UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 12 TAHUN 2011 
TENTANG 
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara 
hukum, negara berkewajiban melaksanakan 
pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara 
terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem 
hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan 
kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 
Tahun 1945; 
b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas 
peraturan perundang-undangan yang baik, perlu 
dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan 
perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara 
dan metode yang pasti, baku, dan standar yang 
mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk 
peraturan perundang-undangan; 
c. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 
masih terdapat kekurangan dan belum dapat 
menampung perkembangan kebutuhan masyarakat 
mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan 
yang baik sehingga perlu diganti; 
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana 
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu 
membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan; 
Mengingat . . .
- 2 - 
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar 
- 2 - 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN 
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. 
BAB I 
KETENTUAN UMUM 
Pasal 1 
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 
1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah 
pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang 
mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, 
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan 
pengundangan. 
2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan 
tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat 
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh 
lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui 
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan 
Perundang-undangan. 
3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan 
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan 
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 
adalah Peraturan Perundang-undangan yang 
ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan 
yang memaksa. 
5. Peraturan . . .
- 3 - 
- 3 - 
5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan 
yang ditetapkan oleh Presiden untuk 
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 
6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan 
yang ditetapkan oleh Presiden untuk 
menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan 
yang lebih tinggi atau dalam 
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. 
7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan 
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan 
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan 
persetujuan bersama Gubernur. 
8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan 
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan 
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan 
persetujuan bersama Bupati/Walikota. 
9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut 
Prolegnas adalah instrumen perencanaan program 
pembentukan Undang-Undang yang disusun secara 
terencana, terpadu, dan sistematis. 
10. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut 
Prolegda adalah instrumen perencanaan program 
pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau 
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun 
secara terencana, terpadu, dan sistematis. 
11. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian 
atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya 
terhadap suatu masalah tertentu yang dapat 
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai 
pengaturan masalah tersebut dalam suatu 
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan 
Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah 
Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap 
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 
12. Pengundangan . . .
- 4 - 
- 4 - 
12. Pengundangan adalah penempatan Peraturan 
Perundang-undangan dalam Lembaran Negara 
Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara 
Republik Indonesia, Berita Negara Republik 
Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik 
Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran 
Daerah, atau Berita Daerah. 
13.Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan 
adalah materi yang dimuat dalam Peraturan 
Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, 
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. 
14. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat 
DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana 
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945 
15. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat 
DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana 
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945. 
16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya 
disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat 
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang- 
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 
1945. 
Pasal 2 
Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum 
negara. 
Pasal 3 
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 
Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam 
Peraturan Perundang-undangan. 
(2) Undang-Undang . . .
- 5 - 
- 5 - 
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 
Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara 
Republik Indonesia. 
(3) Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara 
Republik Indonesia tidak merupakan dasar 
pemberlakuannya. 
Pasal 4 
Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam 
Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan 
Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. 
BAB II 
ASAS PEMBENTUKAN 
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
Pasal 5 
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan 
harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang 
meliputi: 
a. kejelasan tujuan; 
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; 
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; 
d. dapat dilaksanakan; 
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; 
f. kejelasan rumusan; dan 
g. keterbukaan. 
Pasal 6 . . .
- 6 - 
- 6 - 
Pasal 6 
(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus 
mencerminkan asas: 
a. pengayoman; 
b. kemanusiaan; 
c. kebangsaan; 
d. kekeluargaan; 
e. kenusantaraan; 
f. bhinneka tunggal ika; 
g. keadilan; 
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan 
pemerintahan; 
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau 
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 
(2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu 
dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum 
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. 
BAB III 
JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN 
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
Pasal 7 
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan 
terdiri atas: 
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 
Tahun 1945; 
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 
c. Undang-Undang . . .
- 7 - 
- 7 - 
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti 
Undang-Undang; 
d. Peraturan Pemerintah; 
e. Peraturan Presiden; 
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan 
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan 
sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1). 
Pasal 8 
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) 
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis 
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, 
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, 
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, 
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, 
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk 
dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas 
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat 
Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat 
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala 
Desa atau yang setingkat. 
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan 
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang 
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan 
yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan 
kewenangan. 
Pasal 9 . . .
- 8 - 
- 8 - 
Pasal 9 
(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga 
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya 
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. 
(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di 
bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan 
Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh 
Mahkamah Agung. 
Pasal 10 
(1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- 
Undang berisi: 
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 
Tahun 1945; 
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur 
dengan Undang-Undang; 
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; 
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; 
dan/atau 
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam 
masyarakat. 
(2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d 
dilakukan oleh DPR atau Presiden. 
Pasal 11 
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 
Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. 
Pasal 12 . . .
- 9 - 
- 9 - 
Pasal 12 
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk 
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 
Pasal 13 
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang 
diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk 
melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk 
melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. 
Pasal 14 
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan 
Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam 
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas 
pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah 
dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan 
yang lebih tinggi. 
Pasal 15 
(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya 
dapat dimuat dalam: 
a. Undang-Undang; 
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau 
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana 
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana 
denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh 
juta rupiah). 
(3) Peraturan . . .
- 10 - 
- 10 - 
(3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah 
Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana 
kurungan atau pidana denda selain sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur 
dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya. 
BAB IV 
PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
Bagian Kesatu 
Perencanaan Undang-Undang 
Pasal 16 
Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan 
dalam Prolegnas. 
Pasal 17 
Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 
merupakan skala prioritas program pembentukan 
Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem 
hukum nasional. 
Pasal 18 
Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan Undang- 
Undang didasarkan atas: 
a. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945; 
b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 
c. perintah . . .
- 11 - 
- 11 - 
c. perintah Undang-Undang lainnya; 
d. sistem perencanaan pembangunan nasional; 
e. rencana pembangunan jangka panjang nasional; 
f. rencana pembangunan jangka menengah; 
g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; 
dan 
h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. 
Pasal 19 
(1) Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 
memuat program pembentukan Undang-Undang 
dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi 
yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan 
Perundang-undangan lainnya. 
(2) Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan 
Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan 
mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang 
meliputi: 
a. latar belakang dan tujuan penyusunan; 
b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan 
c. jangkauan dan arah pengaturan. 
(3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat 
(2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan 
dituangkan dalam Naskah Akademik. 
Pasal 20 
(1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan 
Pemerintah. 
(2) Prolegnas . . .
- 12 - 
- 12 - 
(2) Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan 
tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan 
Rancangan Undang-Undang. 
(3) Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka 
menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan 
DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) 
tahun. 
(4) Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap 
akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan 
penetapan Prolegnas prioritas tahunan. 
(5) Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas 
tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka 
menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan 
Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran 
Pendapatan dan Belanja Negara. 
Pasal 21 
(1) Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah 
dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan 
DPR yang khusus menangani bidang legislasi. 
(2) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR 
dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang 
khusus menangani bidang legislasi. 
(3) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan 
dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, 
komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. 
(4) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah 
dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan 
urusan pemerintahan di bidang hukum. 
(5) Ketentuan . . .
- 13 - 
- 13 - 
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara 
penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan 
DPR. 
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara 
penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah 
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan 
Peraturan Presiden. 
Pasal 22 
(1) Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan 
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 
ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan 
dalam Rapat Paripurna DPR. 
(2) Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
ditetapkan dengan Keputusan DPR. 
Pasal 23 
(1) Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka 
yang terdiri atas: 
a. pengesahan perjanjian internasional tertentu; 
b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi; 
c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 
d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan 
daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan 
e. penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang. 
(2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat 
mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar 
Prolegnas mencakup: 
a. untuk . . .
- 14 - 
- 14 - 
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan 
konflik, atau bencana alam; dan 
b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan 
adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan 
Undang-Undang yang dapat disetujui bersama 
oleh alat kelengkapan DPR yang khusus 
menangani bidang legislasi dan menteri yang 
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum. 
Bagian Kedua 
Perencanaan Peraturan Pemerintah 
Pasal 24 
Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah 
dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan 
Pemerintah. 
Pasal 25 
(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 memuat 
daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan 
Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang- 
Undang sebagaimana mestinya. 
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. 
Pasal 26 . . .
- 15 - 
- 15 - 
Pasal 26 
(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 
dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan 
urusan pemerintahan di bidang hukum. 
(2) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan 
dengan Keputusan Presiden. 
Pasal 27 
Rancangan Peraturan Pemerintah berasal dari 
kementerian dan/atau lembaga pemerintah 
nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya. 
Pasal 28 
(1) Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga 
pemerintah nonkementerian dapat mengajukan 
Rancangan Peraturan Pemerintah di luar perencanaan 
penyusunan Peraturan Pemerintah. 
(2) Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan 
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat 
berdasarkan kebutuhan Undang-Undang atau 
putusan Mahkamah Agung. 
Pasal 29 
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan 
penyusunan Peraturan Pemerintah diatur dengan 
Peraturan Presiden. 
Bagian . . .
- 16 - 
- 16 - 
Bagian Ketiga 
Perencanaan Peraturan Presiden 
Pasal 30 
Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan 
dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden. 
Pasal 31 
Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan 
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 
sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis 
mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan 
Presiden. 
Bagian Keempat 
Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi 
Pasal 32 
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi 
dilakukan dalam Prolegda Provinsi. 
Pasal 33 
(1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 
memuat program pembentukan Peraturan Daerah 
Provinsi dengan judul Rancangan Peraturan Daerah 
Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya 
dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 
(2) Materi . . .
- 17 - 
- 17 - 
(2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan 
Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan 
mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah 
Provinsi yang meliputi: 
a. latar belakang dan tujuan penyusunan; 
b. sasaran yang ingin diwujudkan; 
c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan 
diatur; dan 
d. jangkauan dan arah pengaturan. 
(3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat 
(2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan 
dituangkan dalam Naskah Akademik. 
Pasal 34 
(1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh 
DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi. 
(2) Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1 
(satu) tahun berdasarkan skala prioritas 
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. 
(3) Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi 
dilakukan setiap tahun sebelum penetapan 
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang 
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. 
Pasal 35 
Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), penyusunan daftar 
rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas: 
a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; 
b. rencana . . .
- 18 - 
- 18 - 
b. rencana pembangunan daerah; 
c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas 
pembantuan; dan 
d. aspirasi masyarakat daerah. 
Pasal 36 
(1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi 
dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh 
DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD 
Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. 
(2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD 
Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD 
Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. 
(3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan 
Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro 
hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal 
terkait. 
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara 
penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD 
Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur 
dengan Peraturan DPRD Provinsi. 
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara 
penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan 
Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur. 
Pasal 37 
(1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD 
Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) 
disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan 
dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi. 
(2) Prolegda . . .
- 19 - 
- 19 - 
(2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi. 
Pasal 38 
(1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar 
kumulatif terbuka yang terdiri atas: 
a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan 
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 
Provinsi. 
(2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau 
Gubernur dapat mengajukan Rancangan Peraturan 
Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi: 
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan 
konflik, atau bencana alam; 
b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan 
c. keadaan tertentu lainnya yang memastikan 
adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan 
Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama 
oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus 
menangani bidang legislasi dan biro hukum. 
Bagian Kelima 
Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 
Pasal 39 
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah 
Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda 
Kabupaten/Kota. 
Pasal 40 . . .
- 20 - 
- 20 - 
Pasal 40 
Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan 
Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 
sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis 
mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan 
Daerah Kabupaten/Kota. 
Pasal 41 
Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar 
kumulatif terbuka mengenai pembentukan, pemekaran, 
dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya 
dan/atau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan 
Desa atau nama lainnya. 
Bagian Keenam 
Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Lainnya 
Pasal 42 
(1) Perencanaan penyusunan Peraturan Perundang-undangan 
lainnya sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 8 ayat (1) merupakan kewenangan dan 
disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau 
instansi masing-masing. 
(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
ditetapkan oleh lembaga, komisi, atau instansi 
masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. 
BAB V . . .
- 21 - 
- 21 - 
BAB V 
PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
Bagian Kesatu 
Penyusunan Undang-Undang 
Pasal 43 
(1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR 
atau Presiden. 
(2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal 
dari DPD. 
(3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, 
Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. 
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak 
berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai: 
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 
b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti 
Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau 
c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. 
(5) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud 
pada ayat (4) disertai dengan keterangan yang 
memuat pokok pikiran dan materi muatan yang 
diatur. 
Pasal 44 
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- 
Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan 
Naskah Akademik. 
(2) Ketentuan . . .
- 22 - 
- 22 - 
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah 
Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian 
tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 
Pasal 45 
(1) Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari 
DPR maupun Presiden serta Rancangan Undang- 
Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun 
berdasarkan Prolegnas. 
(2) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 
Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: 
a. otonomi daerah; 
b. hubungan pusat dan daerah; 
c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan 
daerah; 
d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya 
ekonomi lainnya; dan 
e. perimbangan keuangan pusat dan daerah. 
Pasal 46 
(1) Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh 
anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat 
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang 
legislasi atau DPD. 
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan 
konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal 
dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR 
yang khusus menangani bidang legislasi. 
(3) Ketentuan . . .
- 23 - 
- 23 - 
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara 
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan 
Peraturan DPR. 
Pasal 47 
(1) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh 
Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan 
lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan 
lingkup tugas dan tanggung jawabnya. 
(2) Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, 
menteri atau pimpinan lembaga pemerintah 
nonkementerian terkait membentuk panitia 
antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. 
(3) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan 
konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal 
dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang 
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum. 
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara 
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan 
Peraturan Presiden. 
Pasal 48 
(1) Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan 
secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan 
DPR dan harus disertai Naskah Akademik. 
(2) Usul . . .
- 24 - 
- 24 - 
(2) Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan 
DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus 
menangani bidang legislasi untuk dilakukan 
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan 
konsepsi Rancangan Undang-Undang. 
(3) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, 
dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang 
dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD 
yang mempunyai tugas di bidang perancangan 
Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan 
Undang-Undang. 
(4) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
menyampaikan laporan tertulis mengenai hasil 
pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat 
(3) kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya 
diumumkan dalam rapat paripurna. 
Pasal 49 
(1) Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan 
dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. 
(2) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk 
membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR 
dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari 
terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. 
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan 
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan 
di bidang hukum. 
Pasal 50 . . .
- 25 - 
- 25 - 
Pasal 50 
(1) Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan 
dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. 
(2) Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili 
Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan 
Undang-Undang bersama DPR. 
(3) DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka 
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung 
sejak surat Presiden diterima. 
(4) Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang- 
Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga 
pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan 
Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang 
diperlukan. 
Pasal 51 
Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden 
menyampaikan Rancangan Undang-Undang mengenai 
materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan 
Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan 
Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden 
digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. 
Bagian . . .
- 26 - 
- 26 - 
Bagian Kedua 
Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti 
Undang-Undang 
Pasal 52 
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 
harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang 
berikut. 
(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 
Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan 
Undang-Undang tentang penetapan Peraturan 
Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi 
Undang-Undang. 
(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak 
memberikan persetujuan terhadap Peraturan 
Pemerintah Pengganti Undang-Undang. 
(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 
Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat 
paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 
Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. 
(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 
Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam 
rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti 
Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus 
dinyatakan tidak berlaku. 
(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 
Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak 
berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR 
atau Presiden mengajukan Rancangan Undang- 
Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang. 
(7) Rancangan . . .
- 27 - 
- 27 - 
(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala 
akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang. 
(8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan 
menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 
dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana 
dimaksud pada ayat (5). 
Pasal 53 
Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur 
dengan Peraturan Presiden. 
Bagian Ketiga 
Penyusunan Peraturan Pemerintah 
Pasal 54 
(1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan 
Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia 
antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah 
nonkementerian. 
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan 
konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah 
dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan 
urusan pemerintahan di bidang hukum. 
(3) Ketentuan . . .
- 28 - 
- 28 - 
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara 
pembentukan panitia antarkementerian dan/atau 
antarnonkementerian, pengharmonisasian, 
penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan 
Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden. 
Bagian Keempat 
Penyusunan Peraturan Presiden 
Pasal 55 
(1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, 
pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian 
dan/atau antarnonkementerian. 
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan 
konsepsi Rancangan Peraturan Presiden 
dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan 
urusan pemerintahan di bidang hukum. 
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara 
pembentukan panitia antarkementerian dan/atau 
antarnonkementerian, pengharmonisasian, 
penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan 
Presiden diatur dalam Peraturan Presiden. 
Bagian Kelima 
Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi 
Pasal 56 
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal 
dari DPRD Provinsi atau Gubernur. 
(2) Rancangan . . .
- 29 - 
- 29 - 
(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan 
atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. 
(3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi 
mengenai: 
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 
Provinsi; 
b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau 
c. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya 
terbatas mengubah beberapa materi, 
disertai dengan keterangan yang memuat pokok 
pikiran dan materi muatan yang diatur. 
Pasal 57 
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan 
Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik 
penyusunan Naskah Akademik. 
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah 
Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian 
tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 
Pasal 58 
(1) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan 
konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang 
berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat 
kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani 
bidang legislasi. 
(2) Pengharmonisasian . . .
- 30 - 
- 30 - 
(2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan 
konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang 
berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro 
hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal 
dari kementerian yang menyelenggarakan urusan 
pemerintahan di bidang hukum. 
Pasal 59 
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan 
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari 
Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden. 
Pasal 60 
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan 
oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat 
kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani 
bidang legislasi. 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara 
mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam 
Peraturan DPRD Provinsi. 
Pasal 61 
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah 
disiapkan oleh DPRD Provinsi disampaikan dengan 
surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur. 
(2) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan 
oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar 
Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi. 
Pasal 62 . . .
- 31 - 
- 31 - 
Pasal 62 
Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan 
Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah 
Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah 
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan 
oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah 
Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan 
sebagai bahan untuk dipersandingkan. 
Bagian Keenam 
Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 
Pasal 63 
Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah 
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai 
dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis 
terhadap penyusunan Peraturan Daerah 
Kabupaten/Kota. 
BAB VI 
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
Pasal 64 
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan 
dilakukan sesuai dengan teknik 
penyusunan Peraturan Perundang-undangan. 
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan 
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan 
bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 
(3) Ketentuan . . .
- 32 - 
- 32 - 
(3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik 
penyusunan Peraturan Perundang-undangan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan 
Peraturan Presiden. 
BAB VII 
PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN 
RANCANGAN UNDANG-UNDANG 
Bagian Kesatu 
Pembahasan Rancangan Undang-Undang 
Pasal 65 
(1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan 
oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang 
ditugasi. 
(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan 
dengan: 
a. otonomi daerah; 
b. hubungan pusat dan daerah; 
c. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan 
daerah; 
d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya 
ekonomi lainnya; dan 
e. perimbangan keuangan pusat dan daerah, 
dilakukan dengan mengikutsertakan DPD. 
(3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan 
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I. 
(4) Keikutsertaan . . 
.
- 33 - 
- 33 - 
(4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan 
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
dan ayat (3) diwakili oleh alat kelengkapan yang 
membidangi materi muatan Rancangan Undang- 
Undang yang dibahas. 
(5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas 
Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran 
Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan 
Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, 
pendidikan, dan agama. 
Pasal 66 
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan 
melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan. 
Pasal 67 
Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 66 terdiri atas: 
a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat 
gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan 
Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan 
b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna. 
Pasal 68 
(1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan 
sebagai berikut: 
a. pengantar musyawarah; 
b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan 
c. penyampaian pendapat mini. 
(2) Dalam . . .
- 34 - 
- 34 - 
(2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) huruf a: 
a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden 
menyampaikan pandangan jika Rancangan 
Undang-Undang berasal dari DPR; 
b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan 
DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan 
Undang-Undang yang berkaitan dengan 
kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR; 
c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi 
memberikan pandangan jika Rancangan Undang- 
Undang berasal dari Presiden; atau 
d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan 
DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan 
Undang-Undang yang berkaitan dengan 
kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden. 
(3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: 
a. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal 
dari DPR; atau 
b. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari 
Presiden dengan mempertimbangkan usul dari 
DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2). 
(4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir 
pembicaraan tingkat I oleh: 
a. fraksi; 
b. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan 
dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 65 ayat (2); dan 
c. Presiden. 
(5) Dalam . . .
- 35 - 
- 35 - 
(5) Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan 
huruf d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini 
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, 
pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan. 
(6) Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang 
pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika 
materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan 
lembaga negara atau lembaga lain. 
Pasal 69 
(1) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan 
keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: 
a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat 
mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil 
pembicaraan tingkat I; 
b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap 
fraksi dan anggota secara lisan yang diminta 
oleh pimpinan rapat paripurna; dan 
c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang 
dilakukan oleh menteri yang ditugasi. 
(2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara 
musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan 
dilakukan berdasarkan suara terbanyak. 
(3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak 
mendapat persetujuan bersama antara DPR dan 
Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak 
boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. 
Pasal 70 . . .
- 36 - 
- 36 - 
Pasal 70 
(1) Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali 
sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. 
(2) Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas 
hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan 
bersama DPR dan Presiden. 
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan 
kembali Rancangan Undang-Undang sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPR. 
Pasal 71 
(1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang 
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 
Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama 
dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. 
(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang 
Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 
Undang dilaksanakan melalui mekanisme khusus 
yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan 
Rancangan Undang-Undang. 
(3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara 
sebagai berikut: 
a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 
diajukan oleh DPR atau Presiden; 
b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan 
sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan 
pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan 
persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti 
Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan 
c. Pengambilan . . .
- 37 - 
- 37 - 
c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap 
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan 
sebagaimana dimaksud dalam huruf b 
dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang 
sama dengan rapat paripurna penetapan tidak 
memberikan persetujuan atas Peraturan 
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. 
Bagian Kedua 
Pengesahan Rancangan Undang-Undang 
Pasal 72 
(1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui 
bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh 
Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan 
menjadi Undang-Undang. 
(2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung 
sejak tanggal persetujuan bersama. 
Pasal 73 
(1) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan 
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu 
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak 
Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui 
bersama oleh DPR dan Presiden. 
(2) Dalam . . .
- 38 - 
- 38 - 
(2) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh 
Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari 
terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut 
disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang 
tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib 
diundangkan. 
(3) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat 
pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini 
dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat 
(5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 
Tahun 1945. 
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana 
dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada 
halaman terakhir Undang-Undang sebelum 
pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam 
Lembaran Negara Republik Indonesia. 
Pasal 74 
(1) Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan 
batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan 
peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang- 
Undang tersebut. 
(2) Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan 
lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan 
pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang- 
Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1). 
BAB VIII . . .
- 39 - 
- 39 - 
BAB VIII 
PEMBAHASAN DAN PENETAPAN 
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAN PERATURAN DAERAH 
KABUPATEN/KOTA 
Bagian Kesatu 
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi 
Pasal 75 
(1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi 
dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur. 
(2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat 
pembicaraan. 
(3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud 
pada ayat (2) dilakukan dalam rapat 
komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD 
Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan 
rapat paripurna. 
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara 
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi 
diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. 
Pasal 76 
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik 
kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi 
dan Gubernur. 
(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang 
dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan 
persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur. 
(3) Ketentuan . . .
- 40 - 
- 40 - 
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan 
kembali Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur 
dengan Peraturan DPRD Provinsi. 
Bagian Kedua 
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 
Pasal 77 
Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan 
Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 
dan Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap 
pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 
Bagian Ketiga 
Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi 
Pasal 78 
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah 
disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur 
disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada 
Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah 
Provinsi. 
(2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 
jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung 
sejak tanggal persetujuan bersama. 
Pasal 79 . . .
- 41 - 
- 41 - 
Pasal 79 
(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur 
dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka 
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak 
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut 
disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. 
(2) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak 
ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling 
lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan 
Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, 
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah 
menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib 
diundangkan. 
(3) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah 
Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat 
pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini 
dinyatakan sah. 
(4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana 
dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada 
halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum 
pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi 
dalam Lembaran Daerah. 
Bagian Keempat 
Penetapan Rancangan Peraturan Daerah 
Kabupaten/Kota 
Pasal 80 
Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan 
Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 
dan Pasal 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap 
penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 
BAB IX . . .
- 42 - 
- 42 - 
BAB IX 
PENGUNDANGAN 
Pasal 81 
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan 
harus diundangkan dengan menempatkannya 
dalam: 
a. Lembaran Negara Republik Indonesia; 
b. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia; 
c. Berita Negara Republik Indonesia; 
d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; 
e. Lembaran Daerah; 
f. Tambahan Lembaran Daerah; atau 
g. Berita Daerah. 
Pasal 82 
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam 
Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi: 
a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti 
Undang-Undang; 
b. Peraturan Pemerintah; 
c. Peraturan Presiden; dan 
d. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut 
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus 
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik 
Indonesia. 
Pasal 83 
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam 
Berita Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan 
Perundang-undangan yang menurut Peraturan 
Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan 
dalam Berita Negara Republik Indonesia. 
Pasal 84 . . .
- 43 - 
- 43 - 
Pasal 84 
(1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 
memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan 
yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik 
Indonesia. 
(2) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat 
penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang 
dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. 
Pasal 85 
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam 
Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara 
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
82 dan Pasal 83 dilaksanakan oleh menteri yang 
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum. 
Pasal 86 
(1) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan 
dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah 
Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 
(2) Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota 
diundangkan dalam Berita Daerah. 
(3) Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam 
Lembaran Daerah dan Berita Daerah sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh 
Sekretaris Daerah. 
