 (51) 11 : une ; 51 : rrx 61 : rrx ; 21 : une (61) 21 12 (52) 12 : une ; 52 : rrx 62 : rrx ; 22 :une 62 (22) 13 (53) 13 : une ; 53 : sou 63 : m-car ; 23 : une 63 (23) 14 (54) 14 : une ; 54 : rrx 64 : od-car ; 24 : une 64 (24) 15 (55) 15 : une ; 55 : sou 65 : o-car ; 25 : une 65 (25) 16 une une 26 17 une une 27 18 Non non 28 48 non non 38 47 une Une 37 46 sou sou 36 45 (85) 45 : une ; 85 : mod-car 75 : od-car ; 35 :sou (75) 35 44 (84) 44 : une ; 84 : mod-car 74 : od-car; 35 : sou (74) 34 43 (83) 43 : une ; 83 :sou 74 : od-car ; 34 : sou (73) 33 42 (82) 42 : une ; 82 : sou 73 : sou ; 33 :sou (72) 32 41 (81) 41 : une ; 81 : mis 71 : sou ; 31 : sou (71) 31 2.3 Tindakan Berdasarkan Observasi yang telah kami lakukan, pasien anak atas nama Aqila Putri Aurelia yang berumur 5 tahun, dengan keluhan banyak gigi yang mengalami karies. Orangtua pasien menginginkan gigi geraham anaknya yang baru tumbuh (Gigi 36) untuk dilakukan dilakukan perawatan agar tidak berlubang seperti gigi desiduinya. Maka dari itu, dilakukanlah perawatan Fissure Sealant dengan GIC (Gelas Ionomer Kaca).
  • 12.
    7 Ilmu kedokteran gigianak, salah satu yang dipelajari adalah tentang suatu metode pencegahan terhadap terjadinya karies pada gigi anak. Berbagai tindakan pencegahan terjadinya karies telah diupayakan melalui fluoridasi air minum, topikal aplikasi fluor pada fase perkembangan enamel, dan program kontrol plak bagi masing-masing individu. Hal ini tidak terbukti efektif mengurangi insiden karies pada pit dan fisura yang merupakan bagian yang rentan karies, karena bentukan anatomisnya yang menyempit (Robert G.Craig: 1979: 28). Pemberian fluor secara topikal dan sistemik, tidak banyak berpengaruh terhadap insidensi pada karies pit dan fisura. Hal ini karena pit dan fisura merupakan daerah cekungan yang terlindung. Kondisi ini mendukung terjadinya proses karies. Fluor yang telah diberikan tidak cukup kuat untuk mencegah karies. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukanlah suatu cara preventif yang ditujukan khusus untuk mencegah karies pada daerah ini melalui teknik fissure sealant (R.J Andlaw, 1992: 58). Fissure sealant merupakan bahan yang diletakkan pada pit dan fisura gigi yang bertujuan untuk mencegah proses karies gigi (J.H. Nunn et al, 2000). Bentuk pit dan fisura beragam, akan tetapi bentuk umumnya adalah sempit, melipat dan tidak teratur. Bakteri dan sisa makanan menumpuk di daerah tersebut. Saliva dan alat pembersih mekanis sulit menjangkaunya. Dengan diberikannya bahan penutup pit dan fisura pada awal erupsi gigi, diharapkan dapat mencegah bakteri sisa makanan berada dalam pit dan fisura (Sari Kervanto, 2009: 12). Tujuan utama diberikannya sealant adalah agar terjadinya penetrasi bahan ke dalam pit dan fisura serta berpolimerisai dan menutup daerah tersebut dari bakteri dan debris (Kenneth J Anusavice, 2004: 260-261). Bahan sealant ideal mempunyai kemampuan retensi yang tahan lama, kelarutan terhadap cairan mulut rendah, biokompatibel dengan jaringan rongga mulut, dsn mudah diaplikasikan (Donna Lesser, 2001). Dua bahan sealant yang sering digunakan adalah sealant berbasis resin dan sealant semen ionomer kaca (SIK). Bahan sealant berbasis resin dapat melakukan polimerisasi secara autopolimerisasi dan fotopolimerisasi. Sedangkan sealant SIK yang sering digunakan bersifat autopolimerisasi (Sari Kervanto, 2009: 20).
  • 13.
    8 Sealant ionomer kacamemiliki kemampuan mencegah karies yang hampir sama dengan sealant berbasis resin. Manipulasi sealant semen ionomer kaca lebih mudah, dan tidak diperlukan tahapan pengetsaan pada permukaan gigi (Subramaniam, 2008). Berbeda dengan sealant berbasis resin, bahan sealant semen ionomer kaca melakukan interaksi khusus dengan enamel gigi dengan melepaskan kalsium, strontium dan ion fluor yang bersifat kariostatik dan mengurangi perkembangan karies pada daerah yang diberi sealant (Laurence J. Walsh, 2006). Bahan Sealant Semen Ionomer Kaca (SIK) / Glass Ionomer Cement (GIC) Semen ionomer kaca adalah nama generik dari sekelompok bahan yang menggunakan bubuk kaca silikat dan larutan asam poliakrilat. Bahan ini mendapatkan namanya dari formulanya yaitu suatu bubuk kaca dan asam ionomer yang mengandung gugus karboksil. Juga disebut sebagai semen polialkenoat. Bahan dalam semen ionomer kaca terdiri atas bubuk dan cairan.  Bubuk semen ionomer kaca Bubuk adalah kaca kalsium fluoroaluminosilikat yang larut dalam asam. Komposisi dari bubuk semen ionomer kaca adalah silica, alumina, aluminium fluoride, calsium fluoride, sodium fluoride, dan aluminium phosphate. Bahan- bahan mentah digabung sehingga membentuk kaca yang seragam dengan memanaskannya samapi temperature 1100-1500 ºC. Lanthanum, strontium, barium, atau oksida seng ditambahkan untuk menimbulkan sifat radiopak (Kenneth J. Anusavice, 2004: 449).  Cairan semen ionomer kaca Cairan yang digunakan untuk semen ini adalah larutan asam poliakrilat dengan konsentrasi 50%. Cairannya cukup kental dan cenderung membentuk gel setelah beberapa waktu. Pada sebagian besar semen, asam poliakrilat dalam cairan adalah dalam bentuk kopolimer dengan asam itikonik, maleik atau trikarbalik. Asam-asam ini cenderung menambah reaktivitas dari cairan, mengurangi kekentalan, dan mengurangi kecenderungan membentuk gel. Selain itu,
  • 14.
