SUBJEK HUKUM DAN
PERTANGGUNGJAWABAN
KORPORASI
KOMPONEN
SUBJEK HUKUM
Konsepsi tentang subjek hukum ialah sebagai
pendukung hak dan kewajiban. (hukum harus
menentukan apa dan siapa yang dapat menjalankan
hak dan kewajiban tersebut).
Pendukung hak dan kewajiban, yaitu:
1. Manusia (natuurlijk persoon)
2. Badan hukum (rechts persoon)
Manusia (natuurlijk persoon)
Hukum mengakui bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang sama
selaku pendukung hak dan kewajiban.
Setiap manusia dipandang memiliki “kewenangan hukum” ~> sejak lahir
sampai meninggal.
Badan hukum (rechts persoon)
Untuk kepentingan hukum sesuatu yang bukan manusia dapat dikategorikan
sama dengan “orang” menurut hukum.
KOMPONEN SUBJEK HUKUM
Dalam KUHP subjek hukum pidana hanya terfokus pada
subjek hukum orang perseorangan, sedangkan dalam
hukum pidana khusus selain subjek hukum orang
perseorangan juga diakuinya subjek hukum korporasi.
Beberapa teori yang melandasi eksistensi badan hukum sebagai pendukung hak dan
kewajiban, antara lain sebagai berikut:
• Teori fictie (perumpamaan) ~> badan hukum dianggap/difiksikan sama
dengan manusia sehingga badan hukum dapat bertindak (melalui pengurus
dan anggotanya) untuk mempertahankan hak dan melaksanakan kewajiban
tertentu.
• Teori ambtelijk vermogen (harta kekayaan bertujuan) ~> badan hukum
memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan para
anggota. Harta tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu
tujuan badan hukum.
• Teori organ (alat) ~> badan hukum dipersamakan dengan manusia karena
memiliki organ (alat) yang fungsinya sama dengan organ tubuh manusia, yaitu
untuk melaksanakan hak dan kewajiban. Organ dalam badan hukum dapat
berupa struktur atau susunan pengurus.
• Teori pemilikan bersama ~> badan hukum merupakan kumpulan manusia
yang memiliki kepentingan-kepentingan bersama.
SUBJEK HUKUM KORPORASI
Beberapa pengertian korporasi adalah sebagai berikut:
• Korporasi  suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-
sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri.
• Korporasi  badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban
sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.
• Korporasi  suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti
manusia, yaitu sebagai pengemban atau pemilik hak dan kewajiban seperti memiliki hak
menggugat ataupun digugat di muka pengadilan.
Korporasi sebagai subjek hukum pada dasarnya menimbulkan
sikap setuju/pro dan sikap tidak setuju/kontra.
Berikut alasan dari sikap yang tidak setuju/kontra:
 Menyangkut masalah kejahatan kesengajaan dan kesalahan hanya terdapat pada
para persona alamiah.
 Perbuatan materiil sebagai syarat dalam beberapa delik hanya dapat dilaksanakan
oleh persona alamiah.
 Pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang tidak dapat
dikenakan terhadap korporasi.
 Tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi memungkinkan menimpa subjek
yang tidak bersalah.
 Tidak mudah menentukan norma-noram atas dasar apa yang dapat diputuskan,
apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau keduanya harus dituntut dan
dipidana.
Berikut alasan dari sikap yang setuju/pro:
 Dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan
represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan
suatu korporasi.
 Mengingat dalam kehidupan sosial dan ekonomi ternyata
korporasi semakin memainkan peran yang penting.
 Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat,
yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma
dan ketentuan yang ada dalam masyarakat secara efektif.
 Dipidananya korporasi dengan ancaman pidana adalah salah
satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap
para pegawai korporasi itu sendiri.
Corporate Crime (Kejahatan Korporasi)
Sally S. Simpson  kejahatan korporasi sebagai bagian dari white-collar crime
Kejahatan korporasi  pelanggaran terhadap undang-undang pidana oleh entitas korporasi
atau oleh eksekutif, karyawan, atau agennya yang bertindak atas nama dan untuk
kepentingan korporasi, kemitraan, atau bentuk entitas bisnis lainnya.