Pasal 87 . . .
- 44 - 
- 44 - 
Pasal 87 
Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan 
mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal 
diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan 
Perundang-undangan yang bersangkutan. 
BAB X 
PENYEBARLUASAN 
Bagian Kesatu 
Penyebarluasan Prolegnas, Rancangan Undang-Undang, 
dan Undang-Undang 
Pasal 88 
(1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah 
sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan 
Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang- 
Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang. 
(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau 
memperoleh masukan masyarakat serta para 
pemangku kepentingan. 
Pasal 89 
(1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh 
DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat 
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang 
legislasi. 
(2) Penyebarluasan . . .
- 45 - 
- 45 - 
(2) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang 
berasal dari DPR dilaksanakan oleh 
komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang 
khusus menangani bidang legislasi. 
(3) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang 
berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi 
pemrakarsa. 
Pasal 90 
(1) Penyebarluasan Undang-Undang yang telah 
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik 
Indonesia dilakukan secara bersama-sama oleh DPR 
dan Pemerintah. 
(2) Penyebarluasan Undang-Undang sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh DPD 
sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, 
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan 
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan 
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, 
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan 
pusat dan daerah. 
Pasal 91 
(1) Dalam hal Peraturan Perundang-undangan perlu 
diterjemahkan ke dalam bahasa asing, 
penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yang 
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum. 
(2) Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
merupakan terjemahan resmi. 
Bagian . . .
- 46 - 
- 46 - 
Bagian Kedua 
Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau 
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi atau 
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 
Pasal 92 
(1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan 
Pemerintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, 
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, 
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, hingga 
Pengundangan Peraturan Daerah. 
(2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
dilakukan untuk dapat memberikan informasi 
dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para 
pemangku kepentingan. 
Pasal 93 
(1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh 
DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau 
Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh alat 
kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang 
legislasi. 
(2) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang 
berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan 
DPRD. 
(3) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang 
berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota 
dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. 
Pasal 94 . . .
- 47 - 
- 47 - 
Pasal 94 
Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau 
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah 
diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama 
oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau 
Kabupaten/Kota. 
Bagian Ketiga 
Naskah yang Disebarluaskan 
Pasal 95 
Naskah Peraturan Perundang-undangan yang 
disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang 
telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik 
Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik 
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan 
Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, 
Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah. 
BAB XI 
PARTISIPASI MASYARAKAT 
Pasal 96 
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara 
lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan. 
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: 
a. rapat dengar pendapat umum; 
b. kunjungan kerja; 
c. sosialisasi; dan/atau 
d. seminar . . .
- 48 - 
- 48 - 
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. 
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang 
mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan 
Peraturan Perundang-undangan. 
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan 
masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan 
Perundang-undangan harus dapat diakses dengan 
mudah oleh masyarakat. 
BAB XII 
KETENTUAN LAIN-LAIN 
Pasal 97 
Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam 
Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi 
teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, 
Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, 
Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, 
Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua 
Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, 
Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, 
Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, 
Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, 
atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan 
Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, 
Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan 
Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang 
setingkat. 
Pasal 98 . . .
- 49 - 
- 49 - 
Pasal 98 
(1) Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 
mengikutsertakan Perancang Peraturan 
Perundang-undangan. 
(2) Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan 
Perancang Peraturan Perundang-undangan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan 
Peraturan Pemerintah. 
Pasal 99 
Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), tahapan 
pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah 
Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 
mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli. 
BAB XIII 
KETENTUAN PENUTUP 
Pasal 100 
Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, 
Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau 
keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum 
Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai 
peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- 
Undang ini. 
Pasal 101 . . .
- 50 - 
- 50 - 
Pasal 101 
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua 
Peraturan Perundang-undangan yang merupakan 
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 
2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 
4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak 
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang 
ini. 
Pasal 102 
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- 
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara 
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan 
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), 
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 
Pasal 103 
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus 
ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak 
Undang-Undang ini diundangkan. 
Pasal 104 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 
Agar . . .
- 51 - 
- 51 - 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Undang-Undang ini dengan 
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 
Indonesia. 
Disahkan di Jakarta 
pada tanggal 12 Agustus 2011 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
ttd. 
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal 12 Agustus 2011 
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA 
REPUBLIK INDONESIA, 
ttd. 
PATRIALIS AKBAR 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 82
PENJELASAN 
ATAS 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 12 TAHUN 2011 
TENTANG 
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
I. UMUM 
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 
merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A Undang- 
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan 
bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang 
diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Namun, ruang 
lingkup materi muatan Undang-Undang ini diperluas tidak saja Undang- 
Undang tetapi mencakup pula Peraturan Perundang-undangan lainnya, 
selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan 
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 
didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah 
negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam 
bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk 
pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem 
hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang 
berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang 
satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi 
permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, 
dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan terhadap 
kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, 
yaitu antara lain: 
a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang 
menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan 
suatu kepastian hukum; 
b. teknik . . .
- 2 - 
b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten; 
c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan 
- 2 - 
atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 
dan 
d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai 
dengan sistematika. 
Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, 
terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-Undang 
ini, yaitu antara lain: 
a. penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai 
salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya 
ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945; 
b. perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang 
tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga 
perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan 
Peraturan Perundang-undangan lainnya; 
c. pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang 
tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 
Undang; 
d. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam 
penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan 
Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; 
e. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, 
peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan; dan 
f. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I 
Undang-Undang ini. 
Secara umum Undang-Undang ini memuat materi-materi pokok 
yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan 
Peraturan Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundang-undangan; 
penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik 
penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan 
pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan 
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah 
Kabupaten . . .
- 3 - 
Kabupaten/Kota; pengundangan Peraturan Perundang-undangan; 
penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan 
Perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai 
pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah 
lainnya. 
- 3 - 
Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan 
dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang 
pada dasarnya harus ditempuh dalam Pembentukan Peraturan 
Perundang-undangan. Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan 
sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hierarki Peraturan 
Perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak diatur dengan 
Undang-Undang ini, seperti pembahasan Rancangan Peraturan 
Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan Rancangan 
Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 
ayat (1). 
Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik 
penyusunan Peraturan Perundang-undangan beserta contohnya yang 
ditempatkan dalam Lampiran II. Penyempurnaan terhadap teknik 
penyusunan Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk 
semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih jelas dan 
pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan Peraturan Perundang-undangan, 
termasuk Peraturan Perundang-undangan di daerah. 
II. PASAL DEMI PASAL 
Pasal 1 
Cukup jelas. 
Pasal 2 
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum 
negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu 
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, 
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat 
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan 
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 
Menempatkan . . .
- 4 - 
- 4 - 
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta 
sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan 
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan 
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. 
Pasal 3 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar 
bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang 
merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan 
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Pasal 4 
Cukup jelas. 
Pasal 5 
Huruf a 
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa 
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus 
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. 
Huruf b 
Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat 
pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan 
Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau 
pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang 
berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat 
dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh 
lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. 
Huruf c . . .
- 5 - 
- 5 - 
Huruf c 
Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, 
hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam 
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar 
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai 
dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. 
Huruf d 
Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah 
bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 
harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan 
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, 
sosiologis, maupun yuridis. 
Huruf e 
Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan 
kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan 
dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan 
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, 
berbangsa, dan bernegara. 
Huruf f 
Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah 
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus 
memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan 
Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, 
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti 
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi 
dalam pelaksanaannya. 
Huruf g 
Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa 
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai 
dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau 
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan 
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat 
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk 
memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan 
Perundang-undangan. 
Pasal 6 . . .
- 6 - 
Pasal 6 
- 6 - 
Ayat (1) 
Huruf a 
Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah 
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan 
harus berfungsi memberikan pelindungan 
untuk menciptakan ketentraman masyarakat. 
Huruf b 
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah 
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan 
harus mencerminkan pelindungan dan 
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan 
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia 
secara proporsional. 
Huruf c 
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa 
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan 
harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia 
yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara 
Kesatuan Republik Indonesia. 
Huruf d 
Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah 
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan 
harus mencerminkan musyawarah untuk 
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan 
keputusan. 
Huruf e 
Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah 
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan 
senantiasa memperhatikan kepentingan 
seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan 
Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan 
bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan 
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945. 
Huruf f . . .
- 7 - 
- 7 - 
Huruf f 
Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” 
adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan 
harus memperhatikan keragaman penduduk, 
agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta 
budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, 
dan bernegara. 
Huruf g 
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa 
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan 
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi 
setiap warga negara. 
Huruf h 
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan 
dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap 
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak 
boleh memuat hal yang bersifat membedakan 
berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, 
ras, golongan, gender, atau status sosial. 
Huruf i 
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian 
hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan 
Perundang-undangan harus dapat mewujudkan 
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian 
hukum. 
Huruf j 
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, 
dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan 
Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan 
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara 
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan 
bangsa dan negara. 
Ayat (2) . . .
- 8 - 
- 8 - 
Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang 
hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, 
antara lain: 
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada 
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, 
dan asas praduga tak bersalah; 
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, 
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan 
itikad baik. 
Pasal 7 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup jelas. 
Huruf b 
Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan 
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik 
Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan 
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan 
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai 
dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. 
Huruf c 
Cukup jelas. 
Huruf d 
Cukup jelas. 
Huruf e 
Cukup jelas. 
Huruf f . . .
- 9 - 
- 9 - 
Huruf f 
Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah 
Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan 
Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah 
Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan 
Provinsi Papua Barat. 
Huruf g 
Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota 
adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota di 
Provinsi Aceh. 
Ayat (2) 
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah 
penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang 
didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan 
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan 
Perundang-undangan yang lebih tinggi. 
Pasal 8 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan 
yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan 
dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam 
pemerintahan. 
Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah 
penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai 
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 
Pasal 9 
Cukup jelas. 
Pasal 10 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup jelas. 
Huruf b . . .
- 10 - 
- 10 - 
Huruf b 
Cukup jelas. 
Huruf c 
Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional 
tertentu” adalah perjanjian internasional yang 
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi 
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan 
negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan 
perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan 
persetujuan DPR. 
Huruf d 
Yang dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan 
Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan 
Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang- 
Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945. 
Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, 
dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas 
dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi 
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945. 
Huruf e 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi 
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan 
hukum. 
Pasal 11 
Cukup jelas. 
Pasal 12 . . .
- 11 - 
Pasal 12 
- 11 - 
Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana 
mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk 
melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan 
Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang 
dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan. 
Pasal 13 
Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan 
lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah 
secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya. 
Pasal 14 
Cukup jelas. 
Pasal 15 
Cukup jelas. 
Pasal 16 
Cukup jelas. 
Pasal 17 
Yang dimaksud dengan “sistem hukum nasional” adalah suatu 
sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya 
serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka 
mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam 
kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang 
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945. 
Pasal 18 
Huruf a 
Cukup jelas. 
Huruf b . . .
- 12 - 
- 12 - 
Huruf b 
Yang dimaksud dengan “Perintah Ketetapan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: 
I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status 
Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 
Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 
2003. 
Huruf c 
Cukup jelas. 
Huruf d 
Cukup jelas. 
Huruf e 
Cukup jelas. 
Huruf f 
Cukup jelas. 
Huruf g 
Cukup jelas. 
Huruf h 
Cukup jelas. 
Pasal 19 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) . . .
- 13 - 
- 13 - 
Ayat (3) 
Yang dimaksud dengan “pengkajian dan penyelarasan” adalah 
proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur 
dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang vertikal 
atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih 
pengaturan atau kewenangan. 
Pasal 20 
Cukup jelas. 
Pasal 21 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Yang dimaksud dengan “menteri yang menyelenggarakan 
urusan pemerintahan di bidang hukum” adalah Menteri 
Hukum dan Hak Asasi Manusia. 
Ayat (5) 
Cukup jelas. 
Ayat (6) 
Cukup jelas. 
Pasal 22 
Cukup jelas. 
Pasal 23 . . .
- 14 - 
Pasal 23 
- 14 - 
Ayat (1) 
Huruf a 
Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional 
tertentu” adalah perjanjian internasional yang 
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi 
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan 
negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan 
perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan 
persetujuan DPR. 
Huruf b 
Cukup jelas. 
Huruf c 
Cukup jelas. 
Huruf d 
Cukup jelas. 
Huruf e 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Pasal 24 
Cukup jelas. 
Pasal 25 
Cukup jelas. 
Pasal 26 
Cukup jelas. 
Pasal 27 
Cukup jelas. 
Pasal 28 . . .
- 15 - 
Pasal 28 
- 15 - 
Cukup jelas. 
Pasal 29 
Cukup jelas. 
Pasal 30 
Cukup jelas. 
Pasal 31 
Cukup jelas. 
Pasal 32 
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan 
Daerah Provinsi tetap berada dalam kesatuan sistem hukum 
nasional. 
Pasal 33 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Yang dimaksud dengan “pengkajian dan penyelarasan” adalah 
proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur 
dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang vertikal 
atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih 
pengaturan atau kewenangan. 
Pasal 34 
Cukup jelas. 
Pasal 35 . . .
- 16 - 
Pasal 35 
- 16 - 
Cukup jelas. 
Pasal 36 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Yang dimaksud dengan “instansi vertikal terkait” antara lain 
instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan 
urusan pemerintahan di bidang hukum. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Ayat (5) 
Cukup jelas. 
Pasal 37 
Cukup jelas. 
Pasal 38 
Cukup jelas. 
Pasal 39 
Cukup jelas. 
Pasal 40 
Cukup jelas. 
Pasal 41 
Cukup jelas. 
Pasal 42 . . .
- 17 - 
Pasal 42 
- 17 - 
Cukup jelas. 
Pasal 43 
Cukup jelas. 
Pasal 44 
Cukup jelas. 
Pasal 45 
Cukup jelas. 
Pasal 46 
Cukup jelas. 
Pasal 47 
Cukup jelas. 
Pasal 48 
Cukup jelas. 
Pasal 49 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Penugasan menteri disertai penyampaian Daftar Inventarisasi 
Masalah (DIM) yang telah disusun dalam jangka waktu 60 
(enam puluh) hari tersebut. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Pasal 50 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) . . .
- 18 - 
- 18 - 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut, DPR telah 
menyelesaikan penyusunan DIM. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Pasal 51 
Cukup jelas. 
Pasal 52 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah 
masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang ditetapkan. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Ayat (5) 
Cukup jelas. 
Ayat (6) 
Cukup jelas. 
Ayat (7) 
Cukup jelas. 
Ayat (8) 
Cukup jelas. 
Pasal 53 . . .
- 19 - 
Pasal 53 
- 19 - 
Cukup jelas. 
Pasal 54 
Cukup jelas. 
Pasal 55 
Cukup jelas. 
Pasal 56 
Cukup jelas. 
Pasal 57 
Cukup jelas. 
Pasal 58 
Cukup jelas. 
Pasal 59 
Cukup jelas. 
Pasal 60 
Cukup jelas. 
Pasal 61 
Cukup jelas. 
Pasal 62 
Cukup jelas. 
Pasal 63 
Cukup jelas. 
Pasal 64 . . .
- 20 - 
Pasal 64 
- 20 - 
Cukup jelas. 
Pasal 65 
Cukup jelas. 
Pasal 66 
Cukup jelas. 
Pasal 67 
Cukup jelas. 
Pasal 68 
Cukup jelas. 
Pasal 69 
Cukup jelas. 
Pasal 70 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan 
mekanisme penarikan kembali Rancangan Undang-Undang. 
Pasal 71 
Cukup jelas. 
Pasal 72 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) . . .
- 21 - 
- 21 - 
Ayat (2) 
Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk 
mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis 
penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran Resmi 
Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan 
Undang-Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus 
Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh 
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di 
bidang hukum. 
Pasal 73 
Cukup jelas. 
Pasal 74 
Cukup jelas. 
Pasal 75 
Ayat (1) 
Dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di 
DPRD Provinsi, Gubernur dapat diwakilkan, kecuali dalam 
pengajuan dan pengambilan keputusan. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Pasal 76 
Cukup jelas. 
Pasal 77 
Cukup jelas. 
Pasal 78 . . .
- 22 - 
Pasal 78 
- 22 - 
Cukup jelas. 
Pasal 79 
Cukup jelas. 
Pasal 80 
Cukup jelas. 
Pasal 81 
Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam 
lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap 
orang dianggap telah mengetahuinya. 
Pasal 82 
Cukup jelas. 
Pasal 83 
Cukup jelas. 
Pasal 84 
Cukup jelas. 
Pasal 85 
Cukup jelas. 
Pasal 86 
Cukup jelas. 
Pasal 87 . . .
- 23 - 
Pasal 87 
- 23 - 
Berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang tidak sama dengan 
tanggal Pengundangan dimungkinkan untuk persiapan sarana dan 
prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana Peraturan Perundang-undangan 
tersebut. 
Pasal 88 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” adalah kegiatan 
menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai 
Prolegnas, Rancangan Undang-Undang yang sedang disusun, 
dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat 
memberikan masukan atau tanggapan terhadap Undang- 
Undang tersebut atau memahami Undang-Undang yang telah 
diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan 
tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik 
dan/atau media cetak. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Pasal 89 
Cukup jelas. 
Pasal 90 
Cukup jelas. 
Pasal 91 
Cukup jelas. 
Pasal 92 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” adalah kegiatan 
menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai 
Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau 
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang sedang 
disusun . . .
- 24 - 
- 24 - 
disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar 
masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan 
terhadap Peraturan Daerah tersebut atau memahami 
Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah 
Kabupaten/Kota yang telah diundangkan. Penyebarluasan 
Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, 
melalui media elektronik dan/atau media cetak. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Pasal 93 
Cukup jelas. 
Pasal 94 
Cukup jelas. 
Pasal 95 
Cukup jelas. 
Pasal 96 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Termasuk dalam kelompok orang antara lain, 
kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga 
swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Pasal 97 
Cukup jelas. 
Pasal 98 . . .
- 25 - 
Pasal 98 
- 25 - 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan “Perancang Peraturan Perundang-undangan” 
adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, 
tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh 
pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan 
menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan 
dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan 
Peraturan Perundang-undangan. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Pasal 99 
Cukup jelas. 
Pasal 100 
Cukup jelas. 
Pasal 101 
Cukup jelas. 
Pasal 102 
Cukup jelas. 
Pasal 103 
Cukup jelas. 
Pasal 104 
Cukup jelas. 
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5234
LAMPIRAN I 
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 12 TAHUN 2011 
TENTANG 
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 
TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG, 
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN 
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 
1. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian 
hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu 
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan 
masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, 
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah 
Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan 
hukum masyarakat. 
2. Sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut: 
JUDUL 
KATA PENGANTAR 
DAFTAR ISI 
BAB I PENDAHULUAN 
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS 
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
TERKAIT 
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS 
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP 
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN 
DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH 
KABUPATEN/KOTA 
BAB VI PENUTUP 
DAFTAR . . .
- 2 - 
- 2 - 
DAFTAR PUSTAKA 
LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
Uraian singkat setiap bagian: 
1. BAB I PENDAHULUAN 
Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan 
diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta 
metode penelitian. 
A. Latar Belakang 
Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan 
perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan 
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan 
Peraturan Daerah tertentu. Latar belakang menjelaskan mengapa 
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan 
Peraturan Daerah suatu Peraturan Perundang-undangan 
memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif 
mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan 
materi muatan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan 
Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut 
mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis 
serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya 
penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan 
Peraturan Daerah. 
B. Identifikasi Masalah 
Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah 
apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah 
Akademik tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam 
suatu Naskah Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah, 
yaitu sebagai berikut: 
1) Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, 
bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan 
tersebut dapat diatasi. 
2) Mengapa . . .
- 3 - 
- 3 - 
2) Mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan 
Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, 
yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam 
penyelesaian masalah tersebut. 
3) Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, 
sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang 
atau Rancangan Peraturan Daerah. 
4) Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup 
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan. 
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik 
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang 
dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik 
dirumuskan sebagai berikut: 
1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan 
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara 
mengatasi permasalahan tersebut. 
2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai 
alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau 
Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum 
penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan 
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. 
3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, 
yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau 
Rancangan Peraturan Daerah. 
4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup 
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam 
Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan 
Daerah. 
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik 
adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan 
pembahasan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan 
Peraturan Daerah. 
D.Metode . . .
- 4 - 
- 4 - 
D. Metode 
Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan 
suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode 
penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode 
penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat 
dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis 
empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian 
sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi 
pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa 
Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, 
kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, 
hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif 
dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group 
discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris 
atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian 
normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan 
(normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang 
mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan 
data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh 
terhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti. 
2. BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS 
Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, 
asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, 
politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu 
Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah 
Kabupaten/Kota. 
Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut: 
A. Kajian teoretis. 
B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan 
norma. 
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan 
berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan 
Perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil 
penelitian. 
C. Kajian . . .
- 5 - 
- 5 - 
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta 
permasalahan yang dihadapi masyarakat. 
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan 
diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap 
aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek 
beban keuangan negara. 
3. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
TERKAIT 
Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan 
terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan 
Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan 
Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan 
horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang 
ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan 
dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang 
masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang- 
Undang atau Peraturan Daerah yang baru. 
Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini 
dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan 
perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau 
materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari 
Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat 
menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan 
Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan 
Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih 
pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi 
penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan 
Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah 
Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. 
4. BAB IV . . .
- 6 - 
4. BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS 
- 6 - 
A. Landasan Filosofis 
Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan 
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk 
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita 
hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa 
Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
B. Landasan Sosiologis 
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan 
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk 
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. 
Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris 
mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat 
dan negara. 
C. Landasan Yuridis 
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan 
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk 
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan 
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang 
akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian 
hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis 
menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi 
atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan 
Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, 
antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang 
tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih 
rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, 
peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau 
peraturannya memang sama sekali belum ada. 
5. BAB V . . .
- 7 - 
5. BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP 
- 7 - 
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH 
PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 
Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan 
ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang, 
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan 
Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, 
sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan 
sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. 
Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab 
sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada 
dasarnya mencakup: 
A. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai 
pengertian istilah, dan frasa; 
B. materi yang akan diatur; 
C. ketentuan sanksi; dan 
D. ketentuan peralihan. 
6. BAB VI PENUTUP 
Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran. 
A. Simpulan 
Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang 
berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, 
dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. 
B. Saran 
Saran memuat antara lain: 
1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu 
Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Perundang-undangan 
di bawahnya. 
2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan 
Undang-Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam 
Program Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah. 
3. Kegiatan . . .
- 8 - 
- 8 - 
3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung 
penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut. 
7. DAFTAR PUSTAKA 
Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang-undangan, 
dan jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan 
Naskah Akademik. 
8. LAMPIRAN 
RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
ttd. 
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
LAMPIRAN II 
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 12 TAHUN 2011 
TENTANG 
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
SISTEMATIKA 
BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 
A. JUDUL 
B. PEMBUKAAN 
1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan 
3. Konsiderans 
4. Dasar Hukum 
5. Diktum 
C. BATANG TUBUH 
1. Ketentuan Umum 
2. Materi Pokok yang Diatur 
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) 
5. Ketentuan Penutup 
D. PENUTUP 
E. PENJELASAN (jika diperlukan) 
F. LAMPIRAN (jika diperlukan) 
BAB II . . .
- 2 - 
BAB II HAL–HAL KHUSUS 
- 2 - 
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN 
B. PENYIDIKAN 
C. PENCABUTAN 
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 
E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI 
UNDANG–UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG 
F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL 
BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 
A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 
B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH 
C. TEKNIK PENGACUAN 
BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
A. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PADA UMUMNYA 
B. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENETAPAN 
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG 
MENJADI UNDANG–UNDANG 
C. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENGESAHAN 
PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN 
BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI 
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PERUBAHAN 
UNDANG–UNDANG 
E. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN 
UNDANG–UNDANG 
F. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN 
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG 
G. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH 
PENGGANTI UNDANG-UNDANG 
H. BENTUK . . .
- 3 - 
- 3 - 
H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH 
I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN 
J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI 
K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI 
L. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH 
KABUPATEN/KOTA 
BAB I . . .
- 4 - 
- 4 - 
BAB I 
KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
1. Kerangka Peraturan Perundang–undangan terdiri atas: 
A. Judul; 
B. Pembukaan; 
C. Batang Tubuh; 
D. Penutup; 
E. Penjelasan (jika diperlukan); 
F. Lampiran (jika diperlukan). 
A. JUDUL 
2. Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai 
jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama 
Peraturan Perundang–undangan. 
3. Nama Peraturan Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan 
hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial 
maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang– 
undangan. 
Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan 1 
(satu) kata: 
- Paten; 
- Yayasan; 
- Ketenagalistrikan. 
Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan 
frasa: 
- Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; 
- Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 
- Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. 
4. Judul . . .
- 5 - 
4. Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan 
- 5 - 
huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda 
baca. 
Contoh: 
a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 6 TAHUN 2011 
TENTANG 
KEIMIGRASIAN 
b. PERATURAN DAERAH PROVINSI 
DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA 
NOMOR 8 TAHUN 2007 
TENTANG 
KETERTIBAN UMUM 
c. QANUN KABUPATEN ACEH JAYA 
NOMOR 2 TAHUN 2010 
TENTANG 
PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN 
d. PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA 
NOMOR 5 TAHUN 2010 
TENTANG 
KEDUDUKAN PROTOKOLER PIMPINAN DAN ANGGOTA 
MAJELIS RAKYAT PAPUA 
e. PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA 
NOMOR 23 TAHUN 2008 
TENTANG 
HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK 
PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH 
5. Judul . . .
- 6 - 
5. Judul Peraturan Perundang-undangan tidak boleh ditambah dengan 
- 6 - 
singkatan atau akronim. 