    9 memperbaiki karakteristik manipulasidan meningkatkan waktu kerja dan memperpendek waktu pengerasan (Lloyd Baum, 1997: 254).  Pengerasan Ketika bubuk dan cairan dicampur untuk membentuk suatu pasta, permukan partikel kaca akan terpajan asam. Ion-ion kalsium, aluminium, natrium dan fluorin dilepaskan ke dalam media yang bersifat cair. Rantai asam poliakrilat akan berikatan silang dengan ion-ion kalsium dan membentuk masa yang padat. Selama 24 jam berikutnya, terbentuk fase baru dimana ion-ion aluminium menjadi terikat dalam campuran semen. Ini membuat semen menjadi lebih kaku. Ion natrium dan fluorin tidak berperan serta di dalam ikatan silang dari semen. Beberapa ion natrium dapat menngantikan ion-ion hidrogen dari gugus karboksil, sementara sisanya bergabung dengan ion-ion fluorin membentuk natrium fluoride yang menyebar merata di dalam semen yang mengeras (Kenneth J. Anusavice, 2004: 451). Mekanisme pengikatan ionomer kaca dengan struktur gigi belum dapat diterangkan dengan jelas. Meskipun demikian, perekatan ini diduga terutama melibatkan proses kelasi dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di kristal apatit pada enamel dan dentin. Ikatan antara semen dengan enamel selalu lebih besar daripada ikatannya dengan dentin, mungkin karena kandungan anorganiknya enamel yang lebih banyak dan homogenitasnya lebih besar (Kenneth J. Anusavice, 2004: 452).  Sifat semen ionomer kaca Semen ini memiliki sifat kekerasan yang baik, namun jauh inferior dibanding kekerasan bahan resin. Kemampuan adhesi melibatkan proses kelasi dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di kristal apatit enamel dan dentin. Semen ini memiliki sifat anti karies karena kemampuannya melepaskan fluor. Dalam proses pengerasan harus dihindarkan dari saliva karena mudah larut dalam cairan dan menurunkan kemampuan adhesi. Ikatan fisiko kimiawi antara bahan dan permukaan gigi sangat baik sehingga mengurangi kebocoran tepi tumpatan (Kenneth J. Anusavice, 2004: 453).
  • 15.
    10  Indikasi fisuresealant semen ionomer kaca Indikasi penggunaan Fissure sealant dengan semen ionomer kaca sebagai berikut: 1) Digunakan pada geligi sulung 2) Kekuatan kunyah relatif tidak besar 3) Pada insidensi karies tinggi 4) Gigi yang belum erupsi sempurna 5) Area yang kontaminasi sulit dihindari 6) Pasien kurang kooperatif  Teknik Aplikasi Fissure Sealant dengan Sealant Semen Ionomer Kaca A. Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure sealant menggunakan brush dan pumis Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi: 1) Memiliki kemampuan abrasif ringan 2) Tanpa ada pencampur bahan perasa 3) Tidak mengandung minyak 4) Tidak mengandung Fluor 5) Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain 6) Memiliki kemampuan poles yang bagus B. Pembilasan dengan air Syarat air: 1) Air bersih 2) Air tidak mengandung mineral 3) Air tidak mengandung bahan kontaminan C. Isolasi gigi Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam D. Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara. Syarat udara : 1) Udara harus kering 2) Udara tidak membawa air (tidak lembab)
  • 16.
    11 3) Udara tidakmengandung minyak 4) Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan langsung ke permukaan gigi. E. Aplikasi bahan dentin kondisioner selama 10-20 detik (tergantung instruksi pabrik). Hal ini akan menghilangkan plak dan pelikel dan mempersiapkan semen beradaptasi dengan baik dengan permukaan gigi dan memberikan perlekatan yang bagus F. Pembilasan dengan air selama 60 detik Syarat air sama dengan point B. G. Pengeringan dengan udara setelah aplikasi dentin kondisioner permukaan pit dan fisura dilakukan pembilasan Syarat udara sama dengan point C. Keringkan dengan udara selama 20-30 detik H. Aplikasikan bahan SIK pada pit dan fisura I. Segera aplikasi bahan varnish setelah aplikasi fissure sealant dilakukan J. Evaluasi permukaan oklusal 1) Cek oklusi dengan articulating paper 2) Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot grinding) (Departemen Kesehatan North Sidney, 2008)
  • 17.