Jadi dikatakan sebagai kejahatan korporasi manakala perbuatan itu dilakukan oleh korporasi
yang dapat dikenakan sanksi oleh negara.
Karakteristik Kejahatan
Korporasi:
1. Organisatoris
2. Terkait dengan Bisnis (corak ekonomi)
3. Kurang Mendapat Perhatian
4. Kompleksitas
5. Penyebaran Tanggung Jawab (diffusion of responsibility)
6. Korban yang Meluas (diffusion of victimization)
7. Kesulitan Menentukan Pelaku
Kedudukan Korporasi Sebagai Subjek Hukum
 Sebagai pembuat tindak pidana
Pada perkembangannya, korporasi dianggap mampu melakukan suatu tindak pidana. Oleh karena
itu, korporasi juga dapat ditempatkan sebagai suatu pelaku tindak pidana. Sebagaimana menurut
pendapat Prof. Mardjono Reksodiputro bahwa suatu tindak pidana korporasi itu merupakan white-
collar crime.
 Sebagai alat melakukan tindak pidana
pada dasarnya korporasi sebagai suatu entitas juga dapat “dimanfaatkan” oleh orang-orang tertentu
untuk melakukan suatu tindak pidana.
 Sebagai objek tindak pidana
Korporasi juga bisa dijadikan suatu objek dari tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus
yang ada, dimana pada dasarnya korporasi justru menjadi pihak yang dirugikan dari adanya suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, pihak-pihak tersebut justru
mengambil keuntungan demi kepentingan mereka sendiri, dan korporasi justru menderita kerugian
akibat tindakan pihak-pihak tersebut. Tentu saja dalam hal ini, Korporasi tidak dapat dimintakan
pertanggung jawaban pidana karena korporasi itu sendiri justru menjadi pihak yang dirugikan
Bentuk Kejahatan Korporasi
1. Crime for Corporation
Merupakan kejahatan korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi itu sendiri bukan
untuk kepentingan individu atau pelaku. Ini dilakukan oleh organ korporasi (pengurus) semata-
mata hanya untuk keuntungan korporasi.
2. Crime againt Corporation
Kejahatan yang dilakukan untuk kepentingan individu yang sering dilakukan oleh pekerja korporasi
(employee crime) terhadap korporasi tersebut, misalnya penggelapan dana perusahaan oleh
pejabat atau karyawan dari korporasi itu sendiri.
3. Criminal Corporation
Korporasi yang sengaja dikendalikan untuk melakukan kejahatan, kedudukan korporasi disini
hanya sebagai sarana untuk melakukan kejahatan, korporasi hanya sebagai topeng dari tujuan
jahatnya
DOKTRIN DAPAT
DIHUKUMNYA KORPORASI
Beberapa doktrin dapat dihukumnya korporasi
adalah sebagai berikut:
• Doctrin of vicarious liability
• Doctrin of strict liability
• Doctrin of delegation
• Doctrin of identification
• Doctrin of aggregation
• Doctrin reactive corporate fault
DOKTRIN/TEORI DAPAT DIHUKUMNYA KORPORASI
A. Doktrin Vicarious Liability (Respondeat Superior)
Atasan harus bertangung jawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh bawahannya, meskipun
perbuatannya tersebut bukanlah suatu perbuatan yang telah diautorisasi atau diperintahkan oleh si pelaku
Berdasarkan terori ini, maka secara umum dapat dikatakan bahwa atasan harus bertanggungjawab atas
apa yang dilakukan oleh bawahannya.
Sebagaimana didefinisikan bahwa prinsip hukum “vicarious liability” adalah seseorang bertanggungjawab
untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, ketika keduanya termasuk dalam suatu bentuk kegiatan
gabungan atau kegiatan bersama
Suatu korporasi dapat dibebankan pertanggung jawaban korporasi jika:
a. Individual perorangan yang secara langsung memiliki hubungan dengan korporasi, seperti
direktur, petugas, dan karyawan.
b. Anak perusahaan (subsidiaries), atau
c. Kontraktor independent  pihak ketiga yang menjalankan kewajiban korporasi sesuai
dengan aturan hukum
Lanjutan…
B. Dokrin Strict Liability
Korporasi dianggap bertanggungjawab atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pemegang
saham, pengurus, agen, wakil atau pegawainya.