Contoh yang tidak tepat dengan menambah singkatan: 
a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR ... TAHUN ... 
TENTANG 
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN) 
b. PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU 
NOMOR 9 TAHUN 2005 
TENTANG 
LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN (LPMK) 
Contoh yang tidak tepat dengan menggunakan akronim: 
PERATURAN DAERAH KABUPATEN ... 
NOMOR ... TAHUN ... 
TENTANG 
PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH (PROLEGDA) 
6. Pada nama Peraturan Perundang–undangan perubahan ditambahkan 
frasa perubahan atas di depan judul Peraturan Perundang-undangan 
yang diubah. 
Contoh: 
a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 2 TAHUN 2011 
TENTANG 
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 
2008 TENTANG PARTAI POLITIK 
b. PERATURAN . . .
- 7 - 
- 7 - 
b. PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA 
NOMOR 14 TAHUN 2009 
TENTANG 
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH 
NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK 
PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 
7. Jika Peraturan Perundang–undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) 
kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan 
yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, 
tanpa merinci perubahan sebelumnya. 
Contoh: 
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 21 TAHUN 2007 
TENTANG 
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 
24 TAHUN 2004 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN 
KEUANGAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH 
Contoh Peraturan Daerah: 
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA 
NOMOR 3 TAHUN 2011 
TENTANG 
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH 
NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA 
KERJA DINAS DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA 
8. Jika Peraturan Perundang–undangan yang diubah mempunyai nama 
singkat, Peraturan Perundang–undangan perubahan dapat 
menggunakan nama singkat Peraturan Perundang–undangan yang 
diubah. 
9. Pada . . .
- 8 - 
9. Pada nama Peraturan Perundang–undangan pencabutan 
- 8 - 
ditambahkan kata pencabutan di depan judul Peraturan Perundang– 
undangan yang dicabut. 
Contoh: 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 3 TAHUN 2010 
TENTANG 
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG 
NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS 
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI 
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI 
Contoh Peraturan Daerah: 
PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN 
NOMOR 4 TAHUN 2010 
TENTANG 
PENCABUTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN 
SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI IZIN 
TRAYEK DAN IZIN ANGKUTAN KHUSUS DI PERAIRAN 
DARATAN LINTAS KABUPATEN ATAU KOTA 
10. Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) 
yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata 
penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang 
ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang. 
Contoh: 
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 15 TAHUN 2003 
TENTANG 
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG– 
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN 
TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG–UNDANG 
11. Pada . . .
- 9 - 
11. Pada nama Peraturan Perundang–undangan pengesahan perjanjian 
- 9 - 
atau persetujuan internasional, ditambahkan kata pengesahan di 
depan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan 
disahkan. 
Contoh: 
UNDANG-UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007 
TENTANG 
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN 
AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN 
(AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND 
AUSTRALIA ON THE FRAMEWORK FOR SECURITY COOPERATION) 
12. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional bahasa 
Indonesia digunakan sebagai salah satu teks resmi, nama perjanjian 
atau persetujuan ditulis dalam bahasa Indonesia, yang diikuti oleh 
bahasa asing dari teks resmi yang ditulis dengan huruf cetak miring 
dan diletakkan di antara tanda baca kurung. 
Contoh: 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 4 TAHUN 2010 
TENTANG 
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN 
REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT 
WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA, 
2009 
(TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE 
REPUBLIC OF SINGAPORE RELATING DELIMITATION OF THE 
TERRITORIAL SEAS OF THE TWO COUNTRIES IN THE WESTERN PART 
OF THE STRAIT OF SINGAPORE, 2009) 
13. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional, bahasa 
Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau 
persetujuan ditulis dalam bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, 
dan diikuti oleh terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang 
diletakkan di antara tanda baca kurung. 
Contoh: . . .
- 10 - 
- 10 - 
Contoh: 
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 5 TAHUN 2009 
TENTANG 
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST 
TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME 
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA–BANGSA MENENTANG TINDAK 
PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI) 
B. PEMBUKAAN 
14. Pembukaan Peraturan Perundang–undangan terdiri atas: 
a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; 
b. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan; 
c. Konsiderans; 
d. Dasar Hukum; dan 
e. Diktum. 
B.1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 
15. Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang–undangan sebelum 
nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang–undangan 
dicantumkan Frasa Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa yang 
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah 
marjin. 
B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan 
16. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang–undangan ditulis 
seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin 
dan diakhiri dengan tanda baca koma. 
Contoh jabatan pembentuk Undang-Undang: 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Contoh . . .
- 11 - 
- 11 - 
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Provinsi: 
GUBERNUR JAWA BARAT, 
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kabupaten: 
BUPATI GUNUNG KIDUL, 
Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kota: 
WALIKOTA DUMAI, 
B.3. Konsiderans 
17. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. 
18. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang 
menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan 
Perundang–undangan. 
19. Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah 
Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur 
filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan 
alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara 
berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. 
- Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk 
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita 
hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa 
Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- 
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
- Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk 
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. 
- Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk 
untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan 
hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang 
akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian 
hukum dan rasa keadilan masyarakat. 
Contoh: . . .
- 12 - 
- 12 - 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 
Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang 
diselenggarakan berdasar atas demokrasi 
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi 
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan 
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga 
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi 
nasional, perlu didukung oleh kelembagaan 
perekonomian yang kokoh dalam rangka 
mewujudkan kesejahteraan masyarakat; 
b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan 
pembangunan perekonomian nasional dan 
sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi 
dunia usaha dalam menghadapi perkembangan 
perekonomian dunia dan kemajuan ilmu 
pengetahuan dan teknologi di era globalisasi 
pada masa mendatang, perlu didukung oleh 
suatu undang-undang yang mengatur tentang 
perseroan terbatas yang dapat menjamin 
terselenggaranya iklim dunia usaha yang 
kondusif; 
c. bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu 
pilar pembangunan perekonomian nasional perlu 
diberikan landasan hukum untuk lebih memacu 
pembangunan nasional yang disusun sebagai 
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; 
d. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 
tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah 
tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum 
dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu 
diganti dengan undang-undang yang baru; 
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana 
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan 
huruf d perlu membentuk Undang-Undang 
tentang Perseroan Terbatas; 
Contoh: . . .
- 13 - 
- 13 - 
Contoh: 
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4 
Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah 
Menimbang: a. bahwa derajat kesehatan masyarakat yang semakin 
tinggi merupakan investasi strategis pada sumber 
daya manusia supaya semakin produktif dari waktu 
ke waktu; 
b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan 
masyarakat perlu diselenggarakan pembangunan 
kesehatan dengan batas-batas peran, fungsi, 
tanggung jawab, dan kewenangan yang jelas, 
akuntabel, berkeadilan, merata, bermutu, berhasil 
guna dan berdaya guna; 
c. bahwa untuk memberikan arah, landasan dan 
kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat 
dalam pembangunan kesehatan, maka diperlukan 
pengaturan tentang tatanan penyelenggaraan 
pembangunan kesehatan; 
20. Pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan 
dianggap perlu untuk dibentuk adalah kurang tepat 
karena tidak mencerminkan pertimbangan dan alasan dibentuknya 
Peraturan Perundang–undangan tersebut. Lihat juga Nomor 24. 
21. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, setiap pokok 
pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan 
kesatuan pengertian. 
22. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan 
dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri 
dengan tanda baca titik koma. 
Contoh: . . .
- 14 - 
- 14 - 
Contoh: 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa ...; 
c. bahwa ...; 
d. bahwa …; 
23. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan 
butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut: 
Contoh 1: Konsiderans Undang-Undang 
Menimbang: a. bahwa…; 
b. bahwa ...; 
c. bahwa …; 
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana 
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu 
membentuk Undang-Undang tentang ...; 
Contoh 2: Konsiderans Peraturan Daerah Provinsi 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. bahwa ...; 
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana 
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu 
menetapkan Peraturan Daerah tentang ...; 
24. Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat satu 
pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya 
melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang- 
Undang yang memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah 
tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang– 
Undang yang memerintahkan pembentukannya. Lihat juga Nomor 
19. 
Contoh: . . .
- 15 - 
- 15 - 
Contoh: 
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen 
dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu 
Lintas. 
Menimbang: bahwa untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan 
jalan dan gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin 
keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran 
lalu lintas dan angkutan jalan, serta untuk 
melaksanakan ketentuan Pasal 93, Pasal 101, Pasal 102 
ayat (3), Pasal 133 ayat (5) dan Pasal 136 ayat (3) 
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu 
Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan 
Peraturan Pemerintah tentang Manajemen dan 
Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen 
Kebutuhan Lalu Lintas; 
25. Konsiderans Peraturan Presiden cukup memuat satu pertimbangan 
yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan 
ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau 
Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan 
Presiden tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari 
Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan 
pembentukannya. 
Contoh: 
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan 
Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah. 
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) 
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang 
Penggunaan Kawasan Hutan, perlu menetapkan 
Peraturan Presiden tentang Penggunaan Kawasan 
Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah; 
26. Konsiderans . . .
- 16 - 
26. Konsiderans Peraturan Presiden untuk menyelenggarakan kekuasaan 
- 16 - 
pemerintahan memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang 
menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Presiden. 
27. Konsiderans Peraturan Daerah cukup memuat satu pertimbangan 
yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan 
ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau 
Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan 
Daerah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari 
Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan 
pembentukannya. 
Contoh: 
Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat Nomor 8 Tahun 2010 
tentang Hutan Kota 
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 
tentang Hutan Kota perlu membentuk Peraturan 
Daerah tentang Hutan Kota; 
B.4. Dasar Hukum 
28. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. 
Dasar hukum memuat: 
a. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 
dan 
b. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan 
pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 
29. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari DPR 
adalah Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945. 
30. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari 
Presiden adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
31. Dasar . . .
- 17 - 
31. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari DPR 
- 17 - 
atas usul DPD adalah Pasal 20 dan Pasal 22D ayat (1) Undang- 
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
32. Jika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 
memerintahkan langsung untuk membentuk Undang-Undang, pasal 
yang memerintahkan dicantumkan dalam dasar hukum. 
Contoh: 
Mengingat: Pasal 15, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 
2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. 
33. Jika materi yang diatur dalam Undang-Undang yang akan dibentuk 
merupakan penjabaran dari pasal atau beberapa pasal Undang- 
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 
tersebut dicantumkan sebagai dasar hukum. 
Contoh 1 (RUU yang berasal dari DPR): 
Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), 
ayat (2), ayat (4), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), ayat 
(2), dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945; 
Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. 
Contoh 2 (RUU yang berasal dari Presiden): 
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 
28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik 
Indonesia Tahun 1945; 
Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 
2011 tentang Keimigrasian. 
34. Dasar . . .
- 18 - 
34. Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti 
- 18 - 
Undang-Undang adalah Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
35. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang Penetapan 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang- 
Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (2) 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
36. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang Pencabutan 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Pasal 5 ayat 
(1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945. 
37. Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah adalah Pasal 5 
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 
1945. 
38. Dasar hukum pembentukan Peraturan Presiden adalah Pasal 4 
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 
1945. 
39. Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 
ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 
1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang- 
Undang tentang Pemerintahan Daerah. 
40. Jika terdapat Peraturan Perundang–undangan di bawah Undang- 
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang 
memerintahkan secara langsung pembentukan Peraturan 
Perundang–undangan, Peraturan Perundang–undangan tersebut 
dimuat di dalam dasar hukum. 
Contoh: 
Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945; 
2. Undang-Undang . . .
- 19 - 
- 19 - 
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang 
Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara 
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, 
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 
Nomor 4846); 
Contoh ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 
2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 
tentang Keterbukaan Informasi Publik. 
41. Peraturan Perundang–undangan yang digunakan sebagai dasar 
hukum hanya Peraturan Perundang–undangan yang tingkatannya 
sama atau lebih tinggi. 
42. Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan 
Perundang-undangan yang akan dibentuk, Peraturan Perundang– 
undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, 
tidak dicantumkan dalam dasar hukum. 
43. Jika jumlah Peraturan Perundang–undangan yang dijadikan dasar 
hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan 
tata urutan Peraturan Perundang–undangan dan jika tingkatannya 
sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan 
atau penetapannya. 
44. Dasar hukum yang diambil dari pasal atau beberapa pasal dalam 
Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 
ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal. Frasa 
Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 
ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis 
dengan huruf kapital. 
Contoh: 
Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
45. Dasar . . .
- 20 - 
45. Dasar hukum yang bukan Undang–Undang Dasar Negara Republik 
- 20 - 
Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi 
cukup mencantumkan jenis dan nama Peraturan Perundang– 
undangan tanpa mencantumkan frasa Republik Indonesia. 
46. Penulisan jenis Peraturan Perundang–undangan dan rancangan 
Peraturan Perundang–undangan, diawali dengan huruf kapital. 
Contoh : Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan 
Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan 
Daerah Kabupaten/Kota. 
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan 
Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, Rancangan 
Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan 
Daerah Kabupaten/Kota. 
47. Penulisan Undang–Undang dan Peraturan Pemerintah, dalam dasar 
hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik 
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang 
diletakkan di antara tanda baca kurung. 
Contoh : 
Mengingat: 1. …; 
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang 
Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia 
Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara 
Republik Indonesia Nomor 5216); 
48. Penulisan Peraturan Presiden tentang pengesahan perjanjian 
internasional dan Peraturan Presiden tentang pernyataan keadaan 
bahaya dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman 
Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran 
Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca 
kurung. 
49. Penulisan . . .
- 21 - 
49. Penulisan Peraturan Daerah dalam dasar hukum dilengkapi dengan 
- 21 - 
pencantuman Lembaran Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan 
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota yang 
diletakkan di antara tanda baca kurung. 
Contoh: 
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 3 Tahun 2010 tentang Susunan 
dan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Aceh 
Jaya (Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2010 Nomor 3, 
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2) 
50. Dasar hukum yang berasal dari Peraturan Perundang–undangan 
zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah 
Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis 
lebih dulu terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian 
judul asli bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor 
Staatsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung. 
Contoh : 
Mengingat: 1. ...; 
2. Kitab Undang–Undang Hukum Dagang (Wetboek van 
Koophandel, Staatsblad 1847: 23 ); 
51. Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam nomor berlaku juga 
untuk pencabutan peraturan perundang–undangan yang berasal dari 
zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah 
Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. 
52. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang– 
undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan 
seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. 
Contoh : 
Mengingat: 1. …; 
2. …; 
3. …; 
B.5. Diktum . . .
- 22 - 
B.5. Diktum 
53. Diktum terdiri atas: 
- 22 - 
a. kata Memutuskan; 
b. kata Menetapkan; dan 
c. jenis dan nama Peraturan Perundang-undangan. 
54. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa 
spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua 
serta diletakkan di tengah marjin. 
55. Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan 
Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 
REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang 
diletakkan di tengah marjin. 
Contoh Undang-Undang: 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN: 
56. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan 
Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 
DAERAH … (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA … 
(nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan 
diletakkan di tengah marjin. 
Contoh: . . .
- 23 - 
- 23 - 
Contoh: 
Peraturan Daerah 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAWA BARAT 
dan 
GUBERNUR JAWA BARAT 
MEMUTUSKAN: 
57. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang 
disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. 
Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan 
diakhiri dengan tanda baca titik dua. 
58. Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan 
dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa 
Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital 
dan diakhiri dengan tanda baca titik. 
Contoh: 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERIMBANGAN 
KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN 
DAERAH. 
59. Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Daerah 
dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Provinsi, 
Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan 
diakhiri dengan tanda baca titik. 
Contoh: . . .
- 24 - 
- 24 - 
Contoh: 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI IZIN 
MENDIRIKAN BANGUNAN. 
60. Pembukaan Peraturan Perundang–undangan tingkat pusat yang 
tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang, antara lain 
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Dewan 
Perwakilan Rakyat, Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat, 
Peraturan Dewan Perwakilan Daerah, Peraturan Bank Indonesia, 
Peraturan Menteri, dan peraturan pejabat yang setingkat, secara 
mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Undang-Undang. 
C. BATANG TUBUH 
61. Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua materi 
muatan Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam 
pasal atau beberapa pasal. 
62. Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan 
ke dalam: 
a. ketentuan umum; 
b. materi pokok yang diatur; 
c. ketentuan pidana (jika diperlukan); 
d. ketentuan peralihan (jika diperlukan); dan 
e. ketentuan penutup. 
63. Pengelompokan materi muatan dirumuskan secara lengkap sesuai 
dengan kesamaan materi yang bersangkutan dan jika terdapat materi 
muatan yang diperlukan tetapi tidak dapat dikelompokkan dalam 
ruang lingkup pengaturan yang sudah ada, materi tersebut dimuat 
dalam bab ketentuan lain-lain. 
64. Substansi . . .
- 25 - 
64. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan 
- 25 - 
atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian 
(pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau 
sanksi keperdataan. 
65. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan 
terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi 
keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) 
tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi 
yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi 
administratif dalam satu bab. 
66. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, 
pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda 
administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat 
berupa, antara lain, ganti kerugian. 
67. Pengelompokkan materi muatan Peraturan Perundang-undangan 
dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan 
paragraf. 
68. Jika Peraturan Perundangan-undangan mempunyai materi muatan 
yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, 
pasal atau beberapa pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi: 
buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf. 
69. Pengelompokkan materi muatan dalam buku, bab, bagian, dan 
paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi. 
70. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut: 
a. bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf; 
b. bab dengan bagian dan pasal atau beberapa pasal tanpa paragraf; 
atau 
c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal atau beberapa 
pasal. 
71. Buku . . .
- 26 - 
71. Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang 
- 26 - 
seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. 
Contoh: 
BUKU KETIGA 
PERIKATAN 
72. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang 
seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. 
Contoh: 
BAB I 
KETENTUAN UMUM 
73. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan 
huruf dan diberi judul. 
74. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul 
bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang 
tidak terletak pada awal frasa. 
Contoh: 
Bagian Kesatu 
Susunan dan Kedudukan 
75. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul. 
76. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf 
ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak 
terletak pada awal frasa. 
Contoh: 
Paragraf 1 
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim 
77. Pasal . . .
- 27 - 
77. Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan 
- 27 - 
yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu 
kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas. 
78. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan lebih baik 
dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke 
dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak 
ayat, kecuali jika materi muatan yang menjadi isi pasal itu merupakan 
satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. 
79. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata pasal 
ditulis dengan huruf kapital. 
Contoh: 
Pasal 3 
80. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan 
huruf kapital. 
Contoh: 
Pasal 34 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak 
meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 33. 
81. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat. 
82. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab diantara tanda baca 
kurung tanpa diakhiri tanda baca titik. 
83. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan 
dalam satu kalimat utuh. 
84. Huruf . . .
- 28 - 
84. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan 
- 28 - 
huruf kecil. 
Contoh: 
Pasal 8 
(1) Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 
1 (satu) kelas barang. 
(2) Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam 
kelas yang bersangkutan. 
85. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, selain dirumuskan 
dalam bentuk kalimat dengan rincian, juga dapat dirumuskan dalam 
bentuk tabulasi. 
Contoh: 
Pasal 28 
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil 
Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam 
atau di luar negeri. 
Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan 
sebagai berikut: 
Contoh rumusan tabulasi: 
Pasal 28 
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi: 
a. Presiden; 
b. Wakil Presiden; dan 
c. pejabat negara yang lain, 
yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. 
86. Penulisan . . .
- 29 - 
86. Penulisan bilangan dalam pasal atau ayat selain menggunakan angka 
- 29 - 
Arab diikuti dengan kata atau frasa yang ditulis diantara tanda baca 
kurung. 
87. Jika merumuskan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi, 
memperhatikan ketentuan sebagai berikut: 
a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan 
dengan frasa pembuka; 
b. setiap rincian menggunakan huruf abjad kecil dan diberi tanda 
baca titik; 
c. setiap frasa dalam rincian diawali dengan huruf kecil; 
d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma; 
e. jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, 
unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam; 
f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut 
diberi tanda baca titik dua; 
g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan 
huruf abjad kecil yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab 
diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca 
kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; dan 
h. pembagian rincian tidak melebihi 4 (empat) tingkat. Jika rincian 
melebihi 4 (empat) tingkat, pasal yang bersangkutan dibagi ke 
dalam pasal atau ayat lain. 
88. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian 
kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian 
kedua dari rincian terakhir. 
89. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif 
ditambahkan kata atau yang di letakkan di belakang rincian kedua 
dari rincian terakhir. 
90. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif 
dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di 
belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 
91. Kata . . .
- 30 - 
91. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur 
- 30 - 
atau rincian. 
92. Tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya. 
Contoh: 
Pasal 9 
(1) ... . 
(2) ...: 
a. …; 
b. …; (dan, atau, dan/atau) 
c. … . 
93. Jika suatu rincian memerlukan rincian lebih lanjut, rincian itu 
ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya. 
Contoh: 
Pasal 9 
(1) … . 
(2) …: 
a. …; 
b. …; (dan, atau, dan/atau) 
c. …: 
1. ...; 
2. …; (dan, atau, dan/atau) 
3. … . 
94. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, 
rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya. 
Contoh: 
Pasal 9 
(1) … . 
(2) … . 
a. …; 
b. …; (dan, atau, dan/atau) 
c. ...: . . .
- 31 - 
- 31 - 
c. …: 
1. …; 
2. …; (dan, atau, dan/atau) 
3. …: 
a) …; 
b) …; (dan, atau, dan/atau) 
c) … . 
95. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, 
rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya. 
Contoh: 
Pasal 9 
… . 
(1) … . 
(2) …: 
a. …; 
b. …; (dan, atau, dan/atau) 
c. …: 
1. …; 
2. …; (dan, atau, dan/atau) 
3. …: 
a) …; 
b) …; (dan, atau, dan/atau) 
c) … . 
1) …; 
2) …; (dan, atau, dan/atau) 
3) … . 
C.1. Ketentuan Umum 
96. Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam Peraturan 
Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan 
umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal. 
Contoh: . . .
- 32 - 
- 32 - 
Contoh: 
BAB I 
KETENTUAN UMUM 
97. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal. 
98. Ketentuan umum berisi: 
a. batasan pengertian atau definisi; 
b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan 
pengertian atau definisi; dan/atau 
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau 
beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang 
mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan 
tersendiri dalam pasal atau bab. 
Contoh batasan pengertian: 
1. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan 
pemerintahan di bidang keuangan. 
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai 
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Mimika. 
Contoh definisi: 
1. Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang 
mencakup lokasi, letak, dan posisinya. 
2. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi 
wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan 
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan 
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan 
untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran 
rakyat. 
Contoh . . .
- 33 - 
- 33 - 
Contoh singkatan: 
1. Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK 
adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan 
pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud 
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 
1945. 
2. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya 
disingkat SPIP adalah sistem pengendalian intern yang 
diselenggarakan secara menyeluruh terhadap proses perancangan 
dan pelaksanaan kebijakan serta perencanaan, penganggaran, dan 
pelaksanaan di lingkungan Pemerintah Kota Dumai. 
Contoh akronim: 
1. Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disebut Askes adalah… 
2. Orang dengan HIV/AIDS yang selanjutnya disebut ODHA adalah 
orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap belum ada gejala 
maupun yang sudah ada gejala. 
99. Frasa pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi: 
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 
100. Frasa pembuka dalam ketentuan umum peraturan perundang-undangan 
di bawah Undang-Undang disesuaikan dengan jenis 
peraturannya. 
101. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, 
singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing 
uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan 
huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik. 
102. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata 
atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau 
beberapa pasal selanjutnya. 
103. Apabila . . .
- 34 - 
103. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan 
- 34 - 
dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang 
akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan 
rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah 
berlaku tersebut. 
104. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang-undangan 
dapat berbeda dengan rumusan Peraturan Perundang-undangan 
yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait 
dengan materi muatan yang akan diatur. 
Contoh 1: 
a. Hari adalah hari kalender (rumusan ini terdapat dalam Undang- 
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). 
b. Hari adalah hari kerja (rumusan ini terdapat dalam Undang- 
Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan 
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan 
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). 
Contoh 2: 
a. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik 
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum 
(rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). 
b. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum 
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan 
Kawasan Pemukiman). 
105. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata 
atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian 
atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi. 
106. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di 
dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka 
rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan 
pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau 
definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang 
dilaksanakan tersebut. 
107. Karena . . .
- 35 - 
107. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim 
- 35 - 
berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka 
batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu 
diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap 
dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. 
108. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan 
atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan 
huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan 
maupun dalam lampiran. 
109. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum 
mengikuti ketentuan sebagai berikut: 
a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan 
lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; 
b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang 
diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan 
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya 
diletakkan berdekatan secara berurutan. 
C.2. Materi Pokok yang Diatur 
110.Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan 
umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang 
diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum. 
111. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil 
dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. 
Contoh: 
a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, 
seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: 
1. kejahatan terhadap keamanan negara; 
2. kejahatan terhadap martabat Presiden; 
3. kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya; 
4. kejahatan . . .
- 36 - 
- 36 - 
4. kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan; 
5. kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya. 
b. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian 
dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, 
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat 
pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali. 
c. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa 
Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda. 