    12 BAB III PEMBAHASAN 3.1 DefinisiBehavior Management Adalah metode yang digunakan untuk mendapatkan penerimaan anak terhadap perawatan di kursi gigi. Atau merupakan cara dimana tim Kesehatan Gigi dan Mulut melakukan perawatan secara efektif dan efisien terhadap pasien anak dan pada waktu yang berasaamaan juga menanamkan sikap positif pada anak tersebut. Proses ini adalah rangkaian interaksi yang melibatkan dokter gigi dan timnya, pasien, dan orang tua, yang mana tujuannya adalah untuk: a) Membangun komunikasi b) Mengurangi ketakutan dan kecemasan c) Memberikan perawatan gigi yang berkualitas dengan efektif dan efisien d) Membangun hubungan saling percaya antara dokter gigi/staf dengan anak/orang tua e) Mendorong sikap positif anak terhadap perawatan kesehatan gigi dan mulut Behaviour Management seharusnya tidak boleh berupa suatu bentuk hukuman, tuntutan atau strategi lain yang menyakiti, memalukan atau meremehkan seorang pasien. 3.2 Klasifikasi Perilaku Anak Wilson (1993) 1. Normal / Berani (Normal/Bold) Anak cukup berani untuk menghadapi situasi baru, kooperatif, dan ramah dengan dokter gigi. 2. Berkeinginan / Malu (Tasteful / Timid)
  • 18.
    13 Anak pemalu, tapitidak mengganggu prosedur perawatan gigi dan mulut 3. Histeris / Memberontak (Hysterical / Rebellious) Anak dipengaruhi oleh lingkungannya di rumah; melontarkan amarahnya dan memberontak 4. Gugup / Ketakutan (Nervous / Fearful) Anak merasa tegang dan gelisah, takut akan Dokter Gigi Lampshire (1970) 1. Kooperatif (Cooperative) Anak secara fisik dan emosional santai serta kooperatif selama prosedur perawatan 2. Kooperatif tetapi Tegang (Tense Cooperative) Anak tegang dan kooperatif di waktu yang bersamaan. 3. Tampak Khawatir (Outwardly Apprehensive) Anak menghindari perawatan pada awalnya, biasanya bersembunyi di belakang ibunya, menghindari melihat atau berbicara dengan dokter gigi. Namun akhirnya menerima perawatan gigi. 4. Takut (Fearful) Butuh dukungan yang cukup besar, sehingga dapat mengatasi ketakutan terhadap perawatan gigi dan mulut 5. Keras Kepala / Menantang (Stubborn / Defiant) Secara pasif menolak perawatan dengan menggunakan teknik yang telah berhasil dalam situasi lain 6. Hipermotif (Hypermotive) Anak benar-benar gelisah dan berusaha untuk berteriak, menendang 7. Cacat (Handicapped) Anak tersebut secara fisik/mental/emosional cacat 8. Secara Emosional Belum Dewasa (Emotionally Immature) Anak yang masih sangat kecil Frankl Behavioral Rating Scale Merupakan gold standar dari skala penilaian klinis. 1. Definitely Negative ( -- )
  • 19.
    14 Menolak perawatan, menangiskuat, atau melakukan hal ekstrem lainnya yang negatif 2. Negative ( - ) Enggan menerima perawatan, tidak kooperatif, menunjukkan sikap negative tapi tidak melalui ucapan, seperti cemberut, diam 3. Positive ( + ) Menerima perawatan, penuh dengan kehati-hatian, kesediaan untuk mengikuti arahan dokter gigi secara kooperatif 4. Definitely Positive ( ++ ) Hubungan yang baik dengan dokter gigi, tertarik dengan prosedur perawatan, tertawa, senang/gembira Wright (1975) 1. Kooperatif Anak bersikap kooperatif, santai dan dengan ketakukan/keprihatinan yang minimal 2. Kurang mampu untuk Kooperatif Termasuk kelompok anak-anak yang masih kecil (kemampuan berkomunikasi masih kurang), kelompok anak yang memiliki kondisi spesifik seperti disabilitas, anak-anak dengan cacat fisik maupun mental. Anak-anak dalam kategori ini termasuk dalam tahap pre-kooperatif yang mana seiring dengan berjalannya waktu dapat menjadi pasien yang kooperatif 3. Berpotensi Kooperatif Anak-anak dalam kategori ini bisa merupakan anak yang keadaannya sehat maupun yang mengalami disabilitas. Kategori ini dibedakan dari kategori anak yang Kurang mampu untuk Kooperatif karena anak-anak dalam kategori ini lebih berpotensi untuk memiliki kemampuan berperilaku baik. 3.3 Faktor yang Memengaruhi Perilaku Anak a) Patient Attributes
  • 20.
    15 Berkaitan dengan ciriyang ada pada pasien anak tersebut. Seperti keterlambatan perkembangan, cacat fisik maupun mental, memiliki penyakit akut atau kronis yang tentunya memengaruhi perilaku anak tersebut. b) Riwayat Kesehatan Kunjungan medis di masa lalu sangatlah menentukan. Bila kualitas pelayanan/perawatannya tidak menyenangkan maka berpengaruh pada kunjungan medis anak kedepannya. c) Pengaruh Orangtua Orang tua yang memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan sebagai pasien dapat menularkan kecemasan atau ketakutannya ke anak yang dengan demikian mempengaruhi sikap dan tanggapan anak tersebut terhadap perawatan. Selain itu, kesulitan ekonomi jangka panjang yang berpengaruh pada orangtua sehingga menyebabkan orangtua menjadi depresi, cemas, penyalahgunaan obat-obatan, melakukan tindak kekerasan juga dapat menyebabkan masalah emosi dan perilaku pada anak. d) Kebutuhan akan Perawatan Jika seorang anak menyadari bahwa terdapat masalah pada giginya, maka kemungkinan besar bahwa kecemasan anak akan meningkat, yang menyebabkan anak menjadi tidak kooperatif selama perawatan. e) Lingkungan Tempat Praktik Gigi Peran staff yang bekerja ditempat tesebut juga berperan penting, karena mereka merupakan orang pertama yang berkontak dengan orangtua si anak, seperti melalui telepon. Staff harus berperan aktif dengan bersikap ramah dan memberikan informasi yang tepat baik pada orangtua maupun anak. Selain itu, pengelolaan ruangan tunggu (terdapat tempat bermain) juga perlu diperhatikan, karena dapat mengalihkan perhatian anak. f) Sikap Dokter Gigi dan Timnya Sikap, Bahasa tubuh, keterampilan komunikasi yang dimiliki oleh dokter maupun timnya sangat penting untuk menciptakan kesan yang positif dan juga mendapatkan kepercayaan dari anak dan orangtuanya. Selain itu,
  • 21.