“strict liability” berarti niat jahat atau “mens rea” tidak harus dibuktikan dengan unsur sifat melawan
hukum atau “actus reus”, meskipun niat, kecerobohan atau pengetahuan mungkin disyaratkan dalam
kaitan dengan unsur-unsur tindak pidana yang lain.
Prof. Barda Nawawi: pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-undang atau “Strict
liability” adalah merupakan konsekuensi dari korporasi sebagai subjek hukum, yaitu dalam hal korporasi
melanggar atau tidak memenuhi kewajiban tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang, maka
subjek hukum buatan tersebut harus bertanggungjawab secara pidana.
 Pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada yang bersangkutan (korporasi) dengan
tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) ~> disebut juga
pertanggungjawaban mutlak.
 Menurut Sutan Remi Sjahdeini strict liability hanya diberlakukan terhadap tindak pidana
tertentu, seperti tindak pidana pelanggaran; mengakibatkan kerugian terhadap keuangan
atau perekonomian negara; menimbulkan gangguan ketertiban umum; menimbulkan
kematian masal; menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan; atau berkaitan
dengan kewajiban pembayaran pajak.
 Menurut Muladi perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi dilakukan
berdasarkan atas kepentingan masyarakat dan tidak atas dasar tingkat kesalahan
subjektif
Hal yang penting dari teori ini adalah subjek hukum harus bertanggungjawab terhadap
akibat yang timbul, tanpa harus dibuktikan adanya kesalahan atau kelalaiannya
Lanjutan…
Peter Gillies, beberapa pemikiran mengenai strict
liability sebagai berikut:
a. Suatu perusahaan (seperti halnya dengan manusia sebagai pelaku/pengusaha) dapat
bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan/agennya.
Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara
vicarious.
b. Dalam hubungannya dengan “employment principle”, delik-delik ini sebagian’ besar atau
seluruhnya merupakan “summary offences” yang berkaitan dengan peraturan perdagangan.
c. Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya, tidaklah relevan menurut
doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami tidak
telah mengarahkan atau memberi petunjuk/perintah ada karyawan untuk melakukan
pelanggaran terhadap hukum pidana
C. Teori Identification
Dalam pandangan Prof. Dr. Barda Nawawi, pengertian “pejabat
senior” korporasi dapat bermacam-macam. Meskipun pada
umumnya, pejabat senior adalah orang yang mengendalikan
perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama, yang biasa disebut
“para direktur dan manajer”.
• Doktrin ini mengajarkan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi harus mampu
diidentifikasi siapa yang melakukan tindak pidana tersebut.
• Identifikasi yang dimaksud ialah tindak pidana tersebut dilakukan oleh personal korporasi yang
memiliki kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari korporasi tersebut.
• Secara formal yuridis directing mind dari korporasi dapat diketahui dari anggaran dasar
korporasi tersebut.
Ada pendapat : perbuatan dan sikap batin dari
“Pejabat Senior” dipandang secara langsung
menyebabkan perbuatan-perbuatan tersebut, atau
merupakan sikap batin dari korporasi
D. Doctrine of Aggregation
Doktrin yang memperhatikan kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yaitu orang-orang
yang bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau orang-orang yang bertindak
untuk kepentingan korporasi yang bersangkutan
Menurut doktrin ini, apabila terdapat sekelompok orang yang melakukan suatu tindak
pidana namun orang-orang tersebut bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau
untuk kepentingan suatu korporasi, maka koporasi tersebut dapat dibebankan
pertanggungjawaban secara pidana
Untuk membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi disyaratkan atas
kombinasi kesalahan dan sejumlah orang baik itu merupakan karyawan biasa maupun
mereka yang bertindak sebagai pengurus korporasi
Doktrin aggregation untuk dapat mengatributkan kesalahan kepada korporasi harus dapat ditentukan terlebih
dahulu suatu kesalahan yang merupakan kombinasi dan kesalahan kesalahan beberapa orang
E. Doctrin reactive corporate fault
Doktrin ini mengajarkan bahwa korporasi yang menjadi terdakwa diberi
kesempatan oleh pengadilan untuk melakukan sendiri pemeriksaan ~>
siapa yang dianggap paling bersalah dan tindakan apa yang telah
diberikan kepada orang yang dianggap bersalah tersebut
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro secara garis besar tahapan perkembangan
korporasi sebagai subjek hukum dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu:
Tahap pertama: usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan
korporasi dibatasi pada perorangan.