C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 
112. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan 
pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma 
larangan atau norma perintah. 
113. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas 
umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab 
Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku 
Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut 
peraturan perundang-undangan lain, kecuali jika oleh Undang- 
Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum 
Pidana). 
114. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu 
dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak 
pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. 
115. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab 
ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur 
atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan 
tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup. 
116. Jika . . .
- 37 - 
116. Jika di dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan 
- 37 - 
pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam 
pasal yang terletak langsung sebelum pasal atau beberapa pasal yang 
berisi ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan 
peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal atau beberapa 
pasal yang berisi ketentuan penutup. 
117. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang, Peraturan 
Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 
118. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma 
larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal 
atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, 
perlu dihindari: 
a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan Perundang-undangan 
lain. Lihat juga Nomor 98; 
Contoh: 
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2 Tahun 2010 tentang 
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan 
Pasal 73 
Tindak pidana di bidang Adminstrasi Kependudukan yang 
dilakukan oleh penduduk, petugas, dan Badan Hukum diancam 
dengan hukuman pidana sebagaimana diatur dalam Undang- 
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi 
Kependudukan. 
b. pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika 
elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau 
c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di 
dalam norma-norma yang diatur dalam pasal atau beberapa pasal 
sebelumnya, kecuali untuk undang-undang mengenai tindak 
pidana khusus. 
119. Jika . . .
- 38 - 
119. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan 
- 38 - 
pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang. 
Contoh: 
Pasal 81 
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek 
yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang 
lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang 
diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun 
dan pidana denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). 
120. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu 
dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, 
saksi. 
Contoh 1: 
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 
Pasal 143 
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan 
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka 
sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 
(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda 
paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling 
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 
Contoh 2: 
Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 9 Tahun 2009 tentang 
Pajak Hiburan 
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau 
mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan 
keterangan yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 
sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana 
penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak 4 
(empat) kali jumlah pajak yang terutang. 
121. Sehubungan . . .
- 39 - 
121. Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan 
- 39 - 
tindak pidana pelanggaran di dalam Kitab Undang-Undang Hukum 
Pidana, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas 
kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai 
pelanggaran atau kejahatan. 
Contoh: 
BAB V 
KETENTUAN PIDANA 
Pasal 33 
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal …, dipidana dengan pidana kurungan paling lama … 
atau pidana denda paling banyak Rp…,00 
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 
pelanggaran. 
122. Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas 
kualifikasi pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif, atau 
kumulatif alternatif. 
a. Sifat kumulatif: 
Contoh: 
Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat 
sadisme, pornografi, dan/atau bersifat perjudian sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara 
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak 
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 
b. Sifat alternatif: 
Contoh: 
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran 
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana 
dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana 
denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). 
c. Sifat . . .
- 40 - 
- 40 - 
c. Sifat kumulatif alternatif: 
Contoh: 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan 
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling 
sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling 
banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) 
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah 
atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau 
janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang 
berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang 
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan 
jabatannya. 
123. Perumusan dalam ketentuan pidana harus menunjukkan dengan jelas 
unsur-unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif. 
124. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan 
pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus 
dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) 
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa 
ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut. 
Contoh: 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan 
berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1976, kecuali untuk ketentuan 
pidananya. 
125. Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran 
terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di 
dalam undang-undang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu 
kepada Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana 
ekonomi, misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 
tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana 
Ekonomi. 
126. Tindak . . .
- 41 - 
126. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh 
- 41 - 
korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh 
korporasi dijatuhkan kepada: 
a. badan hukum antara lain perseroan, perkumpulan, yayasan, atau 
koperasi; dan/atau 
b. pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang 
bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana. 
C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) 
127. Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan 
hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan 
Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan 
Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: 
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; 
b. menjamin kepastian hukum; 
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak 
perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan 
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. 
Contoh 1: 
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 
Pasal 35 
Perjanjian Internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, 
dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah 
Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai 
dengan berakhirnya perjanjian tersebut. 
Contoh 2: 
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 
Tahun 2009 tentang Pengelolaan Area Pasar 
Pasal 18 
Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini 
tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin. 
Contoh . . .
- 42 - 
- 42 - 
Contoh 3: 
Peraturan Daerah Kabupaten Kuantan Singingi Nomor 10 Tahun 2009 
tentang Pemeliharaan Kesehatan Hewan 
Pasal 38 
Orang atau Badan yang telah memiliki izin usaha pemeliharaan 
kesehatan hewan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan 
Daerah ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) 
tahun harus menyesuaikan dengan Peraturan Daerah ini. 
128. Ketentuan Peralihan dimuat dalam Bab Ketentuan Peralihan dan 
ditempatkan di antara Bab Ketentuan Pidana dan Bab Ketentuan 
Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan 
pengelompokan bab, pasal atau beberapa pasal yang memuat 
Ketentuan Peralihan ditempatkan sebelum pasal atau beberapa pasal 
yang memuat ketentuan penutup. 
129. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru, dapat dimuat 
ketentuan mengenai penyimpangan sementara atau penundaan 
sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu. 
Contoh 1: 
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara 
Pasal 27 
Kementerian yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang 
ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya 
Kementerian berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 
Contoh 2: 
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2008 tentang 
Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi 
Pelaksanaan Rencana Pembangunan serta Musyawarah Perencanaan 
Pembangunan Daerah 
Pasal 44 . . .
- 43 - 
- 43 - 
Pasal 44 
(1) … . 
(2) Sebelum RPJMD ditetapkan, penyusunan RKPD berpedoman 
kepada RPJMD periode sebelumnya. 
130. Penyimpangan sementara terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan 
berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan. 
131. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan diberlakukan surut, 
Peraturan Perundang-undangan tersebut hendaknya memuat 
ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau 
hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal 
mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya. 
Contoh: 
Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan 
Pemerintah ini dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat 
tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini. 
132.Mengingat berlakunya asas umum hukum pidana, penentuan daya 
laku surut tidak diberlakukan bagi Ketentuan Pidana. 
133. Penentuan daya laku surut tidak dimuat dalam Peraturan 
Perundang-undangan yang memuat ketentuan yang memberi beban 
konkret kepada masyarakat, misalnya penarikan pajak atau 
retribusi. 
134. Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan Perundang-undangan 
dinyatakan ditunda sementara bagi tindakan hukum atau hubungan 
hukum tertentu, ketentuan Peraturan Perundang-undangan tersebut 
harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum atau 
hubungan hukum yang dimaksud, serta jangka waktu atau 
persyaratan berakhirnya penundaan sementara tersebut. 
Contoh: . . .
- 44 - 
- 44 - 
Contoh: 
Izin ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan 
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor … Tahun ... tentang… 
masih tetap berlaku untuk jangka waktu paling lama 60 (enam 
puluh) hari terhitung sejak tanggal pengundangan Peraturan 
Pemerintah ini. 
135. Rumusan dalam Ketentuan Peralihan tidak memuat perubahan 
terselubung atas ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain. 
Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan 
pengertian baru di dalam Ketentuan Umum Peraturan Perundang-undangan 
atau dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang-undangan 
perubahan. 
Contoh rumusan yang memuat perubahan terselubung: 
Pasal 35 
(1) Desa atau yang disebut nama lainnya yang setingkat dengan desa 
yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini 
dinyatakan sebagai desa menurut Pasal 1 huruf a. 
C.5. Ketentuan Penutup 
136. Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak 
diadakan pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan 
dalam pasal atau beberapa pasal terakhir. 
137. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai: 
a. penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan 
Peraturan Perundang-undangan; 
b. nama singkat Peraturan Perundang-undangan; 
c. status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan 
d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan. 
138. Penunjukan . . .
- 45 - 
138. Penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan 
- 45 - 
Peraturan Perundang-undangan bersifat menjalankan (eksekutif), 
misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan 
untuk memberikan izin, dan mengangkat pegawai. 
139.Bagi nama Peraturan Perundang-undangan yang panjang dapat 
dimuat ketentuan mengenai nama singkat dengan memperhatikan 
hal-hal sebagai berikut: 
a. nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan 
tidak dicantumkan; 
b. nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika 
singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak 
menimbulkan salah pengertian. 
140.Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi 
dan nama peraturan. 
Contoh nama singkat yang tidak tepat: 
(Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan) 
Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Karantina 
Hewan 
141.Nama Peraturan Perundang-undangan yang sudah singkat tidak 
perlu diberikan nama singkat. 
Contoh nama singkat yang tidak tepat: 
(Undang-Undang tentang Bank Sentral) 
Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Bank 
Indonesia. 
142. Sinonim tidak dapat digunakan untuk nama singkat. 
Contoh nama singkat yang tidak tepat: 
(Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara) 
Undang-Undang ini dapat disebut dengan Undang-Undang tentang 
Peradilan Administrasi Negara. 
143. Jika . . .
- 46 - 
143. Jika materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang 
- 46 - 
baru menyebabkan perubahan atau penggantian seluruh atau 
sebagian materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan 
yang lama, dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus 
secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian 
materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang lama. 
144. Rumusan pencabutan Peraturan Perundang-undangan diawali 
dengan frasa Pada saat …(jenis Peraturan Perundang-undangan) ini 
mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan 
Peraturan Perundang-undangan pencabutan tersendiri. 
145.Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan 
tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas 
Peraturan Perundang-undangan yang dicabut. 
146.Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah 
diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan 
dinyatakan tidak berlaku. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis 
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan 
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 
22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis 
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan 
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran 
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan 
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310), dicabut dan 
dinyatakan tidak berlaku. 
147. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dicabut lebih dari 
1 (satu), cara penulisan dilakukan dengan rincian dalam bentuk 
tabulasi. 
Contoh: . . .
- 47 - 
- 47 - 
Contoh: 
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: 
a. Ordonansi Perburuan (Jachtsordonantie 1931, Staatsblad 1931: 
133); 
b. Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar 
(Dierenbeschermingsordonantie 1931, Staatsblad 1931: 134); 
c. Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtsordonantie Java 
en Madoera 1940, Staatsblad 1939: 733); dan 
d. Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonantie 
1941, Staatsblad 1941: 167), 
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 
148. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan disertai dengan 
keterangan mengenai status hukum dari peraturan pelaksanaan 
atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan 
Perundang-undangan yang dicabut. 
149.Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah 
diundangkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frasa ditarik 
kembali dan dinyatakan tidak berlaku. 
Contoh: 
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 
... Tahun... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 
... Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 
...) ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. 
150. Pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku pada 
saat Peraturan Perundang-undangan tersebut diundangkan. 
Contoh: 
a. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
b. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
c. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
151. Jika . . .
- 48 - 
151. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan 
- 48 - 
Perundang-undangan tersebut pada saat diundangkan, hal ini 
dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Perundang-undangan 
tersebut dengan: 
a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku; 
Contoh: 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 2011. 
b. menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada Peraturan 
Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang 
diberlakukan itu kodifikasi, atau kepada Peraturan Perundang-undangan 
lain yang lebih rendah jika yang diberlakukan itu bukan 
kodifikasi; 
Contoh: 
Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini akan ditetapkan 
dengan Peraturan Presiden. 
c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat 
Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan 
kekeliruan penafsiran gunakan frasa setelah ... (tenggang waktu) 
terhitung sejak tanggal diundangkan. 
Contoh: 
Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung 
sejak tanggal diundangkan. 
152. Tidak menggunakan frasa ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... 
atau yang sejenisnya, karena frasa ini menimbulkan ketidakpastian 
mengenai saat berlakunya suatu Peraturan Perundang-undangan 
yaitu saat diundangkan atau saat berlaku efektif. 
153. Pada . . .
- 49 - 
153. Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan 
- 49 - 
adalah sama bagi seluruh bagian Peraturan Perundang-undangan 
dan seluruh wilayah negara Republik Indonesia atau seluruh wilayah 
Provinsi, Kabupaten/Kota untuk Peraturan Daerah Provinsi, 
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 
154. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan 
dinyatakan secara tegas dengan: 
a. menetapkan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan itu 
yang berbeda saat mulai berlakunya; 
Contoh: 
Pasal 45 
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat 
(2), ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal… . 
b. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah negara 
tertentu. 
Contoh: 
Pasal 40 
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) 
mulai berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura pada tanggal…. 
155. Pada dasarnya mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan 
tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya. 
156. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan 
Perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya 
(berlaku surut), diperhatikan hal sebagai berikut: 
a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik 
jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut 
diberlakusurutkan; 
b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap 
tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu 
yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan; 
c. awal . . .
- 50 - 
- 50 - 
c. awal dari saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan 
ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan Peraturan 
Perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, 
misalnya, saat rancangan Peraturan Perundang-undangan 
tersebut tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan perencanaan 
rancangan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 
157. Saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan, pelaksanaannya 
tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku 
Peraturan Perundang-undangan yang mendasarinya. 
158. Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan 
Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih 
tinggi. 
159. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan 
Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, 
jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi itu 
dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian 
materi muatan Peraturan Perundang-undangan lebih rendah yang 
dicabut itu. 
D. PENUTUP 
160. Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan 
yang memuat: 
a. rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan 
Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik 
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah 
Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah 
Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota; 
b. penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan 
Perundang-undangan; 
c. pengundangan atau Penetapan Peraturan Perundang-undangan; 
dan 
d. akhir . . .
- 51 - 
- 51 - 
d. akhir bagian penutup. 
161. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan 
Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia 
yang berbunyi sebagai berikut: 
Contoh: 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan … 
(jenis Peraturan Perundang-undangan) ini dengan penempatannya 
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 
162. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan 
Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang 
berbunyi sebagai berikut: 
Contoh: 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan … 
(jenis Peraturan Perundang-undangan) ini dengan penempatannya 
dalam Berita Negara Republik Indonesia. 
163. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan 
Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah 
yang berbunyi sebagai berikut: 
Contoh Peraturan Daerah Provinsi: 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan 
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran 
Daerah Provinsi Sumatera Barat. 
164. Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan 
memuat: 
a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; 
b. nama jabatan; 
c. tanda tangan pejabat; dan 
d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, 
pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai. 
165. Rumusan . . .
- 52 - 
165. Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan 
- 52 - 
di sebelah kanan. 
166.Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada 
akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. 
a. untuk pengesahan: 
Contoh: 
b. untuk penetapan: 
Contoh: 
Disahkan di Jakarta 
pada tanggal 22 Juli 2011 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 
Ditetapkan di Jakarta 
pada tanggal 22 Juli 2011 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 
167. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan memuat: 
a. tempat dan tanggal Pengundangan; 
b. nama jabatan yang berwenang mengundangkan; 
c. tanda tangan; dan 
d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, 
pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai. 
168. Tempat tanggal pengundangan Peraturan Perundang-undangan 
diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan 
atau penetapan). 
169. Nama . . .
- 53 - 
169.Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada 
- 53 - 
akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. 
Contoh: 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal 22 Juli 2011 
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA 
REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
PATRIALIS AKBAR 
170. Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Presiden tidak 
menandatangani Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui 
bersama antara DPR dan Presiden, maka dicantumkan kalimat 
pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang 
berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan 
Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 
Tahun 1945. 
171. Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Gubernur atau 
Bupati/Walikota tidak menandatangani Rancangan Peraturan 
Daerah yang telah disetujui bersama antara DPRD dan Gubernur 
atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan 
setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: 
Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. 
172. Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik 
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah 
Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi 
atau Berita Daerah Kabupaten/Kota beserta tahun dan nomor dari 
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik 
Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah 
Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah 
Kabupaten/Kota. 
173. Penulisan . . .
- 54 - 
173. Penulisan frasa Lembaran Negara Republik Indonesia atau Lembaran 
- 54 - 
Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. 
Contoh: 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR... 
Contoh: 
LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ... TAHUN ... 
NOMOR ... 
E. PENJELASAN 
174. Setiap Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan 
Daerah Kabupaten/Kota diberi penjelasan. 
175. Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang (selain 
Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat diberi 
penjelasan jika diperlukan. 
176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan 
Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh 
karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, 
kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat 
disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk 
memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan 
terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. 
177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk 
membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan 
rumusan yang berisi norma. 
178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat 
perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 
179. Naskah . . .
- 55 - 
179.Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan 
- 55 - 
rancangan Peraturan Perundang-undangan. 
180. Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang-undangan 
yang diawali dengan frasa penjelasan atas yang ditulis dengan huruf 
kapital. 
Contoh: 
PENJELASAN 
ATAS 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 3 TAHUN 2011 
TENTANG 
TRANSFER DANA 
181. Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat penjelasan 
umum dan penjelasan pasal demi pasal. 
182. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali 
dengan angka Romawi dan ditulis dengan huruf kapital. 
Contoh: 
I. UMUM 
II. PASAL DEMI PASAL 
183. Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar 
belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan Peraturan 
Perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir 
konsiderans, serta asas, tujuan, atau materi pokok yang terkandung 
dalam batang tubuh Peraturan Perundang-undangan. 
184. Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan 
angka Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan. 
Contoh: . . .
- 56 - 
- 56 - 
Contoh: 
I. UMUM 
1. Dasar Pemikiran 
... 
2. Pembagian Wilayah 
… 
3. Asas-asas Penyelenggara Pemerintahan 
… 
4. Daerah Otonom 
… 
5. Wilayah Administratif 
… 
6. Pengawasan 
… 
185. Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan 
Perundang-undangan lain atau dokumen lain, pengacuan itu 
dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya. 
186. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai 
berikut: 
a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang 
tubuh; 
b. tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian 
norma yang ada dalam batang tubuh; 
c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur 
dalam batang tubuh; 
d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang 
telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau 
e. tidak memuat rumusan pendelegasian 
187. Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari 
kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan. 
188. Pada . . .
- 57 - 
188. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frasa 
- 57 - 
cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik (.) dan huruf c 
ditulis dengan huruf kapital. Penjelasan pasal demi pasal tidak 
digabungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak 
memerlukan penjelasan. 
Contoh yang tidak tepat: 
Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9) 
Cukup jelas. 
Seharusnya: 
Pasal 7 
Cukup jelas. 
Pasal 8 
Cukup jelas. 
Pasal 9 
Cukup jelas. 
189. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak 
memerlukan penjelasan, pasal yang bersangkutan cukup diberi 
penjelasan cukup jelas., tanpa merinci masing-masing ayat atau butir. 
190. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu 
ayat atau butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau 
butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang 
sesuai. 
Contoh: 
Pasal 7 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum 
kepada hakim dan para pengguna hukum. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) . . .
- 58 - 
- 58 - 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
191. Jika suatu istilah/kata/frasa dalam suatu pasal atau ayat yang 
memerlukan penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…“) pada 
istilah/kata/frasa tersebut. 
Contoh: 
Pasal 25 
Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah 
masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-Undang ditetapkan. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
F. LAMPIRAN 
192. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, 
hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran 
dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan 
Perundang-undangan. 
193. Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, 
peta, dan sketsa. 
194. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lebih dari 
satu lampiran, tiap lampiran harus diberi nomor urut dengan 
menggunakan angka romawi. 
Contoh: LAMPIRAN I 
LAMPIRAN II 
195. Judul . . .
- 59 - 
195. Judul lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang 
- 59 - 
diletakkan di sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca dengan rata 
kiri. 
Contoh: 
LAMPIRAN I 
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR ... TAHUN … 
TENTANG 
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 
196. Nama lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang 
diletakkan di tengah tanpa diakhiri tanda baca. 
Contoh: 
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
197. Pada halaman akhir tiap lampiran harus dicantumkan nama dan 
tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan 
Perundang-undangan ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan di 
sudut kanan bawah dan diakhiri dengan tanda baca koma setelah 
nama pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan 
Perundang-undangan. 
Contoh: 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 
BAB II . . .
- 60 - 
- 60 - 
BAB II 
HAL-HAL KHUSUS 
A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN 
198. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat 
mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan 
Perundang-undangan yang lebih rendah. 
199. Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang- 
Undang kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah 
Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari 
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah 
Kabupaten/Kota yang lain. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 
Pasal 48 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap kawasan 
lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) huruf e diatur dengan Undang-Undang. 
200. Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas: 
a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan 
b. jenis Peraturan Perundang-undangan. 
201. Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya 
di dalam Peraturan Perundang-undangan yang 
mendelegasikan tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam 
Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh 
didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang 
lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut 
mengenai … diatur dengan … . 
Contoh . . .
- 61 - 
- 61 - 
Contoh 1: 
Pasal … 
(1) ... . 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan Peraturan 
Pemerintah. 
Contoh 2: 
Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo Utara Nomor 87 Tahun 2010 
tentang Pajak Reklame 
Pasal 18 
(1) ... . 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan 
penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan diatur 
dengan Peraturan Kepala Daerah. 
Contoh 3: 
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah 
Regional Jawa Timur 
Pasal 23 
(1) … . 
(2) … . 
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara peran serta 
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan 
Peraturan Gubernur. 
202. Jika pengaturan materi muatan tersebut dibolehkan didelegasikan 
lebih lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut 
mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … . 
Contoh: 
Pasal … 
(1) … . 
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau 
berdasarkan Peraturan Pemerintah. 
203. Jika . . .
- 62 - 
203. Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur 
- 62 - 
pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang 
mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam 
Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh 
didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang 
lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan mengenai … 
diatur dengan … . 
Contoh: 
Pasal … 
(1) … . 
(2) Ketentuan mengenai … diatur dengan Peraturan Pemerintah. 
204. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut 
(subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan 
atau berdasarkan … . 
Contoh: 
Pasal ... 
(1) ... . 
(2) Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan Peraturan 
Pemerintah. 
205. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi 
muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi 
akan didelegasikan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan, 
gunakan kalimat “Ketentuan mengenai … diatur dalam ….” 
Contoh: 
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2 Tahun 2010 tentang 
Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan 
Pasal 57 
(1) … . 
(2) … . 
(3) … . 
(4) ... . . .
- 63 - 
- 63 - 
(4) … . 
(5) … . 
(6) … . 
(7) Ketentuan mengenai pedoman persyaratan dan tata cara untuk 
mendapatkan KIPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur 
dalam Peraturan Bupati. 
206. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan maka 
materi muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu) 
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang 
mendelegasikan, gunakan kalimat “(jenis Peraturan Perundang-undangan) 
… tentang Peraturan Pelaksanaan ...” 
Contoh: Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang 
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 
2002 tentang Bangunan Gedung. 
207. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan 
pelaksanaan yang akan dibuat, rumusan pendelegasian perlu 
mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan 
diatur lebih lanjut. 
Contoh: 
Diambil dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang 
Peternakan dan Kesehatan Hewan 
Pasal 76 
(1) ... . 
(2) ... . 
(3) ... . 
(4) ... . 
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau 
berdasarkan Peraturan Pemerintah. 
208. Jika . . .
- 64 - 
208. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan 
- 64 - 
dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan. 
209. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dapat 
dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi 
pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur 
dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya. 
210. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh adanya 
delegasi blangko. 
Contoh 1: 
Pasal … 
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur 
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 
Contoh 2: 
Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 4 Tahun 2010 tentang 
Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan 
Penanggulangan Bencana Daerah 
Pasal 24 
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang pengaturan 
pelaksanaannya, diatur dengan Peraturan Bupati. 
211. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada 
menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat 
yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat 
teknis administratif. 
212. Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara 
negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat 
penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh Undang-Undang yang 
mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu. 
213. Pendelegasian . . .
- 65 - 
213. Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu Peraturan 
- 65 - 
Perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur 
jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat. 
214. Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang 
setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan 
yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang. 
215. Peraturan Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak 
mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam Peraturan 
Perundang-undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut 
memang tidak dapat dihindari. 
216. Di dalam peraturan pelaksanaan tidak mengutip kembali rumusan 
norma atau ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan 
lebih tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan kembali 
dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan tersebut 
diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk merumuskan norma 
atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal atau beberapa pasal atau 
ayat atau beberapa ayat selanjutnya. 
B. PENYIDIKAN 
217. Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang-Undang, 
Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 
218. Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada 
Penyidik Pegawai Negeri Sipil kementerian, lembaga pemerintah 
nonkementerian, atau instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran 
terhadap ketentuan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau 
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 
219. Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu 
sebagai penyidik pegawai negeri sipil diusahakan agar tidak 
mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan 
penyidikan. 
Contoh: . . .
- 66 - 
- 66 - 
Contoh: 
Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ... (nama 
kementerian atau instansi) dapat diberikan kewenangan untuk 
melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan 
dalam Undang-Undang (Peraturan Daerah Provinsi atau 
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota) ini. 
220. Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau 
jika dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan 
Daerah Kabupaten/Kota tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan 
pada pasal atau beberapa pasal sebelum ketentuan pidana. 
C. PENCABUTAN 
221. Jika ada Peraturan Perundang-undangan lama yang tidak diperlukan 
lagi dan diganti dengan Peraturan Perundang-undangan baru, 
Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas 
mencabut Peraturan Perundang-undangan yang tidak diperlukan itu. 
222. Jika materi dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru 
menyebabkan perlu penggantian sebagian atau seluruh materi dalam 
Peraturan Perundang-undangan yang lama, di dalam Peraturan 
Perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai 
pencabutan sebagian atau seluruh Peraturan Perundang-undangan 
yang lama. 
223. Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui 
Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi. 
224. Pencabutan melalui Peraturan Perundang-undangan yang 
tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan Perundang-undangan 
yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk 
menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan 
Perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu. 