    16 keterampilan yang dimilikidokter maupun timnya juga dapat mengurangi rasa cemas dari pasien anak tersebut dan orangtuanya. 3.4 Teknik Pengelolaan Tingkah Laku  Pengelolaan Tingkah Laku Teknik Mendasar a) Komunikasi Pada teknik ini, Dokter harus mempertimbangkan perkembangan kognitif pasien, serta adanya gangguan komunikasi lainnya (gangguan pendengaran, dll). Peran dokter sangat penting dalam hal komunikasi untuk membangun suatu hubunganyang baik dan mendapatkan kepercayaan pasien, bias dengan mengajukan pertanyaan mengenai keluhan pasien dan mendengarkannya. Selain itu dokter juga dapat memberikan arahan disertai ketegasan seperti “Saya butuh kamu untuk duduk diam sehingga kita bisa mengambil foto giginya”. b) Citra Pra-kunjungan yang Positif Tujuannya yaitu memberikan informasi visual pada orangtua maupun anak mengenai apa yang akan dilakukan saat kunjungan tersebut. Dapat dilakukan dengan cara pasien diperlihatkan foto/gambar yang positif mengenai dokter gigi dan perawatan gigi di ruang tunggu. c) Observasi Langsung/Modelling Tujuannya yaitu membiasakan pasien dengan prosedur yang ada, memberikan kesempatan pada pasien untuk bertanya mengenai prosedur yang ada. Dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan video atau secara langsung memperlihatkan pasien anak yang kooperatif selama perawatan. d) Tell-Show-Do (TSD) Tujuannya yaitu mengajarkan pada pasien mengenai aspek penting kunjungan perawatan gigi serta pengaturannya dan membentuk respon pasien. Dapat dilakukan dengan cara memberikan penjelasan secara verbal dengan memerhatikan perkembangan kognitif pasien (Tell), Mendemonstrasikan prosedur secara visual, pendengaran, taktil, dll pada pasien dengan hati-hati dan tidak membahayakan (Show), Melakukan prosedur (Do). Dapat dilakukan dengan reinforcement.
  • 22.
    17 e) Ask-Tell-Ask Tujuannya yaituuntuk menilai kecemasan pasien yang dapat menunjukkan sikap non-kooperatif selama perawatan, mengajarkan pasien mengenai prosedur dan cara pencapaiannya, dan mengonfirmasi pasien apakah merasa nyaman dengan perawatannya sebelum melanjutkan perawatan. Dapat dilakukan dengan cara menyelidiki alasan kedatangan pasien dan prosedur yang diinginkannya (Ask), menjelaskan prosedur dengan demonstrasi yang dilakukan dengan hati-hati dan tidak membahayakan (Tell), Menanyakan kembali pada pasien apakah sudah mengerti dan tanggapannya mengenai perawatan yang akan dilaksanakan nantinya (Ask). f) Desensitisasi Bertujuan untuk membantu anak mengatasi kecemasan pada perawatan gigi dan untuk memberikan serangkaian pengalaman mengatasi kecemasan anak pada perawatan gigi. Digunakan untuk anak yang gelisah, takut, ataupun fobia pada perawatan gigi. Prinsip ini dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh dokter gigi untuk semua pasien anak. g) Voice Control Tujuannya yaitu untuk mendapatkan perhatian dan kerjasama pasien dan cegah perilaku pasien yang negatif. Dapat dilakukan dengan cara merubah volume suara, nada, kecepatan untuk memengaruhi dan mengarahkan pasien. Sebaiknya sebelum menggunakan teknik ini dijelaskan terlebih dahulu pada orangtua agak tidak terjadi kesalahpahaman. h) Reinforcement Positive Tujuannya yaitu memberikan penguatan untuk hasilkan perilaku yang diinginkan. Dapat dilakukan dengan cara memberikan pujian seperti “Terimakasih sudah tetap duduk dengan posisi yang baik”, memberikan kasih sayang, memberikan hadiah seperti mainan, dll. i) Distraksi Tujuannya yaitu untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan pasien serta mencegah perilaku negatif. Dapat dilakukan dengan cara mengalihkan perhatian pasien, memberikan waktu istirahat setelah menjalani suatu prosedur yang cukup menegangkan.
  • 23.