Tahap kedua: dalam tahap ini korporasi dapat menjadi pembuat
delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para
anggota pengurus, asal saja dengan tegas dinyatakan demikian
dalam peraturan.
Tahap ketiga: tahap ini merupakan permulaan adanya tanggung
jawab yang langsung dari korporasi. Tahap ini memidana
korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat
korporasi.
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI
Kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi
berpengaruh kepada model pertanggungjawaban korporasi, sebagai berikut:
 Kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi
berpengaruh kepada model pertanggungjawaban korporasi, sebagai berikut:
-Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab.
-Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Berikut Beberapa bentuk penghaturan Pidana
Korporasi di Indonesia:
1. Pengaturan Penuntutan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Dalam Hukum
Positif
a. KUHP
Pada Buku 1 mengenai Ketentuan Umum, Pasal 59 mengatur mengenai: “dalam hal-hal
dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap penggurus, anggota-anggota
badan pengurus, atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus,
atau komisaris, yang tidak ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak
dipidana”
Ketentuan tersebut, oleh banyak sarjana hukum ditafsirkan sebagai salah satu
argumen yang mendasari bahwa KUHP tidak mengakui korporasi sebagai subjek
hukum pidana
apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus, maka pertanggungjawaban
pidananya tetap dibebankan kepada para pengurus tersebut, kecuali terhadap
pengurus yang tidak terlibat dalam tindak pidana tertsebut
b. Undang-Undang Nomor Drt No,7 Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan, Peradilan Tindak Pidana Ekonomi
Sebagai Undang-Undang yang dikenal luas pertama kali mengatur mengenai korporasi sebagai subjek
hukum pidana, Undang-Undang ini merupakan adopsi dari Wet op de Economische Delicten di Belanda
pada tahun 1950.
Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 15 Undang-
Undang Tindak Pidana Ekonomi, yakni: “(1) Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas
nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan,
maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap
badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah
melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau
kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.”
maka jelas bahwa korporasi sudah diakui sebagai subjek hukum pidana. Hal ini dikarenakan korporasi
dapat melakukan tindak pidana dan dapat bertanggungjawab sehingga terhadapnya dapat dijatuhkan
pidana
c.Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Kehutanan juga mengatur
mengenai korporasi sebagai subjek hukum. Meski demikian, pengaturannya berbeda dengan korporasi
sebagai subjek hukum pidana pada Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi. Hal ini dapat dilihat pada
ketentuan pidana Pasal 78 ayat (14) UndangUndang Kehutanan, yang mengatur:
“Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila
dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi
pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendirisendiri maupun bersama-sama,
dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3
(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan”
Jika melihat ketentuan tersebut, maka dapat diketahui bahwa meskipun korporasi dapat berperan
sebagai pembuat, akan tetapi pertanggungjawaban pidana dan pemidanaannya tetap dibebankan
kepada pengurus. Dalam hal ini tidak dijabarkan perbutan seperti apa yang dilakukan atas nama
korporasi, apabila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Tindak Pidana Ekonom
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Hal ini tertera pada Ketentuan Umum Pasal 1 angka 9 yang memperluas penafsiran “setiap orang”
adalah orang perseorangan atau korporasi. Secara lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 1 angka 10
Undang-Undang TPPU bahwa yang dimaksud korporasi adalah “kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Bahkan dalam
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang TPPU disebutkan bahwa: “Korporasi mencakup juga
kelompok yang terorganisasi yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang
eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak
pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial atau
non-finansial baik secara langsung maupun tidak langsung”. Dengan demikian pengertian korporasi
sebagai subjek hukum pidana tidak terbatas pada badan hukum saja, melainkan juga perkumpulan atau
perserikatan lainnya.
d. Undang-undang No 1 tahun 2023 (KUHP Baru)
Diatur dalam Pasal 46: “Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan Tindak Pidana yang
dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi
Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain
yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi,
dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama
Dengan demikian, tindak Pidana oleh Korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah,
pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi,
tetapi dapat mengendalikan Korporasi.
ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana dan tindakan bagi
Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 124, diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Materi 4 tindak pidana korporasi (1).pptx

  • 1.
  • 2.
    KOMPONEN SUBJEK HUKUM Konsepsi tentangsubjek hukum ialah sebagai pendukung hak dan kewajiban. (hukum harus menentukan apa dan siapa yang dapat menjalankan hak dan kewajiban tersebut). Pendukung hak dan kewajiban, yaitu: 1. Manusia (natuurlijk persoon) 2. Badan hukum (rechts persoon)
  • 3.
    Manusia (natuurlijk persoon) Hukummengakui bahwa setiap manusia memiliki kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Setiap manusia dipandang memiliki “kewenangan hukum” ~> sejak lahir sampai meninggal. Badan hukum (rechts persoon) Untuk kepentingan hukum sesuatu yang bukan manusia dapat dikategorikan sama dengan “orang” menurut hukum. KOMPONEN SUBJEK HUKUM
  • 4.
    Dalam KUHP subjekhukum pidana hanya terfokus pada subjek hukum orang perseorangan, sedangkan dalam hukum pidana khusus selain subjek hukum orang perseorangan juga diakuinya subjek hukum korporasi.
  • 5.
    Beberapa teori yangmelandasi eksistensi badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, antara lain sebagai berikut: • Teori fictie (perumpamaan) ~> badan hukum dianggap/difiksikan sama dengan manusia sehingga badan hukum dapat bertindak (melalui pengurus dan anggotanya) untuk mempertahankan hak dan melaksanakan kewajiban tertentu. • Teori ambtelijk vermogen (harta kekayaan bertujuan) ~> badan hukum memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan para anggota. Harta tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu tujuan badan hukum. • Teori organ (alat) ~> badan hukum dipersamakan dengan manusia karena memiliki organ (alat) yang fungsinya sama dengan organ tubuh manusia, yaitu untuk melaksanakan hak dan kewajiban. Organ dalam badan hukum dapat berupa struktur atau susunan pengurus. • Teori pemilikan bersama ~> badan hukum merupakan kumpulan manusia yang memiliki kepentingan-kepentingan bersama.
  • 6.
    SUBJEK HUKUM KORPORASI Beberapapengertian korporasi adalah sebagai berikut: • Korporasi  suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama- sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri. • Korporasi  badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing. • Korporasi  suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti manusia, yaitu sebagai pengemban atau pemilik hak dan kewajiban seperti memiliki hak menggugat ataupun digugat di muka pengadilan.
  • 7.
    Korporasi sebagai subjekhukum pada dasarnya menimbulkan sikap setuju/pro dan sikap tidak setuju/kontra. Berikut alasan dari sikap yang tidak setuju/kontra:  Menyangkut masalah kejahatan kesengajaan dan kesalahan hanya terdapat pada para persona alamiah.  Perbuatan materiil sebagai syarat dalam beberapa delik hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah.  Pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang tidak dapat dikenakan terhadap korporasi.  Tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi memungkinkan menimpa subjek yang tidak bersalah.  Tidak mudah menentukan norma-noram atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau keduanya harus dituntut dan dipidana.
  • 8.
    Berikut alasan darisikap yang setuju/pro:  Dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi.  Mengingat dalam kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi semakin memainkan peran yang penting.  Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat, yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat secara efektif.  Dipidananya korporasi dengan ancaman pidana adalah salah satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.
  • 9.