225. Jika . . .
- 67 - 
225. Jika Peraturan Perundang-undangan baru mengatur kembali suatu 
- 67 - 
materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan 
Peraturan Perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu 
pasal dalam ketentuan penutup dari Peraturan Perundang-undangan 
yang baru, dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan 
tidak berlaku. 
226. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang sudah 
diundangkan tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan 
peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali 
dan dinyatakan tidak berlaku. 
227. Jika pencabutan Peraturan Perundangan-undangan dilakukan 
dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan 
tersebut pada dasarnya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan 
angka Arab, yaitu sebagai berikut: 
a. Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya 
Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan. 
b. Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya 
Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan. 
Contoh: 
Pasal 1 
Undang-Undang Nomor … Tahun ... tentang … (Lembaran Negara 
Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara 
Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 
Pasal 2 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
228. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang menimbulkan 
perubahan dalam Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait, 
tidak mengubah Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait 
tersebut, kecuali ditentukan lain secara tegas. 
229. Peraturan . . .
- 68 - 
229. Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan yang telah dicabut, 
- 68 - 
tetap tidak berlaku, meskipun Peraturan Perundang-undangan yang 
mencabut di kemudian hari dicabut pula. 
D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 
230. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan: 
a. menyisip atau menambah materi ke dalam Peraturan Perundang-undangan; 
atau 
b. menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang-undangan. 
231. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan 
terhadap: 
a. seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, 
dan/atau ayat; atau 
b. kata, frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca. 
232. Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama 
singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat 
menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang 
diubah. 
233. Pada dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang-undangan 
perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka 
Romawi yaitu sebagai berikut: 
a. Pasal I memuat judul Peraturan Perundang-undangan yang 
diubah, dengan menyebutkan Lembaran Negara Republik 
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 
yang diletakkan di antara tanda baca kurung serta memuat materi 
atau norma yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, 
setiap materi perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab 
(1, 2, 3, dan seterusnya). 
Contoh . . .
- 69 - 
- 69 - 
Contoh 1: 
Pasal I 
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor … Tahun … 
tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor 
…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) 
diubah sebagai berikut: 
1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 
… 
2. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 8 diubah, sehingga 
berbunyi sebagai berikut: … 
3. dan seterusnya … 
Contoh 2: 
Pasal I 
Ketentuan Pasal ... dalam Undang-Undang Nomor … Tahun … 
tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor 
…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) 
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: … 
b. Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari satu 
kali, Pasal I memuat, selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193 
huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundang-undangan 
perubahan yang ada serta Lembaran Negara Republik 
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 
yang diletakkan di antara tanda baca kurung dan dirinci dengan 
huruf (abjad) kecil (a, b, c, dan seterusnya). 
Contoh: 
Pasal I 
Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara 
Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran 
Negara Republik Indonesia Nomor … ) yang telah beberapa kali 
diubah dengan Undang-Undang: 
a. Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia 
Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik 
Indonesia Nomor …); 
b. Nomor . . .
- 70 - 
- 70 - 
b. Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia 
Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik 
Indonesia Nomor …); 
c. Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia 
Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik 
Indonesia Nomor …); 
diubah sebagai berikut: 
1. Bab V dihapus. 
2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 
3. dan seterusnya ... 
c. Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal 
tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari 
Peraturan Perundang-undangan perubahan, yang maksudnya 
berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan 
yang diubah. 
234. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan ditambahkan atau 
disisipkan bab, bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, 
paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang 
sesuai dengan materi yang bersangkutan. 
a. Penyisipan Bab 
Contoh: 
Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu ) bab, yakni BAB 
IXA sehingga berbunyi sebagai berikut: 
BAB IXA 
INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL 
b. Penyisipan . . .
- 71 - 
- 71 - 
b. Penyisipan Pasal: 
Contoh: 
Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, 
yakni Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 128A 
Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat 
memerintahkan hasil-hasil pelanggaran paten tersebut dirampas 
untuk negara untuk dimusnahkan. 
235. Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan 
ayat baru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab 
sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf 
kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung( ). 
Contoh: 
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni 
ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 18 
(1) … . 
(1a)… . 
(1b)… . 
(2) … . 
236. Jika dalam suatu Peraturan Perundang-undangan dilakukan 
penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka 
urutan bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap 
dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus. 
Contoh 1: 
1. Pasal 16 dihapus. 
2. Pasal 18 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai 
berikut: 
Pasal 18 
(1) … . 
(2) Dihapus . . .
- 72 - 
- 72 - 
(2) Dihapus. 
(3) … . 
Contoh 2: 
Peraturan Daerah tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 
16 Tahun 2005 tentang Pengujian Kendaraan Bermotor dan Retribusi 
5. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 4 
berbunyi sebagai berikut: 
Pasal 4 
(1) Dihapus. 
(2) Dihapus. 
(3) Lokasi Pengujian dan Penguji ditetapkan dengan Keputusan 
Kepala Dinas Perhubungan. 
237. Jika suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan 
mengakibatkan: 
a. sistematika Peraturan Perundang-undangan berubah; 
b. materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% 
(lima puluh persen); atau 
c. esensinya berubah, 
Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik 
dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan 
yang baru mengenai masalah tersebut. 
238. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan telah sering mengalami 
perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan Perundang-undangan, 
sebaiknya Peraturan Perundang-undangan tersebut 
disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan yang telah 
dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada: 
a. urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir; 
b. penyebutan-penyebutan; dan 
c. ejaan, jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah masih 
tertulis dalam ejaan lama. 
E. PENETAPAN . . .
- 73 - 
E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG 
- 73 - 
MENJADI UNDANG-UNDANG 
239. Batang tubuh Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan 
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi Undang- 
Undang pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) pasal, yang ditulis dengan 
angka Arab, yaitu sebagai berikut: 
a. Pasal 1 memuat Penetapan Perpu menjadi Undang-Undang yang 
diikuti dengan pernyataan melampirkan Perpu sebagai bagian yang 
tidak terpisahkan dengan Undang-Undang penetapan tersebut. 
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan 
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang 
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. 
Pasal 1 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran 
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan 
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4232) ditetapkan 
menjadi Undang-Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang 
tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 
Pasal 2 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL 
240. Batang tubuh Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian 
Internasional pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis 
dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: 
a. Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan 
memuat pernyataan melampirkan salinan naskah asli dan 
terjemahannya dalam bahasa Indonesia. 
b. Pasal . . .
- 74 - 
- 74 - 
b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku. 
Contoh untuk perjanjian multilateral: 
Pasal 1 
Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development, 
Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their 
Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi, 
Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta Pemusnahannya) 
yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam 
bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang 
tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 
Pasal 2 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
Contoh untuk perjanjian bilateral yang hanya menggunakan dua 
bahasa: 
Pasal 1 
Mengesahkan Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia dan 
Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana 
(Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual 
Assistance in Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal 
27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam 
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagaimana terlampir dan 
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang–Undang 
ini. 
Pasal 2 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
Contoh . . .
- 75 - 
- 75 - 
Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih dari dua 
bahasa: 
Pasal 1 
Mengesahkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia 
dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang 
Melarikan Diri (Agreement between the Government of the Republik of 
Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of 
Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 
1977 di Hongkong yang salinan naskah aslinya dalam bahasa 
Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Cina sebagaimana terlampir 
dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang 
ini. 
Pasal 2 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
241. Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atau 
persetujuan internasional yang dilakukan dengan Undang-Undang 
berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan 
internasional yang dilakukan dengan Peraturan Presiden. 
BAB III . . .
- 76 - 
- 76 - 
BAB III 
RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN 
BAHASA PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN 
242. Bahasa Peraturan Perundang–undangan pada dasarnya tunduk pada 
kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan 
kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa 
Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang 
bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, 
kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan 
hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan. 
243. Ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan antara lain: 
a. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan; 
b. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai; 
c. objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam 
mengungkapkan tujuan atau maksud); 
d. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan 
secara konsisten; 
e. memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat; 
f. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu 
dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan 
Contoh: 
buku-buku ditulis buku 
murid-murid ditulis murid 
g. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah 
didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, 
nama profesi, nama institusi/lembaga pemerintah/ketatanegaraan, 
dan jenis Peraturan Perundang-undangan dan rancangan 
Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma ditulis 
dengan huruf kapital. 
Contoh: . . .
- 77 - 
- 77 - 
Contoh: 
- Pemerintah 
- Wajib Pajak 
- Rancangan Peraturan Pemerintah 
244. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang–undangan 
digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti. 
Contoh: 
Pasal 5 
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, 
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 
Rumusan yang lebih baik: 
(1) Permohonan beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai 
berikut: 
245. Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau 
konteksnya dalam kalimat tidak jelas. 
Contoh: 
Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas 
dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol. 
246. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, 
gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku. 
Contoh kalimat yang tidak baku: 
Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut. 
Contoh kalimat yang baku: 
Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya. 
247. Untuk . . .
- 78 - 
247. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah 
- 78 - 
diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi. 
Contoh: 
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan 
Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara 
Pasal 58 
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: 
a. nama dan alamat percetakan perusahaan yang melakukan 
pencetakan blanko; 
b. jumlah blanko yang dicetak; dan 
c. jumlah dokumen yang diterbitkan. 
248. Untuk mempersempit pengertian kata atau isilah yang sudah 
diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak 
meliputi. 
Contoh: 
Anak buah kapal tidak meliputi koki magang. 
249. Tidak memberikan arti kepada kata atau frasa yang maknanya terlalu 
menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan 
bahasa sehari-hari. 
Contoh: 
Pertanian meliputi pula perkebunan, peternakan, dan perikanan. 
Rumusan yang baik: 
Pertanian meliputi perkebunan. 
250. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang sama, tidak 
menggunakan: 
a. beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu pengertian 
yang sama. 
Contoh: . . .
- 79 - 
- 79 - 
Contoh: 
Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian 
penghasilan. Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu 
pasal telah digunakan kata gaji maka dalam pasal-pasal 
selanjutnya jangan menggunakan kata upah atau pendapatan 
untuk menyatakan pengertian penghasilan. 
b. satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda. 
Contoh: 
Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian 
penahanan atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak 
sama dengan pengertian pengamanan. 
251. Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, tidak boleh 
menggunakan frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, 
atau tanpa menyimpang dari. 
252. Untuk menghindari perubahan nama kementerian, penyebutan 
menteri sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada 
urusan pemerintahan dimaksud. 
Contoh: 
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan 
di bidang keuangan. 
253. Penyerapan kata, frasa, atau istilah bahasa asing yang banyak 
dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa 
Indonesia dapat digunakan jika: 
a. mempunyai konotasi yang cocok; 
b. lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa 
Indonesia; 
c. mempunyai corak internasional; 
d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau 
e. lebih . . .
- 80 - 
- 80 - 
e. lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa 
Indonesia. 
Contoh: 
1. devaluasi (penurunan nilai uang) 
2. devisa (alat pembayaran luar negeri) 
254. Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa asing hanya digunakan 
di dalam penjelasan Peraturan Perundang–undangan. Kata, frasa, 
atau istilah bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam 
Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan diantara tanda baca 
kurung ( ). 
Contoh: 
1. penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) 
2. penggabungan (merger) 
PILIHAN KATA ATAU ISTILAH 
255. Gunakan kata paling, untuk menyatakan pengertian maksimum dan 
minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu. 
Contoh: 
… dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau 
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit 
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atau paling banyak 
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 
Contoh untuk Perda: 
… dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau 
denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 
256. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan: 
a. waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama untuk 
menyatakan jangka waktu; 
Contoh . . .
- 81 - 
- 81 - 
Contoh 1: 
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling 
lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini 
diundangkan. 
Contoh 2: 
Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas 
rancangan undang-undang bersama DPR dalam waktu paling lama 
60 (enam puluh) hari sejak surat Pimpinan DPR diterima. 
b.waktu, gunakan frasa paling lambat atau paling cepat untuk 
menyatakan batas waktu. 
Contoh: 
Surat permohonan izin usaha disampaikan kepada dinas 
perindustrian paling lambat tanggal 22 Juli 2011. 
c. jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak; 
d.jumlah non-uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi. 
257. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. 
Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan 
adalah seluruh kalimat. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan 
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 
Pasal 29 
Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor, 
pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata 
maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut 
Undang-Undang ini. 
258. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang 
akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan. 
Contoh: . . .
- 82 - 
- 82 - 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 
Pasal 1 
.... 
38. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, 
kecuali awak alat angkut. 
259. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 
Pasal 77 
(1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video 
konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang 
memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan 
mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. 
260. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, 
digunakan kata jika, apabila, atau frasa dalam hal. 
a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal 
(pola karena-maka). 
Contoh: 
Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut. 
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis 
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan 
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 
Pasal 41 
(3) Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera 
menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil 
Presiden menjadi Presiden. 
b. Kata . . .
- 83 - 
- 83 - 
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang 
mengandung waktu. 
Contoh: 
Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam 
masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 10 ayat (4), yang bersangkutan digantikan oleh anggota 
pengganti sampai habis masa jabatannya. 
c. Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu 
kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau 
mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka). 
Contoh: 
Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil 
Ketua. 
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura 
Pasal 33 
(2) Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri tidak mencukupi 
atau tidak tersedia, dapat digunakan sarana hortikultura yang 
berasal dari luar negeri. 
261. Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang 
pasti akan terjadi di masa depan. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 
Pasal 59 
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan atau 
ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik wajib 
disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling 
lambat 2 (dua) tahun. 
262. Untuk . . .
- 84 - 
262. Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan. 
- 84 - 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos 
Pasal 30 
Penyelenggara pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan, dan 
keselamatan kiriman. 
263. Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara 
Pasal 19 
(1) Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan 
kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan 
Rakyat. 
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan 
Pasal 22 
(2) Dalam hal tidak ada korps musik atau genderang dan/atau 
sangkakala pengibaran atau penurunan bendera negara diiringi 
dengan lagu kebangsaan oleh seluruh peserta upacara. 
264. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa 
dan/atau. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan 
Kesehatan Hewan 
Pasal 69 . . .
- 85 - 
- 85 - 
Pasal 69 
(1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium 
veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian 
veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa 
di pusat jasa kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan 
Pasal 31 
(2) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. penghormatan dengan bendera negara; 
b. penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau 
c. bentuk penghormatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan 
perundang-undangan. 
265. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis 
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan 
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 
Pasal 72 
(1) DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak 
meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau 
warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu 
hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. 
266. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau 
lembaga gunakan kata berwenang. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan 
Pasal 313 . . .
- 86 - 
- 86 - 
Pasal 313 
(1) Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum dan 
mengambil tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan. 
267. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang 
diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. 
Contoh 1: 
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral 
dan Batubara 
Pasal 90 
Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh 
tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun 
kegiatan operasi produksi. 
Contoh 2: 
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan 
Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara 
Pasal 28 
(2) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri 
terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya 
sendiri dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta 
bantuan kepada orang lain. 
268. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, 
gunakan kata wajib. 
Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan dijatuhi 
sanksi. 
Contoh 1: 
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 
Pasal 8 . . .
- 87 - 
- 87 - 
Pasal 8 
(1) Setiap orang yang masuk atau ke luar Wilayah Indonesia wajib 
memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku. 
Contoh 2: 
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan 
Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara 
Pasal 17 
(1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK. 
269. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan 
tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak 
dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang 
seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau 
persyaratan tersebut. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik 
Pasal 6 
(1) Untuk mendapatkan izin menjadi Akuntan Publik sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) seseorang harus memenuhi 
syarat sebagai berikut: 
a. memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi akuntan publik 
yang sah; 
b. berpengalaman praktik memberikan jasa sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 3; 
c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; 
e. tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan 
izin Akuntan Publik; 
f. tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan 
hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang 
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 
g. menjadi . . .
- 88 - 
- 88 - 
g. menjadi anggota Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang 
ditetapkan oleh Menteri; dan 
h. tidak berada dalam pengampuan. 
270. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang. 
Contoh 1: 
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan 
Kawasan Permukiman 
Pasal 135 
Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya 
atas rumah umum kepada pihak lain. 
Contoh 2: 
Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Nomor 2 Tahun 2010 
tentang Izin Usaha Perikanan dan Tanda Pencatatan Kegiatan 
Perikanan 
Pasal 11 
(1) Setiap pemegang IUP atau TPKP dilarang: 
a. melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan 
alat terlarang seperti bahan kimia, bahan peledak, obat bius, 
arus listrik, dan menggunakan alat tangkap dengan ukuran 
mata jaring kurang 2,5 cm atau alat tangkap dengan ukuran 
mata bilah kurang dari 1 cm. 
TEKNIK PENGACUAN 
271. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian 
tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun, untuk menghindari 
pengulangan rumusan digunakan teknik pengacuan. 
272. Teknik . . .
- 89 - 
272. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari 
- 89 - 
Peraturan Perundang–undangan yang bersangkutan atau Peraturan 
Perundang–undangan yang lain dengan menggunakan frasa 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal … atau sebagaimana dimaksud 
pada ayat … . 
Contoh 1: 
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 
Pasal 72 
(1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan 
oleh penyidik BNN. 
(2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan 
diberhentikan oleh Kepala BNN. 
Contoh 2: 
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan 
Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara 
Pasal 5 
(1) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 4 ayat (2) huruf a, penyelenggara mengadakan koordinasi 
dengan instansi vertikal dan lembaga pemerintah nonkementerian. 
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan 
aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, 
dan evaluasi penyelenggaraan administrasi kependudukan. 
273. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal, ayat, atau huruf yang 
berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal, ayat demi ayat, 
atau huruf demi huruf yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan 
frasa sampai dengan. 
Contoh: . . .
- 90 - 
- 90 - 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 
Pasal 10 
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, 
anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur 
dengan Peraturan Bank Indonesia. 
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial 
Pasal 57 
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan 
Peraturan Pemerintah. 
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 
Pasal 37 
(3) ... 
f. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak 
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e. 
274. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal atau ayat yang berurutan, 
tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau 
ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali. 
Contoh: 
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan 
Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1). 
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan 
ayat (5) berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a. 
275. Kata pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan 
salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan. 
Contoh: . . .
- 91 - 
- 91 - 
Contoh: 
Rumusan yang tidak tepat: 
Pasal 8 
(1) … . 
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 
60 (enam puluh) hari. 
276. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai 
dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian diikuti 
dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil. 
Contoh: 
Pasal 15 
(1) … . 
(2) … . 
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan 
ayat (4), Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri 
Pertambangan. 
277. Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi 
pokok yang diacu. 
Contoh: 
Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 
diberikan oleh … . 
278. Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang–undangan 
yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 
279. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau 
ayat bersangkutan. 
Contoh: 
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana 
Pencucian Uang 
Pasal 15 . . .
- 92 - 
- 92 - 
Pasal 15 
Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara 
paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 
(lima ratus juta rupiah). 
280. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari 
pasal atau ayat yang diacu dan tidak menggunakan frasa pasal yang 
terdahulu atau pasal tersebut di atas. 
281. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan 
Peraturan Perundang–undangan yang tidak disebutkan secara rinci, 
menggunakan frasa sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang– 
undangan. 
282. Untuk menyatakan peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan 
Perundang–undangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak 
bertentangan dengan Peraturan Perundang–undangan, gunakan frasa 
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan 
ketentuan dalam … (jenis Peraturan Perundang-undangan yang 
bersangkutan) ini. 
Contoh: 
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan 
Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari 
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia 
Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik 
Indonesia Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang 
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 
283. Jika Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap 
berlaku hanya sebagian dari ketentuan Peraturan Perundang– 
undangan tersebut, gunakan frasa dinyatakan tetap berlaku, kecuali 
… . 
Contoh: . . .
- 93 - 
- 93 - 
Contoh: 
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah 
Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia 
Tahun … Nomor … , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 
Nomor …) dinyatakan tetap berlaku, kecuali Pasal 5 sampai dengan 
Pasal 10. 
284. Naskah Peraturan Perundang-undangan diketik dengan jenis huruf 
Bookman Old Style, dengan huruf 12, di atas kertas F4. 
BAB IV . . .
- 94 - 
- 94 - 
BAB IV 
BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 
A. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG 
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR … TAHUN … 
TENTANG 
… 
(Nama Undang–Undang) 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. dan seterusnya …; 
Mengingat: 1. …; 
2. …; 
3. dan seterusnya …; 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG … (nama Undang–Undang). 
BAB I 
… 
Pasal 1 . . .
- 95 - 
- 95 - 
Pasal 1 
… 
BAB II 
… 
Pasal … 
BAB … (dan seterusnya) 
Pasal … 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya 
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 
Disahkan di Jakarta 
pada tanggal … 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
NAMA 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal … 
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum), 
tanda tangan 
NAMA 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … 
B. RANCANGAN . . .
- 96 - 
B. RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENETAPAN PERATURAN 
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG MENJADI UNDANG– 
UNDANG 
- 96 - 
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR …TAHUN … 
TENTANG 
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI 
UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … 
TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. dan seterusnya …; 
Mengingat: 1. ...; 
2. …; 
3. dan seterusnya …; 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN 
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG NOMOR … 
TAHUN ... TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG. 
Pasal 1 . . .
- 97 - 
- 97 - 
Pasal 1 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor … 
Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia 
Tahun ... Nomor ... , Tambahan Lembaran Negara Republik 
Indonesia Nomor …) ditetapkan menjadi Undang–Undang 
dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak 
terpisahkan dari Undang-Undang ini. 
Pasal 2 
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya 
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 
Disahkan di Jakarta 
pada tanggal … 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
NAMA 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal … 
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum), 
tanda tangan 
NAMA 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … 
C. RANCANGAN . . .
- 98 - 
C. RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN 
- 98 - 
INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA 
SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI 
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR … TAHUN … 
TENTANG 
PENGESAHAN KONVENSI … 
(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan 
bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. dan seterusnya …; 
Mengingat: 1. …; 
2. …; 
3. dan seterusnya …; 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI … 
(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan 
diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya). 
Pasal 1 
(1) Mengesahkan Konvensi … (bahasa asli perjanjian 
internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan 
bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) … dengan 
Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang… . 
(2) Salinan . . .
- 99 - 
- 99 - 
(2) Salinan naskah asli Konvensi … (bahasa asli perjanjian 
internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan 
bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) … dengan 
Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang … 
dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa 
Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan 
bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. 
Pasal 2 
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Undang–Undang ini dengan 
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 
Indonesia. 
Disahkan di Jakarta 
pada tanggal … 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
NAMA 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal … 
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum), 
tanda tangan 
NAMA 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR .. 
D. BENTUK . . .
- 100 - 
D. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG 
- 100 - 
UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR … TAHUN … 
TENTANG 
PERUBAHAN ATAS UNDANG – UNDANG 
NOMOR … TAHUN … TENTANG … 
(untuk perubahan pertama ) 
atau 
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG 
NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ... 
( untuk perubahan kedua, dan seterusnya ) 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. dan seterusnya …; 
Mengingat: 1. …; 
2. …; 
3. dan seterusnya …; 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS 
UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG ... . 
Pasal I . . .
- 101 - 
- 101 - 
Pasal I 
Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor ... 
Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik 
Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran 
Negara Republik Indonesia Nomor … ) diubah sebagai 
berikut: 
1. Ketentuan Pasal ... ( bunyi rumusan tergantung 
keperluan ), dan seterusnya. 
Pasal II 
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Undang-Undang ini dengan 
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 
Indonesia. 
Disahkan di Jakarta 
pada tanggal … 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
NAMA 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal … 
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum), 
tanda tangan 
NAMA 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … 
E. BENTUK . . .
- 102 - 
E. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN UNDANG– 
UNDANG 
- 102 - 
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR … TAHUN … 
TENTANG 
PENCABUTAN UNDANG–UNDANG NOMOR … TAHUN … 
TENTANG … (Nama Undang–Undang) 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. dan seterusnya …; 
Mengingat: 1. …; 
2. …; 
3. dan seterusnya …; 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG 
NOMOR … TAHUN … TENTANG ... . 
Pasal 1 
Undang–Undang Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran 
Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor ..., Tambahan 
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan 
dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang–Undang yang sudah 
berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku 
(bagi Undang–Undang yang sudah diundangkan tetapi belum 
mulai berlaku). 
Pasal 2 . . .
- 103 - 
- 103 - 
Pasal 2 
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya 
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 
Disahkan di Jakarta 
pada tanggal … 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
NAMA 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal … 
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum), 
tanda tangan 
NAMA 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … 
F. BENTUK . . .
- 104 - 
F. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN 
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG 
- 104 - 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR … TAHUN … 
TENTANG 
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH 
PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. dan seterusnya …; 
Mengingat: 1. …; 
2. …; 
3. dan seterusnya …; 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN … TENTANG 
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI 
UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … 
Pasal 1 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 
… Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik 
Indonesia Tahun …. Nomor ..., Tambahan Lembaran 
Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan 
dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah 
Pengganti Undang-undang yang sudah berlaku) atau 
ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi 
Peraturan . . .
- 105 - 
- 105 - 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang 
sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku). 
Pasal 2 
Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Undang-Undang ini dengan 
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 
Indonesia. 
Disahkan di Jakarta 
pada tanggal … 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
NAMA 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal … 
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum), 
tanda tangan 
NAMA 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … 
G. RANCANGAN . . .
- 106 - 
G. RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG 
- 106 - 
PERATURAN PEMERINTAH 
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR …. TAHUN ….. 