    18 j) Restrukturisasi Memori Tujuannyayaitu merestrukturisasi pengalaman pasien terhadap perawatan yang tidak menyenangkan sebelumnya dan meningkatkan perilaku positif pasien pada kunjungan berikutnya. Dapat dilakukan dengan cara memperlihatkan gambar orang tersenyum setelah melakukan perawatan, memberikan pujian pada pasien atas sikap positifnya selama jalani perawatan. k) Inhalasi Nitrogen Oksida / Oksigen Bertujuan untuk mengurangi atau hilangkan rasa cemas, mengurangi gerakan yang tidak diinginkan selama perawatan, meningkatkan komunikasi dan kerjasama pasien. Diindikasikan untuk pasien yang cemas, takut, susah diajak bekerjasama, pasien berkebutuhan khusus, pasien dengan reflek muntah yang mengganggu perawatan. Kontraindikasinya yaitu pasien yang alami PPOK, ibu hamil trimester satu, pasien ketergantungan obat-obatan. l) Hand Over Mouth Exercise (HOME) HOME adalah suatu teknik manajemen perilaku digunakan pada kasus yang selektif misalnya pada anak yang agresif dan histeris yang tidak dapat ditangani secara langsung. Dilakukan dengan cara menahan anak pada dental chair dan meletakkan tangannya menutupi mulut, tetapi hidung tidak boleh tertutup. Kemudian dokter akan berbicara dengan perlahan ke anak bahwa tangannya tidak akan dilepaskan sampai tangisannya berhenti. Teknik ini juga sering digunakan bersama teknik sedasi inhalasi. Tujuannya ialah untuk mendapatkan perhatian dari anak sehingga komunikasi dapat dijalin dan diperoleh kerjasama dalam melakukan perawatan yang aman. Teknik ini hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan tidak boleh digunakan secara rutin.  Pengelolaan Tingkah Laku yang Lebih Maju a) Stabilisasi Pelindung Bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan gerakan pasien yang tidak diinginkan selama perawatan, melindungi pasien, dokter gigi maupun staf,
  • 24.
    19 atau orang tuadari cedera, serta membantu kelancaran pemberian perawatan yang berkualitas. Dapat dilakukan dengan cara membatasi ruang gerak pasien dengan memegangnya menggunakan bantuan orang lain, alat/perangkat stabilisasi pasien, maupun gabungan keduanya. Di indikasikan untuk pasien yang tidak dapat mengontrol gerakannya, pasien yang tidak kooperatif karena level perkembangan emosional atau kognitifnya, kondisi mental atau fisiknya. Sebelum menggunakan teknik ini perlu memerhatikan informed consent dari orangtuanya juga memberikan penjelasan. b) Sedasi Bertujuan untuk menjaga keselamatan pasien dengan mengontrol perilaku/gerakannya sehingga memungkinkan penyelesaian prosedur perawatan yang aman, meminimalkan trauma psikologis, mengontrol rasa cemas, meminimalkan ketidaknyamanan fisik dan rasa sakit pasien. Di indikasikan untuk pasien yang merasa cemas, ketakutan yang mana pengelolaan tingkah laku dengan teknik mendasar tidak ampuh, Pasien yang tidak kooperatif karena kurang kematangan emosional dan psikologisnya, cacat fisik maupun mental. Sebelum menggunakan teknik ini perlu memerhatikan informed consent dari orangtuanya juga memberikan penjelasan. 3.5 Definisi Kecemasan pada Anak Yang dimaksud dengan kecemasan adalah suatu perasaan yang tidak jelas, tidak menyenangkan atau tidak nyaman ditandai bahwa sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi (Kagan dan Havemann, 1976). Kecemasan merupakan emosi yang diturunkan dari rasa sakit atau rasa takut. Beberapa psikolog berpendapat bahwa timbulnya rasa cemas dapat diketahui dari tindakan seseorang. Kecemasan sangat berhubungan erat dengan rasa takut. Rasa cemas dan takut saling berhubungan dan hubungan antara rasa cemas dan takut sering dipertukarkan baik oleh pasien maupun dokter gigi. Rasa takut adalah bentuk konkrit, yang memiliki latar belakang yang jelas, dan dapat diekspresikan melalui
  • 25.
    20 kata-kata apa yangditakutkan. Secara klinis, rasa takut digunakan untuk menggambarkan reaksi patologi terhadap obyek tertentu seperti jarum. Terdapat perbedaan antara cemas dan takut : cemas merupakan perasaan dari ketidaknyamanan sedangkan takut dianggap sebagai reaksi terhadap keadaan atau obyek tertentu (Kent dan Blinkhorn, 1991). Kecemasan terkadang disebut sebagai satu ketakutan yang tidak jelas, bersifat panjang/meluas dan tidak berkaitan terhadap ancaman spesifik tertentu. Kecemasan tampak dihasilkan oleh ancaman internal, perasaan yang tidak baik; berbeda dengan perasaan takut yang memiliki obyek eksternal atau apa yang dilihat pasien sebagai suatu bahaya. Oleh sebab itu, rasa cemas lebih sulit diatasi dibandingkan rasa takut. Jadi, cemas dapat diartikan sebagai keadaan emosional yang berkaitan dengan rasa takut yang dialami seseorang tanpa orang tersebut mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dapat juga diartikan sebagai ketegangan yang dialamu sesorang akibat dari ancaman yang nyata maupun tidak nyata terhadap rasa aman pada orang itu sendiri. Sedangkan takut adalah perasaan yang mendorong individu untuk menjauhi sesuatu dan sedapat mungkin menghindari kontak dengan hal yang ditakutkan itu; dalam hal ini, seseorang dapat menyadari apa yang menyebabkan rasa takut dan mengetahui apa yang ditakutkan. 3.6 Etiologi Kecemasan pada Anak a. Kecemasan orang tua Kecemasan pada anak akan semakin menjadi buruk diakibatkan sikap dari orang sekitarnya (umumnya orang tua, saudara, dan teman sebaya) terhadap bidang kedokteran gigi. Orang tua yang tidak dapat mengendalikan rasa cemas tanpa disadari dapat diteruskan ke anak mereka atau menyebabkan kondisi semakin buruk ketika sebenarnya orang tua berusaha untuk membantu. Bailey dkk (1973) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara kecemasan ibu dan menajemen perawatan pada anak di seluruh kategori usia, khususnya usia ≤4 tahun (Gupta dkk., 2014). Beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh kehadiran orang tua
  • 26.