    Corporate Crime (KejahatanKorporasi) Sally S. Simpson  kejahatan korporasi sebagai bagian dari white-collar crime Kejahatan korporasi  pelanggaran terhadap undang-undang pidana oleh entitas korporasi atau oleh eksekutif, karyawan, atau agennya yang bertindak atas nama dan untuk kepentingan korporasi, kemitraan, atau bentuk entitas bisnis lainnya. Jadi dikatakan sebagai kejahatan korporasi manakala perbuatan itu dilakukan oleh korporasi yang dapat dikenakan sanksi oleh negara.
  • 10.
    Karakteristik Kejahatan Korporasi: 1. Organisatoris 2.Terkait dengan Bisnis (corak ekonomi) 3. Kurang Mendapat Perhatian 4. Kompleksitas 5. Penyebaran Tanggung Jawab (diffusion of responsibility) 6. Korban yang Meluas (diffusion of victimization) 7. Kesulitan Menentukan Pelaku
  • 11.
    Kedudukan Korporasi SebagaiSubjek Hukum  Sebagai pembuat tindak pidana Pada perkembangannya, korporasi dianggap mampu melakukan suatu tindak pidana. Oleh karena itu, korporasi juga dapat ditempatkan sebagai suatu pelaku tindak pidana. Sebagaimana menurut pendapat Prof. Mardjono Reksodiputro bahwa suatu tindak pidana korporasi itu merupakan white- collar crime.  Sebagai alat melakukan tindak pidana pada dasarnya korporasi sebagai suatu entitas juga dapat “dimanfaatkan” oleh orang-orang tertentu untuk melakukan suatu tindak pidana.  Sebagai objek tindak pidana Korporasi juga bisa dijadikan suatu objek dari tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang ada, dimana pada dasarnya korporasi justru menjadi pihak yang dirugikan dari adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, pihak-pihak tersebut justru mengambil keuntungan demi kepentingan mereka sendiri, dan korporasi justru menderita kerugian akibat tindakan pihak-pihak tersebut. Tentu saja dalam hal ini, Korporasi tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana karena korporasi itu sendiri justru menjadi pihak yang dirugikan
  • 12.
    Bentuk Kejahatan Korporasi 1.Crime for Corporation Merupakan kejahatan korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi itu sendiri bukan untuk kepentingan individu atau pelaku. Ini dilakukan oleh organ korporasi (pengurus) semata- mata hanya untuk keuntungan korporasi. 2. Crime againt Corporation Kejahatan yang dilakukan untuk kepentingan individu yang sering dilakukan oleh pekerja korporasi (employee crime) terhadap korporasi tersebut, misalnya penggelapan dana perusahaan oleh pejabat atau karyawan dari korporasi itu sendiri. 3. Criminal Corporation Korporasi yang sengaja dikendalikan untuk melakukan kejahatan, kedudukan korporasi disini hanya sebagai sarana untuk melakukan kejahatan, korporasi hanya sebagai topeng dari tujuan jahatnya
  • 13.
    DOKTRIN DAPAT DIHUKUMNYA KORPORASI Beberapadoktrin dapat dihukumnya korporasi adalah sebagai berikut: • Doctrin of vicarious liability • Doctrin of strict liability • Doctrin of delegation • Doctrin of identification • Doctrin of aggregation • Doctrin reactive corporate fault
  • 14.
    DOKTRIN/TEORI DAPAT DIHUKUMNYAKORPORASI A. Doktrin Vicarious Liability (Respondeat Superior) Atasan harus bertangung jawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh bawahannya, meskipun perbuatannya tersebut bukanlah suatu perbuatan yang telah diautorisasi atau diperintahkan oleh si pelaku Berdasarkan terori ini, maka secara umum dapat dikatakan bahwa atasan harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan oleh bawahannya. Sebagaimana didefinisikan bahwa prinsip hukum “vicarious liability” adalah seseorang bertanggungjawab untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, ketika keduanya termasuk dalam suatu bentuk kegiatan gabungan atau kegiatan bersama
  • 15.