TENTANG 
(Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. dan seterusnya …; 
Mengingat: 1. …; 
2. …; 
3. dan seterusnya …; 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG 
TENTANG … (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti 
Undang-undang). 
BAB I 
… 
Pasal 1 
BAB II 
... 
Pasal … 
BAB 
(dan seterusnya) 
Pasal 2 . . .
- 107 - 
- 107 - 
Pasal 2 
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai 
berlaku pada tanggal diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- 
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran 
Negara Republik Indonesia. 
Ditetapkan di Jakarta 
pada tanggal … 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
NAMA 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal … 
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum), 
tanda tangan 
NAMA 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … 
H. BENTUK . . .
- 108 - 
H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH 
- 108 - 
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR … TAHUN … 
TENTANG 
(Nama Peraturan Pemerintah) 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. dan seterusnya …; 
Mengingat: 1. …; 
2. …; 
3. dan seterusnya …; 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …. (nama 
Peraturan Pemerintah). 
BAB I 
… 
Pasal 1 
BAB II 
Pasal … 
BAB … 
(dan seterusnya) 
Pasal ... . . .
- 109 - 
- 109 - 
Pasal … 
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan 
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 
Indonesia. 
Ditetapkan di Jakarta 
pada tanggal … 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
NAMA 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal … 
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum), 
tanda tangan 
NAMA 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR… 
I. RANCANGAN . . .
- 110 - 
I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN 
- 110 - 
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR … TAHUN … 
TENTANG 
(Nama Peraturan Presiden) 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. dan seterusnya …; 
Mengingat: 1. …; 
2. …; 
3. dan seterusnya …; 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG …. (nama Peraturan 
Presiden). 
BAB I 
… 
Pasal 1 
BAB II 
Pasal … 
BAB … 
(dan seterusnya) 
Pasal ... . . .
- 111 - 
- 111 - 
Pasal … 
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Peraturan Presiden ini dengan 
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik 
Indonesia. 
Ditetapkan di Jakarta 
pada tanggal … 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
NAMA 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal … 
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum), 
tanda tangan 
NAMA 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR… 
J. BENTUK . . .
- 112 - 
J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI 
- 112 - 
PERATURAN MENTERI … REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR … TAHUN … 
TENTANG 
(Nama Peraturan Menteri) 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
MENTERI …REPUBLIK INDONESIA, 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. dan seterusnya …; 
Mengingat: 1. …; 
2. …; 
3. dan seterusnya …; 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: PERATURAN MENTERI … TENTANG …. (nama 
Peraturan Menteri). 
BAB I 
… 
Pasal 1 
BAB II 
Pasal … 
BAB … 
(dan seterusnya) 
Pasal . . .
- 113 - 
- 113 - 
Pasal … 
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan 
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. 
Ditetapkan di Jakarta 
pada tanggal … 
MENTERI ... REPUBLIK INDONESIA, 
tanda tangan 
NAMA 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal … 
MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang 
hukum), 
tanda tangan 
NAMA 
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR… 
K. BENTUK . . .
- 114 - 
K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI 
- 114 - 
PERATURAN DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi) 
NOMOR … TAHUN … 
TENTANG 
(nama Peraturan Daerah) 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
GUBERNUR (Nama Provinsi), 
Menimbang : a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. dan seterusnya …; 
Mengingat: 1. …; 
2. …; 
3. dan seterusnya …; 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI … 
(Nama Provinsi) 
dan 
GUBERNUR … (Nama Provinsi) 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan Daerah) 
BAB I 
KETENTUAN UMUM 
Pasal 1 
BAB II . . .
- 115 - 
- 115 - 
BAB II 
… 
Pasal … 
BAB … 
(dan seterusnya) 
Pasal ... 
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya 
dalam Lembaran Daerah Provinsi … (Nama Provinsi). 
Ditetapkan di … 
pada tanggal … 
GUBERNUR … (Nama Provinsi) 
tanda tangan 
NAMA 
Diundangkan di … 
pada tanggal … 
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI… (Nama Provinsi), 
tanda tangan 
NAMA 
LEMBARAN DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi) TAHUN … NOMOR … 
L. BENTUK . . .
- 116 - 
L. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 
PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA… (nama kabupaten/kota) 
- 116 - 
NOMOR … TAHUN … 
TENTANG 
(nama Peraturan Daerah) 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
BUPATI/WALIKOTA (nama kabupaten/kota), 
Menimbang: a. bahwa …; 
b. bahwa …; 
c. dan seterusnya …; 
Mengingat: 1. …; 
2. …; 
3. dan seterusnya …; 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA … 
(nama kabupaten/kota) 
dan 
BUPATI/WALIKOTA … (nama kabupaten/kota) 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan 
Daerah). 
BAB I 
KETENTUAN UMUM 
Pasal 1 
BAB II 
… 
Pasal … 
BAB … 
(dan seterusnya) 
Pasal . . .
- 117 - 
- 117 - 
Pasal … 
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 
diundangkan. 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya 
dalam Lembaran Daerah Kabupaten/Kota … (nama 
kabupaten/kota). 
Ditetapkan di … 
pada tanggal … 
BUPATI/WALIKOTA … (nama 
kabupaten/kota), 
tanda tangan 
NAMA 
Diundangkan di … 
pada tanggal … 
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota), 
tanda tangan 
NAMA 
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota) 
TAHUN … NOMOR … 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
ttd. 
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Undang-Undang

  • 1.
    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan; c. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Mengingat . . .
  • 2.
    - 2 - Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar - 2 - Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. 2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. 3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. 5. Peraturan . . .
  • 3.
    - 3 - - 3 - 5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. 6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. 7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. 8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. 9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 10. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. 11. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 12. Pengundangan . . .
  • 4.
    - 4 - - 4 - 12. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. 13.Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. 14. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 15. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 2 Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Pasal 3 (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. (2) Undang-Undang . . .
  • 5.
    - 5 - - 5 - (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (3) Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya. Pasal 4 Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. BAB II ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 5 Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. Pasal 6 . . .
  • 6.
    - 6 - - 6 - Pasal 6 (1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. (2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. BAB III JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang . . .
  • 7.
    - 7 - - 7 - c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 8 (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pasal 9 . . .
  • 8.
    - 8 - - 8 - Pasal 9 (1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. (2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pasal 10 (1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden. Pasal 11 Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 12 . . .
  • 9.
    - 9 - - 9 - Pasal 12 Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Pasal 13 Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Pasal 14 Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 15 (1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. Undang-Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Peraturan . . .
  • 10.
    - 10 - - 10 - (3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya. BAB IV PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Bagian Kesatu Perencanaan Undang-Undang Pasal 16 Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. Pasal 17 Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Pasal 18 Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan Undang- Undang didasarkan atas: a. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. perintah . . .
  • 11.
    - 11 - - 11 - c. perintah Undang-Undang lainnya; d. sistem perencanaan pembangunan nasional; e. rencana pembangunan jangka panjang nasional; f. rencana pembangunan jangka menengah; g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Pasal 19 (1) Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. (2) Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan c. jangkauan dan arah pengaturan. (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik. Pasal 20 (1) Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah. (2) Prolegnas . . .
  • 12.
    - 12 - - 12 - (2) Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang. (3) Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. (4) Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. (5) Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pasal 21 (1) Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. (4) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (5) Ketentuan . . .
  • 13.
    - 13 - - 13 - (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan DPR. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 22 (1) Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR. (2) Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPR. Pasal 23 (1) Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: a. pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan e. penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk . . .
  • 14.
    - 14 - - 14 - a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Bagian Kedua Perencanaan Peraturan Pemerintah Pasal 24 Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah. Pasal 25 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 memuat daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang- Undang sebagaimana mestinya. (2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Pasal 26 . . .
  • 15.
    - 15 - - 15 - Pasal 26 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (2) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pasal 27 Rancangan Peraturan Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya. Pasal 28 (1) Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah. (2) Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan kebutuhan Undang-Undang atau putusan Mahkamah Agung. Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian . . .
  • 16.
    - 16 - - 16 - Bagian Ketiga Perencanaan Peraturan Presiden Pasal 30 Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden. Pasal 31 Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Presiden. Bagian Keempat Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 32 Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi. Pasal 33 (1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. (2) Materi . . .
  • 17.
    - 17 - - 17 - (2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d. jangkauan dan arah pengaturan. (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik. Pasal 34 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi. (2) Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. (3) Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. Pasal 35 Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas: a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; b. rencana . . .
  • 18.
    - 18 - - 18 - b. rencana pembangunan daerah; c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan d. aspirasi masyarakat daerah. Pasal 36 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur. Pasal 37 (1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi. (2) Prolegda . . .
  • 19.
    - 19 - - 19 - (2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi. Pasal 38 (1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. (2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan c. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum. Bagian Kelima Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 39 Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota. Pasal 40 . . .
  • 20.
    - 20 - - 20 - Pasal 40 Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 41 Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka mengenai pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya dan/atau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya. Bagian Keenam Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Lainnya Pasal 42 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau instansi masing-masing. (2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga, komisi, atau instansi masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. BAB V . . .
  • 21.
    - 21 - - 21 - BAB V PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Bagian Kesatu Penyusunan Undang-Undang Pasal 43 (1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. (2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD. (3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (5) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. Pasal 44 (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan . . .
  • 22.
    - 22 - - 22 - (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 45 (1) Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan Undang- Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. (2) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: a. otonomi daerah; b. hubungan pusat dan daerah; c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e. perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 46 (1) Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Ketentuan . . .
  • 23.
    - 23 - - 23 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPR. Pasal 47 (1) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. (2) Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. (3) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 48 (1) Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik. (2) Usul . . .
  • 24.
    - 24 - - 24 - (2) Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang. (3) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan Undang-Undang. (4) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan tertulis mengenai hasil pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna. Pasal 49 (1) Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. (2) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. (3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Pasal 50 . . .
  • 25.
    - 25 - - 25 - Pasal 50 (1) Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. (2) Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR. (3) DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima. (4) Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang- Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan. Pasal 51 Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan Rancangan Undang-Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. Bagian . . .
  • 26.
    - 26 - - 26 - Bagian Kedua Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pasal 52 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. (2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang. (3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. (5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. (6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (7) Rancangan . . .
  • 27.
    - 27 - - 27 - (7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 53 Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Ketiga Penyusunan Peraturan Pemerintah Pasal 54 (1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (3) Ketentuan . . .
  • 28.
    - 28 - - 28 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Keempat Penyusunan Peraturan Presiden Pasal 55 (1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Kelima Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 56 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur. (2) Rancangan . . .
  • 29.
    - 29 - - 29 - (2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. (3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau c. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. Pasal 57 (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 58 (1) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Pengharmonisasian . . .
  • 30.
    - 30 - - 30 - (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Pasal 59 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 60 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi. Pasal 61 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD Provinsi disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur. (2) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi. Pasal 62 . . .
  • 31.
    - 31 - - 31 - Pasal 62 Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. Bagian Keenam Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 63 Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. BAB VI TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 64 (1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. (3) Ketentuan . . .
  • 32.
    - 32 - - 32 - (3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. BAB VII PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pasal 65 (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan: a. otonomi daerah; b. hubungan pusat dan daerah; c. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e. perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD. (3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I. (4) Keikutsertaan . . .
  • 33.
    - 33 - - 33 - (4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan Undang- Undang yang dibahas. (5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Pasal 66 Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan. Pasal 67 Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 terdiri atas: a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna. Pasal 68 (1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: a. pengantar musyawarah; b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c. penyampaian pendapat mini. (2) Dalam . . .
  • 34.
    - 34 - - 34 - (2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR; c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang- Undang berasal dari Presiden; atau d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden. (3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; atau b. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2). (4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh: a. fraksi; b. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2); dan c. Presiden. (5) Dalam . . .
  • 35.
    - 35 - - 35 - (5) Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan. (6) Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain. Pasal 69 (1) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi. (2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. (3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Pasal 70 . . .
  • 36.
    - 36 - - 36 - Pasal 70 (1) Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. (2) Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPR. Pasal 71 (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden; b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pengambilan . . .
  • 37.
    - 37 - - 37 - c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. Bagian Kedua Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pasal 72 (1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. (2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Pasal 73 (1) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. (2) Dalam . . .
  • 38.
    - 38 - - 38 - (2) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. (3) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pasal 74 (1) Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang- Undang tersebut. (2) Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang- Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB VIII . . .
  • 39.
    - 39 - - 39 - BAB VIII PEMBAHASAN DAN PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 75 (1) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur. (2) Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. (3) Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. Pasal 76 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. (2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur. (3) Ketentuan . . .
  • 40.
    - 40 - - 40 - (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. Bagian Kedua Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 77 Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bagian Ketiga Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 78 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi. (2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Pasal 79 . . .
  • 41.
    - 41 - - 41 - Pasal 79 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. (2) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan. (3) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah. Bagian Keempat Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 80 Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. BAB IX . . .
  • 42.
    - 42 - - 42 - BAB IX PENGUNDANGAN Pasal 81 Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: a. Lembaran Negara Republik Indonesia; b. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia; c. Berita Negara Republik Indonesia; d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; e. Lembaran Daerah; f. Tambahan Lembaran Daerah; atau g. Berita Daerah. Pasal 82 Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi: a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Presiden; dan d. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pasal 83 Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan Perundang-undangan yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 84 . . .
  • 43.
    - 43 - - 43 - Pasal 84 (1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (2) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 85 Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Pasal 86 (1) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah. (3) Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Pasal 87 . . .
  • 44.
    - 44 - - 44 - Pasal 87 Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. BAB X PENYEBARLUASAN Bagian Kesatu Penyebarluasan Prolegnas, Rancangan Undang-Undang, dan Undang-Undang Pasal 88 (1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang- Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan. Pasal 89 (1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyebarluasan . . .
  • 45.
    - 45 - - 45 - (2) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Pasal 90 (1) Penyebarluasan Undang-Undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dilakukan secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah. (2) Penyebarluasan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh DPD sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 91 (1) Dalam hal Peraturan Perundang-undangan perlu diterjemahkan ke dalam bahasa asing, penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (2) Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan terjemahan resmi. Bagian . . .
  • 46.
    - 46 - - 46 - Bagian Kedua Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 92 (1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan. Pasal 93 (1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD. (3) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Pasal 94 . . .
  • 47.
    - 47 - - 47 - Pasal 94 Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Bagian Ketiga Naskah yang Disebarluaskan Pasal 95 Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah. BAB XI PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 96 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar . . .
  • 48.
    - 48 - - 48 - d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 97 Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat. Pasal 98 . . .
  • 49.
    - 49 - - 49 - Pasal 98 (1) Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 99 Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 100 Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang- Undang ini. Pasal 101 . . .
  • 50.
    - 50 - - 50 - Pasal 101 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 102 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 103 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 104 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . .
  • 51.
    - 51 - - 51 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 82
  • 52.
    PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANGREPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN I. UMUM Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang.” Namun, ruang lingkup materi muatan Undang-Undang ini diperluas tidak saja Undang- Undang tetapi mencakup pula Peraturan Perundang-undangan lainnya, selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain: a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang menimbulkan kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum; b. teknik . . .
  • 53.
    - 2 - b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten; c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan - 2 - atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika. Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam Undang-Undang ini, yaitu antara lain: a. penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya; c. pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang; d. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; e. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan f. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini. Secara umum Undang-Undang ini memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundang-undangan; penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten . . .
  • 54.
    - 3 - Kabupaten/Kota; pengundangan Peraturan Perundang-undangan; penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya. - 3 - Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang ini, seperti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan beserta contohnya yang ditempatkan dalam Lampiran II. Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan Peraturan Perundang-undangan, termasuk Peraturan Perundang-undangan di daerah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan . . .
  • 55.
    - 4 - - 4 - Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. Huruf c . . .
  • 56.
    - 5 - - 5 - Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 6 . . .
  • 57.
    - 6 - Pasal 6 - 6 - Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Huruf f . . .
  • 58.
    - 7 - - 7 - Huruf f Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Huruf i Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Huruf j Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. Ayat (2) . . .
  • 59.
    - 8 - - 8 - Ayat (2) Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain: a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f . . .
  • 60.
    - 9 - - 9 - Huruf f Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Huruf g Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Ayat (2) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . .
  • 61.
    - 10 - - 10 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Huruf d Yang dimaksud dengan ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang- Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 . . .
  • 62.
    - 11 - Pasal 12 - 11 - Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan. Pasal 13 Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Yang dimaksud dengan “sistem hukum nasional” adalah suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 18 Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . .
  • 63.
    - 12 - - 12 - Huruf b Yang dimaksud dengan “Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . .
  • 64.
    - 13 - - 13 - Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengkajian dan penyelarasan” adalah proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang vertikal atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum” adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 . . .
  • 65.
    - 14 - Pasal 23 - 14 - Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 . . .
  • 66.
    - 15 - Pasal 28 - 15 - Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Daerah Provinsi tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengkajian dan penyelarasan” adalah proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang vertikal atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 . . .
  • 67.
    - 16 - Pasal 35 - 16 - Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “instansi vertikal terkait” antara lain instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 . . .
  • 68.
    - 17 - Pasal 42 - 17 - Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penugasan menteri disertai penyampaian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang telah disusun dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . .
  • 69.
    - 18 - - 18 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut, DPR telah menyelesaikan penyusunan DIM. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 53 . . .
  • 70.
    - 19 - Pasal 53 - 19 - Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 . . .
  • 71.
    - 20 - Pasal 64 - 20 - Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan mekanisme penarikan kembali Rancangan Undang-Undang. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . .
  • 72.
    - 21 - - 21 - Ayat (2) Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Ayat (1) Dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di DPRD Provinsi, Gubernur dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan keputusan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 . . .
  • 73.
    - 22 - Pasal 78 - 22 - Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 . . .
  • 74.
    - 23 - Pasal 87 - 23 - Berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang tidak sama dengan tanggal Pengundangan dimungkinkan untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana Peraturan Perundang-undangan tersebut. Pasal 88 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai Prolegnas, Rancangan Undang-Undang yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Undang- Undang tersebut atau memahami Undang-Undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik dan/atau media cetak. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang sedang disusun . . .
  • 75.
    - 24 - - 24 - disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Peraturan Daerah tersebut atau memahami Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik dan/atau media cetak. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Termasuk dalam kelompok orang antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 . . .
  • 76.
    - 25 - Pasal 98 - 25 - Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Perancang Peraturan Perundang-undangan” adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5234
  • 77.
    LAMPIRAN I UNDANG–UNDANGREPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 2. Sistematika Naskah Akademik adalah sebagai berikut: JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA BAB VI PENUTUP DAFTAR . . .
  • 78.
    - 2 - - 2 - DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Uraian singkat setiap bagian: 1. BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian. A. Latar Belakang Latar belakang memuat pemikiran dan alasan-alasan perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah tertentu. Latar belakang menjelaskan mengapa pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah suatu Peraturan Perundang-undangan memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. B. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu sebagai berikut: 1) Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi. 2) Mengapa . . .
  • 79.
    - 3 - - 3 - 2) Mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut. 3) Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. 4) Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan. C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut: 1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut. 2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. 3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. 4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. D.Metode . . .
  • 80.
    - 4 - - 4 - D. Metode Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti. 2. BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut: A. Kajian teoretis. B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian. C. Kajian . . .
  • 81.
    - 5 - - 5 - C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara. 3. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang- Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. 4. BAB IV . . .
  • 82.
    - 6 - 4. BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS - 6 - A. Landasan Filosofis Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. B. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. C. Landasan Yuridis Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. 5. BAB V . . .
  • 83.
    - 7 - 5. BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP - 7 - MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup: A. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa; B. materi yang akan diatur; C. ketentuan sanksi; dan D. ketentuan peralihan. 6. BAB VI PENUTUP Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran. A. Simpulan Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. B. Saran Saran memuat antara lain: 1. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu Peraturan Perundang-undangan atau Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. 2. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan Undang-Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam Program Legislasi Nasional/Program Legislasi Daerah. 3. Kegiatan . . .
  • 84.
    - 8 - - 8 - 3. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut. 7. DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang-undangan, dan jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik. 8. LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
  • 85.
    LAMPIRAN II UNDANG–UNDANGREPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SISTEMATIKA BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN A. JUDUL B. PEMBUKAAN 1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan 3. Konsiderans 4. Dasar Hukum 5. Diktum C. BATANG TUBUH 1. Ketentuan Umum 2. Materi Pokok yang Diatur 3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) 5. Ketentuan Penutup D. PENUTUP E. PENJELASAN (jika diperlukan) F. LAMPIRAN (jika diperlukan) BAB II . . .
  • 86.
    - 2 - BAB II HAL–HAL KHUSUS - 2 - A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN B. PENYIDIKAN C. PENCABUTAN D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN A. BAHASA PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN B. PILIHAN KATA ATAU ISTILAH C. TEKNIK PENGACUAN BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN A. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PADA UMUMNYA B. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG–UNDANG C. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI D. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PERUBAHAN UNDANG–UNDANG E. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN UNDANG–UNDANG F. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG G. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG H. BENTUK . . .
  • 87.
    - 3 - - 3 - H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI L. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA BAB I . . .
  • 88.
    - 4 - - 4 - BAB I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Kerangka Peraturan Perundang–undangan terdiri atas: A. Judul; B. Pembukaan; C. Batang Tubuh; D. Penutup; E. Penjelasan (jika diperlukan); F. Lampiran (jika diperlukan). A. JUDUL 2. Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan. 3. Nama Peraturan Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang– undangan. Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan 1 (satu) kata: - Paten; - Yayasan; - Ketenagalistrikan. Contoh nama Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan frasa: - Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; - Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; - Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. 4. Judul . . .
  • 89.
    - 5 - 4. Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan - 5 - huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca. Contoh: a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN b. PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG KETERTIBAN UMUM c. QANUN KABUPATEN ACEH JAYA NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN d. PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER PIMPINAN DAN ANGGOTA MAJELIS RAKYAT PAPUA e. PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH 5. Judul . . .
  • 90.
    - 6 - 5. Judul Peraturan Perundang-undangan tidak boleh ditambah dengan - 6 - singkatan atau akronim. Contoh yang tidak tepat dengan menambah singkatan: a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN) b. PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KELURAHAN (LPMK) Contoh yang tidak tepat dengan menggunakan akronim: PERATURAN DAERAH KABUPATEN ... NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH (PROLEGDA) 6. Pada nama Peraturan Perundang–undangan perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah. Contoh: a. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK b. PERATURAN . . .
  • 91.
    - 7 - - 7 - b. PERATURAN DAERAH KABUPATEN JAYAPURA NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH 7. Jika Peraturan Perundang–undangan telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya. Contoh: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DAN KEUANGAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH Contoh Peraturan Daerah: PERATURAN DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS DAERAH KABUPATEN MINAHASA TENGGARA 8. Jika Peraturan Perundang–undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang–undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang–undangan yang diubah. 9. Pada . . .
  • 92.
    - 8 - 9. Pada nama Peraturan Perundang–undangan pencabutan - 8 - ditambahkan kata pencabutan di depan judul Peraturan Perundang– undangan yang dicabut. Contoh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Contoh Peraturan Daerah: PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENCABUTAN PERATURAN DAERAH PROPINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI IZIN TRAYEK DAN IZIN ANGKUTAN KHUSUS DI PERAIRAN DARATAN LINTAS KABUPATEN ATAU KOTA 10. Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang. Contoh: UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG– UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG–UNDANG 11. Pada . . .
  • 93.
    - 9 - 11. Pada nama Peraturan Perundang–undangan pengesahan perjanjian - 9 - atau persetujuan internasional, ditambahkan kata pengesahan di depan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan. Contoh: UNDANG-UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON THE FRAMEWORK FOR SECURITY COOPERATION) 12. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional bahasa Indonesia digunakan sebagai salah satu teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa Indonesia, yang diikuti oleh bahasa asing dari teks resmi yang ditulis dengan huruf cetak miring dan diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI BAGIAN BARAT SELAT SINGAPURA, 2009 (TREATY BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE REPUBLIC OF SINGAPORE RELATING DELIMITATION OF THE TERRITORIAL SEAS OF THE TWO COUNTRIES IN THE WESTERN PART OF THE STRAIT OF SINGAPORE, 2009) 13. Jika dalam perjanjian atau persetujuan internasional, bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian atau persetujuan ditulis dalam bahasa Inggris dengan huruf cetak miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: . . .
  • 94.
    - 10 - - 10 - Contoh: UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA–BANGSA MENENTANG TINDAK PIDANA TRANSNASIONAL YANG TERORGANISASI) B. PEMBUKAAN 14. Pembukaan Peraturan Perundang–undangan terdiri atas: a. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa; b. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan; c. Konsiderans; d. Dasar Hukum; dan e. Diktum. B.1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 15. Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang–undangan sebelum nama jabatan pembentuk Peraturan Perundang–undangan dicantumkan Frasa Dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin. B.2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan 16. Jabatan pembentuk Peraturan Perundang–undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma. Contoh jabatan pembentuk Undang-Undang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Contoh . . .
  • 95.
    - 11 - - 11 - Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Provinsi: GUBERNUR JAWA BARAT, Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kabupaten: BUPATI GUNUNG KIDUL, Contoh jabatan pembentuk Peraturan Daerah Kota: WALIKOTA DUMAI, B.3. Konsiderans 17. Konsiderans diawali dengan kata Menimbang. 18. Konsiderans memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Perundang–undangan. 19. Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. - Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. - Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. - Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Contoh: . . .
  • 96.
    - 12 - - 12 - Contoh: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat; b. bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif; c. bahwa perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; d. bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; Contoh: . . .
  • 97.