    21 adalah membingungkan komunikasi,mempengaruhi sikap anak, membicarakan aspek negatif perawatan gigi saat anak mendengarkan dan mengancam anak dengan perawatan gigi (Chadwick dan Hosey, 2003). Salah satu satu cara yang dapat digunakan menurunkan rasa takut orang tua dan dapat membantu para orang tua untuk persiapan kunjungan ke dokter gigi adalah dengan mengirimkan orang tua surat pendahuluan yang menjelaskan mengenai hal yang diperlukan untuk kunjungan pertama kali ke dokter gigi. Surat ini sangat berguna khususnya sebagai masukan kepada orang tua mengenai bagaimana cara menyiapkan anak untuk kunjungan pertama kali ke dokter gigi (Gupta dkk., 2014). b. Fear of the unknown Untuk beberapa pasien rasa ketidaktahuan dapat menyebabkan kecemasan pada saat kunjungan pertama pasien ke dokter gigi (Chadwick dan Hosey, 2003). c. Lack of control Duduk di dental chair menimbulkan rasa tidak berdaya pada anak, selain itu keterbatasan komunikasi dengan dokter gigi juga menyebabkan pasien merasa tidak berdaya, ini disebabkan oleh rongga mulut yang terisi penuh dengan instrumen gigi menyebabkan rasa tidak berdaya pada pasien (Chadwick dan Hosey, 2003). d. Pengalaman Medis Umum dan Gigi Anak yang mempunyai pengalaman buruk, terhadap kunjungan terakhir ke rumah sakit atau perawatan medis yang diterima, atau kunjungan ke dokter gigi, akan lebih cemas terhadap perawatan gigi dan berhati-hati membangun hubungan kepercayaan dengan dokter gigi (Gupta, 2012; Roberts, 2010). Ketika anamnesis mengenai riwayat medis, sangat penting untuk menanyakan kepada orang tua mengenai perawatan terakhir yang diterima dan bagaimana respon anak terhadap perawatan tersebut. Hal ini mungkin dapat mengidentifikasi timbulnya kecemasan yang berhubungan dengan kebiasaan dan memungkinkan dokter gigi untuk menggunakan strategi yang tepat untuk mengoreksi kebiasaan anak (Gupta, 2014). Anak yang mendapat banyak perhatian dari orang tuanya 10 saat anak tersebut menangis akan lebih mungkin menangis saat kunjungan berikutnya (Robert, 2010).
  • 27.
    22 e. Sikap danPrilaku Dokter Gigi Ekspresi wajah dokter gigi dapat menambah kesan atau bahkan dapat mengganggu komunikasi verbal (misalnya: perasaan seperti disbelief atau ketidakpercayaan, mencela, tidak suka, terkejut) dapat terlihat dari ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh dokter gigi. Senyum adalah sarana yang sangat baik dan dapat menunjukkan sikap untuk memotivasi pasien. Ketika dokter gigi memakai masker, meskipun wajahnya tidak terlihat, tetap berusaha untuk bersikap ramah kepada pasien sehingga pasien dapat melihat ‘senyum’ dokter gigi meskipun tertutup oleh masker (Chadwick dan Hosey, 2003). Dokter gigi dengan kontak mata yang kurang kemungkinan akan mengurangi tingkat kepercayaan pasien pada dokter gigi. Gerak gerik dan postur tubuh dari dokter gigi juga dapat mempengaruhi kecemasan anak. Sikap menyilangkan lengan saat berbicara dapat menunjukkan sikap seolah-olah mencela pasien, terutama jika dilakukan dengan mengetukkan kaki ke lantai. Dokter gigi dapat menunjukkan tingkah lakunya untuk mengatasi atau meningkatkan kecemasan anak. Tindakan dokter gigi dalam merespon tingkah laku anak seperti menanyakan apa yang mereka rasakan (empati) dan menekan dengan lembut bahu atau tangan dapat mengurangi tingkat kecemasan pada pasien usia muda dan memperbaiki tingkah laku mereka saat duduk di dental chair. Sementara sikap dokter gigi yang memaksa atau membujuk akan memperburuk tingkah laku anak. Sikap kontraproduktif harus dihindari, misalnya memberi penghiburan secara verbal seperti “ini tidak akan sakit” akan memungkinkan anak untuk berpikir sebaliknya. Mengatakan bahwa “tidak ada yang perlu dikhawatirkan” malah akan membuat anak khawatir (Chadwick dan Hosey, 2003). f. Lingkungan Praktek Dokter Gigi Pemandangan yang asing, suara, dan bau dari perawatan gigi berkontribusi menimbulkan kecemasan pada anak. Tindakan bedah dan ruang tunggu pasien harus dibuat ramah untuk anak dan tidak membuat anak merasa terancam dengan cara mendekorasi ruangan dengan gambar berorientasi anak-anak dan meletakkan beberapa mainan yang ditempatkan secara strategis (misalnya, children's corner). Ventilasi yang baik dapat meminimalkan bau yang berhubungan dengan kedokteran
  • 28.