    Suatu korporasi dapatdibebankan pertanggung jawaban korporasi jika: a. Individual perorangan yang secara langsung memiliki hubungan dengan korporasi, seperti direktur, petugas, dan karyawan. b. Anak perusahaan (subsidiaries), atau c. Kontraktor independent  pihak ketiga yang menjalankan kewajiban korporasi sesuai dengan aturan hukum Lanjutan…
  • 16.
    B. Dokrin StrictLiability Korporasi dianggap bertanggungjawab atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pemegang saham, pengurus, agen, wakil atau pegawainya. “strict liability” berarti niat jahat atau “mens rea” tidak harus dibuktikan dengan unsur sifat melawan hukum atau “actus reus”, meskipun niat, kecerobohan atau pengetahuan mungkin disyaratkan dalam kaitan dengan unsur-unsur tindak pidana yang lain. Prof. Barda Nawawi: pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-undang atau “Strict liability” adalah merupakan konsekuensi dari korporasi sebagai subjek hukum, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang, maka subjek hukum buatan tersebut harus bertanggungjawab secara pidana.
  • 17.
     Pertanggungjawaban pidanadibebankan kepada yang bersangkutan (korporasi) dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) ~> disebut juga pertanggungjawaban mutlak.  Menurut Sutan Remi Sjahdeini strict liability hanya diberlakukan terhadap tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana pelanggaran; mengakibatkan kerugian terhadap keuangan atau perekonomian negara; menimbulkan gangguan ketertiban umum; menimbulkan kematian masal; menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan; atau berkaitan dengan kewajiban pembayaran pajak.  Menurut Muladi perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi dilakukan berdasarkan atas kepentingan masyarakat dan tidak atas dasar tingkat kesalahan subjektif Hal yang penting dari teori ini adalah subjek hukum harus bertanggungjawab terhadap akibat yang timbul, tanpa harus dibuktikan adanya kesalahan atau kelalaiannya Lanjutan…
  • 18.
    Peter Gillies, beberapapemikiran mengenai strict liability sebagai berikut: a. Suatu perusahaan (seperti halnya dengan manusia sebagai pelaku/pengusaha) dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan/agennya. Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious. b. Dalam hubungannya dengan “employment principle”, delik-delik ini sebagian’ besar atau seluruhnya merupakan “summary offences” yang berkaitan dengan peraturan perdagangan. c. Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya, tidaklah relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami tidak telah mengarahkan atau memberi petunjuk/perintah ada karyawan untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana
  • 19.
    C. Teori Identification Dalampandangan Prof. Dr. Barda Nawawi, pengertian “pejabat senior” korporasi dapat bermacam-macam. Meskipun pada umumnya, pejabat senior adalah orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri maupun bersama-sama, yang biasa disebut “para direktur dan manajer”. • Doktrin ini mengajarkan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi harus mampu diidentifikasi siapa yang melakukan tindak pidana tersebut. • Identifikasi yang dimaksud ialah tindak pidana tersebut dilakukan oleh personal korporasi yang memiliki kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari korporasi tersebut. • Secara formal yuridis directing mind dari korporasi dapat diketahui dari anggaran dasar korporasi tersebut. Ada pendapat : perbuatan dan sikap batin dari “Pejabat Senior” dipandang secara langsung menyebabkan perbuatan-perbuatan tersebut, atau merupakan sikap batin dari korporasi
  • 20.
    D. Doctrine ofAggregation Doktrin yang memperhatikan kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yaitu orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau orang-orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi yang bersangkutan Menurut doktrin ini, apabila terdapat sekelompok orang yang melakukan suatu tindak pidana namun orang-orang tersebut bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau untuk kepentingan suatu korporasi, maka koporasi tersebut dapat dibebankan pertanggungjawaban secara pidana Untuk membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi disyaratkan atas kombinasi kesalahan dan sejumlah orang baik itu merupakan karyawan biasa maupun mereka yang bertindak sebagai pengurus korporasi Doktrin aggregation untuk dapat mengatributkan kesalahan kepada korporasi harus dapat ditentukan terlebih dahulu suatu kesalahan yang merupakan kombinasi dan kesalahan kesalahan beberapa orang
  • 21.