    - 13 - - 13 - Contoh: Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4 Tahun 2009 tentang Sistem Kesehatan Daerah Menimbang: a. bahwa derajat kesehatan masyarakat yang semakin tinggi merupakan investasi strategis pada sumber daya manusia supaya semakin produktif dari waktu ke waktu; b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat perlu diselenggarakan pembangunan kesehatan dengan batas-batas peran, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan yang jelas, akuntabel, berkeadilan, merata, bermutu, berhasil guna dan berdaya guna; c. bahwa untuk memberikan arah, landasan dan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam pembangunan kesehatan, maka diperlukan pengaturan tentang tatanan penyelenggaraan pembangunan kesehatan; 20. Pokok pikiran yang hanya menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan dianggap perlu untuk dibentuk adalah kurang tepat karena tidak mencerminkan pertimbangan dan alasan dibentuknya Peraturan Perundang–undangan tersebut. Lihat juga Nomor 24. 21. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, setiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian. 22. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh: . . .
  • 98.
    - 14 - - 14 - Contoh: Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa ...; c. bahwa ...; d. bahwa …; 23. Jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut: Contoh 1: Konsiderans Undang-Undang Menimbang: a. bahwa…; b. bahwa ...; c. bahwa …; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang ...; Contoh 2: Konsiderans Peraturan Daerah Provinsi Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. bahwa ...; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang ...; 24. Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang- Undang yang memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang– Undang yang memerintahkan pembentukannya. Lihat juga Nomor 19. Contoh: . . .
  • 99.
    - 15 - - 15 - Contoh: Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas. Menimbang: bahwa untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 93, Pasal 101, Pasal 102 ayat (3), Pasal 133 ayat (5) dan Pasal 136 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas; 25. Konsiderans Peraturan Presiden cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Presiden tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukannya. Contoh: Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah. Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah; 26. Konsiderans . . .
  • 100.
    - 16 - 26. Konsiderans Peraturan Presiden untuk menyelenggarakan kekuasaan - 16 - pemerintahan memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan Peraturan Presiden. 27. Konsiderans Peraturan Daerah cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai perlunya melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari Undang–Undang atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukannya. Contoh: Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat Nomor 8 Tahun 2010 tentang Hutan Kota Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Hutan Kota; B.4. Dasar Hukum 28. Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat. Dasar hukum memuat: a. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan b. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 29. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari DPR adalah Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 30. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari Presiden adalah Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 31. Dasar . . .
  • 101.
    - 17 - 31. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang yang berasal dari DPR - 17 - atas usul DPD adalah Pasal 20 dan Pasal 22D ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 32. Jika Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memerintahkan langsung untuk membentuk Undang-Undang, pasal yang memerintahkan dicantumkan dalam dasar hukum. Contoh: Mengingat: Pasal 15, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. 33. Jika materi yang diatur dalam Undang-Undang yang akan dibentuk merupakan penjabaran dari pasal atau beberapa pasal Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal tersebut dicantumkan sebagai dasar hukum. Contoh 1 (RUU yang berasal dari DPR): Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), ayat (4), Pasal 33 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Contoh 2 (RUU yang berasal dari Presiden): Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Contoh tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. 34. Dasar . . .
  • 102.
    - 18 - 34. Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti - 18 - Undang-Undang adalah Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 35. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang- Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 36. Dasar hukum pembentukan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 37. Dasar hukum pembentukan Peraturan Pemerintah adalah Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 38. Dasar hukum pembentukan Peraturan Presiden adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 39. Dasar hukum pembentukan Peraturan Daerah adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah dan Undang- Undang tentang Pemerintahan Daerah. 40. Jika terdapat Peraturan Perundang–undangan di bawah Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan secara langsung pembentukan Peraturan Perundang–undangan, Peraturan Perundang–undangan tersebut dimuat di dalam dasar hukum. Contoh: Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang . . .
  • 103.
    - 19 - - 19 - 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846); Contoh ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 41. Peraturan Perundang–undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 42. Peraturan Perundang-undangan yang akan dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, Peraturan Perundang– undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan dalam dasar hukum. 43. Jika jumlah Peraturan Perundang–undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang–undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya. 44. Dasar hukum yang diambil dari pasal atau beberapa pasal dalam Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal. Frasa Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital. Contoh: Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 45. Dasar . . .
  • 104.
    - 20 - 45. Dasar hukum yang bukan Undang–Undang Dasar Negara Republik - 20 - Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan jenis dan nama Peraturan Perundang– undangan tanpa mencantumkan frasa Republik Indonesia. 46. Penulisan jenis Peraturan Perundang–undangan dan rancangan Peraturan Perundang–undangan, diawali dengan huruf kapital. Contoh : Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 47. Penulisan Undang–Undang dan Peraturan Pemerintah, dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh : Mengingat: 1. …; 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216); 48. Penulisan Peraturan Presiden tentang pengesahan perjanjian internasional dan Peraturan Presiden tentang pernyataan keadaan bahaya dalam dasar hukum dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung. 49. Penulisan . . .
  • 105.
    - 21 - 49. Penulisan Peraturan Daerah dalam dasar hukum dilengkapi dengan - 21 - pencantuman Lembaran Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Tambahan Lembaran Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota yang diletakkan di antara tanda baca kurung. Contoh: Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 3 Tahun 2010 tentang Susunan dan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Aceh Jaya (Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Tahun 2010 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2) 50. Dasar hukum yang berasal dari Peraturan Perundang–undangan zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu terjemahannya dalam bahasa Indonesia dan kemudian judul asli bahasa Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staatsblad yang dicetak miring di antara tanda baca kurung. Contoh : Mengingat: 1. ...; 2. Kitab Undang–Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847: 23 ); 51. Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam nomor berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang–undangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949. 52. Jika dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang– undangan, tiap dasar hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan tanda baca titik koma. Contoh : Mengingat: 1. …; 2. …; 3. …; B.5. Diktum . . .
  • 106.
    - 22 - B.5. Diktum 53. Diktum terdiri atas: - 22 - a. kata Memutuskan; b. kata Menetapkan; dan c. jenis dan nama Peraturan Perundang-undangan. 54. Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin. 55. Pada Undang-Undang, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA yang diletakkan di tengah marjin. Contoh Undang-Undang: Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: 56. Pada Peraturan Daerah, sebelum kata Memutuskan dicantumkan Frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH … (nama daerah) dan GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA … (nama daerah), yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diletakkan di tengah marjin. Contoh: . . .
  • 107.
    - 23 - - 23 - Contoh: Peraturan Daerah Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH JAWA BARAT dan GUBERNUR JAWA BARAT MEMUTUSKAN: 57. Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua. 58. Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Republik Indonesia, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik. Contoh: MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH. 59. Jenis dan nama yang tercantum dalam judul Peraturan Daerah dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan tanpa frasa Provinsi, Kabupaten/Kota, serta ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik. Contoh: . . .
  • 108.
    - 24 - - 24 - Contoh: MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN. 60. Pembukaan Peraturan Perundang–undangan tingkat pusat yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang, antara lain Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Peraturan Dewan Perwakilan Daerah, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Menteri, dan peraturan pejabat yang setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Undang-Undang. C. BATANG TUBUH 61. Batang tubuh Peraturan Perundang-undangan memuat semua materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dirumuskan dalam pasal atau beberapa pasal. 62. Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam: a. ketentuan umum; b. materi pokok yang diatur; c. ketentuan pidana (jika diperlukan); d. ketentuan peralihan (jika diperlukan); dan e. ketentuan penutup. 63. Pengelompokan materi muatan dirumuskan secara lengkap sesuai dengan kesamaan materi yang bersangkutan dan jika terdapat materi muatan yang diperlukan tetapi tidak dapat dikelompokkan dalam ruang lingkup pengaturan yang sudah ada, materi tersebut dimuat dalam bab ketentuan lain-lain. 64. Substansi . . .
  • 109.
    - 25 - 64. Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan - 25 - atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi keperdataan. 65. Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian tidak merumuskan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi administratif dalam satu bab. 66. Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian. 67. Pengelompokkan materi muatan Peraturan Perundang-undangan dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf. 68. Jika Peraturan Perundangan-undangan mempunyai materi muatan yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal atau beberapa pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf. 69. Pengelompokkan materi muatan dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi. 70. Urutan pengelompokan adalah sebagai berikut: a. bab dengan pasal atau beberapa pasal tanpa bagian dan paragraf; b. bab dengan bagian dan pasal atau beberapa pasal tanpa paragraf; atau c. bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal atau beberapa pasal. 71. Buku . . .
  • 110.
    - 26 - 71. Buku diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang - 26 - seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh: BUKU KETIGA PERIKATAN 72. Bab diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Contoh: BAB I KETENTUAN UMUM 73. Bagian diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul. 74. Huruf awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak terletak pada awal frasa. Contoh: Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan 75. Paragraf diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul. 76. Huruf awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf awal partikel yang tidak terletak pada awal frasa. Contoh: Paragraf 1 Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim 77. Pasal . . .
  • 111.
    - 27 - 77. Pasal merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan - 27 - yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas. 78. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat banyak ayat, kecuali jika materi muatan yang menjadi isi pasal itu merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. 79. Pasal diberi nomor urut dengan angka Arab dan huruf awal kata pasal ditulis dengan huruf kapital. Contoh: Pasal 3 80. Huruf awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital. Contoh: Pasal 34 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. 81. Pasal dapat dirinci ke dalam beberapa ayat. 82. Ayat diberi nomor urut dengan angka Arab diantara tanda baca kurung tanpa diakhiri tanda baca titik. 83. Satu ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh. 84. Huruf . . .
  • 112.
    - 28 - 84. Huruf awal kata ayat yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan - 28 - huruf kecil. Contoh: Pasal 8 (1) Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang. (2) Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan. 85. Jika satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, selain dirumuskan dalam bentuk kalimat dengan rincian, juga dapat dirumuskan dalam bentuk tabulasi. Contoh: Pasal 28 Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai berikut: Contoh rumusan tabulasi: Pasal 28 Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi: a. Presiden; b. Wakil Presiden; dan c. pejabat negara yang lain, yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. 86. Penulisan . . .
  • 113.
    - 29 - 86. Penulisan bilangan dalam pasal atau ayat selain menggunakan angka - 29 - Arab diikuti dengan kata atau frasa yang ditulis diantara tanda baca kurung. 87. Jika merumuskan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi, memperhatikan ketentuan sebagai berikut: a. setiap rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frasa pembuka; b. setiap rincian menggunakan huruf abjad kecil dan diberi tanda baca titik; c. setiap frasa dalam rincian diawali dengan huruf kecil; d. setiap rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma; e. jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam; f. di belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua; g. pembagian rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan huruf abjad kecil yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup; dan h. pembagian rincian tidak melebihi 4 (empat) tingkat. Jika rincian melebihi 4 (empat) tingkat, pasal yang bersangkutan dibagi ke dalam pasal atau ayat lain. 88. Jika unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif, ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 89. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata atau yang di letakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 90. Jika rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata dan/atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir. 91. Kata . . .
  • 114.
    - 30 - 91. Kata dan, atau, dan/atau tidak perlu diulangi pada akhir setiap unsur - 30 - atau rincian. 92. Tiap rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya. Contoh: Pasal 9 (1) ... . (2) ...: a. …; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. … . 93. Jika suatu rincian memerlukan rincian lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya. Contoh: Pasal 9 (1) … . (2) …: a. …; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. …: 1. ...; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. … . 94. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya. Contoh: Pasal 9 (1) … . (2) … . a. …; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. ...: . . .
  • 115.
    - 31 - - 31 - c. …: 1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. …: a) …; b) …; (dan, atau, dan/atau) c) … . 95. Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya. Contoh: Pasal 9 … . (1) … . (2) …: a. …; b. …; (dan, atau, dan/atau) c. …: 1. …; 2. …; (dan, atau, dan/atau) 3. …: a) …; b) …; (dan, atau, dan/atau) c) … . 1) …; 2) …; (dan, atau, dan/atau) 3) … . C.1. Ketentuan Umum 96. Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal. Contoh: . . .
  • 116.
    - 32 - - 32 - Contoh: BAB I KETENTUAN UMUM 97. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal. 98. Ketentuan umum berisi: a. batasan pengertian atau definisi; b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Contoh batasan pengertian: 1. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Mimika. Contoh definisi: 1. Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya. 2. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Contoh . . .
  • 117.
    - 33 - - 33 - Contoh singkatan: 1. Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disingkat BPK adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP adalah sistem pengendalian intern yang diselenggarakan secara menyeluruh terhadap proses perancangan dan pelaksanaan kebijakan serta perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan di lingkungan Pemerintah Kota Dumai. Contoh akronim: 1. Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disebut Askes adalah… 2. Orang dengan HIV/AIDS yang selanjutnya disebut ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap belum ada gejala maupun yang sudah ada gejala. 99. Frasa pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi: Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 100. Frasa pembuka dalam ketentuan umum peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang disesuaikan dengan jenis peraturannya. 101. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik. 102. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal selanjutnya. 103. Apabila . . .
  • 118.
    - 34 - 103. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan - 34 - dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah berlaku tersebut. 104. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang-undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan Perundang-undangan yang lain karena disesuaikan dengan kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur. Contoh 1: a. Hari adalah hari kalender (rumusan ini terdapat dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). b. Hari adalah hari kerja (rumusan ini terdapat dalam Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Contoh 2: a. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum (rumusan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). b. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman). 105. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi. 106. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut. 107. Karena . . .
  • 119.
    - 35 - 107. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim - 35 - berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. 108. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur, penjelasan maupun dalam lampiran. 109. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan. C.2. Materi Pokok yang Diatur 110.Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi pokok yang diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal ketentuan umum. 111. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. Contoh: a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: 1. kejahatan terhadap keamanan negara; 2. kejahatan terhadap martabat Presiden; 3. kejahatan terhadap negara sahabat dan wakilnya; 4. kejahatan . . .
  • 120.
    - 36 - - 36 - 4. kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan; 5. kejahatan terhadap ketertiban umum dan seterusnya. b. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali. c. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda. C.3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 112. Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah. 113. Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali jika oleh Undang- Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). 114. Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku. 115. Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup. 116. Jika . . .
  • 121.
    - 37 - 116. Jika di dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan - 37 - pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam pasal yang terletak langsung sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi ketentuan peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan pidana diletakkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang berisi ketentuan penutup. 117. Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 118. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari: a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan Perundang-undangan lain. Lihat juga Nomor 98; Contoh: Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Pasal 73 Tindak pidana di bidang Adminstrasi Kependudukan yang dilakukan oleh penduduk, petugas, dan Badan Hukum diancam dengan hukuman pidana sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. b. pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau c. penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau tidak terdapat di dalam norma-norma yang diatur dalam pasal atau beberapa pasal sebelumnya, kecuali untuk undang-undang mengenai tindak pidana khusus. 119. Jika . . .
  • 122.
    - 38 - 119. Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun, subyek dari ketentuan - 38 - pidana dirumuskan dengan frasa setiap orang. Contoh: Pasal 81 Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). 120. Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing, pegawai negeri, saksi. Contoh 1: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 143 Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Contoh 2: Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pajak Hiburan Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang. 121. Sehubungan . . .
  • 123.
    - 39 - 121. Sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan - 39 - tindak pidana pelanggaran di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbuatan yang diancam dengan pidana itu sebagai pelanggaran atau kejahatan. Contoh: BAB V KETENTUAN PIDANA Pasal 33 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal …, dipidana dengan pidana kurungan paling lama … atau pidana denda paling banyak Rp…,00 (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. 122. Rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi pidana yang dijatuhkan bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif. a. Sifat kumulatif: Contoh: Setiap orang yang dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme, pornografi, dan/atau bersifat perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). b. Sifat alternatif: Contoh: Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). c. Sifat . . .
  • 124.
    - 40 - - 40 - c. Sifat kumulatif alternatif: Contoh: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. 123. Perumusan dalam ketentuan pidana harus menunjukkan dengan jelas unsur-unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif. 124. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut. Contoh: Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1976, kecuali untuk ketentuan pidananya. 125. Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana ekonomi, misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. 126. Tindak . . .
  • 125.
    - 41 - 126. Tindak pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh - 41 - korporasi. Pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada: a. badan hukum antara lain perseroan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi; dan/atau b. pemberi perintah untuk melakukan tindak pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana. C.4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan) 127. Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. Contoh 1: Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 35 Perjanjian Internasional, baik bilateral, regional, maupun multilateral, dalam bidang penanaman modal yang telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian tersebut. Contoh 2: Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Area Pasar Pasal 18 Izin yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini tetap berlaku sampai dengan habis berlakunya izin. Contoh . . .
  • 126.
    - 42 - - 42 - Contoh 3: Peraturan Daerah Kabupaten Kuantan Singingi Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pemeliharaan Kesehatan Hewan Pasal 38 Orang atau Badan yang telah memiliki izin usaha pemeliharaan kesehatan hewan yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan Peraturan Daerah ini. 128. Ketentuan Peralihan dimuat dalam Bab Ketentuan Peralihan dan ditempatkan di antara Bab Ketentuan Pidana dan Bab Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak diadakan pengelompokan bab, pasal atau beberapa pasal yang memuat Ketentuan Peralihan ditempatkan sebelum pasal atau beberapa pasal yang memuat ketentuan penutup. 129. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru, dapat dimuat ketentuan mengenai penyimpangan sementara atau penundaan sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu. Contoh 1: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Pasal 27 Kementerian yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya Kementerian berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Contoh 2: Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan serta Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah Pasal 44 . . .
  • 127.
    - 43 - - 43 - Pasal 44 (1) … . (2) Sebelum RPJMD ditetapkan, penyusunan RKPD berpedoman kepada RPJMD periode sebelumnya. 130. Penyimpangan sementara terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan berlaku juga bagi ketentuan yang diberlakusurutkan. 131. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan diberlakukan surut, Peraturan Perundang-undangan tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya. Contoh: Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini. 132.Mengingat berlakunya asas umum hukum pidana, penentuan daya laku surut tidak diberlakukan bagi Ketentuan Pidana. 133. Penentuan daya laku surut tidak dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat, misalnya penarikan pajak atau retribusi. 134. Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan ditunda sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan Peraturan Perundang-undangan tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum atau hubungan hukum yang dimaksud, serta jangka waktu atau persyaratan berakhirnya penundaan sementara tersebut. Contoh: . . .
  • 128.
    - 44 - - 44 - Contoh: Izin ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor … Tahun ... tentang… masih tetap berlaku untuk jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini. 135. Rumusan dalam Ketentuan Peralihan tidak memuat perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di dalam Ketentuan Umum Peraturan Perundang-undangan atau dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang-undangan perubahan. Contoh rumusan yang memuat perubahan terselubung: Pasal 35 (1) Desa atau yang disebut nama lainnya yang setingkat dengan desa yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan sebagai desa menurut Pasal 1 huruf a. C.5. Ketentuan Penutup 136. Ketentuan Penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, Ketentuan Penutup ditempatkan dalam pasal atau beberapa pasal terakhir. 137. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai: a. penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan; b. nama singkat Peraturan Perundang-undangan; c. status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan. 138. Penunjukan . . .
  • 129.
    - 45 - 138. Penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan - 45 - Peraturan Perundang-undangan bersifat menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin, dan mengangkat pegawai. 139.Bagi nama Peraturan Perundang-undangan yang panjang dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan; b. nama singkat bukan berupa singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian. 140.Nama singkat tidak memuat pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan. Contoh nama singkat yang tidak tepat: (Undang-Undang tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan) Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Karantina Hewan 141.Nama Peraturan Perundang-undangan yang sudah singkat tidak perlu diberikan nama singkat. Contoh nama singkat yang tidak tepat: (Undang-Undang tentang Bank Sentral) Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang tentang Bank Indonesia. 142. Sinonim tidak dapat digunakan untuk nama singkat. Contoh nama singkat yang tidak tepat: (Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara) Undang-Undang ini dapat disebut dengan Undang-Undang tentang Peradilan Administrasi Negara. 143. Jika . . .
  • 130.
    - 46 - 143. Jika materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang - 46 - baru menyebabkan perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama, dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang lama. 144. Rumusan pencabutan Peraturan Perundang-undangan diawali dengan frasa Pada saat …(jenis Peraturan Perundang-undangan) ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan pencabutan tersendiri. 145.Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang-undangan yang dicabut. 146.Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh: Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 147. Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), cara penulisan dilakukan dengan rincian dalam bentuk tabulasi. Contoh: . . .
  • 131.
    - 47 - - 47 - Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. Ordonansi Perburuan (Jachtsordonantie 1931, Staatsblad 1931: 133); b. Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonantie 1931, Staatsblad 1931: 134); c. Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtsordonantie Java en Madoera 1940, Staatsblad 1939: 733); dan d. Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonantie 1941, Staatsblad 1941: 167), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 148. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan disertai dengan keterangan mengenai status hukum dari peraturan pelaksanaan atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang dicabut. 149.Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, gunakan frasa ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor ... Tahun... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. 150. Pada dasarnya Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku pada saat Peraturan Perundang-undangan tersebut diundangkan. Contoh: a. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. b. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. c. Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 151. Jika . . .
  • 132.
    - 48 - 151. Jika ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan - 48 - Perundang-undangan tersebut pada saat diundangkan, hal ini dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut dengan: a. menentukan tanggal tertentu saat peraturan akan berlaku; Contoh: Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 2011. b. menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang diberlakukan itu kodifikasi, atau kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang lebih rendah jika yang diberlakukan itu bukan kodifikasi; Contoh: Saat mulai berlakunya Undang-Undang ini akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden. c. dengan menentukan lewatnya tenggang waktu tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frasa setelah ... (tenggang waktu) terhitung sejak tanggal diundangkan. Contoh: Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. 152. Tidak menggunakan frasa ... mulai berlaku efektif pada tanggal ... atau yang sejenisnya, karena frasa ini menimbulkan ketidakpastian mengenai saat berlakunya suatu Peraturan Perundang-undangan yaitu saat diundangkan atau saat berlaku efektif. 153. Pada . . .
  • 133.
    - 49 - 153. Pada dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan - 49 - adalah sama bagi seluruh bagian Peraturan Perundang-undangan dan seluruh wilayah negara Republik Indonesia atau seluruh wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota untuk Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 154. Penyimpangan terhadap saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan dinyatakan secara tegas dengan: a. menetapkan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan itu yang berbeda saat mulai berlakunya; Contoh: Pasal 45 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal… . b. menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda bagi wilayah negara tertentu. Contoh: Pasal 40 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) mulai berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura pada tanggal…. 155. Pada dasarnya mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan tidak dapat ditentukan lebih awal daripada saat pengundangannya. 156. Jika ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya (berlaku surut), diperhatikan hal sebagai berikut: a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan; b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, dimuat dalam ketentuan peralihan; c. awal . . .
  • 134.
    - 50 - - 50 - c. awal dari saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan ditetapkan tidak lebih dahulu daripada saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan Peraturan Perundang-undangan tersebut tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan perencanaan rancangan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 157. Saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan, pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan yang mendasarinya. 158. Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 159. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi muatan Peraturan Perundang-undangan lebih rendah yang dicabut itu. D. PENUTUP 160. Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan yang memuat: a. rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota; b. penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan; c. pengundangan atau Penetapan Peraturan Perundang-undangan; dan d. akhir . . .
  • 135.
    - 51 - - 51 - d. akhir bagian penutup. 161. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Contoh: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan … (jenis Peraturan Perundang-undangan) ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 162. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut: Contoh: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan … (jenis Peraturan Perundang-undangan) ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. 163. Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang berbunyi sebagai berikut: Contoh Peraturan Daerah Provinsi: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat. 164. Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan Perundang-undangan memuat: a. tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan; b. nama jabatan; c. tanda tangan pejabat; dan d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai. 165. Rumusan . . .
  • 136.
    - 52 - 165. Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan diletakkan - 52 - di sebelah kanan. 166.Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. a. untuk pengesahan: Contoh: b. untuk penetapan: Contoh: Disahkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 167. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan memuat: a. tempat dan tanggal Pengundangan; b. nama jabatan yang berwenang mengundangkan; c. tanda tangan; dan d. nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar, pangkat, golongan, dan nomor induk pegawai. 168. Tempat tanggal pengundangan Peraturan Perundang-undangan diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan atau penetapan). 169. Nama . . .
  • 137.
    - 53 - 169.Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada - 53 - akhir nama jabatan diberi tanda baca koma. Contoh: Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan PATRIALIS AKBAR 170. Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Presiden tidak menandatangani Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama antara DPR dan Presiden, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 171. Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Gubernur atau Bupati/Walikota tidak menandatangani Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui bersama antara DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat yang mengundangkan yang berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. 172. Pada akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota beserta tahun dan nomor dari Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota, Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota. 173. Penulisan . . .
  • 138.
    - 54 - 173. Penulisan frasa Lembaran Negara Republik Indonesia atau Lembaran - 54 - Daerah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. Contoh: LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR... Contoh: LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ... TAHUN ... NOMOR ... E. PENJELASAN 174. Setiap Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota diberi penjelasan. 175. Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang (selain Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dapat diberi penjelasan jika diperlukan. 176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. 177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. 178. Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan. 179. Naskah . . .
  • 139.
    - 55 - 179.Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan - 55 - rancangan Peraturan Perundang-undangan. 180. Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang-undangan yang diawali dengan frasa penjelasan atas yang ditulis dengan huruf kapital. Contoh: PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA 181. Penjelasan Peraturan Perundang-undangan memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. 182. Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis dengan huruf kapital. Contoh: I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL 183. Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas, tujuan, atau materi pokok yang terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang-undangan. 184. Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih memberikan kejelasan. Contoh: . . .