    23 gigi yang ditimbulkanoleh bahan atau alat kedokteran gigi. Penggunaan instrumen getaran yang rendah juga dapat membantu menurunkan kecemasan anak (Gupta, 2014). g. Komunikasi dengan Pasien Staf penerima pasien dan tim kedokteran gigi, harus ramah dan bersahabat. Komunikasi verbal dan non-verbal memiliki peran utama dalam manajemen perilaku. Tim kedokteran gigi harus membentuk hubungan berdasarkan kepercayaan dengan anak dan orang dewasa yang menyertainya untuk memastikan kepatuhan terhadap pencegahan dan ijin untuk melakukan tindakan. Komunikasi non-verbal terjadi sepanjang waktu dan kadang-kadang dapat bertentangan dengan komunikasi verbal. Bagi pasien anak dan pasien yang pre kooperatif, komunikasi non-verbal memiliki peran yang paling penting (Gupta, 2014). Pasien mungkin tidak mengerti kata yang di gunakan, tetapi mereka akan mengenali senyum dan menanggapi nada suara. Seperti tersenyum, komunikasi non verbal juga termasuk menjaga kontak mata untuk membangun kepercayaan. Jabat tangan dapat meningkatkan kepercayaan untuk beberapa orang tua. Sikap tenang, peduli, dan empati lebih berhasil dalam menangani kecemasan anak. Anak-anak harus menjadi pusat perhatian, seperti menyapa nama mereka (Gupta, 2014). Komunikasi harus disesuaikan dengan usia anak dan tim kedokteran gigi perlu mengembangkan kosa kata spesifik untuk komunikasi dengan anak-anak. Contohnya seperti “jus mengantuk” untuk anestesi lokal, atau “mewarnai gigi” untuk fissure sealant. Penjelasan harus diberikan dalam bahasa sederhana dan tidak mengancam, serta hindari penggunaan jargon. Perlu komunikasi yang baik dan melibatkan anak, dokter gigi,orang tua, dan perawat gigi. Namun, anak mungkin hanya bisa berkonsentrasi pada satu orang dalam satu waktu. Ketika terjadi masalah, orang tua atau pengasuh sering membuat keadaan lebih buruk dengan komunikasi yang kurang sesuai antara anak dan orang tua atau pengasuh. Setiap anggota dalam tim kedokteran gigi dan orang tua yang menemani harus mengerti peran mereka dalam perawatan gigi yang dilakukan. Jika dokter gigi memperbolehkan orang tua atau wali menemani anak saat operasi, dokter gigi harus memastikan mereka telah memberikan penjelasan kepada orang tua atau wali apa
  • 29.
    24 yang harus dibantudan apa yang dokter gigi inginkan maupun yang tidak diinginkan dan apa yang dokter gigi ingin orang tua lakukan dan katakan (Gupta, 2014). 3.7 Klasifikasi Tingkat Kecemasan pada Anak Bucklew (1980) 1. Tingkat Psikologis Kecemasan yang berwujud sebagai gejala-gejala kejiwaan, seperti tegang, bingung, khawatir, sukar berkonsentrasi, perasaan tidak menentu, dsb. 2. Tingkat Fisiologis Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala- gejala fisik, terutama pada sistem fungsi saraf misalnya tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, gemetar, perut mual, dsb. Tingkat Kecemasan 1. Kecemasan Ringan Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Dapat memotivasi belajar dan hasilkan pertumbuhan serta kreativitas. 2. Kecemasan Sedang Memungkinkan individu untuk fokus pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Ansietas ini mempersempit lapang persepsi individu. Dengan demikian, individu mengalami perhatian yang tidak selektif namun dapat fokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya. 3. Kecemasan Berat Sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu cenderung fokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir tentang hal lainnya. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk fokus pada area lain.
  • 30.
    25 4. Tingkat Panikdari Kecemasan Berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan terror. Hal yang rinci terpecah dari proporsinya. Karena alami hilang kendali, individu yang alami panic tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang ,dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan kematian. Finn (2003) 1. Kecemasan Objektif Merupakan kecemasan yang dirasakan dengan adanya rangsangan fisik secara langsung. Mereka merespon rangsangan tersebut dengan merasakan, melihat, mendengar, membau atau merasakan sesuatu yang tidak disukai atau yang tidak diterima. Kecemasan objektif pada kedokteran gigi biasanya merupakan hasil dari buruknya penanganan gigi di masa lampau. Mereka takut pada jas putih dan bau dari beberapa obat dan bahan kimia di rumah sakit. Hal ini merupakan suatu tanggung jawab dokter gigi untuk merubah kecemasan tersebut dengan meningkatkan kepercayaan diri anak dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. 2. Kecemasan Subjektif Hal ini berdasarkan pada perasaan dan kebiasaan dimana anak-anak tersugesti oleh orang lain tentang kedokteran gigi tanpa mengerti bahwa anak tersebut memiliki pengalaman secara personal. Orangtua mungkin memberitahu kepada anak tentang rasa tidak nyaman atau rasa sakit yang didapatkan oleh situasi yang dialami oleh mereka, sehingga dapat menambah rasa takut pada pikiran anak.  Sugestif
  • 31.
    26 Didapatkan dari observasiatau meniru kecemasan yang kemudian anak akan mengembangkan rasa takut yang sama pada objek nyata. Kecemasan anak erat kaitannya dengan kecemasan orangtua. Anak sering meniru orangtuanya. Jika orangtuanya merasa sedih, anak akan merasa sedih dan jika orangtua menunjukkan rasa takut, maka anak akan merasa takut.  Imajinatif Seorang ibu yang takut untuk ke dokter gigi secara tidak langsung dapat mengirimkan rasa takut tersebut kepada anaknya, dimana saat itu sang anak juga melihat keadaan ibu. Jenis kecemasan ini mungkin dimunculkan oleh orangtua atau didapat pada saat kecil oleh anak tanpa disadari. Meremas tangan anak pada saat di klinik dokter gigi merupakan gestur yang secara tidak langsung akan menimbulkan kecemasan pada anak. Moree et al. 1. Tipe I Tipe ini merupakan ketakutan akibat rangsangan yang menyakitkan atau tidak menyenangkan seperti jarum, suara, dan bau. 2. Tipe II Tipe ini merupakan kecemasan tentang reaksi somatik selama pengobatan atau perawatan gigi (reaksi serangan panik). 3. Tipe III Pasien dengan kecemasan yang rumit atau multiphobia. 4. Tipe IV Tipe ini tergolong kepada ketidakpercayaan pasien terhadap dokter gigi. 3.8 Pengukuran Tingkat Kecemasan pada Anak Hamilton Anxiety Rating Scale (HAM-A)
  • 32.
    27 Merupakan salah satuskala penilaian pertama yang dikembangkan untuk mengukur tingkat keparahan gejala kecemasan, dan masih banyak digunakan saat ini baik pada pengukuran klinis maupun penelitian. State-Trait Anxiety Inventory (STAI) Tersusun berdasarkan skala Likert 4 poin dan terdiri dari 40 pertanyaan terhadap self-report sehari-hari. STAI mengukur dua jenis kecemasan yaitu kecemasan keadaan / kecemasan tentang suatu kejadian, dan kecemasan sifat / tingkat kecemasan sebagai karakteristik pribadi. Skor yang lebih tinggi berkorelasi positif dengan tingkat kecemasan yang lebih tinggi.Skala ini terdiri dari 14 item, masing-masing ditentukan oleh serangkaian gejala, dan pengukuran baik kecemasan psikis (mental agitasi dan tekanan psikologis) maupun kecemasan somatik (Keluhan fisik yang berhubungan dengan kecemasan).
  • 33.
    28 Beck Anxiety Inventory(BAI) Adalah ukuran untuk kecemasan secara singkat dengan fokus pada gejala- gejala somatik yang dikembangkan sebagai ukuran untuk membedakan antara kecemasan dan depresi. Modified faces version of modified child dental anxiety scale (MCDAS)
  • 34.
    29 3.9 Cara PenangananKecemasan pada Anak a) Tell-Show-Do b) Jeda Istirahat (Rest Breaks) c) Distraksi d) Desensitisasi e) Strategi Farmalogikal f) Signalling (komunikasi non verbal) g) Relaxation Breathing (Inhale, Exhale) h) Strategi Farmakologikal  Sedasi Inhalasi, kombinasi nitrogen oksida dengan oksigen  Sedasi Oral, dengan menggunakan benzodiazepines(Valium, Xanax) yang bertindak sebagai obat anti-anxiety  Sedasi Intravenous
  • 35.
    30 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dariobservasi terhadap pemeriksaan yang dilakukan di RSGMP Unimus dapat disimpulkan bahwa pasien anak atas nama Aqila Putri Aurelia dalam menjalani prosedur perawatannya berpotensi kooperatif dibuktikan dengan saat pertama kali dating sempat menolak untuk dilakukan perawatan. Namun, dengan dilakukannya pendekatan melalui metode Tell-Show-Do pasien anak tersebut mulai menerima dan mengikuti arahan yang diberikan. Pasien anak ini memiliki trauma pengalaman terhadap dokter karena riwayat penyakit yang diderita yaitu flek paru- paru yang mana perawatan pada penyakit tersebut selalu melakukan pengambilan darah sehingga anak menjadi trauma terhadap dokter. Selain melakukan metode Tell-Show-Do dilakukan juga metode Reinforcement Positive dimana setiap dilakukannya suatu arahan pasien diberikan pujian yang membangun dan dijanjikan akan diberikan hadiah setelah perawatan berakhir. Untuk hasil dari odontogram bahwa terdapat gigi permanen yang sudah erupsi yaitu gigi 46 dan 36 yang masih dalam keadaan baik sedangkan gigi permanen lainnya dinyatakan belum erupsi. Kemudian untuk gigi desidui yang masih dalam keadaan baik yaitu gigi 55, 53, 71,72, 73, 82, dan 83. Gigi yang mengalami karies yaitu gigi 63 : bagian mesial, 64 : bagian oklusal dan distal, 65 : bagian oklusal, 75 : bagian oklisal dan distal, 74 : bagian okusal dan distal, 84 : bagian mesial, oklusal, dan distal, 85 : bagian mesial, oklusal dan distal. Pada gigi pasien anak tersebut banyak mengalami karies yang parah sehingga diindikasikan dalam sisa akar yaitu gigi 54, 52, 51, 61, 62, dan 81. 4.2 Saran Kegiatan Field Lab yang dilaksanakan pada dasarnya bermanfaat bagi mahasiswa pendidikan dan mahasiswa profesi, namun masih terdapat kendala
  • 36.
    31 waktu dimana kamiharus menyesuaikan dengan dua pihak, yaitu pasien dan mahasiswa profesi. Ditambah lagi dengan jadwal kuliah yang padat dan tidak menentu, sehingga bisa dibilang kegiatan Field Lab kali ini kurang terorganisir. Selain itu dalam hal penyebaran informasi kegiatan Field Lab ini, banyak mahasiswa profesi yang masih belum paham mengenai apa saja yang akan dilaksanakan untuk kami memenuhi kegiatan Field Lab ini. Diharapkan kedepannya bisa lebih baik lagi, sehingga kegiatannya bisa berjalan dengan lancar tanpa membingungkan banyak pihak.
  • 37.
    32 DAFTAR PUSTAKA American Academyof Pediatric Dentistry. Proceedings of the consensus conference: Behavior management for the pediatric dental patient. American Academy of Pedi- atric Dentistry. Chicago, Ill; 1989 MC Donald, Dean, Avery. 2011. Dentistry for The Child and Adolescent. 9th ed. Missouri: Mosby-year book, Inc. Singh, H., Rehman, R., Kadtane, s., Dalai, D. R., Dev Jain, D. C 2014. Techniques for The Behaviors Management in Pediatric Dentistry, International Journal of Scientific Study. Wright, Gerald Z. dan Ari Kupietzky. 2014. Behavior Management in Dentistry for Children Second Edition. Oxford: Wiley Blackwell.
  • 38.
  • 39.
  • 40.
  • 41.
  • 42.