    E. Doctrin reactivecorporate fault Doktrin ini mengajarkan bahwa korporasi yang menjadi terdakwa diberi kesempatan oleh pengadilan untuk melakukan sendiri pemeriksaan ~> siapa yang dianggap paling bersalah dan tindakan apa yang telah diberikan kepada orang yang dianggap bersalah tersebut
  • 22.
    PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI Menurut Prof.Mardjono Reksodiputro secara garis besar tahapan perkembangan korporasi sebagai subjek hukum dapat dibagi dalam tiga tahap, yaitu: Tahap pertama: usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Tahap kedua: dalam tahap ini korporasi dapat menjadi pembuat delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggota pengurus, asal saja dengan tegas dinyatakan demikian dalam peraturan. Tahap ketiga: tahap ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung dari korporasi. Tahap ini memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi.
  • 23.
    PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI Kedudukan sebagaipembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi berpengaruh kepada model pertanggungjawaban korporasi, sebagai berikut:  Kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi berpengaruh kepada model pertanggungjawaban korporasi, sebagai berikut: -Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab. -Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
  • 24.
    Berikut Beberapa bentukpenghaturan Pidana Korporasi di Indonesia: 1. Pengaturan Penuntutan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Dalam Hukum Positif a. KUHP Pada Buku 1 mengenai Ketentuan Umum, Pasal 59 mengatur mengenai: “dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap penggurus, anggota-anggota badan pengurus, atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris, yang tidak ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana” Ketentuan tersebut, oleh banyak sarjana hukum ditafsirkan sebagai salah satu argumen yang mendasari bahwa KUHP tidak mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus, maka pertanggungjawaban pidananya tetap dibebankan kepada para pengurus tersebut, kecuali terhadap pengurus yang tidak terlibat dalam tindak pidana tertsebut
  • 25.
    b. Undang-Undang NomorDrt No,7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, Peradilan Tindak Pidana Ekonomi Sebagai Undang-Undang yang dikenal luas pertama kali mengatur mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana, Undang-Undang ini merupakan adopsi dari Wet op de Economische Delicten di Belanda pada tahun 1950. Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 15 Undang- Undang Tindak Pidana Ekonomi, yakni: “(1) Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.” maka jelas bahwa korporasi sudah diakui sebagai subjek hukum pidana. Hal ini dikarenakan korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat bertanggungjawab sehingga terhadapnya dapat dijatuhkan pidana
  • 26.
    c.Undang-Undang Nomor 41Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Kehutanan juga mengatur mengenai korporasi sebagai subjek hukum. Meski demikian, pengaturannya berbeda dengan korporasi sebagai subjek hukum pidana pada Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan pidana Pasal 78 ayat (14) UndangUndang Kehutanan, yang mengatur: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendirisendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan” Jika melihat ketentuan tersebut, maka dapat diketahui bahwa meskipun korporasi dapat berperan sebagai pembuat, akan tetapi pertanggungjawaban pidana dan pemidanaannya tetap dibebankan kepada pengurus. Dalam hal ini tidak dijabarkan perbutan seperti apa yang dilakukan atas nama korporasi, apabila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonom
  • 27.
    d. Undang-Undang Nomor8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Hal ini tertera pada Ketentuan Umum Pasal 1 angka 9 yang memperluas penafsiran “setiap orang” adalah orang perseorangan atau korporasi. Secara lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 1 angka 10 Undang-Undang TPPU bahwa yang dimaksud korporasi adalah “kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Bahkan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang TPPU disebutkan bahwa: “Korporasi mencakup juga kelompok yang terorganisasi yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu, dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan finansial atau non-finansial baik secara langsung maupun tidak langsung”. Dengan demikian pengertian korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak terbatas pada badan hukum saja, melainkan juga perkumpulan atau perserikatan lainnya.
  • 28.
    d. Undang-undang No1 tahun 2023 (KUHP Baru) Diatur dalam Pasal 46: “Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan Tindak Pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama Dengan demikian, tindak Pidana oleh Korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi. ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana dan tindakan bagi Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 124, diatur dengan Peraturan Pemerintah.