  • 140.
    - 56 - - 56 - Contoh: I. UMUM 1. Dasar Pemikiran ... 2. Pembagian Wilayah … 3. Asas-asas Penyelenggara Pemerintahan … 4. Daerah Otonom … 5. Wilayah Administratif … 6. Pengawasan … 185. Jika dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang-undangan lain atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya. 186. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut: a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; b. tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh; c. tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; d. tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau e. tidak memuat rumusan pendelegasian 187. Ketentuan umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak perlu diberikan penjelasan. 188. Pada . . .
  • 141.
    - 57 - 188. Pada pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frasa - 57 - cukup jelas yang diakhiri dengan tanda baca titik (.) dan huruf c ditulis dengan huruf kapital. Penjelasan pasal demi pasal tidak digabungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang tidak memerlukan penjelasan. Contoh yang tidak tepat: Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9) Cukup jelas. Seharusnya: Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. 189. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan, pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasan cukup jelas., tanpa merinci masing-masing ayat atau butir. 190. Jika suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai. Contoh: Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ayat ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada hakim dan para pengguna hukum. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) . . .
  • 142.
    - 58 - - 58 - Ayat (4) Cukup jelas. 191. Jika suatu istilah/kata/frasa dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…“) pada istilah/kata/frasa tersebut. Contoh: Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. F. LAMPIRAN 192. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan. 193. Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa. 194. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lebih dari satu lampiran, tiap lampiran harus diberi nomor urut dengan menggunakan angka romawi. Contoh: LAMPIRAN I LAMPIRAN II 195. Judul . . .
  • 143.
    - 59 - 195. Judul lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang - 59 - diletakkan di sudut kanan atas tanpa diakhiri tanda baca dengan rata kiri. Contoh: LAMPIRAN I UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN … TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN 196. Nama lampiran ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah tanpa diakhiri tanda baca. Contoh: TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 197. Pada halaman akhir tiap lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundang-undangan ditulis dengan huruf kapital yang diletakkan di sudut kanan bawah dan diakhiri dengan tanda baca koma setelah nama pejabat yang mengesahkan atau menetapkan Peraturan Perundang-undangan. Contoh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan SUSILO BAMBANG YUDHOYONO BAB II . . .
  • 144.
    - 60 - - 60 - BAB II HAL-HAL KHUSUS A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN 198. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah. 199. Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang- Undang kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain. Contoh: Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 48 (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Undang-Undang. 200. Pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas: a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b. jenis Peraturan Perundang-undangan. 201. Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi muatan itu harus diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan … . Contoh . . .
  • 145.
    - 61 - - 61 - Contoh 1: Pasal … (1) ... . (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan Peraturan Pemerintah. Contoh 2: Peraturan Daerah Kabupaten Gorontalo Utara Nomor 87 Tahun 2010 tentang Pajak Reklame Pasal 18 (1) ... . (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. Contoh 3: Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah Regional Jawa Timur Pasal 23 (1) … . (2) … . (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur. 202. Jika pengaturan materi muatan tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … . Contoh: Pasal … (1) … . (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 203. Jika . . .
  • 146.
    - 62 - 203. Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum diatur - 62 - pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan … . Contoh: Pasal … (1) … . (2) Ketentuan mengenai … diatur dengan Peraturan Pemerintah. 204. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan … . Contoh: Pasal ... (1) ... . (2) Ketentuan mengenai … diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 205. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan, gunakan kalimat “Ketentuan mengenai … diatur dalam ….” Contoh: Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Pasal 57 (1) … . (2) … . (3) … . (4) ... . . .
  • 147.
    - 63 - - 63 - (4) … . (5) … . (6) … . (7) Ketentuan mengenai pedoman persyaratan dan tata cara untuk mendapatkan KIPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati. 206. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan maka materi muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu) peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, gunakan kalimat “(jenis Peraturan Perundang-undangan) … tentang Peraturan Pelaksanaan ...” Contoh: Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 207. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan pelaksanaan yang akan dibuat, rumusan pendelegasian perlu mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut. Contoh: Diambil dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 76 (1) ... . (2) ... . (3) ... . (4) ... . (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 208. Jika . . .
  • 148.
    - 64 - 208. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan - 64 - dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan. 209. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya. 210. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh adanya delegasi blangko. Contoh 1: Pasal … Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Contoh 2: Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Pasal 24 Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang pengaturan pelaksanaannya, diatur dengan Peraturan Bupati. 211. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif. 212. Kewenangan yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu. 213. Pendelegasian . . .
  • 149.
    - 65 - 213. Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu Peraturan - 65 - Perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal, sekretaris jenderal, atau pejabat yang setingkat. 214. Pendelegasian langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang. 215. Peraturan Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari. 216. Di dalam peraturan pelaksanaan tidak mengutip kembali rumusan norma atau ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal atau beberapa pasal atau ayat atau beberapa ayat selanjutnya. B. PENYIDIKAN 217. Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 218. Ketentuan penyidikan memuat pemberian kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, atau instansi tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 219. Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk pejabat tertentu sebagai penyidik pegawai negeri sipil diusahakan agar tidak mengurangi kewenangan penyidik umum untuk melakukan penyidikan. Contoh: . . .
  • 150.
    - 66 - - 66 - Contoh: Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ... (nama kementerian atau instansi) dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang (Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota) ini. 220. Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal atau beberapa pasal sebelum ketentuan pidana. C. PENCABUTAN 221. Jika ada Peraturan Perundang-undangan lama yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan Peraturan Perundang-undangan baru, Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas mencabut Peraturan Perundang-undangan yang tidak diperlukan itu. 222. Jika materi dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru menyebabkan perlu penggantian sebagian atau seluruh materi dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama, di dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan sebagian atau seluruh Peraturan Perundang-undangan yang lama. 223. Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi. 224. Pencabutan melalui Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu. 225. Jika . . .
  • 151.
    - 67 - 225. Jika Peraturan Perundang-undangan baru mengatur kembali suatu - 67 - materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan Peraturan Perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup dari Peraturan Perundang-undangan yang baru, dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 226. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku. 227. Jika pencabutan Peraturan Perundangan-undangan dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan tersebut pada dasarnya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan. b. Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan. Contoh: Pasal 1 Undang-Undang Nomor … Tahun ... tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 228. Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang menimbulkan perubahan dalam Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait, tidak mengubah Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan lain secara tegas. 229. Peraturan . . .
  • 152.
    - 68 - 229. Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan yang telah dicabut, - 68 - tetap tidak berlaku, meskipun Peraturan Perundang-undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut pula. D. PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 230. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan: a. menyisip atau menambah materi ke dalam Peraturan Perundang-undangan; atau b. menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang-undangan. 231. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan terhadap: a. seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau b. kata, frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca. 232. Jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang diubah. 233. Pada dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang-undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut: a. Pasal I memuat judul Peraturan Perundang-undangan yang diubah, dengan menyebutkan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika materi perubahan lebih dari satu, setiap materi perubahan dirinci dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya). Contoh . . .
  • 153.
    - 69 - - 69 - Contoh 1: Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: … 2. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 8 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: … 3. dan seterusnya … Contoh 2: Pasal I Ketentuan Pasal ... dalam Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: … b. Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah lebih dari satu kali, Pasal I memuat, selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundang-undangan perubahan yang ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung dan dirinci dengan huruf (abjad) kecil (a, b, c, dan seterusnya). Contoh: Pasal I Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor … ) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang: a. Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …); b. Nomor . . .
  • 154.
    - 70 - - 70 - b. Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …); c. Nomor … Tahun … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …); diubah sebagai berikut: 1. Bab V dihapus. 2. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 3. dan seterusnya ... c. Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan perubahan, yang maksudnya berbeda dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan yang diubah. 234. Jika dalam Peraturan Perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan. a. Penyisipan Bab Contoh: Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu ) bab, yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IXA INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL b. Penyisipan . . .
  • 155.
    - 71 - - 71 - b. Penyisipan Pasal: Contoh: Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 128A Dalam hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat memerintahkan hasil-hasil pelanggaran paten tersebut dirampas untuk negara untuk dimusnahkan. 235. Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung( ). Contoh: Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) … . (1a)… . (1b)… . (2) … . 236. Jika dalam suatu Peraturan Perundang-undangan dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus. Contoh 1: 1. Pasal 16 dihapus. 2. Pasal 18 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) … . (2) Dihapus . . .
  • 156.
    - 72 - - 72 - (2) Dihapus. (3) … . Contoh 2: Peraturan Daerah tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengujian Kendaraan Bermotor dan Retribusi 5. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Dihapus. (2) Dihapus. (3) Lokasi Pengujian dan Penguji ditetapkan dengan Keputusan Kepala Dinas Perhubungan. 237. Jika suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan mengakibatkan: a. sistematika Peraturan Perundang-undangan berubah; b. materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau c. esensinya berubah, Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut. 238. Jika suatu Peraturan Perundang-undangan telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan Perundang-undangan, sebaiknya Peraturan Perundang-undangan tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada: a. urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir; b. penyebutan-penyebutan; dan c. ejaan, jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah masih tertulis dalam ejaan lama. E. PENETAPAN . . .
  • 157.
    - 73 - E. PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG - 73 - MENJADI UNDANG-UNDANG 239. Batang tubuh Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi Undang- Undang pada dasarnya terdiri dari 2 (dua) pasal, yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat Penetapan Perpu menjadi Undang-Undang yang diikuti dengan pernyataan melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Undang-Undang penetapan tersebut. b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku. Contoh: Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4232) ditetapkan menjadi Undang-Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. F. PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL 240. Batang tubuh Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Internasional pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut: a. Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat pernyataan melampirkan salinan naskah asli dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. b. Pasal . . .
  • 158.
    - 74 - - 74 - b. Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku. Contoh untuk perjanjian multilateral: Pasal 1 Mengesahkan Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta Pemusnahannya) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Contoh untuk perjanjian bilateral yang hanya menggunakan dua bahasa: Pasal 1 Mengesahkan Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang–Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Contoh . . .
  • 159.
    - 75 - - 75 - Contoh untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih dari dua bahasa: Pasal 1 Mengesahkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of the Republik of Indonesia and the Government of Hongkong for the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1977 di Hongkong yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Cina sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 241. Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan dengan Undang-Undang berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dilakukan dengan Peraturan Presiden. BAB III . . .
  • 160.
    - 76 - - 76 - BAB III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN BAHASA PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN 242. Bahasa Peraturan Perundang–undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan. 243. Ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan antara lain: a. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan; b. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai; c. objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam mengungkapkan tujuan atau maksud); d. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten; e. memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat; f. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan Contoh: buku-buku ditulis buku murid-murid ditulis murid g. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan dan rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital. Contoh: . . .
  • 161.
    - 77 - - 77 - Contoh: - Pemerintah - Wajib Pajak - Rancangan Peraturan Pemerintah 244. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang–undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah dimengerti. Contoh: Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Rumusan yang lebih baik: (1) Permohonan beristri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 245. Tidak menggunaan kata atau frasa yang artinya tidak menentu atau konteksnya dalam kalimat tidak jelas. Contoh: Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan dengan istilah minuman beralkohol. 246. Dalam merumuskan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku. Contoh kalimat yang tidak baku: Izin usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut. Contoh kalimat yang baku: Perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut izin usahanya. 247. Untuk . . .
  • 162.
    - 78 - 247. Untuk memberikan perluasan pengertian kata atau istilah yang sudah - 78 - diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata meliputi. Contoh: Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara Pasal 58 (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. nama dan alamat percetakan perusahaan yang melakukan pencetakan blanko; b. jumlah blanko yang dicetak; dan c. jumlah dokumen yang diterbitkan. 248. Untuk mempersempit pengertian kata atau isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi. Contoh: Anak buah kapal tidak meliputi koki magang. 249. Tidak memberikan arti kepada kata atau frasa yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Contoh: Pertanian meliputi pula perkebunan, peternakan, dan perikanan. Rumusan yang baik: Pertanian meliputi perkebunan. 250. Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang sama, tidak menggunakan: a. beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan satu pengertian yang sama. Contoh: . . .
  • 163.
    - 79 - - 79 - Contoh: Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian penghasilan. Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal telah digunakan kata gaji maka dalam pasal-pasal selanjutnya jangan menggunakan kata upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian penghasilan. b. satu istilah untuk beberapa pengertian yang berbeda. Contoh: Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian pengamanan. 251. Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat lain, tidak boleh menggunakan frasa tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang dari. 252. Untuk menghindari perubahan nama kementerian, penyebutan menteri sebaiknya menggunakan penyebutan yang didasarkan pada urusan pemerintahan dimaksud. Contoh: Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. 253. Penyerapan kata, frasa, atau istilah bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan jika: a. mempunyai konotasi yang cocok; b. lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia; c. mempunyai corak internasional; d. lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau e. lebih . . .
  • 164.
    - 80 - - 80 - e. lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Contoh: 1. devaluasi (penurunan nilai uang) 2. devisa (alat pembayaran luar negeri) 254. Penggunaan kata, frasa, atau istilah bahasa asing hanya digunakan di dalam penjelasan Peraturan Perundang–undangan. Kata, frasa, atau istilah bahasa asing itu didahului oleh padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan diantara tanda baca kurung ( ). Contoh: 1. penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) 2. penggabungan (merger) PILIHAN KATA ATAU ISTILAH 255. Gunakan kata paling, untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu. Contoh: … dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Contoh untuk Perda: … dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 256. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan: a. waktu, gunakan frasa paling singkat atau paling lama untuk menyatakan jangka waktu; Contoh . . .
  • 165.
    - 81 - - 81 - Contoh 1: Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Contoh 2: Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas rancangan undang-undang bersama DPR dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak surat Pimpinan DPR diterima. b.waktu, gunakan frasa paling lambat atau paling cepat untuk menyatakan batas waktu. Contoh: Surat permohonan izin usaha disampaikan kepada dinas perindustrian paling lambat tanggal 22 Juli 2011. c. jumlah uang, gunakan frasa paling sedikit atau paling banyak; d.jumlah non-uang, gunakan frasa paling rendah dan paling tinggi. 257. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat. Contoh: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 29 Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, Pihak Pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang ini. 258. Kata kecuali ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan. Contoh: . . .
  • 166.
    - 82 - - 82 - Contoh: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 1 .... 38. Penumpang adalah setiap orang yang berada di atas alat angkut, kecuali awak alat angkut. 259. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain. Contoh: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 77 (1) Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. 260. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika, apabila, atau frasa dalam hal. a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka). Contoh: Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 41 (3) Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. b. Kata . . .
  • 167.
    - 83 - - 83 - b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang mengandung waktu. Contoh: Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya. c. Frasa dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka). Contoh: Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura Pasal 33 (2) Dalam hal sarana hortikultura dalam negeri tidak mencukupi atau tidak tersedia, dapat digunakan sarana hortikultura yang berasal dari luar negeri. 261. Frasa pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan. Contoh: Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 59 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan atau ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun. 262. Untuk . . .
  • 168.
    - 84 - 262. Untuk menyatakan sifat kumulatif, gunakan kata dan. - 84 - Contoh: Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos Pasal 30 Penyelenggara pos wajib menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keselamatan kiriman. 263. Untuk menyatakan sifat alternatif, gunakan kata atau. Contoh: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Pasal 19 (1) Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan kementerian dilakukan dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan Pasal 22 (2) Dalam hal tidak ada korps musik atau genderang dan/atau sangkakala pengibaran atau penurunan bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan oleh seluruh peserta upacara. 264. Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa dan/atau. Contoh: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 69 . . .
  • 169.
    - 85 - - 85 - Pasal 69 (1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat jasa kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan. Contoh: Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan Pasal 31 (2) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penghormatan dengan bendera negara; b. penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau c. bentuk penghormatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 265. Untuk menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak. Contoh: Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 72 (1) DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. 266. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang. Contoh: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 313 . . .
  • 170.
    - 86 - - 86 - Pasal 313 (1) Menteri berwenang menetapkan program penegakan hukum dan mengambil tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan. 267. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. Contoh 1: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 90 Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi. Contoh 2: Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara Pasal 28 (2) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain. 268. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan dijatuhi sanksi. Contoh 1: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 8 . . .
  • 171.
    - 87 - - 87 - Pasal 8 (1) Setiap orang yang masuk atau ke luar Wilayah Indonesia wajib memiliki Dokumen Perjalanan yang sah dan masih berlaku. Contoh 2: Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara Pasal 17 (1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK. 269. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut. Contoh: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik Pasal 6 (1) Untuk mendapatkan izin menjadi Akuntan Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. memiliki sertifikat tanda lulus ujian profesi akuntan publik yang sah; b. berpengalaman praktik memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; e. tidak pernah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin Akuntan Publik; f. tidak pernah dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; g. menjadi . . .
  • 172.
    - 88 - - 88 - g. menjadi anggota Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Menteri; dan h. tidak berada dalam pengampuan. 270. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang. Contoh 1: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 135 Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada pihak lain. Contoh 2: Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Nomor 2 Tahun 2010 tentang Izin Usaha Perikanan dan Tanda Pencatatan Kegiatan Perikanan Pasal 11 (1) Setiap pemegang IUP atau TPKP dilarang: a. melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat terlarang seperti bahan kimia, bahan peledak, obat bius, arus listrik, dan menggunakan alat tangkap dengan ukuran mata jaring kurang 2,5 cm atau alat tangkap dengan ukuran mata bilah kurang dari 1 cm. TEKNIK PENGACUAN 271. Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun, untuk menghindari pengulangan rumusan digunakan teknik pengacuan. 272. Teknik . . .
  • 173.
    - 89 - 272. Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat dari - 89 - Peraturan Perundang–undangan yang bersangkutan atau Peraturan Perundang–undangan yang lain dengan menggunakan frasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal … atau sebagaimana dimaksud pada ayat … . Contoh 1: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 72 (1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN. (2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN. Contoh 2: Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara Pasal 5 (1) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, penyelenggara mengadakan koordinasi dengan instansi vertikal dan lembaga pemerintah nonkementerian. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan administrasi kependudukan. 273. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal, ayat, atau huruf yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal, ayat demi ayat, atau huruf demi huruf yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frasa sampai dengan. Contoh: . . .
  • 174.
    - 90 - - 90 - Contoh: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial Pasal 57 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 37 (3) ... f. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e. 274. Pengacuan lebih dari dua terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali. Contoh: a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 berlaku juga bagi calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1). b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a. 275. Kata pasal ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang bersangkutan. Contoh: . . .
  • 175.
    - 91 - - 91 - Contoh: Rumusan yang tidak tepat: Pasal 8 (1) … . (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 (enam puluh) hari. 276. Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (jika ada), kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil. Contoh: Pasal 15 (1) … . (2) … . (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12, dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan. 277. Pengacuan dilakukan dengan mencantumkan secara singkat materi pokok yang diacu. Contoh: Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan oleh … . 278. Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. 279. Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah pasal atau ayat bersangkutan. Contoh: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 15 . . .
  • 176.
    - 92 - - 92 - Pasal 15 Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 280. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan tidak menggunakan frasa pasal yang terdahulu atau pasal tersebut di atas. 281. Pengacuan untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan Peraturan Perundang–undangan yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frasa sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang– undangan. 282. Untuk menyatakan peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan Perundang–undangan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang–undangan, gunakan frasa dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam … (jenis Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan) ini. Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 283. Jika Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian dari ketentuan Peraturan Perundang– undangan tersebut, gunakan frasa dinyatakan tetap berlaku, kecuali … . Contoh: . . .
  • 177.
    - 93 - - 93 - Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor … , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dinyatakan tetap berlaku, kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10. 284. Naskah Peraturan Perundang-undangan diketik dengan jenis huruf Bookman Old Style, dengan huruf 12, di atas kertas F4. BAB IV . . .
  • 178.
    - 94 - - 94 - BAB IV BENTUK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN A. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG … (Nama Undang–Undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG … (nama Undang–Undang). BAB I … Pasal 1 . . .
  • 179.
    - 95 - - 95 - Pasal 1 … BAB II … Pasal … BAB … (dan seterusnya) Pasal … Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … B. RANCANGAN . . .
  • 180.
    - 96 - B. RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG MENJADI UNDANG– UNDANG - 96 - UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …TAHUN … TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. ...; 2. …; 3. dan seterusnya …; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG–UNDANG NOMOR … TAHUN ... TENTANG … MENJADI UNDANG–UNDANG. Pasal 1 . . .
  • 181.
    - 97 - - 97 - Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor … Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor ... , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) ditetapkan menjadi Undang–Undang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … C. RANCANGAN . . .
  • 182.
    - 98 - C. RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN - 98 - INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PENGESAHAN KONVENSI … (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI … (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya). Pasal 1 (1) Mengesahkan Konvensi … (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) … dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang… . (2) Salinan . . .
  • 183.
    - 99 - - 99 - (2) Salinan naskah asli Konvensi … (bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) … dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal ... tentang … dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 2 Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang–Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR .. D. BENTUK . . .
  • 184.
    - 100 - D. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG - 100 - UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG – UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … (untuk perubahan pertama ) atau PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG ... ( untuk perubahan kedua, dan seterusnya ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG ... . Pasal I . . .
  • 185.
    - 101 - - 101 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Undang–Undang Nomor ... Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor … ) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal ... ( bunyi rumusan tergantung keperluan ), dan seterusnya. Pasal II Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … E. BENTUK . . .
  • 186.
    - 102 - E. BENTUK RANCANGAN UNDANG–UNDANG PENCABUTAN UNDANG– UNDANG - 102 - UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PENCABUTAN UNDANG–UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … (Nama Undang–Undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG ... . Pasal 1 Undang–Undang Nomor … Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun … Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang–Undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Undang–Undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku). Pasal 2 . . .
  • 187.
    - 103 - - 103 - Pasal 2 Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … F. BENTUK . . .
  • 188.
    - 104 - F. BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG - 104 - UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN … TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR … TAHUN … TENTANG … Pasal 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor … Tahun ... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun …. Nomor ..., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan . . .
  • 189.
    - 105 - - 105 - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku). Pasal 2 Undang–Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … G. RANCANGAN . . .
  • 190.
    - 106 - G. RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG - 106 - PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …. TAHUN ….. TENTANG (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG … (Nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang). BAB I … Pasal 1 BAB II ... Pasal … BAB (dan seterusnya) Pasal 2 . . .
  • 191.
    - 107 - - 107 - Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … H. BENTUK . . .
  • 192.
    - 108 - H. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH - 108 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG (Nama Peraturan Pemerintah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG …. (nama Peraturan Pemerintah). BAB I … Pasal 1 BAB II Pasal … BAB … (dan seterusnya) Pasal ... . . .
  • 193.
    - 109 - - 109 - Pasal … Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR… I. RANCANGAN . . .
  • 194.
    - 110 - I. BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN - 110 - PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG (Nama Peraturan Presiden) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG …. (nama Peraturan Presiden). BAB I … Pasal 1 BAB II Pasal … BAB … (dan seterusnya) Pasal ... . . .
  • 195.
    - 111 - - 111 - Pasal … Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR… J. BENTUK . . .
  • 196.
    - 112 - J. BENTUK RANCANGAN PERATURAN MENTERI - 112 - PERATURAN MENTERI … REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG (Nama Peraturan Menteri) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI …REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN MENTERI … TENTANG …. (nama Peraturan Menteri). BAB I … Pasal 1 BAB II Pasal … BAB … (dan seterusnya) Pasal . . .
  • 197.
    - 113 - - 113 - Pasal … Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI ... REPUBLIK INDONESIA, tanda tangan NAMA Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI (yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum), tanda tangan NAMA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR… K. BENTUK . . .
  • 198.
    - 114 - K. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI - 114 - PERATURAN DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi) NOMOR … TAHUN … TENTANG (nama Peraturan Daerah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR (Nama Provinsi), Menimbang : a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi) dan GUBERNUR … (Nama Provinsi) MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan Daerah) BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 BAB II . . .
  • 199.
    - 115 - - 115 - BAB II … Pasal … BAB … (dan seterusnya) Pasal ... Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi … (Nama Provinsi). Ditetapkan di … pada tanggal … GUBERNUR … (Nama Provinsi) tanda tangan NAMA Diundangkan di … pada tanggal … SEKRETARIS DAERAH PROVINSI… (Nama Provinsi), tanda tangan NAMA LEMBARAN DAERAH PROVINSI … (Nama Provinsi) TAHUN … NOMOR … L. BENTUK . . .
  • 200.
    - 116 - L. BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA… (nama kabupaten/kota) - 116 - NOMOR … TAHUN … TENTANG (nama Peraturan Daerah) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI/WALIKOTA (nama kabupaten/kota), Menimbang: a. bahwa …; b. bahwa …; c. dan seterusnya …; Mengingat: 1. …; 2. …; 3. dan seterusnya …; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota) dan BUPATI/WALIKOTA … (nama kabupaten/kota) MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG ... (Nama Peraturan Daerah). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 BAB II … Pasal … BAB … (dan seterusnya) Pasal . . .
  • 201.
    - 117 - - 117 - Pasal … Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten/Kota … (nama kabupaten/kota). Ditetapkan di … pada tanggal … BUPATI/WALIKOTA … (nama kabupaten/kota), tanda tangan NAMA Diundangkan di … pada tanggal … SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota), tanda tangan NAMA LEMBARAN DAERAH KABUPATEN/KOTA … (nama kabupaten/kota) TAHUN … NOMOR … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO